PERJANJIAN PADA BANK SYARIAH
MAKALAH
PERJANJIAN PADA BANK SYARIAH
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Hukum Perbankan Syariah”
Dosen Pengampu:
JayaMiharja, M.Si
1.
Suci Ramadhani Putri (170201027)
2.
Maria Ulfa (170201024)
3.
Dedi Hardianto (170201036)
JURUSAN
MUAMALAH
FAKULTAS
SYARIAH
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM
2018/2019
KATA
PENGANTAR
Assalamu’alaikum
wr.wb.
Puji syukur kami panjatkan kehadirat
Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga
kami berhasil menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat dan salam senantiasa kita haturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang
telah membawa kita dari alam yang gelap gulita menuju alam yang terang benderang. Dan
semua perkataan, perbuatan, pengakuan dan sifatnya adalah panutan bagi semua umatnya.
Makalah ini disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah “Hukum Perbankan
Syariah" pada jurusan Muamalah,
Universitas Islam Negeri (UIN)
Mataram. Makalah ini berjudul
“Perjanjian pada Bank Syariah”
Demikianlah yang dapat kami sampaikan, kurang lebihnya kami mohon
maaf bila ada salah-salah kata. Sesungguhnya segala kekurangan dan kesalahan
itu datangnya dari kami sendiri. Sedangkan segala kelebihan itu datangnya dari
Allah SWT semoga Allah SWT meridhai kita. Tiada gading yang tak retak. Sekian.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
Mataram, 20 November 2018
Kelompok 02
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Bank
syariah di Indonesia terhitung masih sangat muda, perkembangannya pun di
Indonesia begitu lambat, sebenarnya pembahasan tentang Bank Syariah sudah
pernah dibahas pada tahun 1980-an, namun realisasinya terjadi pada tahun 1992
yang dilakukan oleh salah satu bank pemerintah, yaitu Bank Muamalat Indonesia, dengan
hukum yang jelas. Pada awalnya perkembangan bank di Indonesia masih bersifat
konvensional dalam artian, belum Memiliki standar dari bank syariah sendiri,
karena bank syariah berbasisi ideologi Islam. Sedangkan bank konvensional
berdasarkan ideologi barat terutama ideologi Amerika dan Eropa. Pada makalah
kali ini kami tidak akan membahas tentang mengapa bank konvensional Indonesia
beralih kepada bank syariah, tetapi kami membahas bank syariah secara umum.
Secara
umum ada beberapa karakteristik yang membedakan antara bank syariah dengan bank
konvensional : Pada point pertama, dalam bank syariah tidak
menggunakan bunga, melainkan menggunakan konsep bagi hasil dimana jika bank
mendapatkan keuntungan maka akan dibagi hasil keuntungan tersebut dengan para penabung,
jika bank rugi maka para penabung pun akan rugi. Bank syariah juga tidak serta
merta meminjamkan sejumlah uangnya kepada masyarakat secara tunai melainkan
dengan prinsip bagi hasil (mudharabah), prinsip penyertaan modal (musyarakah),
prinsip jual beli (murabahah) dan prinsip sewa (ijarah).
1. Apa yang dimaksud dengan kontrak/akad/perjanjian?
2. Apa asas dari kontrak/akad/perjanjian?
3. Apa rukun dan syarat dari kontrak/akad/perjanjian?
4. Apa status dan hal-hal yang membatalkan
kontrak/akad/perjnajian?
5. Apa konsep kontrak/akad/perjanjian
dalam bank syariah?
1. Mengertahui apa yang dimaksud dengan
kontrak/akad/perjanjian.
2. Mengetahui apa asas dari kontrak/akad/perjanjian.
3. Mengetahui apa rukun dan syarat dari
kontrak/akad/perjanjian.
4. Mengetahui apa status dan hal-hal yang membatalkan
kontrak/akad/perjnajian.
5. Mengetahui apa konsep
kontrak/akad/perjanjian dalam bank syariah.
BAB II
PEMBAHASAN
Janji (al-wa’d) berbeda dengan perjanjian atau
kontrak (al-‘aqd). Dalam kontrak terdapat pernyataan atas suatu
keinginan positif dari salah satu pihak yang terlibat dan diterima oleh pihak
lain dan menimbulkan akibat hukum atas objek perjanjian, serta hak dan
kewajiban kepada masing-masing pihak. Adapun janji adalah “keinginan” yang
dikemukakan oleh seseorang untuk melakukan sesuatu, baik perbuatan maupun ucapan,
dalam tujuan memberikan keuntungan bagi pihak lainnya. Kontrak bersifat
mengikat (mulzim) para pelakuknya,wajib dilaksanakan, baik dari segi
hukum (legal formal) maupun dari pandangan agama (diyanah) ketika semua
persyaratan telah terpenuhi.[1]
Definisi kontrak atau perjanjian dalam hukum perdata
Islam dipanggil akad, adapun secara terminology adalah pertalian atau
keterikatan antara ijab dan qabul sesuai dengan kehendak syariah
(Allah dan Rasul-Nya) yang menimbulkan akibat hukum pada objek yang diikat.
Ijab dan qabul dimaksudkan untuk menunjukkan ada
keinginan dan kerelaan timbal baik para pihak yang terlibat dalam kontrak.
Karena itu, ijab dan qabul menimbulkan hak dan kewajiban atas
masing-masing pihak secara timbal balik. Pencantuman kata
“sesuai kehendak syariah” dalam definisi di atas, tidak dipandang sah jika
tidak sesuai dengan kehendak atau peraturan-peraturan yang telah ditetapkan
syari’ (Allah dan Rasul-Nya), seperti melakukan transaksi riba.
Dalam hukum perdata Islam terdapat
asas-asas kontrak yang berpengaruh pada status kontrak. Jika asas-asas itu
tidak terpenuhi, kontrak yang dibuat akan batal atau menjadi tidak sah.
Asas-asas itu adalah:
a.
Kebebasan (al-hururiyah)
Pihak-pihak yang melakukan kontrak
mempunyai hak kebebasan untuk membuat suatu perjanjian, baik dalam menentukan
perkara yang akan dijanjikan (objek perjanjian) maupun syarat-syaratnya,
termasuk menetapkan cara-cara penyelesaian jika terjadi sengketa. Kebebasan
menentukan syarat-syarat ini dibenarkan selagi tidak bertentangan dengan
peraturan syariat Islam. Tujuan asas ini
untuk menjaga agar tidak terjadi kezaliman antar sesama manusia melalui
kontrak dan syarat-syarat yang disetujui. Asas ini juga bertujuan menghindari
semua bentuk paksaan, tekanan, dan
penipuan dari pihak manapun. Landasan dari asas ini salah satunya adalah
Qs. Al-Baqarah ayat 256.
b.
Kesetaraan
atau Kesamaan (al-musawamah)
Asas ini memberikan landasan bahwa
kedua pihak yang melakukan kontrak mempunyai kedudukan yang sama atau setara
antara satu sama lain. Sehingga, pada saat menentukan hak dan kewajiban
masing-masing didasarkan pada asas persamaan tau kesetaraan. Landasan asas ini
adalah Qs. Al-Hujurat ayat 13.
c.
Keadilan (al’adl)
Pelaksanana asas ini lam kontrak
dituntut untuk benar dalam pernyataan kehendak dan keadaan, memenuhi perjanjian
yang telah mereka buat, dan memenuhi kewajibannya. Landasan asas ini adalah
salah satunya Qs. Al-Baqarah ayat 177.
d.
Kerelaan (al-rida)
Asas ini menyatakan segala bentuk
transaksi yang dilakukan hars atas dasar kerelaan semua pihak. Kerelaan para
pihak yang berkontrak adalah jiwa setiap kontrak yang Islami. Landasan dari
asas ini adalah Qs. An-Nisa ayat 29.
e.
Kejujuran (al-sidq)
Islam dengan tegas melarang
kebohongan dan penipuan dalam bentuk apapun. Nilai kebenaran ini memberikan
pengaruh pada pihak yang melakukan kontrak yang tidak berdusta, menipu dan
melakukan pemalsuan. Landasan asas ini yaitu Qs. Al-Ahzab ayat 70.
f.
Tertulis (al-kitabah)
Prinsip lain yang tidak kalah
pentingnya dalam melakukan kontrak adalah seperti disebutkan dalam Qs.
Al-Baqarah ayat 283. Ayat ini mengisyaratkan agar kontrak yang dilakukan
benar-benar memberi kebaikan kepada semua pihak yang melakukan kontrak. Oleh
sebab itu, kontrak mesti dilakukan dengan kitabah (penulisan perjanjian
atau kontrak).[2]
Untuk sahnya suatu akad harus
memenuhi hukum akad yang merupakan unsur asasi dari akad, rukun akad adalah:
1.
Al-Aqid atau
pelaksana akad, yaitu biasanya dua orang yang berakad.
2.
Shighat atau
perbuatan yang menunjukkan terjadinya akad berupa ijab dan qabul. Dalam akad
jual beli, ijab adalah ucapan yang diucapkan oleh penjual, sedangkan qabul
adalah ucapan setuju dan rela yang berasal dari pembeli.
3.
Al-Ma’qud
alaih atau obyek (benda atau manfaat) dari
akad.
Apabila suatu akad sudah memenuhi
rukun yang tiga ini, maka ia sudah dapat dikatakan sebagai akad karena subtansi
dari akad sudah ada, namun akad tersebut baru dapat dikatakan sah apabila telah
memenuhi syarat-syarat dari akad tersebut. Adapun syarat-syarat itu adalah:
1.
Syarat adanya
sebuah akad (Syarth al-in-aqod). Syarat adanya akad adalah sesuatu yang
mesti ada agar keberadaan suatu akad diakui syara’. Syarat ini terbagi dua,
yakni syarat umum dan syarat khusus. Syarat umum adalah syarat yang hars ada
pada setiap akad.
Syarat umum ada tiga yaitu:
a.
Syarat-syarat
yang harsu dipenuhi pada tiga rukun akad, yaitu shighat, ma’qud alaih dan
aqidain,
b.
Akad itu
bukan akad yang terlarang, dan
c.
Akad itu
harus bermanfaat.
Syarat khusus
adanya sebuah akad adalah syarat tambahan yang harus dipenuhi oleh suatu akad
khusus seperti adanya saksi pada akad nikah.
2.
Syarat sah akad. Secara umum para
ulama menyatakan bahwa syarat sahnya akad adalah tidak terdapatnya enam hal
perusak sahnya (mufsid) dalam akad, yaitu: ketidakjelasan jenis yang menyebabkan
pertengkaan, adanya paksaan, membatasi kepemilikian terhadap suatu barang,
terdapat unsur tipuan, dan terdapat bahaya dalam pelaksanaan akad.
3.
Syarat
berlakunya (nafidz) akad. Syarat ini bermaskud berlangsungnya akad tidak
tergantung pada izin orang lain. Syarat berlakunya sebuah akad yaitu:
a.
Adanya
kepemilikan terhadap barang atau adanya otoritas untuk mengadakan akad.
b.
Pada barang
atau jasa tersebut tidak terdapat hak orang lain.
4.
Syarat adanya
kekuatan hukum (Luzum Abad) suatu akad baru bersifat mengikat apabila ia
terbebas dari segala macam hak khiyar.[3]
1.
Dari segi
subyek akad atau para pihak yang membuat perjanjian:
a.
Para pihak
harus cakap melakukan perbuatan hukum, artinya orang dewasa dan bukan mereka
yang secara hukum berada di bawah pengampuan atau perwalian. Seseorang yang
belum dewasa atau berada di bawah perwalian, di dalam melakukan perjanjian
wajib diwakili oleh wali atau pengampunya.
b.
Identitas
para pihak dan kedudukannya masing-masing dalam perjanjian harus jelas, apakah
bertindak untuk dirinya sendiri atau mewakili sebuah badan hukum.
c.
Tempat dan
syarat perjanjiandibuat untuk kebaikan, seyogyanya harus disebutkan dengan
jelas.
2.
Dari segi
tujuan dan objek akad:
a.
Disebutkan
secara jelas tujuan dari dibuatnya akad tersebut, misalnya bag hasil yang telah
dijelaskan oleh syariat Islam.
b.
Sekalipun
diberi kebebasan dalam menentukan obyek akad, namun jangan sampai menentukan suatu
obyek yang dilarang oleh ketentuan hukum Islam atau urf (kebiasaan) yang
sejalan dengan ajran Islam. Dengan kata lain, obyek akad harus halal dan thoyyib.
3.
Adanya
kesepakatan dalam hal yang berkaitan dengan:
a.
Waktu perjanjian;
baik bermula atau berakhirnya perjnajian, jangka waktu angsuran dan berakhirnya
harus diketahui dan disepakati sejak awal akad oleh bank dan nasabah. Tidak
boleh berubah di tengah atau ujung perjalanan pelaksanaan kesepakatan, kecuali
hal itu disepakatai oleh kedua belah pihak.
b.
Jumlah dana; dana
yang dibutuhkan nisbah atau margin yang disepakati, biaya yang
diperlukan dan hal-hal emergency yang memerlukan biaya lain.
c.
Mekanisme
kerja; disepakati sejauh mana kebolehan melakukan operasional pengawasan
dan penilain terhadap suatu usaha
(khususnya pembiayaan mudharabah dan musyarakah)
d.
Jaminan;
bagaimana kedudukan jaminan seberapa besar jumlah dan kegunaan jaminan tersebut
serta hal-hal lain yang berkaitan dengannya
e.
Penyelesaian;
bila terjadi penyelesaian atau tidak adanya kesesuaian antara 2 (dua) belah
pihak bagaimana cara penyelesaian yang disepakati, tahapan-tahapan apa yang
harus dilalui dan seterusnya.
f.
Obyek yang
diperjanjikan dan cara pelaksanannya.
4.
Adanya
persamaan/kesetaraan/kesederajatan/keadilan:
a.
Dalam hal
menentukan hak-hak dan kewajiban antara bank dan nasabah
b.
Dalam
penyelesaian ketika mengalami kegagalan usaha dan jaminan
5.
Pilihan Hukum
Ditegaskan dengan jelas
pilihan hukum dalam akad tesbut.
Aplikasi dari prinsip perjanjian
syariah dalam operasional perbankan dapatdilihatpada
prinsip mudharabah. Prinsip mudharabah ini, dalam perbankan
digunakan unuk menerima simpananbaik dalam bentuk tabungan atau deposito dan
juga untuk melakukan pembiayaan.[4]
Sah atau tidak suatu akad dilihat
dari segi sifat dan hukumnya. Kontrak dibagikan kepada kontrak sah (sahih) dan kontrak tidak sah (ghair
shahih). Kontrak sah adalah kontrak yang memenuhi rukun dan
syarat-syaratnya. Hukum kontrak ini adalah berlaku kepada seluruh akibat hukum
kontrak baik yang bersifat khusus maupun bersifat umum yang ditimbulkan oleh
kontrak itu, saat itu juga, dan mengikat bagi pihak yang melakukannya.
Kontrak tidak sah adalah kontrak
yang terdapat kekurangan pada rukun atau syarat-syaratnya. Hukum kontrak ini
adalah bahwa semua akibat secara hukum yang ingin ditimbulkan dari kontrak itu
tidak berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang berkontrak.[5]
Menurut ulama mazhab Hanafi, kontrak
tidak sah terbagi menjadi dua, yaitu
kontrak yang batal (batil) dna kontrak yang rusak (fasid).
Kontrak yang batal adalah kontrak yang mengandung cacat paa rukun atau
objeknya. Misalnya kontrak yang dilakukan oleh orang yang tidak cakap dalam
hukum atau kontrak yang objeknya tidak dapat diterima oleh hukum kontrak
seperti barang yang diharamkan. Kontrak batal dianggap tidak pernah terjadi
menurut hukum, walaupun secara nyata pernah terjadi. Sedangkan kontrak fasid
adalah kontrak yang pada dasarnya dibenarkan oleh hukum namun kontrak tersebut
disertai hal-hal yang tidak dibenarkan oleh hukum.
Khiyar dan fasakh, al-khiyar dalam
bahasa Arab berarti pilihan seseorang terhadap sesuatu yang dipandangnya baik.
Secara terminologi para ahli hukum Islam mendefinisikan al-khiyar dengan hak
pilih bagi salah satu atau kedua belash pihak yang melaksaakan kontrak untuk
meneruskan atau tidak meneruskan kontrak dengan mekanisme tertentu.
Pada dasarnya kontrak menurut hukum
Islam bersifat mengikat (lazim) dan tidak mengandung khiyar, untuk
menjamin stabilitas dan kepastian hukum dalam berkontrak. Namun demikian, mengingat
bahwa dalam setiapkontrak yang dilakukan disyaratkan ada kerelaan para pihak, maka
syariat Islam menetapkan hak khiyar yang fungsi utamanya adalah untuk menjamin
syarat kerelaan itu telah terpenuhi.
Pengertian fasakh ialah
melepaskan ikatan kontrak atau menghilangkan atau menghapuskan ikatan kontrak
secara menyeluruh seakan-akan kontrak tidak pernah terjadi. Dengan fasakh, para pihak yang berkontrak kembali ke
status semula sebelum kontrak terjadi. Demikian pula, objek kontrak. Barang
yang dijual sebagai contoh fasakh dalam kontrak jual beli, kembali
menjadi milik pembeli. Pemutusan kontrak dapat terjadi atas dasar kerelaan (al-tarāḍī) para pihak dan dapat pula terjadi secara
paksa atas dasar keputusan hakim (al-qaḍā).
Fasakh adakalanya wajib dan adakalanya jā’iz (boleh). Fasakh
wajib dilakukan dalam tujuan
menghormati peraturan syariah: misalnya fasakh
terhadap kontrak yang fāsid. Dalam hal ini fasakh
dilakukan untuk menghilangkan
penyebab ke-fāsid kontrak, menghormati ketentuan-ketentuan
syariah, melindungi kepentingan (maslahah)
umum maupun khusus, menghilangkan ḍarar (bahaya atau kerugian), dan menghindarkan
perselisihan akibat pelanggaran terhadap syarat-syarat yang ditetapkan syariah.
Adapun fasakh yang jā’iz ialah fasakh
yang dilakukan atas dasar
keinginan pihak-pihak yang berkontrak, misalnya fasakh disebabkan ada hak khiyār dan fasakh
yang berdasarkan atas kerelaan dan
persetujuan seperti iqālah.
Menurut hukum Islam, kontrak
berakhir disebabkan tujuan kontrak sudah terpenuhi (taḥqīq gharaḍ al-‘aqd), fasakh, infisakh, kematian
dan ketidakizinan (‘adam al-ijāzah) dari pihak yang
memiliki wewenang dalam kontrak mauqūf. Perkara yang
merusakkan kontrak, kontrak dipandang tidak sah atau
sekurang-kurangnya dapat dibatalkan apabila terdapat
hal-hal sebagai berikut: 1) Keterpaksaan/Duress (al- Ikrāh); 2)
Kesalahan mengenai objek kontrak (ghalat); 3) Penipuan (tadlīs) atau ketidak
pastian (taghrīr) pada objek kontrak.
1. Konsep simpanan
(depository/al-wadī‘ah)
2.
Jual-beli
a.
Al-Murābaḥah
b.
Al-Salam
c.
Al- Sewa
al-Ijārah (operational lease and finacial lease)
3.
Jasa
a.
Al-Wakālah
b.
Al-
Rahn
c.
Al-Kafālah
d.
Al-Ḥiwālah
BAB III
PENUTUP
Islam
melindungi hak milik umum dan hak milik pribadi. Namun
demikian, Islam hanya melindungi harta yang didapat dengan cara yang dibenarkan (halal).
Islam sangat memperhatikan sah ataupun tidaknya sebuah kontrak, karena itu fikih telah menjelaskan secara terperinci rukun dan syarat kontrak, hal itu dimaksudkan untuk menjamin kepentingan kedua belah pihak dan kesohihan kontrak menurut syariah.
Terdapat
keberagaman jenis akad dalam fikih, perbedaan pendapat
yang banyak berlaku di kalangan para fuqaha sesungguhnya
bukanlah menunjukkan tidak rapihnya sistem tersebut
tetapi sebagai rahmat kepada umat Islam untuk mencari manakah jalan penyelesaian alternatif yang paling baik dan relevan untuk dipraktikkan mengikuti perkembangan zaman. Bahkan dalam masa yang sama ia tidak pula keluar dari lingkup maksud nash yang telah di syariatkan oleh Allah SWT dan RasulNya.
Keberagaman
akad dalam fikih telah banyak digunakan dalam
perbankan syariah di Indonesia, praktik akad fikih tersebut disesuaikan mengikut perkembangan kontrak modern dengan tetap memperhatikan nilai-nilai kesyariahannya.
Sesungguhnya
makalah kami ini pastilah tidak luput dari kesalahan. Karenanya kami sungguh
sangat mengharapkan kritik dan saran dari segala pihak. Yang dapat lebih
membangun kami lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Antonio Syafii
,2001, Bank Islam, Jakarta: Gema insane Press.
Hirsanuddin,
2008, Hukum Perbankan Syariahdi Indonesia, Yogyakarta: Genta Press.
Sari Nilam,
2015, Kontrak (Akad) dan Impelementasinya pada Perbankan Syariah, Banda
Aceh: PeNA.
[1] Nilam Sari,
Kontrak (Akad) dan Implementasinya pada Perbankan Syaraih, ( Banda Aceh, 2015,
PeNA),hlm. 32.
[2]
Nilam Sari,
Kontrak (Akad) dan Implementasinya pada Perbankan Syaraih, ( Banda Aceh, 2015,
PeNA),hlm. 34.
[3] Hirsanuddin, Hukum
Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: 2008, Genta Press), hlm. 8.
[4] Ibid., hlm.
13.
[5]
Nilam Sari,
Kontrak (Akad) dan Implementasinya pada Perbankan Syaraih, ( Banda Aceh, 2015,
PeNA),hlm. 41.
[6] Syafi’I
Antonio, Bank Syariah,(Jakarta: 2001, Gema Insani Press), hlm. 131,
Komentar
Posting Komentar