PENCEGAHAN DAN BATAS USIA PERKAWINAN
MAKALAH
PENCEGAHAN DAN BATAS USIA PERKAWINAN
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Fiqh
Munakahat”
Dosen Pengampu: Dr. Musawar, M.Ag
1.
Suci Ramadhani
Putri (170201027)
2.
Maria Ulfa (1702010
3.
Eva Septiana (1702010
JURUSAN
MUAMALAH
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM
2018/2019
KATA
PENGANTAR
Assalamu’alaikum
wr.wb.
Puji syukur kami panjatkan kehadirat
Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga
kami berhasil menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat dan salam senantiasa kita haturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang
telah membawa kita dari alam yang gelap gulita menuju alam yang terang benderang. Dan
semua perkataan, perbuatan, pengakuan dan sifatnya adalah panutan bagi semua umatnya.
Makalah ini disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah “Fiqh
Munakahat" pada jurusan Muamalah, Universitas Islam
Negeri (UIN)
Mataram. Makalah ini berjudul
“Pencegahan dan Batas Usia
Perkawinan” yaitu yang akan membahas bagaimanakah pencegahan pernikahan ditinjau dari
aspek hukum positif dan hukum Islam, dan juga bagaimana ketentuan mengenai
batas usia perkawinan ditinjau dari aspek hukum positif dan aspek hukum Islam.
Demikianlah yang dapat kami sampaikan, kurang lebihnya kami mohon
maaf bila ada salah-salah kata. Sesungguhnya segala kekurangan dan kesalahan
itu datangnya dari kami sendiri. Sedangkan segala kelebihan itu datangnya dari
Allah SWT semoga Allah SWT meridhai kita. Tiada gading yang tak retak. Sekian.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
Mataram, 30 Oktober 2018
Kelompok 05
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Perkawinan
adalah sesuatu yang dianggap sangat sakral bagi manusia. Karena dengan perkawinan bisa tercipta
kebahagiaan yang tiada tara jika keluarga yang dijalani adalah keluarga yang sakinah
mawaddah warahmah. Saking sakralnya sebuah perkawinan maka terdapat
syarat-syarat tertentu yang harus ditaati saat akan melangsungkannya. Diantara
syaratnya itu adalah telah mencapai batas usia.
Batas usia penting bagi sebuah perkawinan karena tingkat kedewasaan
berpikir seseorang salah satunya bisa dilihat dari berapa usia seseorang.
Diharapkan dengan dewasanya berpikir seseorang maka akan tercipta keluarga yang
sakinah mawaddah warahmah. Lantaran terdapat pemikiran yang matang
dahulu sebelum mengambil sebuah keputusan. Hal ini penting baik bagi perempuan
maupun laki-laki. Karena bagaimanapun laki-laki adalah nahkoda atau pemimpin
dari sebuah bahtera yang disebut dengan bahtera rumah tangga. Begitu juga
dengan perempuan, karena bagaimanapun perempuan adalah pengelola harta dari
suaminya.
Namun, yang perlu di catat di sini, selain usia perkawinan juga terdapat
syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi untuk bisa melaksanakan sebuah
perkawinan. Yang jika diantara syarat-syarat itu tidak terpenuhi maka
perkawinan itu dapat dicegah. Pencegahan ini dimaksudkan agar tercipta
kemaslahatan dan menghindari kemudharatan jika sebuah perkawinan itu tetap
dilangsungkan.
1. Apa yang dimaksud dengan pencegahan perkawinan?
2. Bagaimanakah pencegahan perkawinan ditinjau menurut hukum positif?
3. Bagaimanakah pencegahan perkawinan menurut fikih?
4. Berapakah batas usia perkawinan ditinjau menurut hukum positif?
5. Berapakah batas usia perkawianan ditinjau menurut fikih?
1. Agar mengetahui apa yang dimaksud dengan pencegahan perkawinan.
2. Agar mengetahui bagaimanakah pencegahan perkawinan ditinjau menurut hukum
positif.
3. Agar mengetahui bagaimanakah pencegahan perkawinan menurut fikih.
4. Agar mengetahui berapakah batas usia perkawinan ditinjau menurut hukum
positif.
5. Agar mengetahui berapakah batas usia perkawianan ditinjau menurut fikih.
BAB II
PEMBAHASAN
Yang dimaksud dengan pencegahan perkawinan adalah usaha yang menyebabkan
tidak berlangsungnya perkawinan. Berbeda dengan pembatalan perkawinan,
pencegahan itu berlaku sebelum terjadinya perkawinan sedangkan pembatalan
adalah usaha untuk tidak dilanjutkan hubungan perkawinan setelah sebelumnya
perkawinan itu telah terjadi secara sah. Pencegahan ini bertujuan untuk
menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum Islam dan peraturan
perundang-undangan.[1]
Kitab-kitab fikih tidak membicarakan
pencegahan perkawinan itu secara khusus dalam bahasa tertentu. Meskipun
demikian, usaha-usaha untuk tidak terjadinya perkawinan terdapat dalam fikih
dan dibicarakan secara sporadis dalam bahasan terpisah-pisah.
Pada dasarnya perkawinan dapat dilangsungkan
bila sudah ada sebab-sebab, rukun, dan syaratnya serta sudah tidak ada lagi
hal-hal yang melarang terjadinya perkawinan itu. Pihak-pihak yang akan
melangsungkan perkawinan itu sudah mengevaluasi sendiri segala persyaratan kelangsungan perkawinan itu. Umpamanya saksi
tidak akan mau meyaksikan suatu perkawinan bila ia yakin bahwa laki-laki dan
perempuan terlarang untuk melangsugkan perkawinan. Begitu pula wali tidak akan
melaksanakan perkawinan jika ia tau calon menantunya itu tidak seagama.[2]
Seorang perempuan yang sudah dicerai suami dan masih berada dalam iddah harus menolak dilangsungkannya perkawinan
bila ia meyakini bahwa ia masih berada dalam masa iddah. Begitu pula wali yang masih berada dalam ihram dapat menolak melngsungkan
perkawinan dengan penjelasan bahwa ia masih berada dalam ihram. Karena bebasnya
dari ihram itu menjadi salah satu syarat bagi wali yang akan menikahkan anak
perempuannya.
Pencegahan perkawinan dalam kitab-kitab fikih biasa disebut اعتراض yang berarti intervensi atau
penolakan atau pencegahan. Hal tersebut biasanya berkenaan dengan masalah
kafaah dan mahar.[3]
Kafaah dan mahar merupakan harga diri dan gengsi dalam suatu keluarga. Pihak
keluarga perempuan merasa harga dirinya jatuh apabila anak perempuannya kawin
dengan laki-laki yang tidak sekufu atau status sosialnya lebih rendah. Demikian
pula mahar yang diterima anak perempuan lebih rendah dari apa yang diterima
oleh anggota keluarganya yang lain akan merasa harga dirinya jatuh. Untuk
menjaga gengsi atau harga diri itu dia akan mengajukan keberatan untuk
melangsungkan perkawinan.[4]
Anak perempuan dan para walinya mempunyai hak
yang sama dalam hak kafaah dan mahar itu. Ulama yang membolehkan perempuan
dewasa mengawinkan dirinya sendiri seperti dikalangan ulama Hanafiyah dan
Syi’ah, bila si anak perempuan mengawinkan dirinya dengan laki-laki yang tidak
sekufu dengannya, wali yang juga memiliki hak atas kafaah berhak mengajukan
pencegahan perkawinan. Demikian pula bila anak perempuan itu mengawinkan dirinya
dengan mahar yang kurang dari mahar mitsl, wali dapat mengi’tiradh.
Sebaliknya dikalangan ulama yang mengharuskan
perkawinan itu dilaukan oleh wali dan anak yang kawin harus dimintai
persetujuannya, wila wali akan mengawinkannya dengan laki-laki yang tidak
sekufu dengannya, si perempuan boleh menyampaikan keberatan atau tidak memberi
izin untuk melaksanakan untuk pelaksanaan perkawinan. Demikian pula bila ia
akan dikawinkan dengan mahar yang kadarnya dibawah mahar mitsl dan ia tidak mau, maka perempuan yangakan
dikawinkan itu dapat mengajukan keberatannya. Yang demikian disebut dengan
pencegahan. Bila kedua pihak yang sama berhak itu tidak sepakat, seperti yang
satu mengatakan telah memenuhi kriteria kafaah sedangkan yag lain mengatakan
belum, mesti diselesaikan dengan pihak ketiga dalam hal ini adalah hakim di
pengadilan.
Dalam pandangan ulama fikih, urusan perkwinan
itu adalah urusan pribadi atau keluarga dan orang luar tidak dapat terlibat
didalamya, kecualikalau dilibatkan.
Dalam Syarh Minhaj
karangan al-Nawawiy disebutkan bahwa bila seseorang dimintai pandangan dan
pendapatnya tentang seorang laki-laki yang melamar anaknya ia harus menyebutkan
segi-segi negatif dari calon menantunya itu secra objektif. Dalam tidak
dimintai pendapat seseorang hanya dapat menyampaikan fakta yang dapat
dipertanggungjawakan tentang dipenuhi atau tidaknya syarat perkawinan.[5]
Contoh dalam hal yang disebutkan di atas
umpamanya seseorang yang meyakini pasangan yang akan kawin itu adalah saudara
susuan, ia wajib menyampaikannya sebelum terjadinya perkawinan, namun secara
langsung ia tidak dapat mencegah terjadinya perkawinan.
Dalam pasal 13 UU No. 1 Tahun 1974
dirumuskan”Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi
syarat-syarat melangsungkan perkawinan”. [6]
Ada dua syarat penting yang apabila tidak dipenuhi, perkawinan
dapat dicegah. Pertama, syarat materiil dan kedua syarat kedua administaratif. Contoh
syarat materill yaitu misalnya yang terdapat dalam Pasal 8 UU No. 1 Tahun 1974.
Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
a.
Berhubungan
darah dalam garis keturunan lurus ke bawah maupun ke atas.
b.
Berhubungan
darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang
dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neenknya.
c.
Berhubungan
semenda,yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri.
d.
Berhubungan
susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan, dan bibi/paman
susuan.
e.
Berhubungan
saudara dengan istri atau sebagai bibiatau kemenakan dari istri dalam hal
serang suami beristri lebih dari seorang.
f.
Mempunyai
hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
Juga dalam
pasal 9, 10 UU No. 1 Tahun 1974 jo, Pasal
40,41, 42, 43, dan 44 KHI di Indonesia. Selain itu, persyaratan yang ditentukan
oleh hukum agama, yang mana syarat-syarat tersebut melekat pada setiap rukun
perkawinan, yang meliputi calon kedua mempelai, saksi, wali, dan pelaksanaan
akad nikahnya, juga harus diperhatikan. Selain itu,
syarat administratif juga harus dipenuhi. Oleh karena itu, pasal 3 PP No 9 Tahun 1975.
Dalam pasal 8 PP No. 9 Tahun 1975 dinyatakan, “Setelah dipenuhinya tata
cara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada sesuatu halangan perkawinan,
Pegawai Pencatat menyelenggarakan pengumuman tentang kehendak melangsungkan
perkawinan dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang
dtetapkan pada kantor Pencatatan Perkawinan pada suatu tempat yang sudah
ditentukan dan mudah dibaca oleh umum”.[7]
Hal ini dimaksudkan apabila ada pihak-pihak yang merasa keberatan dapat
melakukan pencegahan, agar tidak terjadi perkawinan yang dilangsungkan,
bertentangan dengan hukum Islam dan perundang-undangan. Namun demikian, menurut
bunyi pasal 61 KHI, “Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah
perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilau
al-din”.
Agar di dalam upaya pencegahan perkawinan tidak menimbulkan kerancuan,
Undang-undang perkawinan dan Kompilasi mengatur siapa-siapa yang berhak untuk
mengajukan pencegahan perkawinan tersebut. Pasal 14 UU No.1 Tahun 1974 menyatakan:
a. Yang dapat mencegah perkawinan ialah
kelurga dalam garis keturunan ialah keluargadalam garis keturunan lurus ke atas
dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon
mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan,
b. Mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah
berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada di
bawah pengampuan, sehiingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata
mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya, yang mempunyai
hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam ayat (1) pasal ini.
Kompilasi Hukum Islam pada prinsipnya menguatkan apa yang telah ditegaskan
UU Perkawinan tersebut. Penjelasan Pasal 62 ayat (2) menambahkan “Ayah kandung
yang tidak pernah melaksanakan fungsinya sebagai kepala keluarga tidak gugur
hak kewaliannya untuk mencegah
perkawinan yang akan dilakukan oleh wali nikah yang lain”.
Pasal 16 UU Perkawinan menegaskan bahwa:
a. Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah perkawinan apabila
ketentuan-ketentuan dalam pasal 7 ayat (1), pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal
11, dan pasal 12 undang-undang tidak dipenuhi.
b. Mengenai pejabat yang ditunjuk sebagaimana tersebut pada ayat (1), pasal ini diatur lebih lanjut dalam
perundang-undangan.
Dengan demikian, maka Pegawai Pencatatan Nikah mempunyai tugas ganda,
selain sebagai petugas yang ditunjuk untuk mencatat erkawinan, ia juga ditugasi
untuk mengawasi apakah ada larangan perkawinan antara calon mempelai atau
tidak. Apabila Pegawai Pencatat Nikah berpendapat bahwa terhadap
perkawinan tersebut ada larangan menurut
undang-undang, maka ia akan menolak untuk melangsungkan perkawinan. Hal ini
diatur dalam pasal 21 UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 69 Kompilasi.
Mengenai tata cara prosedur pencegahan perkawinan diatur dalam pasal 17
Undang-undang No. 1Tahun 1974 jo. Pasal 65.
a. Pencegahan perkawinan diajukan kepada pengadilan dalam daerah hukum di mana
perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada balai pencatat
perkawinan.
b. Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan pencegahan
perkawinan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini oleh Pegawai Pencatatan
Perkawinan.
Apabila pencegahan dilakukan oleh pegawai pencatat, caranya seperti diatur
dalam pasal 17 di atas, diberikan dalam suatu keterangan tertulis disertai
dengan alasan-alasan penolakannya. Selanjutnya, apabila pihak-pihak yang
ditolak rencana perkawinannyamengajukan keberatan, mereka mengajukan pengadilan
agama, seperti diatur dalam pasa 69 ayat (3) dan KHI jo.pasal 21 ayat (3) dan
(4).[8]
Pasal 21 UU No. 1 Tahun 1974:
a. Para pihak yang perkawinannya ditolak, berhak mengajukan permohonan kepada
pengadilan di dalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan
penolakan berkedudukan untuk memberikan putusan, dengan menyerahkan surat
keterangan penolakan tersebut di atas.
b. Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan
memberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakan tersebut ataukah
memerintahkan,agar perkawinan dilangsungkan.
c. Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang
mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan para pihak yang ingin kawin dapat
mengulangi pemberitahuan tentang maksud mereka.
Dalam perspektif metodologis, langkah yang ditempuh dalam Undang-undang
perkawinan maupun dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dapat dikartegorikan
sebagai sadduz dzari’ah (menutup kemungkinan terjadinya bahaya), atau
sebaliknya fathuz dzari;ah (membukaperantara yang dapat mewujudkan
kemaslahatan) bagi kedua mempelai dan masyarakat pada umumya. Ini karena pengaturan prosedur tata cara pengajuan pencegahan
perkawinan, murni bersifat ijtihadiyah yang bermuara kepada terwujudnya
tujuan perkawinan itu sendiri.[9]
Di dalam UU No. 1Tahun 1974
disebutkan mengenai ketentuan batas usia perkawinan yaitu:
Pasal 1 menyebutkan bahwa “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak
pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai
umur 16 (enam belas) tahun.”
Pasal 2 menyebutkan bahwa “Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (
1) pasal ini dapat memi nta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain,
yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.”
Hal ini juga sebagaimana yang tercantum dalam Kompilasi Hukum
Islam pasal 15 ayat (1) yang menyebutkan
bahwa “Untuk kemaslahatan keluarga dan
rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah
mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974 yakni
calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri
sekurangkurangnya berumur 16 tahun.”
Al-Qur’an secara konkrit tidak menentukan batas usia bagi pihak
yang akan melangsungkan pernikahan.
Batasan hanya diberikan berdasarkan kualitas yang harus dinikahi oleh mereka sebagaimana
dalam surat an-Nisa’ ayat 6:
(#qè=tGö/$#ur 4yJ»tGuø9$# #Ó¨Lym #sÎ) (#qäón=t/ yy%s3ÏiZ9$# ÷bÎ*sù Läêó¡nS#uä öNåk÷]ÏiB #Yô©â (#þqãèsù÷$$sù öNÍkös9Î) öNçlm;ºuqøBr&
Artinya: Dan ujilah anak yatim itu
sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka
telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka
harta-hartanya.
Yang dimaksud
dengan sudah cukup umur untuk menikah dalam ayat di atas adalah setelah timbul keinginan untuk
berumah tangga, dan siap menjadi suami
dan memimpin keluarga. Hal ini tidak akan bisa berjalan sempurna, jika dia belum
mampu mengurus harta kekayaan.
Berdasarkan
ketentuan umum tersebut, para fuqaha sepakat menetapkan seseorang diminta
pertanggungjawaban atas perbuatannya dan mempunyai kebebasan menentukan
hidupnya setelah cukup umur (baligh). Baligh berarti sampai atau jelas. Yakni
anak-anak yang telah mencapai usia tertentu yang jelas baginya segala urusan
dan persoalan yang dihadapi. Firman Allah Swt dalam Qs. An-Nur: 59.
#sÎ)ur x÷n=t/ ã@»xÿôÛF{$# ãNä3ZÏB zOè=ßsø9$# (#qçRÉø«tFó¡uù=sù $yJ2 tbxø«tGó$# úïÏ%©!$# `ÏB öNÎgÎ=ö6s% 4 Ï9ºxx. ßûÎiüt7ã ª!$# öNà6s9 ¾ÏmÏG»t#uä 3 ª!$#ur íOÎ=tæ ÒOÅ6ym ÇÎÒÈ
Artinya: “Dan
apabila anak-anakmu telah sampai umur balig, Maka hendaklah mereka meminta
izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin[1049]. Demikianlah
Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
(Qs. An-Nur: 59)
Periode baligh
adalah masa kedewasaan hidup seseorang. Tanda-tanda mulai kedewasaan, apabila telah mengeluarkan
air mani bagi laki-laki dan apabila
telah mengeluarkan darah haid atau telah hamil bagi orang perempuan.
BAB
III PENUTUP
Pencegahan perkawinan adalah usaha yang
menyebabkan tidak berlangsungnya perkawinan.
Pencegahan perkawinan dalam kitab-kitab fikih biasa disebut اعتراض yang berarti intervensi atau
penolakan atau pencegahan. Hal tersebut biasanya berkenaan dengan masalah
kafaah dan mahar.
Dalam pasal 13 UU No. 1 Tahun 1974 dirumuskan”Perkawinan dapat dicegah,
apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat
melangsungkan perkawinan”. Ada dua syarat penting yang apabila tidak dipenuhi,
perkawinan dapat dicegah. Pertama, syarat materiil dan kedua syarat kedua
administaratif.
Di dalam UU No. 1Tahun 1974 disebutkan mengenai ketentuan batas usia
perkawinan yaitu: Pasal 1 menyebutkan bahwa “Perkawinan hanya diizinkan jika
pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah
mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
Para fuqaha sepakat menetapkan
seseorang diminta pertanggungjawaban atas perbuatannya dan mempunyai kebebasan
menentukan hidupnya setelah cukup umur (baligh). Baligh berarti sampai atau
jelas. Yakni anak-anak yang telah mencapai usia tertentu yang jelas baginya
segalaurusan dan persoalan yang dihadapi.
Sesungguhnya makalah kami ini pastilah tidak
luput dari kesalahan. Karenanya kami sungguh sangat mengharapkan kritik dan
saran dari segala pihak. Yang dapat lebih membangun kami lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Rofiq, Ahmad, 2017, Hukum Perdata Islam di
Inonesia, Jakarta: Raja Grafindo.
Simanjuntak,2016, Hukum Perdata
Indonesia, Jakarta: Kencana.
Syarifuddin, Amir, 2014, Hukum Perkawinan
Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana.
[1] Ahmad Rofiq, Hukum
Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2017), hlm. 115.
[2] Amir
Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2014), hlm. 151.
[3] Amir
Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2014), hlm. 151.
[4] Ibid., hlm.
151.
[5]
Amir
Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2014), hlm. 152.
[6] Simanjuntak, Hukum
Perdata Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2016), hlm. 56.
[9] Ahmad Rofiq, Hukum
Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo, 2017), hlm. 120.
Komentar
Posting Komentar