LEPASNYA PULAU SIPADAN LIGITAN DALAM KONTEKS KEDAULATAN NEGARA


MAKALAH
LEPASNYA PULAU SIPADAN LIGITAN DALAM KONTEKS KEDAULATAN NEGARA
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Hukum Internasional”
Dosen Pengampu: Sri Karyati, MH



  Suci Ramadhani P.   (170201027)
Ismiani                        (170201033)
Dedi Hardianto          (170201036)   
Dewi Agustia             (170201039)
Dewi PuspaW.           (170201041)
Indrtiatul Aini           (170201004)
Afriansyah                 (170201008)
Reni Muliani              (170201034)
Siti Juria Arianti       (170201003)
Maria Ulfa                 (170201024)


JURUSAN MUAMALAH
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM
2018/2019

KATA PENGANTAR


Assalamu’alaikum wr.wb.
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat dan salam senantiasa  kita haturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam yang gelap gulita menuju alam yang terang benderang. Dan semua perkataan, perbuatan, pengakuan dan sifatnya adalah panutan bagi semua umatnya.
 Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Internasional" pada jurusan Muamalah, Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram. Makalah ini berjudul Lepasnya Pulau Sipadan Ligitan Dalam Konteks Kedaulatan Negara”. Dan berdasarkan diskusi dan analisis pengamatan kami, kami dari kelompok 03 sepakat menyatakan pro dengan sikap Indonesia yang dengan lapang dada menerima keputusan dari ICJ/MI yang memutuskan bahwa pulau Sipadan dan Ligitan bukanlah milik Indonesia namun adalah milik dari Malaysia.
Demikianlah yang dapat kami sampaikan, kurang lebihnya kami mohon maaf bila ada salah-salah kata. Sesungguhnya segala kekurangan dan kesalahan itu datangnya dari kami sendiri. Sedangkan segala kelebihan itu datangnya dari Allah SWT semoga Allah SWT meridhai kita. Tiada gading yang tak retak. Sekian.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
                                                            Mataram, 06 November  2018
                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Kelompok 03

DAFTAR ISI


DAFTAR PERTANYAAN……………………………………………………………..….23


BAB I  

PENDAHULUAN


Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia,  dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status quo. Akan tetapi, pihak Malaysia membangun resort parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia. Karena, Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati atau diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai. Dan akhirnya persengketaan ini pun dibawa kehadapan ICJ. Maka yang akan kami bahas di makalah kami.
1.      Bagaimana sejarah awal terjadinya sengketa pulau Sipadan dan Ligitan?
2.      Bagaimana hasil putusan dari MI/ICJ mengenai sengketa pulau Sipadan dan Ligitan
3.      Bagaimana Pengaruh putusan MI/ICJ bagi kedaulatan wilayah Indonesia?
4.      Bagaimana menjaga dan mempertahankan kedaulatan Indonesia?




1.      Mengetahui bagaimana sejarah awal terjadinya sengketa pulau Sipadan dan Ligitan.
2.      Mengetahui bagaimana hasil putusan dari MI/ICJ mengenai sengketa pulau Sipadan dan Ligitan.
3.      Mengetahui bagaimana Pengaruh putusan MI/ICJ bagi kedaulatan wilayah Indonesia.
4.      Mengetahui bagaimana menjaga dan mempertahankan kedaulatan Indonesia.

 

 

 

 

 

 

 

 


 


BAB II  

KAJIAN PUSTAKA


A.    Kedaulatan
Menurut Mochtar Kusumaatmadja dalam buku Pengantar Hukum Internasional mengatakan bahwa: “Kedaulatan  negara merupakan suatu sifat atau ciri hakiki dari suatu negara, dimana negara tersebut berdaulat, tetapi mempunyai batas-batasnya yaitu ruang berlakunya kekuasaan tertinggi ini dibatasi oleh batas- batas wilayah negara itu, diluar wilayahnya negara tersebut tidak lagi memiliki kekuasaan demikian.
B.     Wilayah Perairan
Lautan atau perairan territorial merupakan bagian wilayah dari suatu negara. Sehubungan dengan itu terdapat dua konsepsi pokok tentang wilayah laut yaitu : Res Nullius, menyatakan bahwa laut yang tidak ada pemiliknya dapat diambil dan dimiliki oleh tiap-tiap negara. Res Communis, menyatakan bahwa laut adalah milik bersama masyarakat dunia sehingga dapat diambil atau dimiliki oleh tiap-tiap Negara
Menurut konsep umum, demi menunjang keselamatan negara, setiap negara berhak atas bagian tertentu laut yang berbatasan dengan wilayah daratan negaranya sebagai bagian wilayah teritorialnya. dalam hal ini, yang diberlakukan adalah semua ketentuan atau peraturan negaranya. Batas laut territorial sesuai dengan Territoriale Zee en Maritim Kringen Ordonantie 1939. yaitu lebar laut wilayah Indonesia adalah 3 mil diukur dari garis pantai terendah pada tiap-tiap pulau Indonesia. Teori ini diajarkan oleh ahli hukum Belanda, yaitu Bynkershoek. Pada zaman pemerintahan Hindi Belanda terdapat suatu konsepsi peraturan tentang wilayah laut Indonesia, yaitu setiap pulau atau sekelompok pulau di Indonesia memilki wilayah laut tersendiri. Peraturan ini mengakibatkan terpisahnya antar pulau dan sekelompok pulau yang satu dengan yang lain. Secara geografis, hal tersebut tidak mendukung asas “Negara kesatuan” seperti yang dimaksud dalam pasal 1 UUD 1945, stelah merdeka dan berdaulat penuh, Indonesia mempunyai hak mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan keamanan dan keselamatan negara. Langkah selanjutnya, pada tanggal 13 Desember 1957 pemerintah Indonesia megumumkan Deklarasi Djuanda yang menetapkan lebar laut wilayah Indonesia 12 mil diukur dari garis pantai. Konsep ini kemudian menjadi pangkal tolak terwujudnya konsep Wawasan Nusantara.
Penentuan batas-batas laut dapat kita ketahui dalam bentuk traktat multilateral sebagai berikut :
1.      Batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
ZEE merupakan wilayah laut dari suatu negara yang batasnya 200 mil laut dari garis pantai. Dalam wilayah itu, Negara mempunyai hak untuk meggali kekayaan alam dan melakukan kegiatan ekonomi. negara lain bebas berlayar dan melakukan penerbangan di atas wilayah itu serta bebas memasang kabel dan pipa di bawah lautan tersebut. negara pantai yang bersangkutan berhak menagkap nelayan asing yang ketahuan menangkap ikan dalam ZEE-nya. 
2.      Batas Laut Teritorial
Tiap-tiap negara mempunyai kekuasaan terhadap laut territorial hingga 12 mil dari garis pantai. 
3.      Batas Zona Bersebelahan
Penentuan batas zona bersebelahan adalah sejauh 12 mil laut di luar batas laut territorial atau 24 mil lautdari garis pantai. Dalam wilayah ini, negara dapat menindak pihak-pihak yang melakukan pelanggaran terhadap undang-undang imigrasi, fiscal, dan bea cukai. 
4.      Batas Landasan Benua
Batas landas benua yaitu sejauh lebih dari 200 mil laut. Dalam wilayah ini, negara dapat melakukan eksplotasi dari ekplorasi dengan kewajiban membagi keuntungan dengan masyarakat Internasional.  Bebas dan dapat dipergunakan oleh siapapun. 

BAB III

PEMBAHASAN


Indonesia memiliki pulau-pulau yang tersebar dari belahan barat sampai timur dari Sabang disebelah barat dan Merauke disebelah Timur. Indonesia memiliki setidaknya 17.504 pulau yang tersebar. Dari jumlah pulau-pulau yang ada di Indonesia tersebut, hanya sebagian saja yang sudah diberi nama, dan sebagiannya lagi bahkan masih banyak yang belum diberi nama. Pulau-pulau baik terluar maupun terdalam merupakan suatu wilayah Negara yang perlu dijaga keutuhannya, karena wilayah adalah cirri keutuhan suatu Negara. Dengan adanya wilayah, Negara tersebut berdaulat. Dengan adanya wilayah yang berdaulat, menjadi tempat untuk orang-orang yang ada didalamnya menjalani kehidupan.
Pulau Sipadan dan ligitan merupakan dua pulau berpenduduk dari rangkaian kepulauan yang terletak di Selat Makasar, di perbatasan antara kalimantan timur dan Sabah (Malaysia Timur). Pulau Sipadan memiliki luas 50000 m2 dan dengan luas 10,4 ha terletak 15 mil laut (sekitar 24 km) dari pantai sabah (malaysia) dan 40 mil laut (sekitar 64 km) dari pantai pulau sebatik (Indonesia). Sementara Pulau Ligitan merupakan gugus pulau karang seluas 18.000m2 dan luas 7,9 ha yang terletak 21 mil laut (34 km) dari pantai daratan Sabah dan 57,6 mil (93 km) dari pantai Pulau Sebatik diujung timur laut pulau Kalimantan / Borneo ini luasnya 7,9 Ha.
Sejarah konflik pulau Sipadan dan Ligitan ini secara sederhana mengandung makna tradisional sekaligus modern. Secara tradisional, sengketa tersebut merupakan akibat dari kolonialisme masa lalu yang melanda kawasan Asia Tenggara. Inggris yang menjajah Malaysia dan Belanda yang menjajah Indonesia menyisakan garis perbatasan yang tidak tegas ketika mereka meninggalkan tanah jajahannya. Akar atau awal dari konflik pulau Sipdan dan Ligitan ini memang berawal dari masa colonial, namun bukan berarti pada masa itu terjadi perselisihan antara Jepang dan Belanda. Namun lebih tepatnya adalah peristisiwa pengekplorasian oleh Jepang Belanda inilah yan kemudian dipermasalahkan oleh Negara merdeka hasil jajahannya yang demi kepentingan kedaulatan terhadap kepemilikan pulau Sipadan dan Ligitan.  Dalam konteks modern, sengketa pulau Sipadan-Ligitan ini tidak bisa dilepaskan dari kepentingan nasional suatu Negara akan sumber daya alam yang dikandungnya. Negara modern selalu berupaya mencari tambahan penghasilan nasional melalui eksplorasi sumber daya alam. Hangatnya sengketa antara Malaysia dan Indonesia ini bisa dikatakan mulai memuncak pada decade delapan puluhan ketika di dua pulau itu dijumpai potensi pariwisata bawah air yan luar biasa bagusnya. Didorong oleh potensi tersebut, Malaysia membangun kompleks pariwiasata di pulau Sipadan,menurut survey yang dilakukan oleh beberapa lembaga di dunia, pemandanan bawah laut yang ada di pulau sipadan, konon memiliki nilai terbaik di dunia.[1]
Pada awalnya pulau Sipadan-Ligitan merupakan wilayah kesatuan Republik Indonesia dan menjadi sengketa wilayah antara Indonesia dan Malaysia. Konflik bermula ketika Indonesia dan Malaysia menyelenggarakan pertemuan teknis hukum laut pada tahun 1967. Perselisihan pendapat mulai mencuat dua tahun berikutnya, yaitu tahun 1969 ketika kedua negara merundingkan penetapan batas landas kontinen. Indonesia dan Malaysia saling meng-klaim dan menyatakan kedua pulau itu merupakan bagian integral dari wilayah negaranya. Pada awalnya pemerintah indonesia bersikap lunak dan beralasan, tidak tepat untuk bertindak dengan keras dengan Malaysia karena menyusul persetujuan rujuk kedua negara 11 Agustus 1966.[2]
Sementara itu yang menjadikan dasar klaim Indonesia atas Sipadan dan Ligitan adalah isi dari Pasal IV Konveksi Belanda dan Inggris tahun 1891 yang di tanda tangani di London, dalam pasal itu menyatakan bahwa kedua negara itu sepakat bahwa batas antara jajahan Belanda dan negara-negara yang dilindungi Inggris di pulau yang sama di ukur dari titik 4 menit 10 detik lintang utara di pantai timur Kalimantan. Dari titik posisi itu lantas di tarik ketimur mengikuti garis paralel melintasi Pulau Sebatik. Bagian pulau yang terletak sebelah utara garis paralel sepenuhnya milik British North Borneo Company. Sedangkan Bagian selatan garis paralel menjadi hak milik Belanda. Berdasarkan kesepakatan itu, Pulau Sipadan dan Ligitan menjadi masuk ke wilayah Belanda dan di wariskan ke Indonesia yang merdeka pada tahun 17 Agustus 1945. Selain itu juga Indonesia meng-klaim kedua wilayah tersebut adalah wilayah milik Sultan Bulungan dan menjadi wilayah dari kerajaan Kutai di Kalimantan.
Sedangkan Malaysia juga memiliki dasar yang kuat untuk mendapatkan klaim kedua pulau tersebut yaitu dengan berdasar Traktat Paris tahun 1809 yang merupakan perjanjian perbatasan Malaysia dan Filipina. Kemudian perjanjian Spanyol-Amerika pada tahun 1900 dan perjanjian Inggris-Amerika Serikat pada tahun 1930. Selain dengan dasar perjanjian-perjanjian tersebut Sipadan dan Ligitan merupakan hak turun temurun dari Sultan Sulu yang menyerahkan kepada Spanyol, Amerika Serikat, Inggris dan kemudian kepada Malaysia setelah memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1963. Sehingga Indonesia tidak cukup kuat untuk meng-klaim Sipadan dan Ligitan karena Indonesia setelah ditinggalkan Belanda, dan telah lama menelantarkan kedua pulau itu. Sesuai dengan aturan hukum internasional hak atas wilayah bisa diperoleh pihak ke tiga bila wilayah tersebut di telantarkan untuk kurun waktu tertentu oleh pemilik aslinya.
Lalu kemudian mengapa kemudian ICJ tidak mengacu pada konvensi Jenewayang menyatakan bahwa untuk Negara berkepulaun bahwa pulau yang dekat dengan wilayah negaranya adalah termasuk pula ke dalam wilayahnya. hal ini karena akar konflik dari pulau sipadan ligitan memang tidaklah bisa diselesaikan dengan konvensi jenewa. Karena substansi dari plau Sipadan dan Ligitan ini adalah memang pulau yang diperebutkan karena dekat dengan batas  kedua wilayah nega. Karena itulah kemudian ICJ menggunakan pertimbangan lain untuk menentukan status kepemilikan dari pulau Sipadan dan Ligitan.
Walaupun dilakukan dengan cara yang sangat hati-hati, namun perundingan bilateral tidak mampu menemukan titik temu bagi kedua negara untuk menyelesaikan konflik perebutan pulau Sipadan dan Ligitan, sehingga pada tahun 1988 indonesia dan Malaysia sepakat menempatkan kedua pulau pada kondisi “status quo”. Kesepakatan ini diambil ketika PM Mahathir Muhammad mengunjungi Jakarta padatahun 1988. Kesepakatan ini kemudian dikukuhkan saat Presiden Soeharto berkunjung ke Kuala Lumpur dua tahun berikutnya.
Indonesia melakukan perundingan bilateral dengan malaysia, namun perundingan  ini tidak menemukan titik temu, sehingga pada tahun 1988 Indonesia dan Malaysia sepakat menempatkan kedua pulau pada kondisi “status quo”. Yang dimaksud dengan “status quo” yaitu upaya untuk mempertahankan dan menjaga negara pada kondisi dan keadaan sebelumnya. Dengan kata lain, status quo adalah membiarkan negara pada kondisi ini sama seperti kondisi sebelumnya, tidak akan dirubah melainkan justru dipertahankan sepanjang tidak ditemukan alasan yang nilai derajatnya lebih penting dari kemanfaatannya saat ini.
Selama ditetapkan “status quo” pada tahun 1991 banyak terjadi konflik di kedua pulau tersebut seperti pada awal juni 1991 melalui Menlu Ali Alatas Indonesia melayangkan nota protes karena Malaysia membangun fasilitas di daerah sengketa.
Kemudian pada Oktober 1991, kedua negara sepakat melakukan pendekatan dan membentuk kesepakatan RI-Malaysia. Indonesia berusaha agar kedua negara terus berupaya menemukan perundingan terbaik melalui jalan bilateral. Jika tidak bisa melalui jalan bilateral Indonesia mengajak Malaysia menyelesaikannya melalui ”Treaty of Amity and Coorporation”, suatu lembaga di bawah naungan ASEAN. Lembaga ini memiliki High Council atau dewan tinggi yang beranggotakan para Menlu para anggota ASEAN
Meski sudah di bantu dengan Dewan tinggi ASEAN namun kontak antara kedua negara di daerah sengketa terus saja berlangsung seperti pada tahun 1993 yang nyaris terjadi baku tembak ketika kapal TNI AL mendekati pulau Sipadan. Kemudian pada 29 September 1996 sempat terjadi baku tembak antara kapal TNI AL dengan kapal patroli Malaysia.
Untuk menghadapi sengketa ini Indonesia sampai menyewa lima penasehat hukum asing dan tiga peneliti asing untuk membuktikan kepemilikannya. Lalu Pemerintah Indonesia-Malaysia sepakat membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional pada tahun 1997.
Indonesia mengklaim kedaulatan kedua pulau berdasarkan perjanjian yang pernah dibuat antara Inggris dan Belanda pada tahun 1891 (Perjanjian 1891). Dalam pasal IV perjanjian 1891.
From 4 10’  north latitude on the east coast the boundary line shall be continued eastward along that parallel, across the island of sibittik: that porsion of theislan situation to the north of that parallel shall belong unreservly to the British North Borneo Company, and the Portion South of the  parallel to the Netherlands”
Berdasarkan ketentuan ini Indonesia berpendirian bahwa pulau Sipadan dan Ligitan masuk ke dalam wilayah Belanda, pada waktu itu kemudian Indonesia mewarisinya. Dasar ini diuraikan secara ekstensif dalam memorial Idonesia.
Sementara Malaysia mendasarkan klaim terhadap dua kepulauan berdasarkan 3 hal.  Pertama hak atas kedua pulau tersebut didasarkan pada beberapa transaksi dari sultan Sulu hingga Inggris  dan terakhir Malaysia. Kadua, Malaysia mengklaim bahwa Inggris kemudian Malaysia telah melakukan penguasaan damai secara berkesinambungan sejak tahun 1878. Bahkan, BElanda kemudian Indonesia telah lama menelantarkan kedua pulau tersebut. Dalam huku Internasional memang hak atas wilayah dapat diperoleh oleh pihak ketiga apabila wilayah tersebut ditelantarkan untuk kurun waktu tertentu oleh pemilk aslinya. Perolehan wilayah seperti ini disebut daluwarsa atau prescription.
Selanjutnya dalam memorialnya Malaysia menuliskan bahwa Perjanjian 1891 tidak mendukung klaim Indonesia atas pulau Sipadan dan Ligitan. Hal ini karena Perjanjian 1891 mengatur batas darata di wilayah Borneo tidak termasuk kepulauan yang lepas dari pulau Borneo. Menurut Mlaysia justru perjanjian 1891 menegaskan kepemilikan Malaysia atas kedua pulau. Bahkan Malaysia engargumentasikan bahwa bkti berupa peta justru mendukung kedaulatan Malaysia atas kedua pulau.
Indonesia melakukan bantahan terhadap argumentasi tertulis Malaysia dalam dua bentuk, yaitu counter memorial dan reply dalam acara argumentasi tertulis. Selanjutnya perspektif Indonesia dipertegas lagi dalam acara argumentasi lisan.
Dalam counter memorial yang disampaikan, Indonesia mematahkan argumentasi Malaysia dengan sejumlah dalil. Pertama, ketidak benaran klaim Malaysia atas dua pulau yang didasarkan pada akar kepemilikan dari kedua pulau. Menurut Indonesia, Sultan Sulu tidak pernah memiliki kedua pulau. Pemilik dari kedua pulau adalah Sultan Blungan.
Kedua, Indonesia mendalilkan bahwa hak atas kepemilikan dari British North Borneo Company (BNBC) sebenarnya tidak pernah ada. Indonesia bersikukuh bahwa berdasarkan penjanjian 1891 kepmilikan atas kedua pulau bearda pada Belanda. Bahkan Spanyol dan Amerika tidak mempunyai hak atas kedua pulau. Terakhir, Indonesia berpendirian bahwa penguasaan dan pelaksanaan administrasi oleh Malaysia setelah tahun 1891 tidak memberi hak kepada Malaysia untuk memilinya.
Selanjutnya dalam argumentasi lisan Indonesia, tindakan sepihak Malaysia untuk menguasai secara nyata kedua pulau tersebut dianggap sebagai tidak menghormati kewajiban untuk bertindak dengan itikad baik karena melanggar kesepakatan yang pernah dibuat. Kesepakatan ini adalah sebelum adanya penentuan final tentang siapa yang berhak atas kedua pulau tersebt maka diberlakukan status quo.
Malaysia melakukan bantahan terhadap klaim Indonesia atas pulau Sipadan Ligitan dengan mengungkap sejumlah dalil. Dalam counter memorial yang dismapaikan oleh Malaysia diargumentasikan bahwa penggunaan perjanjian 1891 sebagai dasar argumentasi Indonesia tidak berdasar. Selanjutnya Malaysia mengargumentasikan apa yang terjadi sebenarnya dalam versi Malaysia sehubungan dengan kedua pulau tersebut berikut pihak yang menguasainya. Terakhir dalam counter memorial Malaysia mengargumentasikan bahwa peta yang disampaikan oleh Indonesia bukanlah peta yang sah karena masih terdapat peta-peta lainnya yang justru mendukung klaim kedaulatan Indonesia.[3]
MI akhirnya dalam meneapkan putusannya, menggunakan dua asas. Yaitu asas efektifitas dan okupasi. Dalam penyelesaian kasus ini MI menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau sengketa pernah menjadi bagian dari wilayah yang diperoleh Malaysia berdasarkan kontrak pengelolaan privat Sultan Sulu dengan Sen-Overbeck/BNBC/Inggris/Malaysia. Mahkamah juga menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau termasuk dalam wilayah Sulu/Spanyol/AS/Inggris yang kemudian diserahkan kepada Malaysia berdasarkan teori rantai kepemilikan (Chain of Title Theory). Menurut Mahkamah tidak satupun dokumen hukum atau pembuktian yang diajukan Malaysia berdasarkan dalil penyerahan kedaulatan secara estafet ini memuat referensi yang secara tegas merujuk kedua pulau sengketa.
MI juga menolak argumentasi Indonesia bahwa kedua pulau sengketa merupakan wilayah berada di bawah kekuasaan Belanda berdasarkan penafsiran atas pasal IV Konvensi 1891. Penafsiran Indonesia terhadap garis batas 4° 10′ LU yang memotong P. Sebatik sebagai allocation line dan berlanjut terus ke arah timur hingga menyentuh kedua pulau sengketa juga tidak dapat di terima Mahkamah. Kejelasan perihal status kepemilikan kedua pulau tersebut juga tidak terdapat dalam Memori van Toelichting.
Peta Memori van Toelichting yang memberikan ilustrasi sebagaimana penafsiran Indonesia atas pasal IV tersebut dinilai tidak memiliki kekuatan hukum karena tidak menjadi bagian dari konvensi 1891. mahkamah juga menolak dalil alternatif Indonesia mengingat kedua pulau sengketa tidak disebutkan di dalam perjanjian kontrak 1850 dan 1878 sebagai bagian dari wilayah Kesultanan Bulungan yang diserahkan kepada Pemerintah Kolonial Belanda. Penguasaan efektif dipertimbangkan sebagai masalah yang berdiri sendiri dengan tahun 1969 sebagai critical date mengingat argumentasi hukum RI maupun argumentasi hukum Malaysia tidak dapat membuktikan klaim kepemilikan masing-masing atas kedua pulau yang bersengketa.
Berkaitan dengan pembuktian effectivities Indonesia, Mahkamah menyimpulkan bahwa tidak ada bukti-bukti kuat yang dapat mewujudkan kedaulatan oleh Belanda atau Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Begitu pula halnya, tidak ada bukti-bukti dan dokumen otentik yang dapat menunjukkan adanya bentuk dan wujud pelaksanaan kedaulatan Indonesia atas kedua pulau dimaksud hingga tahun 1969. Mahkamah tidak dapat mengabaikan fakta bahwa UU No. 4/Prp/1960 tentang Perairan yang ditetapkan pada 18 Pebruari 1960-yang merupakan produk hukum awal bagi penegasan konsep kewilayahan kawasan Nusantara, juga tidak memasukkan Sipadan-Ligitan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berkaitan dengan pembuktian effectivities Malaysia, Mahkamah menyimpulkan bahwa sejumlah dokumen yang diajukan menunjukkan adanya beragam tindakan pengelolaan yang berkesinambungan dan damai yang dilakukan pemerintah kolonial Inggris sejak 1917. Serangkaian upaya Inggris tersebut terwujud dalam bentuk tindakan legislasi, quasi yudisial, dan administrasi atas kedua pulau sengketa, seperti :
a.       Pengutipan pajak terhadap kegiatan penangkapan penyu dan pengumpulan telur penyu sejak 1917.
b.      Penyelesaian sengketa dalam kegiatan pengumpulan telur penyu di P. Sipadan pada tahun 1930-an;
c.       Penetapan P. Sipadan sebagai cagar burung, dan
d.      Pembangunan dan pemeliharaan mercusuar sejak tahun 1962 di P. Sipadan dan pada tahun 1963 di P. Ligitan
Dalam mengkaji bukti-bukti hukum sebelum 1969 yang menunjukkan adanya effective occupation atas pulau-pulau Sipadan-Ligitan, Mahkamah mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan kedua negara, yakni:
a.       Indonesia mengajukan bukti-bukti adanya patroli AL Belanda di kawasan ini dari tahun 1895 hingga 1928, termasuk kehadiran kapal AL Belanda Lynx ke Sipadan pada November-December 1921; dan adanya survei hidrografi kapal Belanda Macasser di perairan Sipadan Ligitan pada Oktober-November 1903. Patroli ini dilanjutkan oleh patroli TNI-AL. Selain itu, bukti yang diajukan adalah adanya kegiatan perikanan nelayan Indonesia pada tahun 1950-1960an dan bahkan awal 1970an.
b.       Malaysia mengajukan bukti-bukti berupa bukti hukum Inggris yakni Turtle Preservation Ordinance 1917; perijinan kapal nelayan kawasan Sipadan Ligitan; regulasi suaka burung tahun 1933 dan pembangunan suar pada tahun 1962 dan 1963. Semuanya adalah produk hukum pemerintah kolonial Inggris, bukan Malaysia.
c.       Sebelum menilai bukti-bukti Indonesia, Mahkamah Internasional menegaskan bahwa UU 4/Prp 1960 tentang negara kepulauan tidak mencantumkan Sipadan-Ligitan sebagai milik Indonesia. Mahkamah berpandangan hal ini relevan terhadap kasus pulau Sipadan-Ligitan karena Indonesia tidak memasukkannya dalam suatu perundang-undangan nasional. Terhadap patroli AL Belanda, Mahkamah berpendapat bahwa hal ini merupakan bagian dari latihan bersama atau kesepakatan bersama dalam memerangi perompakan, sehingga tidak bisa dijadikan dasar pengajuan klaim.
d.      Mengenai kegiatan perikanan nelayan Indonesia, Mahkamah berpendapat bahwa “activities by private persons cannot be seen as effectivitè, if they do not take place on the basis of official regulations or under governmental authority” Oleh karena kegiatan tersebut bukan bagian dari pelaksanaan suatu perundang-undangan Indonesia atau di bawah otoritas Pemerintah, maka Mahkamah menyimpulkan bahwa kegiatan ini juga tidak bisa dijadikan dasar sebagai adanya effective occupation. Mahkamah berpandangan bahwa berbeda dengan Indonesia yang mengajukan bukti berupa sejumlah kegiatan Belanda dan rakyat nelayan, Malaysia mengajukan bukti berupa sejumlah ketentuan-ketentuan hukum. Mahkamah menyatakan bahwa berbagai peraturan Inggris tersebut menunjukkan adanya suatu “regulatory and administrative assertions of authority over territory which is specified by name”.
Keputusan-keputusan Mahkamah adalah keputusan tunggal (single judgment) dan, berbeda dengan praktek dalam pengadilan internasional biasa, tidak ada keputusan-keputusan terpisah atau penolakan/perbedaan pendapat yang diperkenakan. Mahkamah Internasional dalam mengadili suatu perkara, berpedoman pada perjanjian-perjanjian internasional (traktat- traktat dan kebiasaan-kebiasaan internasional) sebagai sumber-sumber hukum. Keputusan Mahkamah Internasional, merupakan keputusan terakhir walaupun dapat diminta banding. Di samping pengadilan Mahkamah Internasional, terdapat juga pengadilan arbitrasi internasional. Arbitrasi internasional hanya untuk perselisihan hukum, dan keputusan para arbitet tidak perlu berdasarkan peraturan hukum.
Dalam mengeluarkan keputusannya, MI juga menerapkan hukum internasional yang berasal dari traktat, praktik-praktik yang dapat diterima   secara luas sebagai hukum (kebiasaan), dan prinsip-prinsip umum yang ditemukan dalam sistem hukum utama dunia. Selain itu, MI juga merujuk pada keputusan hukum di masa lalu atau tulisan para ahli dalam bidang hukum internasional. Keputusan Mahkamah Internasional ini bersifat mengikat, final dan tanpa banding. Artinya mengikat para pihak yang bersengketa dan hanya untuk perkara yang disengketakan.
Ada beberapa dampak yang akan diterima suatu negara yang tidak mematuhi keputusan dari Mahkamah Internasional. Adapun dampak    tersebut adalah sebagai berikut: Dikucilkan dari pergaulan internasional, Diberlakukan Travel Warning (peringatan bahaya berkunjung ke negara tertentu terhadap warga negaranya, Pengalihan investasi atau penanaman modal asing, Pemutusan hubungan diplomatik, Pengurangan bantuan ekonomi, Pengurangan tingkat kerjasama, Pemboikotan produk ekspor, dan Embargo ekonomi yang menganggu kegiatan perekonomian.[4]

1.      Revisi PP No.38 tahun 2002
Dalam Undang-undang perairan Indonesia yang terbaru yakni Undang-undang Nomor 6 tahun 1996. Pengaturan penjelas dari undang-undang ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis. Titik-titik garis pangkal kepulauan indonesia. Dalam PP tersebut pulau Sipadan dan pulau Ligitan dijadikan sebagai salah satu titik garis pangkal kepulauan Indonesia.Dengan demikian maka daftar koordinat yang mencantumkan posisi Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan tidak boleh lagi digunakan sebagai titik pengukuran garis pangkal Indonesia. Keduanya tidak boleh lagi dicantumkan dalam daftar resmi titik pangkal kepulauan Indonesia.
2.      Membuat rencana lebar laut territorial
Pasal 3 ayat (2) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia menetapkan lebar laut territorial Indonesia adalah jalur selebar 12 mil yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia. Hal ini sesuai pasal 4 UNCLOS lebar maksimum laut teritorial yang diperkenankan bagi suatu negara adalah 12 mil laut.
Dengan ditemukannya posisi garis pangkal yang baru maka pengukuran garis pangkal di perairan Sulawesi lebih mudah untuk ditentukan, yang perlu diperhatikan, posisi negara Indonesia dan Malaysia yang pantainya berhadapan di sekitar Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, mengharuskan penentuan lebar laut territorial ini melibatkan dua negara. Sesuai Pasal 15 UNCLOS Indonesia dan Malaysia harus membuat suatu persetujuan penentuan batas laut territorial kedua negara.
3.      Menentukan rencana posisi titik-titik garis pangkal yang baru disekitar perairan Sulawesi (disekitar pulau Sipadan dan Pulau Ligitan)
Rencana perubahan yang harus dilakukan tetap mengacu pada PP Nomor 38 tahun 2002 tentang daftar koordinat geografis titik-titik garis pangkal kepulauan Indonesia. Jika kita hubungkan dengan Pulau Sipadan dan Ligitan, maka seharusnya titik-titik dasar perairan Sulawesi (di sekitar Pulau Sipadan dan Ligitan) adalah titik pulau Sipadan, Ligitan, Tanjung Arang, Pulau Maratua dan Pulau Sambit. Karena pulau Sipadan dan Ligitan tidak lagi termasuk wilayah Indonesia, maka titik-titik yang dipakai adalah Tanjung Arang, Pulau Maratua dan Pulau Sambit.
Dengan diperoleh titik-titik dasar pengukuran maka dapat ditentukan posisi garis pangkal. Garis pangkal Indonesia sebagai negara kepulauan ditarik dari Pulau Sebatik menuju Tanjung Arang lalu ke Pulau Maratua.Garis pangkal yang diterapkan pada titik-titik tadi adalah garis pangkal lurus kepulauan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 47 UNCLOS. Garis pangkal ditarik dari titik-titik terluar pulau terluar Indonesia. Panjang maksimal garis pangkal tadi tidak boleh melebihi 100 mil laut. Selain itu, penarikan garis pangkal juga tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari konfigurasi kepulauan.[5]
Kawasan perbatasan adalah batas kedaulatan dan halaman depan suatu Negara oleh karena itu persoalan kawasan perbatsan bukan sekedar menetapkan dan menegaskan batas antar Negara melainkan bagaimana menempatkan kawasan perbatsan sebagai bagian dari wilayah Negara yang berdaulat.
Sesuai dengan bunyi alinea IV Pembukaan UUD NKRI Tahun 1945 yang antara lain menyatakan “..membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahtraan umumm mencerdaskan kehidupan bangsa…” maka dalam penanganan kawasan perbatasan Indonesia harus mendasarkan diri pada “paradigm kesejahteraan” dan “paradigma keamanan” agar kawasan perbatasan yang semula hanya dianggap sebagai halaman belakang dapat menjadi beranda depan yang sesungguhnya.
Dari kasus pulau Siapadan dan Ligitan maka dapat diambil pelajaran bagi pemerintah Indonesia dalam menjaga keutuhan wilayahnya sebagai kedaulatan Negara. Negara harus memosisikan puau-pulau terluar sebagai halaman depan dan bukan dipandang sebagi halaman belakang yang boleh diabaikan begitu saja. Pembangunan mesti dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk dan keamanan di pulau-pulau luar tersebut. Sehingga dengan demikian klaim Indonesia terhadap pulau-pulau tersebut tidak hanya kuat secara hukum, namun juga sosiologis.[6]

BAB IV

 PENUTUP


Berdasarkan permasalah diatas dapat kita simpulkan bahwa Malaysia telah menguasai Pulau Sipadan dan Ligitan. Pada tahun 1969 Malaysia mengklaim bahwa Sipadan dan Ligitan adalah milik Malaysia, karena kedua pulau itu berdsarkan chain of title (rantai kepemilikan) merupakan wilayah dibawah kekuasaan Inggris yang menjajah  Malaysia sebelum  Malaysia menyatakan merdeka. Malaysia telah melakukan kecurangan terhadap Indonesia. Karena pada saat Pulau Sipadan dan Ligitan menjadi sengketa, Indonesia dan Malaysia pun membuat perjanjian yakni perjanjian status quo. Dimana kedua Negara ini tidak boleh melakukan aktivitas. Karena masih dalam sengketa.
Namun disini Malaysia malah melakukan kecurangan karena melakukan aktivitas di tanah sengketa dengan membuka tempat wisata penangkaran penyu, pembuatan resort, dan mengeksploitasi sumber daya alam yang ada di Pulau Sipadan dan Ligitan tersebut. Maka Indonesia pun merasa di curangi. Masalah ini tidak dapat diselesaikan dengan cara yang baik.  Pada akhirnya masalah ini dibawa ke Mahkamah Internasionl dan kedua Negara ini siap menerima keputusan yang diberikan oleh Mahkamah Internasional. Karena di setiap keputusan pasti ada yang kalah dan ada yang menang. Keputusan Mahkamah Internasional pun telah memberi keputusan bahwa Negara Malaysia berhak atas kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan.


Mengenai kasus Sipadan dan Ligitan ini, kami sebagai kelompok 3 menyatakan bahwa kami Pro atau setuju dengan keputusan yang ditetapkan oleh ICJ. Mengapa demikian? Karena kami menganggap bahwa keputusan yang diambil oleh ICJ adalah keputusan yang ditetapkan setelah banyak pertimbangan menimbang bukti-bukti yang diajukan oleh pihak Indonesia dan Malaysia.
Sangat disayangkan memang, bahwa kemudian pulau sengketa Sipadan Ligitan lepas dari Indoensia. Dengan kekayaan alam yang luar biasanya, akan sangat bagus sekali jika kemudian pulau Sipadan dan Ligitan bisa menjadi bagian dari NKRI.
Tentu kita berharap agar hal-hal seperti ini tidak terjadi lagi. Catatan untuk pemerintah tenu saja jika kemudain kita menilik dari kasus sengketa pulau Sipadan dan Ligitan ini agar kemudian pemerintah lebih memperhatikan lagi pembanunan di wilayah-wilayah perbatasan.












DAFTAR PUSTAKA


Munawan, Rijwan. Lepasnya Si Pulau Cantik Sipadan dan Ligitan, 6 November 2018, https://www.academia.edu/34554249/Lepasnya_Si_Pulau_Cantik_Sipadan_dan_Ligitan.html.
Saputri, Fira. Kekuatan Mengikat Putusan Mahkamah Internasional dalam Praktik Hukum Nasional di Indonesia,  4 November 2018. https://www.academia.edu/ 34866893/LIBRARY_RESEARCH_ Kekuatan_ Mengikat_Putusan_Mahkamah_ Internasional_dalam_Praktik_Hukum_Nasional_di_Indonesia.html
Setyanto, Kurniawan. Kegagalan Formulasi Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia dan Lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan dari Indonesia Tahun 2002 dalam Perspektif Gepolitik Negara Kepulauan, 4 November 2018. http://lib.ui.ac.id /file?file= digital/20334283-T32589-%20Kurniawan%20Setyanto.pdf.
Suprapto, Agus. Sejarah Pulau Ligitan dan  Pulau Sipadan, 4 November 2018. http://com.sec.android.app.sbrowser/readinglist/1105171627.mhtml.
Juwana, Himahanto. 2003.  Putusan MI atas Sipadan dan Ligitan,Vol. 1 No 1, hlm. 174.
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996, tentang Perairan Indonesia






[1] Kurniawan Setyanto, Kegagalan Formulasi Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia dan Lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan dari Indonesia Tahun 2002 dalam Perspektif Gepolitik Negara Kepulauan, diakses dari http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589-%20Kurniawan%20Setyanto.pdf,
Pada tanggal 4 November 2018
[2] Agus Suprapto, Sejarah Pulau Ligitan dan  Pulau Sipadan, diakses dari http://com.sec.android.app.sbrowser/readinglist/1105171627.mhtml, pada tanggal 4 November 2018.
[3] Himahanto Juwana, Putusan MI atas Sipadan dan Ligitan,Vol. 1 No. 1 Oktober 2003, hlm. 174.
[4] Fira Saputri, Kekuatan Mengikat Putusan Mahkamah Internasional dalam Praktik Hukum Nasional di Indonesia,  diakses dari https://www.academia.edu/34866893/LIBRARY_RESEARCH_ Kekuatan_Mengikat_Putusan_Mahkamah_Internasional_dalam_Praktik_Hukum_Nasional_di_Indonesia.html pada tanggal 4 November 2018.
[5] Fira Saputri, Kekuatan Mengikat Putusan Mahkamah Internasional dalam Praktik Hukum Nasional di Indonesia,  diakses dari https://www.academia.edu/34866893/LIBRARY_RESEARCH_ Kekuatan_Mengikat_Putusan_Mahkamah_Internasional_dalam_Praktik_Hukum_Nasional_di_Indonesia.html pada tanggal 4 November 2018.
[6] Rijwan Munawan, Lepasnya Si Pulau Cantik Sipadan dan Ligitan, diakses dari https://www.academia.edu/34554249/Lepasnya_Si_Pulau _Cantik_Sipadan_dan_Ligitan.html. pada tanggal 6 November 2018.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Konsep Kewirausahaan Islam

Makalah Filsafat Empirisme

KAIDAH FIKIH KULLIYAT YANG KE 26-30