Perbandingan Mazhab Mengenai Akad Jual Beli, Istihsna’, Murabahah dan Salam
MAKALAH
Akad
Jual Beli, Istihsna’, Murabahah dan Salam
Diajukan
untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Muqaranah Mazahib Fil Muamalah”
Dosen Pengampu: Drs. H. M. Fachrir
Rahman, M.A
1.
Suci
Ramadhani Putri (170201027)
2.
Laila
Safira (170201010)
JURUSAN MUAMALAH
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MATARAM
2018/2019
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr.wb.
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat dan
salam senantiasa kita haturkan kepada
Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam yang gelap gulita menuju
alam yang terang benderang. Dan semua
perkataan, perbuatan, pengakuan dan sifatnya adalah panutan bagi semua umatnya.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Muqaranah
Mazahib Fil Muamalah" pada jurusan Muamalah, Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram.
Makalah ini berjudul “Akad Jual
Beli, Istisna’, Murabahah, dan Salam”
Demikianlah
yang dapat kami sampaikan, kurang lebihnya kami mohon maaf bila ada salah-salah
kata. Sesungguhnya segala kekurangan dan kesalahan itu datangnya dari kami
sendiri. Sedangkan segala kelebihan itu datangnya dari Allah SWT semoga Allah
SWT meridhai kita. Tiada gading yang tak retak. Sekian.
Wassalamu’alaikum
wr.wb.
Mataram, 21
Maret 2019
Kelompok 04
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Seperti kata
seorang filsuf Yunani Aritoteles, bahwa manusia itu adalah makhluk sosial (zoon
politicon) dimana antara manusia
yang satu dengan yang lain saling membutuhkan. Akan selalku terjadi kausalitas
hubungan timbal balik antar sesama manusia. Ketika kita membutuhkan sesuatu maka
manusia lain akan menyediakannya untuk kita, namun tentu saja harus ada timbal
balik yang biasanya menggunakan uang. Transaksi ini kita kenal dengan jual
beli. Di dalam prakteknya, banyak sekali jenis-jenis jual beli yang kita
praktekkan sehari-hari. Seperti ada jua beli salam, jual beli istisna, jual
beli murabahah ataupun lainnya.
Islam telah mengatur bagaimana cara yang baik bagi kita untuk melakukan
transaksi jual beli, meskipun di kalangan para fuqaha terdapat perselisihan
mengenai tata cara transaski jual beli itu sendiri. Tetapi meskipun demikian, perbedaan
yang muncul tidaklah begitu signifikan
lantaran sumber utama yang dipakai oleh para fuqaha adalah sama yaitu Al-Qur’an
dan Al-Hadis.
Pada makalah ini, kamis ebagai kelompok empat akan mencoba menguraikan
bagaamana kemudian pendapat-pendapat para fuqaha lintas mazhab memanang akad
jual beli, lebih khususnya jual beli istisna’, salam dan murabahah.
1.
Apa yang dimaksud dengan jual beli, istisna’,
salam, dan murabahah?
2.
Bagaimana hukum, rukun dan syarat dari jual
beli, istisna’, salam, dan murabahah?
3.
Bagaimana perbandingan lintas mazhab
tentang jual beli, istisna’, salam, dan
murabahah?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui apa yang dimaksud dengan jual beli,
istisna’, salam, dan murabahah.
2.
Mengetahui
bagaimana hukum, rukun dan syarat dari jual beli, istisna’, salam, dan
murabahah.
3.
Mengetahui bagaimana perbandingan lintas
mazhab tentang jual beli, istisna’,
salam, dan murabahah.
BAB II
PEMBAHASAN
Jual beli atau perdagangan dalam istilah fiqh disebut al-bai’ yang
menurut etimologi berarti menjual atau mengganti. Sedangkan secara umum para
fuqaha mendefinisikan jual beli sebagai kegiatan tukar menukar barang atau
jasa, atau keduanya.[1]
Dasar hukum jual beli diantaranya terdapat di Al-Qur’an Surat Al-Baqarah
ayat 198.
}§øs9 öNà6øn=tã îy$oYã_ br& (#qäótGö;s? WxôÒsù `ÏiB öNà6În/§ 4
Artinya: Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki
hasil perniagaan) dari Tuhanmu (Qs. Al-Baqarah ayat 198)
Juga terdapat dalam Qs. An-Nisa ayat 29.
w (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& cqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4
Artinya: Kecuali
dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu (Qs.
An-Nisa ayat 29)
Rukun dari jual beli menurut ulama Hanafi hanya satu, yaitu hanya ijab dan
qabul. Menurut mereka, yang menjadi rukun dalam jual beli itu hanyalah kerelaan
kedua belah pihak untuk melakukan transaksi jual beli. Akan tetapi jumhur ulama
mneyatakan bahwarukun jual beli ada empat, yaitu 1) ada orang yang berakad, 2)
ada sighat, 3) ada barang yang dibeli, dan 4) adanilai tukar.
Adapun
syarat-syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli menurut Jumhur Ulama
yaitu:[2]
1.
Syarat
terkait orang yang berakad, yaitu; dia haruslah berakal dan haruslah dilakukan
oleh orang yang berbeda.
2.
Syarat
terkait Ijab Kabul, yaitu: menurut Jumhur Ulama bahwa ijab dan Kabul harus
diungkapkan secara jelas dalam transaksi yang mengikat kedua belah pihak. Namun
terhadap transaksi yang hanya sepihak, maka cukup dengan ijab saja, tidak perlu
juga adanya Kabul. Bahkan menurut Ibn Taimiyah (ulama fiqh Hambali) ijab pu
tidak diperlukan dalam hal transaksi sepihak.
3.
Syarat
terkait barang yang diperjualbelikan, yaitu: barang itu ada jelas wujudnya,
dapat dimanfaatkan, milik seseorang, dan boleh diserahkan bersama saat akad
berlangsung.
4.
Syarat
terkait nilai tukar, yaitu: harga yang disepakati harus jelas jumlahnya dan
boleh dilakukan saat akad maupun belakangan asalkan dengan ketentuan yang
jelas.
Murabahah secara bahasa merupakan mashdar dari kalimat ribhun yang berarti ziyadah
(tambahan). Sedangkan pengertian murabahah secara istilah adalah:[3]
بيع
السلعة بثمنها التى قامت به مع بشرائط خاصة
“Jual beli barang dengan harga yang didahulukan
pembayarannya dengan syarat-syarat tertentu.”
Muhammad Abu Zahrah menjelaskan murabahah adalah:
البيع بمثل الثمن لاء ول مع زيادة ربح
“Jual beli dengan harga
pokok dengan tambahan keuntungan.”
Golongan Malikiyah berpendapat bila penjual mengatakan harga barang kepada
pembeli dna minta keuntungan dari pembeli dengan perkataan “Aku beli barang ini
10 dinar, dan berilah aku laba satu atau dua dinar. Ini merupakan murabahah.”
Sedangkan menurut Al-Jundiy, jual beli murabahah adalah pembelian
oleh satu pihak untuk kemudian dijual kepada pihak lain yang telah mengajukan
permohonan pembelian terhadap suatu barang dengan keuntungan atau tambahan
harga yang transparan.
Dengan keharusan adanya informasi tentang keuntungan baik nomial maupun
persentase sehingga diketahui oleh pembeli sebagai salah satu syarat sah
murabahah. Praktek murabahah dapat dikatakan adalah termasuk praktek
jual beli biasa, hanya saja kelebihannya terletak pada pengetahuan pembeli
tentang harga pembelian awal sehingga menuntut kejujuran penjual dalam
menjelaskan harga awal yang sebenarnya.
Akad murabahah umumnya dilakukan di dunia perbankan yaitu hubungan
antara nasabah dengan pihka bank. Sebelum akad murabahah dilakukan
pembeli mengajukan permohonan pembelian dan berjanji kepada penjual atau pihak
bank akan membeli barang yang akan disediakan oleh bank. Kemudian ihak bank
atas dasar permohonan tersebut, membeli barang yang diperlukan nasabah. Setelah
barang dimiliki bank, maka akad murabahah dlangsungkan.
Pembayaran harga dalam murabahah (harga pokok barang dan keuntungan) boleh
dilakukan secara tangguh ataupun angsuran. Terhadap cara pembayaran yang
berbeda ini menimbulan konsekuensi yang erbeda pula karena lamanya waktu
pembayaran berkaitan dengan adanya kemungkinan resiko, dan dari sudut ekonomi
Islam berlaku prinsip economic value of time, artinya waktu memiliki
nilai ekonomis. Semakin pendek waktu pembayaran maka semakin cepat bagi penjual
untuk mendapatkan keuntunga dan mendistribuskan kembali.
Para ahli fiqh menganggap bahwa murabahah adalah termasuk ke dalam bentuk
jual beli. Maka secara umum kaidah yang digunakan adalah sama dengan jual beli.
Adapaun rukun jual beli ada tiga, yaitu akad (ijab qabul), al-‘aqidain
(orang-orang yang berakad) dan ma’qud ‘alaih (obyek akad).[4]
Adapun syarat jual beli antara lain:
a. Penjual dan pembeli;
b. Berakal;
c. Dengan kehendak sendiri;
d. Keadaan tidak mubadzir (pemboros); dll
Dalam praktek di Lembaga Keuangan Syariah (LKS) termasuk bank syariah,
dikenal dengan sebutan murabahah li al-amir bi al-syira’. Mengenai
kedudukan hukum murabahah ini, ulama kontemporer berbeda pendapat. Ada
yang memperbolehkan dan ada juga yang melarang atau mengharamkan. Di antara
ulama yang mengakui keabsahan dari murabahah ini adalah Sami Hamud,
Yusuf Qardhawi, Ali Ahmad Salus, Shadiq Muhammad Amin, Ibrahim Fadhil, dan
lainnya. Adapun argumentasi mereka adalah:
Pertama, hukum asal dalam muamalah adalah boleh dan mubah kecuali ada dalil yang
melarangnya atau mengharamkannya. Sepanjang tidak ada dalil yang
mengharamkannya maka transaksi muamalahnya adalah halal hukumnya.
Kedua, keumuman nash Al-Qur’an dan hadis yang menujukkan kehalalan segala bentuk
jual beli, kecuali terdapat dalil khusus yang melarangnya. Yusuf Qardhawi mengatakan
bahwa, dalam surat Al-Baqarah ayat 275; Allah menghalalkan segala bentuk jual
beli secara umum, baik it jual belimutlak, jual beli salam ataupun lainnya
tersebut adalah halal. Kecuali terdapat nash dari Allah dan Rasulnya yang
mengharamkannya.
Ketiga, terdapat nash ulama fiqh yang mengakui keabsahan akad ini, diantaranyaImam
Syafi’i memperbolehkan transaksi murabahah ini dengan syarat pembeli
atau nasabah memilik hak khiyar, dengan demikian tidak terdapat janji
yang mengikat kedua belah pihak.
Keempat, transaksi mumalah dibangun di atas asas al-maslahah. Hukum Islam
tidak melarang bentuk transaksi kecuali terdapat unsur kezaliman di dalamnya,
seperti riba, penimbunan, penipuan dan lainnya. Permasalahn pokok dalam muamalah
adalah unsur kemaslahatan. Jika terdapat maslahah maka sangat
dimngkinkan transaksi tersebut dibolehkan.
Kelima, pendapat yang memperbolehkan murabahah ini dimaksudkan untuk
mempermudah persoalan hidup manusia. Syariah Islam datang untuk mempermudah
kehidupan manusia dan meringankan beban yang ditanggungnya.
Adapun ulama kontemporer yang melarangdan mengharamkan praktek murabahah
ini antara lain; Muhammad Sulaiman al-Asyqar, Bakr bin Abdullah Abu Zaid,
Rafiq al-Mishri dan lainnya. Dengan argumen sebagai berikut.
Pertama, transaksi murabahah di LKS sebenanrnya bukan dimaksudkan untuk jual
beli, tapi hanya sekedar trik untuk menghalalkan riba. Mereka mengatakan bahwa
maksud dan tujuan sebenarnya adalah untuk mendapatkan uang tunai, sebab
kedatangan nasabah ke LKS sebenarnya adalah untuk mendapatkan uang tunai.
Sementara itu pihak LKS tidak membeli barng melainkan hedak menjualnya kepada
nasabah dengan cara cicilan, sehingga dapat dimaknai bahwa LKS sebenarnya tidak
sungguh-sungguh membeli barang tersebut.
Kedua, tidak ada satu orangpun dari ulama terdahulu yang membolehkan murabahah
bahkan ada yang menytakan keharamannya.
Ketiga, transaksi murabahah termasuk jual beli ‘inah yang
diharamkan. Jual beli ‘inah adalah pinjaman ribawi yang direkayasa dengan
praktek jual beli.
Keempat, transaksi murabahah termasuk bay’ atani fi bay’ah Rasulullah Saw telah melarang bentuk jual beli
bay’ atani fi bay’ah dalam hadis
Rasulullah yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dan Tirmidzi dan Nasa’i. Menurt
Imam Syafi’ bay’ atani fi bay’ah adalah seorang penjual berkata saya menjual
barang saya Rp. 100 ribu kepada kamu secara tempo dan Rp. 50 ribu secara kontan
terserah mau pilih yang mana, dan kontrak jual beli berlangsung tanpa adanya
satu pilihan pasti dan jual beli itu sifatnya mengikat.
Kelima, bank syariah dalam melakukan transaski murabahah menjual brang yang
tidak atau belum dimilikinya (bai’ al-ma’dum), di mana pihak bank
syariah dan nasabah berjanji untuk membeli barang. Keharusan nasabah harus membeli karena perjanjian berubah menajdi
transaksi yang sebenarnya, padahal barangnya belum ada. Bentuk ini bertentangan
dengan kaidah umum syariat yang melarang jual beli barang yag tidak dimiliki.
Keenam, bank syariah dalam melakukan transaksi murabahah, telah mewajibkan transaksihanya dengan sekedar
janji. Apabil ajanji tersebut tidak sampai menjadi suatu keharusan, maka tidak
ada masalah dalam transaksi murabahah. Namun apabila janji untuk
membeli suatu keharusan, maka para ulama banyak yang menolaknya, karena dasar keharusan membeli
tersebut tidak ada dalam kaidah umum syariat dan tidak boleh mewajibkan
transaksi hanya dengan sekedar janji.
Berdasarkan perbedaan ulama tersebut, Muhammad Taqi Usmani mengakui bahwa
pada mulanya murabahah bukan merupakan bentuk pembiayaan melainkan hanya
alat untuk menghindari ‘bunga bank” dan juga bukan merupakan instrument ideal
untuk mengembangkan tujuan riil ekonomi Islam.
Instrument murabahah hanya digunakan sebagai langkah transisi yang
diambil dalam proses Islamisasi ekonomi. Sedangkan untuk menghindari praktik murabahah
yang akan terjebak pada praktik bilah ribawi, bai’ inah, ba’atani fi
bay’ah, dan bai’ al-ma’dun maka para ulama kontemporer mensyaratkan
dalam praktik jual beli murabahah di lembaga keuangan syariah sebagai
berikut.
a.
Jual
beli murabahah bukan pinjaman yang diberikan dengan bunga, tapi jual
beli komoditas dengan harga tangguh termasuk margin keuntungan di atas biaya
perolehan yang disetujui bersama.
b.
Pemberi pembiayaan dalam hal ini bank atau LKS
lainnya, harus telah membeli komoditas atau barang dan menyimpan dalam
kekuasaannya atau membeli melalui orang ketiga sebagai agennya sebelum dijual
kepada nasabahnya.
c.
Pembelian
komoditas tidak boleh dari nasabah sendiri (komoditas milik nasabah) dengan
penjualan buy back (pembelian kembali), karena model perjanjian seperti ni
termasuk ke dalam bai’ inah.
Secara bahasa salam berarti al-I’tiba
dan al-taslif.
Keduanya bermakna pemberian. Dikatakan salam karena orang yang memesan
menyerahkan uangnya terlebih dahulu sebelum menerima barang dagangannya. Atau
yang dimkasud dengan jual beli salam adalah menjual suatu benda
yang disebutkan sifatnya dalam tanggungan atau memberi
uang di depan secara tunai, barangnya diserahkan kemudian atau untuk waktu yang
ditentukan. Menurut ulama syafi’iyah akad salam boleh ditangguhkan
sampai waktu tertentu dan juga boleh
diserahkan secara tunai.[5]
Fuqaha menamakan jual beli ini
dengan “penjualan butuh”. Sebab ini adalah penjualan yang barangnya tidak ada,
dan didorong oleh adanya kebutuhan mendesak pada masing-masing penjual dna
pembeli. Pemilik modal membutuhkan untuk membeli barang, sedangkan pemilik
barang butuh kepada uang daripada harga barang. Berdasarkan ketentuan-ketentuannya,
penjual bisa mendapatkan pembiayaan terhadap penjualan produk sebelum produk tersebut benar-benar
tersedia.
Dasar hukum jual beli salam Qs
Al-Baqarah ayat 282.
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) LäêZt#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4
Artinya
: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya (Qs. Al-Baqarah :
282)
Keterkaitan ayat di atas
dengan jual beli salam menurut Ibnu Abbas tergambar dalam ucapannya yaitu : Saya
bersaksi bahwa salam yang dijamin untuk jangka waktu tertentu telah
dihalalkan oleh Allah pada kitab-Nya dan diizinkan-Nya. Ia lalu membaca ayat
tersebut.
Dalam Al-hadis juga disebutkan bahwa:
عَنِ ابْنِ
عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَدِمَ الَّبِيُّ صلى الله علىه وسلم
المدي نة, وَهُمْ يُسْلِفُوْنَ فِى اثَّمَارِ السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ, فَقَالَ
(مَنْ اَسْلَفَ فِى تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِى كَيْلٍ مَعْلُوم, وَوَزْنِ
مَعْلُوْمٍ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Artinya: Ibnu Abbas berkata; Nabi Saw datang ke Madinah dan penduduknya
biasa meminjamkan buahnya untuk masa setahun dan dua tahun. Lalu beliau
bersabda: “Barangsiapa meminjamkan buah maka hendaknya ia meminjamkannya dalam
takaran, timbangan, dan masa tertentu” Muttafaq Alaih.
Para ulama juga bersepakat bahwa jual beli salam diperbolehkan karena terdapat kebutuhan dan
keperluan untuk memudahkan urusan manusia.
Rukun dan syarat dari jual beli salam yaitu
a. Penjual dan pembeli. Dengan syarat cakap, baligh dan berakal sehat serta
tidak di bawah paksaan.
b. Modal atau uang. Dengan syarat harus jelas dan terukur, disetujui kedua
belah pihak, dan diserahkan secara cash ketika akad berlangsung.
c. Barang yang diperjualbelikan atau objek. Dengan syarat harus dinyatakan
secara jelas tentang jenis barangnya, sifat-sifatnya, ukurannya, waktu dan
tempat penyerahannya.
d. Shigat atau ijab qabul. Dengan syarat harus diungkapkan secara jelas.
Para ulama sepakat bahwa jual beli salam benar dengan beberapa
syarat, yaitu jenis barangnya diketahui, sifat barangnya diketahui, banyaknya
barang diketahui, waktunya diketahui oleh kedua belah pihak, mengetahui kadar
uangnya, dan jelas tempat penyerahannya.
Namun imam syafi’i menambahkan bahwa akad salam yang sah harus
memenuhi syarat iniqad, syarat sah, dan syarat muslam fiih. Adapun
syarat in’iqad antara lain: Pertama, menyatakan shigaat qabul, Kedua
pihak yang mengadakan akad cakap dalam membelanjakan harta.
Sedangkan syarat-syarat sah bai’al-salam antara
lain:
1. Pembayaran dilakukan di majelis akad sebelum akad disepakati.
2. Pihak pemesan secara khsusu berhak menentukan tempat penyerahan barang,
jika ia membayar ongkos kirim barang. Jika tidak maka pemesan tidak berhak
menentukan tempat penyerahan.
Sedangkan syarat muslam fiih (barang
pesanan adalah sebagai berikut.
1. Barang pesanan harus jelas jenis, bentuk, kadar dan sifatnya.
2. Barang pesanan dapat diketahui kadarnya baik berdasarkan takaran timbangan,
hitungan perbiji, atau ukuran panjang dengan satuan yang dapat diketahui.
3. Barang pesanan harus berupa utang (sesuatu yang menjadi tanggungan.
4. Barang pesanan dapat diserahkan begitu jatuh tempo penyerahan.
D. Istishna’
Secara bahasa istishna’ adalah meminta orang lain untuk membuatkan
sesuatu untuknya. Sedangkan secara istilah, berarti perjanjian terhadap barang
jualan yang berada dalam kepemilikan penjual dengan syarat dibuatkan oleh penjual,
atau dibuatkan secara khusus sebuah barang dengan spesifikasi tertentu
sementara bahan bakunya dari pihak penjual.
Menurut jumhur fuqaha, jual beli istishna’ merupakan suatu jenis
khusus dari akad bai’ al-salam. Biasanya jual beli ini digunakan pada
bidang manufaktur. Dengan demikian, ketentuan jual beli istishna’
mengikuti ketentuan dari jual beli salam. Dalam literatur fiqh klasik,
masalah istishna’ mulai menjadi bahan bahasna mazhab hanafi seperti yang
dikemukakan dalam majallat al-ahkam al-adiya. Oleh karena itu, jual beli
istishna’ dikembangkan oleh
mazhab Hanafi, dan perkembangan fiqh selanjutnya dlakukan fiqh kontemporer.[6]
Dasar hukum jual beli istishna’ dalam Al-Qur’an terdapat dalam Qs. Al-Baqarah
ayat 275.
3¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4
Artinya : Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (Qs.
Al-Baqarah : 275)
Berdasarkan ayat ini, para ulama menyatakan bahwa hukum asal setiap
perniagaan adalah halal, kecuali nyata-nyata diharamkan oleh dalil yang kuat
dan shahih.
Sementara dalam hadis Nabi Saw menjelaskan bahwa:
عَنْ اَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ اَنِّ نَّبِيِّ اللَّهِ ص كّانَ اَرَدَ
اَنْ يَكْتُبَ اِلَى الْعَجَمِ فَقِيْلَ لَهُ اِنِّ الْعَجَمَ لاَ يَقْبَلُوْ نَ
اِلاَّ كِتَا بًاعَلَيْهِ خَا تِمٌ. فَا صْطَنَعَ خَاتَمَا مِنْ فِضَةٍ. قَالَ:
كَاَنِّ اَنْظُرُ اِلَى بَيَاضِهِ فِى يَدِهِ
Artinya : Dari Ana RA bahwa Nabi Saw hendak menuliskan kepada raja
non-Arab, lalu dikabarkan kepada beliau bahwa raja-raja non Arab tidak sudi
menerima surat yang tidka distempel. Maka beliau pun memesan agar dibuatkan
cincin stempel dari bahan perak. Anas mengisahan : Seakan-akan sekarang ini aku
dapat menyaksikan kemilau putih di tanagn beliau.
Berdasarkan hadis ini, maka apa yang dilakukan oleh Nabi Saw ini menjadi
buktinyata bahwa jual beli istishna adalah boleh.
Menurut mazhab Hanafi, jual beli istishna’ merupakan jual beli yang
dilarang karena bertentangan dengan semangat jual beli secara qiyas. Mereka mendasarkan
kepada argumentasi bahwa pokok kontrak penjual harus ada dan dimiliki oleh
penjual. Sedangkan dalam istishna’ pokok kontrak itu belum ada atau tidak
dimiliki oleh penjual. Meskipun demikian, mazhab hanafi menyetujui kontrak istishna,
atas dasar istihsan dengan alasan sebagai berikut.[7]
1. Masyarakat telah mempraktikkan istishan’ secara luas dan terus
menerus tanpa ada keberatan sama sekali.
2. Dalam konsep hukum Islam dimungkinkan adanya penyimpangan terhadap qiyas
berdasarkan ijma’ ulama.
3. Keberadaan istishna’ di dasarkan atas kebutuhan masyarakat.
4. Istishna’ sesuai dengan aturan umum mengenai kebolehan kontrak selam tidak
bertentangan dengan syara’.
5. Sebagian fuqaha kontemporer berpendapa sah atas dasar qiyas dan aturan umum
syariah karena itu memang jual beli biasa dan si penjual akan mampu mengadakan
barang tersebut pada saat penyerahan
Rukun jual beli istishna:
1. Penjual/Pembeli
2. Brang
3. Sighat
Sementara itu untuk syarat dari jual beli istishna
‘ adalah
1. Modal transaksi haruslah diketahui dan penerimaan pembayaran salam.
2. Barang haruslah spesifik dan dapat diakui sebagai utang,serta harus
diidentifikasi secara jelas penyerahan barang dilakukan dikemudian hari.
Adapun ketentuan fatwa dari DSN MUI No. 06/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Jual
Beli Istishna’ adalah sebagai berikut.
Ketentuan tentang pembayaran:
a. Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang
dan manfaat.
b. Pembayaran dilakukan dengan kesepakatan.
c. Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.
Ketentuan tentang barang:
a. Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang.
b. Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
c. Penyerahannya dilakukan kemudian,
d. Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan
kesepakatan.
e. Pembeli tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.
f. Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai
kesepakatan.
g. Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan,
pemesan memiliki hak khiyar.
Sedangkan ketentuan lain sebagai berikut.
a. Dalam hal pesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan hukumnya
mengikat,
b. Semua ketentuan dalam jual beli salam yang tidak disebutkan di atas
berlaku pula pada istishna’.
c. Jika salah atu piak tidak meunaikan kewajibanya atau jika terjadi
perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya yang dilakukan
melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan dalam
musyawarah.
BAB III
PENUTUP
Murabahah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan perolehan dan
keuntungan yang disepakati oleh penjual dan pembeli. Akad ini merupakan akad
yang memberikan kepastian pembiayaan baik dari segi jumlah maupun waktu, bisa
diprediksi dengan relatif pasti, karena sudah disepakati oleh kedua belah pihak
yang bertransaksi.
Sementara jual beli salam, adalah menjual suatu barang yang penyerahannya
ditunda, pembayaran modal lebih awal. Rukun dan syarat jua beli salam meliputi
penjual dan pembeli, objek, sighat, dan alat tukar.
Sedangkan jual beli istishna’ adalah akad jual beli pesanan di mana bahan
baku dan biaya produksi menjadi tanggungjawab pihak produsen sedangkan sistem
pembayaran bisa dilakukan di muka, tengah, dan akhir. Hanya saja tidak ada
penentuan waktu dalam penyerahan barang, tetapi tergantung selesainya barang
pada umumnya.
Saran kami adalah bahwakita harus memiliki pikiran yang terbuka jika itu
berkaitan dengan fikih. Harus bisa menyesuaikan kiranya mana yang dibutuhkan
oleh zaman.
DAFTAR PUSTAKA
Harfin Zuhdi, Muhammad, 2015, Muqaranah
Mazahib Fil Muamalah, Mataram: Sanabil.
Rahman Ghazaly, Abdul, dkk, 2010, Fiqh
Muamalat, Jakarta: Kencana.
Rozalinda, 2017, Fikih Ekonomi Syariah, Jakarta:
Rajawali Press.
Komentar
Posting Komentar