KAIDAH FIKIH KULLIYAT YANG KE 26-30
MAKALAH
“KAIDAH FIKIH KULLIYAT YANG KE 26-30”
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Qawaid Fiqhiyah-2”
Dosen Pengampu:
Drs. Moh. Asyiq Amrullah, M.Ag
1.
Suci Ramadhani
Putri (170201027)
2.
Lisandra (170201015)
3.
M. Sofian
Assauri (170201016)
JURUSAN MUAMALAH
FAKULTAS
SYARIAH
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM
2018/2019
KATA
PENGANTAR
Assalamu’alaikum
wr.wb.
Puji syukur kami panjatkan kehadirat
Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga
kami berhasil menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat dan salam senantiasa kita haturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang
telah membawa kita dari alam yang gelap gulita menuju alam yang terang benderang. Dan
semua perkataan, perbuatan, pengakuan dan sifatnya adalah panutan bagi semua umatnya.
Makalah ini disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah “Qawaid Fiqhiyyah-2"
pada jurusan Muamalah, Universitas Islam
Negeri (UIN)
Mataram. Makalah ini berjudul
“Kaidah fikih yang ke 26-30” yaitu yang akan membahas seputar bagaimana
bunyi dan apa maksud dari kaidah fikih yang ke 26-30.
Demikianlah yang dapat kami sampaikan, kurang lebihnya kami mohon
maaf bila ada salah-salah kata. Sesungguhnya segala kekurangan dan kesalahan
itu datangnya dari kami sendiri. Sedangkan segala kelebihan itu datangnya dari
Allah SWT semoga Allah SWT meridhai kita. Tiada gading yang tak retak. Sekian.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
Mataram, 20 Oktober 2018
Kelompok 05
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Qaidah fikih sebagai salah satu
cabang ilmu di dalam Islam memiliki kedudukan yang sangat penting. Khususnya
kaidah fikih seperti yang kita tahu yang berperan sebagai pengikat bagi kita
umat muslim dalam menentukan hukum suatu permasalahan agar selalu sesuai dengan
syariat Islam. Salah satu bagian dari qaidah fikih ada yang disebut dengan
qaidah kulliyah atau kaidah yang disepakati. Kaidah kulliyah terdiri dari 40
kaidah.
Dalam makalah
kami ini, kami akan membahas 5 kaidah kulliyah, yaitu tepatnya dari kaidah ke
25-30. Bunyi dari kaidah fikih yang ke 26-30 yaitu مَاحَرُمَ إِسْتِعْمَا لُهُ حَرُمَ إِتِّخَاذُهُ (Apa yang haram digunakannya, haram pula
didapatkannya), المَشْغُوْلُ لاَ يَشْغَلُ (Sesuatu yang sedang dijadikan objek perbuatan tertentu, maka
tidak boleh dijadikan objek perbuatan lainnya),
المُكَبَّرُ لاَ يُكَبَّرُ (Yang sudah diperbesar
tidak dibesarkan) مَنِ اسْتَعْجَلَ شَيْعًا قَبْلَ أَوَا نِهِ
عُوْقِبَ بِحِرْمَانِهِ
(Barangsiapa yang berusaha menyegerakan sesuatu yang sebelum waktunya,
menanggung akibat tidak mendapatkan sesuatu itu), dan مَا حَرُمَ أَخْذُهُ حَرُمَ إِعْطَاؤُهُ (Apa yang haram mengambilnya, haram pula
memberikannya).
1.
Bagaimana
bunyi dari kaidah fikih kulliyat yang ke 26-30?
2.
Apa
maksud dari kaidah fikih kulliyat yang ke 26-30?
1.
Mengetahui
bagaimana bunyi dari kaidah fikih kulliyat yang ke 26-30.
2.
Mengetahui
apa maksud dari kaidah fikih kulliyat yang ke 26-30.
BAB II
PEMBAHASAN
مَاحَرُمَ إِسْتِعْمَا لُهُ حَرُمَ إِتِّخَاذُهُ
“Apa yang haram digunakannya, haram pula di
dapatkannya”[1]
Kaidah ini diawali dengan huruf “ما” yang merupakan “isim mausul”
menunjukkan bahwa hal yang disifati tergolong pada sesuatu yang umum. Biasanya
digunakan untuk hal-hal yang bersifat kebendaan atau yang bukan manusia, meski
juga kadang digunakan untuk manusia. Dengan demikian, maka objek dari kaidah di
atas adalah ditujukan kepada benda apa saja.
Jadi, yang dimaksud dengan kaidah di atas adalah bahwa sesuatu yang haram
digunakan, baik dimakan, diminum ataupun dipakai, maka haram pula
memperolehnya. Pengharaman ini dimaksudkan agar tidak mendatangkan kemudharatan
lebih lanjut, atau yang dalam metode ijtihad permasalahan ini kemudian di-sadduz
dzariah-kan. Yang dimaksud dengan sadduz dzariah yaitu
menutup jalan suatu maksiat lantaran dikhawatirkan dapat mengarah atau
menimbulkan suatu maksiat baru yang lain.[2]
Imam As-Suyuthi di dalam kitabnya menyebutkan beberapa contoh dari kaidah
ini, yaitu:
Pertama: Haram
hukumnya memiliki alat-alat
yang melalaikan.Hal ini
dikarenakan keharaman menggunakan alat tersebut baik yang berbentuk musik
ataupun permainan. Semua mazhab yang
empat (Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali) sepakat
untuk mengharamkannya.
Kedua: Haram
hukumnya memiliki bejana yang terbuat dari emas dan
perak. Hal ini dikarenakan keharaman menggunakannya baik untuk wadah
makanan atau hiasan. Rasulullah
Saw
bersabda: “Janganlah kamu
meminum dengan menggunakan bejana yang terbuat dari emas atau perak, dan jangan
makan dengan piring yang terbuat dari keduanya, karena keduanya itu untuk
orang-orang musyrik semasa mereka di dunia, dan untuk kamu nantinya di akhirat”.
Ketiga: Haram
hukumnya memelihara anjing yang bukan digunakan untuk berburu. Atau memelihara
babi. Hal ini diharamkan karena binatang-binatang tersebut dilarang untuk
dimakan.
مَا حَرُمَ أَخْذُهُ حَرُمَ إِعْطَاؤُهُ
“Apa yang haram mengambilnya, haram pula
memberikannya”
Kaidah yang ke-26 ini bisa dibilang mirip dengan kaidah sebelumnya. Yang
dimaksud dengan kaidah di atas adalah bahwa apa saja yang haram mengambilnya,
maka haram pula memberikannya. Oleh karena itu, maka haram hukumnya memberikan
kepada seseorang uang yang didapat dari hasil yang bathil misalnya, mencuri,
korupsi suap ataupun dan lainnya kepada siapapun sekalipun terhadap fakir
miskin. Karena dengan menerima uang pemberian dari hasil yang bathil bisa dianggap sebagai tolong menolong dalam perbuatan dosa yang dilarang oleh Islam.
Sebagaimana firman Allah Swt dalam Qs. Al-Maidah ayat 2.
wur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur
Artinya: “Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan”
(Qs. Al-Maidah ayat 2)
Imam As-Suyuthi
dalam kitabnya Asybah wa nadhair menyebutkan beberapa contoh dari kaidah
di atas yaitu:
Pertama:
Haram hukumnya memberikan riba kepada orang lain, sebagaimana diharamkan
memakan riba dari harta orang lain. Ini berdasarkan dari hadis: “Allah melaknat
orang yang memakan riba, memberinya,
saksinya dan pencatatnya”.
Kedua:
Haram hukumnya memberikan upah (mahar) pada seorang pelacur. Sebagaimana
seorang wanita dilarang mengambil upah dari melacurkan diri (haram melakukan
prostitusi ).
Ketiga:
Haram hukumnya memberikan upah pada tukang ramal (dukun). Sebagaimana diharamkan pekerjaan dukun
tersebut dan mengambil upah dari orang yang diramalnya.
Keempat:
Haram hukumnya memberikan suap (risywah). Sebagaimana diharamkan mengambil uang
suap dari seseorang.[3]
المَشْغُوْلُ لاَ يَشْغَلُ
“Sesuatu yang sedang dijadikan objek perbuatan
tertentu, maka tidak boleh dijadikan objek perbuatan lainnya”
Maksud dari kaidah di atas bahwa di saat sesuatu telah
menjadi objek suatu perbuatan tertentu maka tidak dapat menjadi objek dari
perbuatan yang lain.[4]
Imam As-Suyuthi memberikan contoh dalam kitabnya mengenai
kaidah di atas adalah bahwa dilarang menggadaikan barang yang masih dalam
gadaian (rahn).
المُكَبَّرُ لاَ يُكَبَّرُ
“Yang sudah diperbesar
tidak dibesarkan”
Kaidah di atas menjelaskan bahwa sesuatu yang telah
diperbesar tidak dapat dibesarkan lagi.. Misalnya adalah dalam hal membasuh
najis disunnahkan mengulang tiga kali, namun apabila najis yang terkena adalah
najis anjing maka tidak disunnahkan lagi mengulangnya sebanyak tiga kali. Hal
ini karena hukumya sudah maksimal dengan disuruh mengulang sebanyak tujuh kali
yang salah satunya dicampur dengan tanah.[5]
مَنِ اسْتَعْجَلَ شَيْعًا
قَبْلَ أَوَا نِهِ عُوْقِبَ بِحِرْمَانِهِ
“Barangsiapa yang
berusaha menyegerakan sesuatu yang sebelum waktunya, menanggung akibat tidak
mendapatkan sesuatu itu”
Yang dimaksud dengan kaidah di atas adalah bahwa kita
dilarang untuk menyegerakan sesuatu atau bersikap tergesa-gesa atas sesuatu
yang belum waktunya. Hal ini karena akan terdapat kemungkinan justru kegagalan
yang akan diperoleh. Contohnya adalah kita dilarang untuk tergesa-gesa dalam
berbuka puasa. Karena dengan sikap tergesa-gesa tadi puasa yang dilakukan
justru akan menjadi sia-sia karena berbuka pada belum waktunya.
Namun kaidah ini memiliki pengecualian dalam beberapa hal,
misalnya dalam contoh kasus membayar hutang. Jika dalam hal upaya membayar
hutang justru dianjurkan untuk disegerakan membayarnya.[6]
BAB III
PENUTUP
Kaidah fikih yang ke 26-30 yaitu مَاحَرُمَ إِسْتِعْمَا لُهُ حَرُمَ إِتِّخَاذُهُ (Apa yang haram digunakannya, haram pula
didapatkannya), المَشْغُوْلُ لاَ يَشْغَلُ (Sesuatu yang sedang dijadikan objek perbuatan tertentu, maka
tidak boleh dijadikan objek perbuatan lainnya), المُكَبَّرُ لاَ يُكَبَّرُ (Yang sudah diperbesar tidak dibesarkan) مَنِ اسْتَعْجَلَ شَيْعًا
قَبْلَ أَوَا نِهِ عُوْقِبَ بِحِرْمَانِهِ (Barangsiapa yang
berusaha menyegerakan sesuatu yang sebelum waktunya, menanggung akibat tidak
mendapatkan sesuatu itu), dan مَا حَرُمَ أَخْذُهُ حَرُمَ إِعْطَاؤُهُ (Apa yang haram mengambilnya, haram pula
memberikannya).
Sesungguhnya
makalah kami ini pastilah tidak luput dari kesalahan. Karenanya kami sungguh
sangat mengharapkan kritik dan saran dari segala pihak. Yang dapat lebih
membangun kami lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Suyuthi, Abd al-Rahman Jalaludin, 1384 H, Al-Asybah
Wannazhair Fiil Furu’, Surabaya: Hidayah
Djazuli, H.A, 2014, Kaidah-kaidah Fikih, Jakarta: Kencana.
Zuhdi, Muhammad Harfin, 2016. Qawa’id
Fiqhiyah, Lombok: Elhikam Press.
Mujib, Abdul. 2013, Kaidah-kaidah Ilmu
Fiqh, Jakarta: Radar Jaya.
Rahman Dhallan, Abd, 2014, Ushul Fiqh, Jakarta:
Amzah.
[3] Abd al-Rahman Jalaludin As-Suyuthi, Al-Asybah Wannazhair Fiil Furu’, (Surabaya:
Hidayah, 1384 H), hllm 103.
[5] Muhammad Harfin Zuhdi, Qawa’id Fiqhiyah, (Lombok: Elhikam Press,
2016), hlm. 190.
Komentar
Posting Komentar