Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD 1945 (DPD, DPR, dan MPR)
MAKALAH
Lembaga-lembaga
Negara Menurut UUD 1945 (DPD, DPR, dan MPR)
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata
Kuliah “Hukum Tata Negara”
Dosen Pengampu: Dr. Gazali, MH
1. Suci Ramadhani Putri (170201027)
2. Suci Zuhriah (170201026)
JURUSAN MUAMALAH
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM
2018/2019
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr.wb.
Puji syukur
kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini dengan
baik. Shalawat dan salam senantiasa kita
haturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam yang gelap gulita
menuju alam yang terang benderang. Dan semua perkataan, perbuatan, pengakuan dan sifatnya adalah
panutan bagi semua umatnya.
Makalah ini disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah “Tafsir Hukum Ekonomi Syariah" pada jurusan Muamalah, Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram. Makalah ini berjudul “Lembaga-lembaga
Negara Menurut UUD 1945 (DPR, DPD, dan MPR”
Demikianlah yang dapat kami
sampaikan, kurang lebihnya kami mohon maaf bila ada salah-salah kata.
Sesungguhnya segala kekurangan dan kesalahan itu datangnya dari kami sendiri.
Sedangkan segala kelebihan itu datangnya dari Allah SWT semoga Allah SWT
meridhai kita. Tiada gading yang tak retak. Sekian.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
Mataram, 10 November 2018
Kelompok 07
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Seringkali dipahami bahwa fungsi legislasi hanya terkait dengan
fungsi pembuatan undang-undang dalam pengertian yang sempit. Karena itu, yang
biasa dipahami sebagai lembaga legislatif berdasarkan UUD 1945 pasca reformasi
hanya DPR dan DPD saja. Bahkan, banyak pula tokoh-tokoh politik kita yang
memahaminya lebih sempit lagi, yaitu bahwa lembaga yang mempunyai kewenangan
langsung di bidang pembuatan undang-undang itu hanya DPR, sedangkan DPD hanya
berfungsi sebagai ‘advisory council’ terhadap fungsi DPR..
Pelembagaan fungsi legislature itulah yang disebut parlemen. Di
berbagai negara ada yang melembagakannya dalam satu forum saja (unicameral
atau monocameral), ada pula yang dua forum (bicameral),. Bahkan ada pula
negara-negara yang mempunyai struktur parlemen multi kameral atau terdiri atas
lebih dari dua kamar atau lebih dari dua institusi. Salah satunya adalah
Indonesia yang mempunyai tiga institusi atau tiga forum parlemen sekaligus,
yaitu DPR, DPD, dan MPR. DPR merupakan lembaga perwakilan politik (political
representation), DPR merupakan perwakilan daerah (regional
representation), sedangkan MPR merupakan penjelmaan keseluruhan rakyat,
baik dari segi politik maupun kedaerahan.
Di samping fungsi lainnya, DPR berfungsi untuk membentuk
undang-undang, DPD memberikan pertimbangan dalam pembentukan undang-undang,
sedangkan MPR menetapkan UUD sebagai kebijakan tertinggi. Di berbagai negara,
DPD atau yang disebut dengan nama lain, seperti Senat, biasanya berperan dalam
pengambilan keputusan pembentukan undang-undang atau undang-undang tertentu.
Akan tetapi, berdasarkan UUD 1945 yang berlaku sekarang, keputusan-keputusan
DPD sama sekali tidak menentukan dalam proses pembentukan undang-undang itu.
Peranan DPD hanya bersifat advisoris terhadap DPR. Sementara itu, menurut
Montesquieu, pembentukan undang-undang dasar juga dinamakan legislasi.
1.
Bagaimana
Perkembangan DPD RI?
2.
Bagaimana
Perkembangan DPR RI?
3.
Bagaimana
Perkembangan MPR RI?
1.
Mengetahui
Bagaimana Perkembangan DPD RI.
2.
Mengetahui
Bagaimana Perkembangan DPR RI.
3.
Mengetahui
Bagaimana Perkembangan MPR RI.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Ketatanegaraan
Sebelum perubahan UUD 1945, Republik Indonesia menganut
prinsip supremasi MPR yang merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia yang
berdaulat dan disalurkan melalui prosedur perwakilan politik (political
representation) melalui DPR, perwakilan daerah (Regional Representation)
melalui utusan daerah, dan perwakilan fungsional (Fungsional Representation)
melalui Utusan Golongan. Lembaga MPR disebut sebagai pelaku tertinggi
kedaulatan rakyat bahkan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan
dirumuskan dengan kalimat: “Kedaulatan di tangan rakyat dan dilakukan
sepenuhnya oleh Mejelis Permusyawaratan Rakyat”.
Sekarang ketentuan Pasal 1 ayat (2) tersebut diubah
rumusannya menjadi “Kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar”. Dari segi kelembagaannya, menurut ketentuan UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 pasca perubahan keempat (Tahun 2002), dalam
struktur kelembagaan Republik Indonesia terdapat 8 (delapan) buah organ negara
yang mempunyai kedudukan sederajat yang secara langsung menerima kewenangan
kostitusional dari UUD, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah Agung,
Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Komisi Yudisial. Selain itu
terdapat pula beberapa lembaga atau institusi yang diatur kewenangannya dalam
UUD, yaitu (1) Tentara Nasional Indonesia; (2) Kepolisian Negara Republik
Indonesia; (3) Pemerintah Daerah; (4) Partai Politik.
B. Perkembangan MPR, DPR, dan DPD
1. MPR
a. Sejarah Terbentuknya MPR
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) lahir seiring dengan berdirinya negara
Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. Sebagaimana kita ketahui
bersama bahwa pada tanggal 29 Agustus 1945 sesaat setelah proklamasi
kemerdekaan, dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Sesuai ketentuan
Pasal IV Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, KNIP bertugas membantu
Presiden dalam menjalankan kekuasaan negara, sebelum terbentuknya
lembaga-lembaga negara, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar.
Dalam perkembangan sejarahnya, pada pertengahan Oktober 1945, KNIP kemudian
berubah menjadi semacam parlemen, tempat Perdana Menteri dan anggota kabinet
bertanggung jawab. Hal ini, sejalan dengan perubahan sistem pemerintahan dari
sistem Presidensial ke sistem Parlementer. Sejarah mencatat, bahwa KNIP adalah
cikal bakal (embrio) dari badan perwakilan di Indonesia, yang oleh Undang-Undang
Dasar 1945 diwujudkan ke dalam Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
Keberadaan badan-badan perwakilan, DPR dan MPR ketika itu, tidak terlepas
dari keinginan para pendiri negara bahwa negara yang didirikan adalah negara
yang demokratis. MPR yang anggota-anggotanya terdiri atas anggota DPR, ditambah
dengan utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, dianggap sebagai
penjelmaan seluruh rakyat. Atas dasar itulah MPR melaksanakan kedaulatan
rakyat.
Lembaga MPR disebut sebagai pelaku
tertinggi kedaulatan rakyat bahkan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum
perubahan dirumuskan dengan kalimat: “Kedaulatan di tangan rakyat dan dilakukan
sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.
Sekarang
ketentuan Pasal 1 ayat (2) tersebut diubah rumusannya menjadi “Kedaulatan di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Setelah perubahan UUD 1945,
tidak dikenal lagi adanya lembaga tertinggi negara. Sesuai doktrin pemisahan
kekuasaan (separation of power) berdasarkan prinsip “checks and
balances” antara cabang-cabang kekuasaan negara, MPR mempunyai kedudukan
yang sederajat saja dengan lembaga-lembaga (tinggi) negara lainnya. Malahan,
jika dikaitkan dengan teori mengenai struktur parlemen di dunia, yang dikenal
hanya dua pilihan, yaitu struktur parlemen satu kamar (unikameral) atau
struktur parlemen dua kamar (bikameral).[1]
b.
Tugas dan Wewenang
MPR
Tugas MPR
adalah ( Pasal 3 UUD 1945) :
1)
Mengubah dan
menetapkan UUD 1945
2)
Melantik
Presiden dan Wakil Presiden
3)
Dapat
memeberhentikan Presiden dan Wakil Presiden Presiden dalam masa jabatan
menuurut UUD Pasal1 ayat (2) UUD 1945,
4)
Kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dilakukan menurut UUD.
Sebelumnya MPR adalah pemegang kekuasaan tertinggi atau pemegang kedaulatan
rakyat, sebagai pemegang kekuasaan Negara tertinggi, MPR membawahi
lembaga-lembaga yang lain.
Dengan adanya perubahan ini, maka :
1)
MPR tidak lagi
sebagai lembaga tertinggi Negara
2)
Tidak lagi
memegang kedaulatan rakyat
3)
Tidak lagi
memilih Presidendan Wakil Presiden karena rakyat memilih secara langsung.
Mengenai
memberhentikan presiden dan wakil presiden dalam masa jabatannya, MPR mempunyai
kewenangan apabila:
1)
Ada usulan
dari DPR
2)
Mahkamah
Konstitusi memeriksa, mengadili, dan memutuskan bahwa Presiden dan atau wakil
Presiden bersalah.
Alasan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi Negara dan pemegang
kedaulatan rakyat ditiadakan adalah, karena MPR bukan satu-satunya lembaga yang
melaksanakan kedaulatan rakyat, setiap lembaga yang mengembang tugas-tugas
politik Negara dan pemerintahan adalah pelaksana kedaulatan rakyat dan harus
tunduk dan bertanggung jawab kepada rakyat.
Mengenai susunan keanggotaan MPR menurut pasal 2 (1) mengatakan : MPR
terdiri atas anggota DPR dan Anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum
dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Dengan demikian keanggotaan
MPR terdiri :
1)
Seluruh
anggota DPR
2)
Anggota DPD
Adanya anggota DPD agar lebih demokratis dan meningkatkan keikutsertaan
daerah dalam penyelenggaraan sehari-hari praktek Negara dan pemerintahan
disamping sebagai forum memperjuangkan kepentingan daerah.
Mengenai perubahan UUD 1945 diatur mekanisme perubahan UUD dalam pasal 37 UUD 1945.
Mengenai perubahan UUD 1945 diatur mekanisme perubahan UUD dalam pasal 37 UUD 1945.
a.
Sejarah DPR
Sejarah
terbentuknya DPR RI secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga periode: Pertama;
Volksraad, Kedua; Masa perjuangan Kemerdekaan, Ketiga; Dibentuknya Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP).[2]
Pada masa penjajahan Belanda, terdapat lembaga semacam parlemen bentukan
Penjajah Belanda yang dinamakan Volksraad. Pada tanggal 8 Maret 1942 Belanda mengakhiri masa penjajahan selama 350
tahun di Indonesia.Pergantian penjajahan dari Belanda kepada Jepang
mengakibatkan keberadaan Volksraad secara otomatis tidak diakui lagi, dan
bangsa Indonesia memasuki masa perjuangan Kemerdekaan.
Sejarah DPR RI
dimulai sejak dibentuknya Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) oleh Presiden
pada tanggal 29 Agustus 1945 (12 hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia) di Gedung Kesenian, Pasar Baru Jakarta. Tanggal peresmian KNIP (29
Agustus 1945) dijadikan sebagai TANGGAL dan HARI LAHIR DPR RI. Dalam Sidang
KNIP yang pertama telah menyusun pimpinan sebagai berikut:
a)
Ketua : Mr.
Kasman Singodimedjo
b)
Wakil Ketua I
: Mr. Sutardjo Kartohadikusumo
c)
Wakil Ketua II
: Mr. J. Latuharhary
d)
Wakil Ketua
III : Adam Malik
1)
Periode
Volksraad (Jaman Penjajahan Belanda)
Pasal 53
sampai dengan Pasal 80 Bagian Kedua Indische Staatsregeling, wet op de
Staatsinrichting van Nederlandsh-Indie (Indische Staatsrgeling) yang ditetapkan
pada tanggal 16 Desember 1916 serta diumumkan dalam Staatsblat Hindia
No. 114 Tahun 1916 dan berlaku pada tangal 1 Agustus 1917memuat hal-hal
yang berkenaan dengan kekuasaan legislatif, yaitu Volksraad (Dewan Rakyat).
Berdasarkan konstitusi Indische Staatsrgeling buatan Belanda itulah, pada tanggal 18
Mei 1918 Gubernur Jenderal Graaf van Limburg Stirum atas nama pemerintah
penjajah Belanda membentuk dan melantik Volksraad (Dewan Rakyat).
Dengan
keanggotaan yaitu terdiri dari 1 orang ketua (diangkat oleh Raja) dan 55 orang
anggota (25 orang dari golongan Bumi Putra). Kaum Nasionalis moderat antara
lain Mohammad Husni Thamrin, dll. menggunakan Volksraad sebagai jalan untuk
mencapai cita-cita Indonesia Merdeka memalui jalan Parlemen. Usul-usul anggota
seperti Petisi Sutardjo pada Tahun 1935 yang berisi "permohonan kepada
Pemerintah Belanda agar diadakan pembicaraan bersama antara Indonesia dan
Belanda dalam suatu perundingan mengenai nasib Indonesia di masa yang akan
datang", atau Gerakan Indonesia Berparlemen dari Gabungan Politik Indonesia
yang berisi keinginan adanya parlemen yang sesungguhnya sebagai suatu tahap
untuk menuju Indonesia Merdeka, ternyata ditolak pemerintah Hindia Belanda.
Pada Awal
perang Dunia II Anggota-anggota Volksraad mengusulkan dibentuknya milisi
pribumi untuk membantu Pemerintah menghadapi musuh dari luar, usul ini juga
ditolak. Tanggal 8 Desember 1941 Jepang melancarkan serangan ke Asia.
2) Masa Perjuangan Kemerdekaan
Rakyat
Indonesia pada awalnya gembira menyambut tentara Dai Nippon (Jepang), yang
dianggap sebagai saudara tua yang membebaskan Indonesia dari belenggu
penjajahan. Namun pemerintah militer Jepang tidak berbeda dengan pemerintahan
Hindia Belanda. Semua kegiatan politik dilarang. Pemimpin-pemimpin yang
bersedia bekerjasama, berusaha menggunakan gerakan rakyat bentukan Jepang,
seperti Tiga-A (Nippon cahaya Asia, Pelindung Asia, dan Pemimpin Asia) atau
PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat), untuk membangunkan rakyat dan menanamkan
cita-cita kemerdekaan dibalik punggung pemerintah militer Jepang.
Dibentuknya
Tjuo Sangi-in, sebuah badan perwakilan yang hanya bertugas menjawab pertanyaan
Saiko Sikikan, penguasa militer tertinggi, mengenai hal-hal yang menyangkut
usaha memenangkan perang Asia Timur Raya. Jelas bahwa Tjuo Sangi-in bukan Badan
Perwakilan apalagi Parlemen yang mewakili bangsa Indonesia. Tanggal 14
Agustus 1945 Jepang dibom atom oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet
menyatakan perang terhadap Jepang. Dengan demikian Jepang akan kalah dalam
waktu singkat, sehingga Proklamasi harus segera dilaksanakan. Tanggal 16
Agustus 1945 tokoh-tokoh pemuda bersepakat menjauhkan Sukarno-Hatta ke
luar kota (Rengasdengklok Krawang) dengan tujuan menjauhkan dari pengaruh
Jepang yang berkedok menjanjikan kemerdekaan, dan didesak Sukarno-Hatta agar
segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Setelah berunding selama satu
malam di rumah Laksamana Maeda,maka pada tanggal 17 Agustus
1945 Soekarno-Hatta atas nama Bangsa Indonesia membacakan Proklamasi
Kemerdekaan di halaman rumahnya Pengangsaan Timur 56, Jakarta.
3) Periode KNIP
Sehari setelah
Proklamasi Kemerdekaan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia menetapkan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia, yang kita kenal sebagai
Undang-undang Dasar 1945. Maka mulai saat ini, penyelenggara negara didasarkan
pada ketentuan-ketentuan menurut Undang-undang Dasar 1945.
Sesuai dengan
ketentuan dalam Aturan Peralihan, tanggal 29 Agustus 1945, dibentuk Komite
Nasional Indonesia Pusat atau KNIP beranggotakan 137 orang. Komite Nasional
Pusat ini diakui sebagai cikal bakal badan Legislatif di Indonesia, dan tanggal
pembentukan KNIP yaitu 29 Agustus 1945 diresmikan sebagai hari
jadi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Tanggal 10
Nopember 1945 terjadi pertempuran di Surabaya yang menimbulkan banyak
korban di pihak bangsa Indonesia. Sehubungan dengan itu KNIP dalam Sidang Pleno
ke-3 tanggal 27 Nopember 1945 mengeluarkan resolusi yang menyatakan
protes yang sekeras-kerasnya kepada Pucuk Pimpinan Tentara Inggris di Indonesia
atas penyerangan Angkatan Laut, Darat dan Udara atas rakyat dan daerah-daerah
Indonesia.
Dalam masa
awal ini KNIP telah mengadakan sidang di Kota Solo pada tahun 1946, di Malang
pada tahun 1947, dan Yogyakarta tahun 1949. Perjuangan mempertahankan
kemerdekaan dilaksanakan serentak di medan-perang dan di meja perundingan.
Dinamika revolusi ini juga dicerminkan dalam sidang-sidang KNIP, antara
pendukung pemerintah dan golongan keras yang menentang perundingan. Republik
Indonesia dan Kerajaan Belanda telah dua kali menandatangani perjanjian, yaitu
Linggarjati dan Renville. Tetapi semua persetujuan itu dilanggar oleh Belanda,
dengan melancarkan agresi militer ke daerah Republik.
b.
Tugas dan Wewenang DPR
Untuk lebih lengkapnya uraian mengenai kewenangan DPR itu, dapat
dikutipkan disini ketentuan UUD 1945 Pasal 20 dan Pasal 20A, yang masing-masing
berisi 5 (lima) ayat, dan 4 (empat) ayat. Pasal 20 menentukan bahwa:
1) DPR memegang kekuasaan
membentuk undang-undang.
2) Setiap rancangan undang-undang
dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
3) Jika rancangan undang-undang
itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan itu tidak boleh diajukan lagi
dalam persidangan DPR masa itu.
4) Presiden mengesahkan rancangan
undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.
5) Dalam hal rancangan undang-undang
yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu
tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan
undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
Selanjutnya, ketentuan Pasal 20A berbunyi:
1) DPR memiliki fungsin legislasi,
fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.
2) Dalam melaksanakan fungsinya,
selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, DPR
empunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.
3) Selain hak yang diatur dalam
pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap angota DPR mempunyai hak
mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas.
4) Ketentuan lebih lanjut tentang
DPR dan hak anggota DPR diatur dalam undang-undang.
Selain ketentuan tersebut, dalam Pasal 21 UUD 1945 juga dinyatakan
bahwa “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan
undang-undang”. Anggota DPR itu sendiri, menurut ketentuan Pasal 19 ayat
(1) dipilih melalui pemilihan umum. Dalam ayat (2)-nya ditentukan bahwa susunan
DPR itu diatur dengan undang-undang. Selanjutnya dalam Pasal 22B diatur pula
bahwa “Anggota DPR dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan
tata caranya diatur dalam undang-undang.[3]
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, khususnya terkait pelaksanaan fungsi
pengawasan, DPR dibekali 3 (tiga) hak, yakni:
1)
Hak Interpelasi: hak DPR untuk
meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting
dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
2) Hak Angket: hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap
pelaksanaan suatu undang-undang/kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal
penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
3) Hak Menyatakan Pendapat: hak DPR untuk menyatakan
pendapat atas: Pertama; kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa
yang terjadi di tanah air atau di dunia internasional, kedua; tindak lanjut
pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket atau, ketiga; dugaan bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun
perbuatan tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.[4]
3. DPD
a. Sejarah DPD
DPD lahir pada tanggal 1
Oktober 2004, pada awalnya DPD mempunyai 128 anggota yang terpilih untuk kali
dilantik dan diambil sumpahnya. Di awal pembentukannya banyak tantangan yang
harus dihadapi oleh DPD mulai dari wewenangnya yang dianggap jauh dari memadai
untuk menjadi kamar kedua yang efektif dalam sebuah parlemen bikameral, sampai
dengan persoalan kelembagaan yang juga jauh
dari kata memadai.
Dengan struktur dua kamar itu diharapkan proses
legislasi dapat diselenggarakan berdasarkan sistem “double-check” yang
memungkinkan representasi kepentingan seluruh rakyat secara relatif dapat
disalurkan dengan basis sosial yang lebih luas. Yang satu merupakan cerminan
representasi politik di DPR (political representation), sedangkan yang
lain mencerminkan prinsip representasi teritorial atau regional (regional
representation) di DPD
Jika dibandingkan dari pembentukannya, DPD memang jauh lebih muda dari pada
DPR, hal tersebut karena DPD dibentuk lebih awal dari DPD yaitu tahun 1918
(pada awal terbentuk DPR bernama Volksraad). Namun, apabila dibandingkan
dari segi gagasannya DPD sudah dapat dilacak sebelum masa kemerdekaan. Ditulis
oleh Indra J. Piliang dalam sebuah buku yang diterbitkan DPD, bahwa pemikiran
ini lahir pertama kali pada saat konferensi GAPI tanggal 31 Januari
1941.[5]
Gagasan itu terus
bergeser sampai pada masa pendirian Republik ini, gagasan untuk membentuk
lembaga perwakilan daerah di parlemen nasional ikut dibahas. Gagasan itu
dikemukakan pertama oleh Moh Yamin dalam rapat perumusan UUD 1945 oleh BPUPKI
(Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesa).
b. Tugas dan Wewenang
DPD
Setelah UUD 1945 mengalami amandemen lembaga
ini tercantum, yaitu dalam Bab VII pasal 22C dan pasal 22D. Anggota DPD ada dalam setiap
provinsi, dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilu. Anggota DPD ini bukan
berasal dari partai politik, melainkan dari organisasi-organisasi
kemasyarakatan.
Menurut pasal 22 D UUD 1945,
Menurut pasal 22 D UUD 1945,
DPD memiliki tugas dan wewenang sebagai
berikut.
1)
Mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR
yang berkaitan dengan otonomidaerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan,
pemekaran, serta penggabungan
2)
Daerah, pengelolaan sumber daya alam atau
sumber ekonomi lainnya, juga yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat
daerah.
3)
Memberi pertimbangan kepada DPR atas
rancangan undang-undang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
pajak, pendidikan, dan agama.
4)
Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan
mengenai hal-hal di atas tadi, serta menyampaikan hasil pengawasannya kepada
DPR untuk ditindaklanjuti. DPD ini bersidang sedikitnya sekali dalam setahun.
Sesuai
dengan konstitusi, format representasi DPD-RI dibagi menjadi fungsi legislasi,
pertimbangan dan pengawasan pada bidang-bidang terkait sebagaimana berikut ini
:
1) Fungsi Legislasi. Tugas dan wewenang : Dapat mengajukan rancangan undang-undang (RUU) kepada DPR Ikut membahas RUU.
2) Fungsi Pertimbangan. Tugas dan wewenang : Memberikan pertimbangan kepada DPR
3)
Fungsi Pengawasan. Tugas dan wewenang :
Dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan menyampaikan
hasil pengawasannya kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk
ditindaklanjuti. Menerima hasil pemeriksaan keuangan negara yang dilakukan BPK.
4. DPD
c. Sejarah DPD
DPD lahir pada tanggal 1 Oktober 2004, pada awalnya DPD
mempunyai 128 anggota yang terpilih untuk kali dilantik dan diambil sumpahnya.
Di awal pembentukannya banyak tantangan yang harus dihadapi oleh DPD mulai dari
wewenangnya yang dianggap jauh dari memadai untuk menjadi kamar kedua yang
efektif dalam sebuah parlemen bikameral, sampai dengan persoalan kelembagaan yang juga jauh dari kata
memadai.
Dengan struktur dua kamar itu diharapkan proses legislasi dapat
diselenggarakan berdasarkan sistem “double-check” yang memungkinkan
representasi kepentingan seluruh rakyat secara relatif dapat disalurkan dengan
basis sosial yang lebih luas. Yang satu merupakan cerminan representasi politik
di DPR (political representation), sedangkan yang lain mencerminkan
prinsip representasi teritorial atau regional (regional representation)
di DPD
Jika
dibandingkan dari pembentukannya, DPD memang jauh lebih muda dari pada DPR, hal
tersebut karena DPD dibentuk lebih awal dari DPD yaitu tahun 1918 (pada awal
terbentuk DPR bernama Volksraad). Namun, apabila dibandingkan dari segi gagasannya DPD
sudah dapat dilacak sebelum masa kemerdekaan. Ditulis oleh Indra J. Piliang
dalam sebuah buku yang diterbitkan DPD, bahwa pemikiran ini lahir pertama kali
pada saat konferensi GAPI tanggal 31 Januari 1941.
Gagasan itu terus bergeser
sampai pada masa pendirian Republik ini, gagasan untuk membentuk lembaga
perwakilan daerah di parlemen nasional ikut dibahas. Gagasan itu dikemukakan
pertama oleh Moh Yamin dalam rapat perumusan UUD 1945 oleh BPUPKI (Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesa).
d.
Tugas
dan Wewenang DPD
Setelah UUD 1945 mengalami amandemen lembaga ini tercantum, yaitu dalam
Bab VII pasal 22C dan pasal 22D. Anggota
DPD ada dalam setiap provinsi, dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilu.
Anggota DPD ini bukan berasal dari partai politik, melainkan dari
organisasi-organisasi kemasyarakatan.
Menurut pasal 22 D UUD 1945,
Menurut pasal 22 D UUD 1945,
DPD memiliki tugas dan
wewenang sebagai berikut.
5)
Mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR yang
berkaitan dengan otonomidaerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan,
pemekaran, serta penggabungan
6)
Daerah, pengelolaan sumber daya alam atau sumber ekonomi
lainnya, juga yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat daerah.
7)
Memberi pertimbangan kepada DPR atas rancangan
undang-undang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak,
pendidikan, dan agama.
8)
Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan mengenai
hal-hal di atas tadi, serta menyampaikan hasil pengawasannya kepada DPR untuk
ditindaklanjuti. DPD ini bersidang sedikitnya sekali dalam setahun.
Sesuai dengan
konstitusi, format representasi DPD-RI dibagi menjadi fungsi legislasi,
pertimbangan dan pengawasan pada bidang-bidang terkait sebagaimana berikut ini
:
4)
Fungsi Legislasi. Tugas dan wewenang : Dapat mengajukan rancangan
undang-undang (RUU) kepada DPR Ikut membahas RUU.
5)
Fungsi Pertimbangan. Tugas dan wewenang : Memberikan pertimbangan
kepada DPR
6)
Fungsi Pengawasan. Tugas dan wewenang : Dapat
melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan menyampaikan hasil
pengawasannya kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
Menerima hasil pemeriksaan keuangan negara yang dilakukan BPK.
Dari Utusan Golongan dan Utusan Daerah
Menjadi DPD RI Kelahiran DPD melalui amandemen ketiga dan ke empat mendapatkan
dukungan kuat melalui gerakan reformasi 1998. Oleh karenanya tidak terjadi
perdebatan panjang terkait pembahasan keberadaan DPD, akan terkait nama,
kewenangan serta nasib dari utusan golongan terdapat perdebatan panjang di
dalamnya, khususnya terkait fungsi DPD.
Terkait nama berdasarkan identifikasi
Valina Singka Subekti, istilah-istilah yang digunakan oleh Fraksi-Fraksi MPR,
antara lain: Dewan Utusan Daerah (DUD), Dewan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Daerah (DPD). Akhirnya Fraksi-Fraksi MPR sepakat menggunakan istilah Dewan
Perwakilan Daerah (DPD). Sedangkan untuk utusan golongan sendiri diputuskan
untuk dihapuskan karena dirasa sudah dapat ditampung oleh DPR. Terkait dengan
kewenangan Fraksi PDIP menyarankan agar DPD hanya memberikan persetujuan RUU
tentang APBN. Berbeda dengan Fraksi PDIP, Fraksi PG menginginkan agar DPD
menjalankan fungsi legislasi dan fungsi pengawasan. Meskipun demikian Fraksi PG
lebih menekannya bobot pembuatan undang-undang lebih berada di DPR dibandingkan
DPD.
Hal tersebut mengingat DPR dianggap
lebih dekat dengan rakyat jika dibandingkan 9 Anthnoy Giddens, , The
Constitution on Society: Teory Strukturai Untuk Analisis Sosial, Diterjemakan
oleh Adi Loka Sujono, (Yogyakarta: Surokarsan MG II/551, 2011), Hal.32. 5
dengan DPR. Fraksi PG juga memberikan hak kepada DPD untuk ikut menyetujui RUU
bersama dengan DPR, yaitu RUU menyangkut APBN, otonomi daerah, hubungan kekuasaan
dan keuangan antara pusat dan daerah, pemekaran wilayah dan perubahan batas
wilayah, serta pengelolaan sumber daya alam harus mendapat persetujuan Dewan
Utusan Daerah. Fraksi PG Dalam Rapat ke-32 PAH I BP MPR juga menginginkan agar
redaksi dari pasal 22 D yaitu DPD dapat mengajukan RUU yang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran dan
seterusnya.
Kemudian Golkar ingin agar DPD bukan
hanya sekedar memberikan pertimbangan kepada DPR tetapi ikut membahas RUU bersama
dengan DPR. Selanjutnya, Frasa ”DPD dapat…..”, kata “dapat” diganti dengan kata
“berwenang” karena secara substansi kata “berwenang” itu lebih kuat
dibandingkan dengan kata “dapat”. Dalam Rapat ke-32 PAH I BP MPR sejalan dengan
Fraksi PG, Lukman Hakim Saifuddin (F PPP) mengatakan bahwa fungsi DPR dan DPD
pada hakekatnya sama, yakni masing-masing memiliki fungsi legislasi, fungsi
budgeting, dan fungsi pengawasan. Oleh sebab itu, usulan kata “kepada DPR”
dihilangkan yang berasal dari “DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan
undang-undang.” Lukman Hakim Saifuddin menambahkan bahwa DPD ikut membahas RUU
yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat-daerah, pembentukan,
pemekaran, dan penggabungan daerah serta pengelolaan sumber daya alam dan
sumber ekonomi lainnya. Selanjutnya kata “dapat” diusulkan untuk dihilangkan
untuk mempertegas keberadaan DPD. Berbeda dengan fraksi PG, fraksi TNI/POLRI
yang awalnyat tidak menyetujui adanya pelembagaan DPD sebagai DPD melalui
Affansi lebih setuju dengan kalimat “ dapat mengajukan kepada DPR”. Dari
perdebatan-perdebatan di antara para fraksi di dalam MPR, akhirnya disepekati
bahwa wewenang yang dimiliki oleh DPD adalah sebagaimana tercantum di pasal 22D
UUD 1945.
Akan tetapi substansi yang ada di dalam
pasal 22D ini tidak seutuhnya sesuai dengan desain awal yang di inginkan dari
dibentuknya DPD. Menurut Farouk Muhamad desain DPD nya dulu ide bikameral (dua
kamar). Berarti fungsi dan wewenangnya sama (sama dengan DPR) cuma ada
keterbatasan DPD menyangkut daerah. Sedangkan DPD yang saat ini DPD berbeda
dengan konsep awal yang diinginkan, dan justru malah terus terjadi degradasi
kewenangannya secara terus-menurus dari konsep ke konstitusi, dari konstitusi
ke undangundang. Hal ini menunjukan bahwa kelahiran DPD tidak sungguh-sungguh
diinginkan. Menurut Mohamad Nasih kehadiran DPD hanya sebatas sebagai gula-
gula, yaitu untuk memenuhi adanya tuntutan akan harus adanya DPD di kasih DPD.
Yang penting sudah ada DPD, tetapi tidak dikasih kewenangan. Artinya bahwa
pembentukan DPD itu hanya untuk menyenangkan orang-orang yang meminta.
Kewenangan DPD yang lemah ini merupakan disebabakan karena tidak adanya
dukungan dari rezim yang berkuasa pada saat itu, Megawati. Dr. (HC) A.M. Fatwa
pimpinan Badan Kehormatan DPD yang saat itu menjabat sebagai wakil ketua DPR
dan MPR RI mengatakan: “Presiden Megawati pada waktu mengkonsolidasikan
pengaruhnya dengan secara praktis menyatakan bahwa “pemerintah dalam menghadapi
DPR saja sudah kuwalahan apalagi menghadapi dua kamar parlemen”.Bahkan menurutnya
di dalam proses amandemen UUD 1945, khususnya pada saat pembicaraan posisi DPD
ada dua fraksi yakni Fraksi ABRI dan Fraksi PDIP yang tidak menginginkan posisi
DPD setara dengan DPR dalam rangka sistem keparlemenan dua kamar (bicameral”)”.
Dukungan rezim penguasa mempunyai
pengaruh besar karena Meskipun PDIP yang merupakan basis politik dari Megawati
hanya memiliki 153 dari 500 kursi di DPR akan tetapi ia mampu membangun kabinet
koalisi yang secara teoritis memiliki basis lebih dari 70 persen kursi kekuatan
partai politik di DPR. Amandemen ke empat UUD 1945 sebagai mana telah
dijelaskan telah mengembalikan anggota DPD menjadi anggota fraksi di MPR
sebagaimana sebelum 6 amandemen terjadi.
Hanya saja setelah amandemen ketiga,
anggota DPD yang merupakan anggota fraksi di MPR tidak lagi dipilih oleh
presiden di dalam proses rekruitmennya akan tetapi dipilih langsung oleh rakyat
memalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem rekruitmen anggota DPD RI dari
yang semula ditunjuk menjadi merupakan salah satu wujud dari desakan gerakan
1998 dalam mewujudkan demokrasi di Indonesia. Yang mana hal tersebut
disampaikan oleh Sri Sumantri Martosoewignjo dan Mochamad Isnaeni Ramadhan
bahwa pembentukan DPD tidak lepas dari adanya tuntutan demokratisasi pengisian
anggota lembaga agar selalu mengikutsertakan rakyat pemilih.10 Oleh karenanya
dibentukalah DPD yang anggotanya dipilih secara langsung oleh rakyat sebagai
pengganti dari utusan dan daerah yang sebelum dibilih dengan cara “ditunjuk”.
Tuntutan akan proses demokratisasi ini bermula dari tuntutan gerakan reformasi
1998 yang menuntut diturunkannya presiden Soeharto.
Proses demokratisasi tersebut merupakan
agenda besar, yang mana International IDEA (Institute for Democracy And
Electoral Assistance) membaginya agenda reformasi dalam tujuh bidang, yaitu:
konstitusionalisme dan aturan hukum, otonomi daerah, hubungan sipil militer,
masyarakat sipil, pembangunan sosioekonomi, gender dan pluralisme agama.11
Proses demokratisasi tersebut memiliki kaitan erat dengan penataan sistem
politik dan kelembagaan di dalam konstitusi sehingga tidak lagi menjadi alat
kekuasaan otoriter.
Kondisi tersebut dapat dilihat dimana pada era
orde baru penguasa menjadikan DPR dan MPR sebagai alat untuk melanggengkan
kekuasaan otoriterianisme yang dimilikinya. Salah satu cara yang digunakan oleh
penguasa yaitu dengan pengisian kedua lembaga tersebut melalui jalan penunjukan
oleh presiden. Terutama disini adalah MPR yang mana MPR diisi oleh oleh
TNI/ABRI, Utusan Daerah dan Utusan Golongan Golongan serta partai Golkar yang
menjadi alat politik penguasa sehingga rekruitmennya melalui jalur penunjukan
oleh presiden.
Oleh karenanya seringkali disampaikan
bahwa Soeharto yang merupakan penguasa pada saat itu didukung oleh kekuatan
Golkar, TNI dan Birokrasi. Disis lain, pengisian kursi DPR dengan jalan pemilu
yang sudah disetting menjadi langkah lain dalam memperkokoh kekuatan penguasa
dengan memenangkan Golkar di dalam pemilu sebagai salah satu kekuatan politik
dari penguasa. Adanya kondisi-kondisi politik tersebut yang mengakibatkan
tersumbatnya aspirasi politik berdampak pada tuntutan demokratisasi yang salah
satunya adalah cara pengisian semua lembaga perwakilan, terutama DPR dan MPR
dengan cara pemilihan seluruhnya.12
Pendapat bahwa semua lembaga perwakilan
dan anggotanya harus dipilih melalui pemilihan langsung dikemkakan oleh anggota
Komisi A MPR RI pada rapat Komisi A tanggal 5 November 2001:13 “... maka di
dalam Bab II pasal 2 itu alternatifnya harus dipilih menurut kami adalah
alternatif 2 jadi Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri dari Dewan Perwakilan
Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah yang anggotannya dipilih memalui Pemilihan
Umum. Jadi tidak ada orang yang berhak mengatasnamakan wakil rakyat yang memang
tidak benar-benar dipilih oleh rakyat. Satu prinsip yang harus kita tegakkan
kalau kita ingin membangun negara demokratis yang berdasarkan hukum.” Jadi
proses demokratisasi yang telah menjadi dasar berubahnya sistem rekruitmen
anggota DPD (sebelumnya Utusan Daerah), merupakan upaya untuk memperkokoh MPR
10 Safa’at, Muchammad Ali, Parlemen Bikameral, Op.Cit, Hal.95. 11Safa’at,
Muchammad Ali, Parlemen Bikameral, Ibid, Hal.92. 12 Masalah ini diakui di dalam
Ketetapan MPR No.V/ MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan.
Salah satu masalah yang diidentifikasi
pada angka 8 ketetapan tersebut adalah “Berlangsungnya pemerintahan yang telah
mengabaikan proses demokrasi menyebabkan rakyat tidak dapat menyalurkan
aspirasi politiknya sehingga terjadi gejolak politik yang bermuara pada gerakan
reformasi yang menuntuk kebebasan, kesetaraan dan keadilan.” 13 Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Buku Keempat Jilid 1 A: Risalah
Rapat Koisi A Ke-1 s/d Ke-3 Tanggal 4 November s/d 6 November 2001, Masa Sidang
Tahunan MPR RI Tahun 2001, Sekretariat Jenderal Majelesi Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia, Tahun 2001, Hal.47. 7 sehingga tidak menjadi alat politik
dari penguasa. Hal tersebut mengingat pada masa itu (sebelum amandemen ke tiga
dan ke empat) MPR memiliki kewenangan yang sangat strategis dan kuat yaitu: 1.
Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 3 UUD 1945) 2. Menetapkan
Garis-Garis Besar Halauan Negara (Pasal 3 UUD 1945) 3.
Memilih presiden dan wakil presiden
(Pasal 6 UUD 1945) 4. Mengangkat presiden dan wakil presiden (Pasal 9 UUD 1945)
Kewenangan MPR yang begitu kuatnya yaitu penentu pemegang kekuasaan eksekutif
serta menetapkan GBHN jelas menjadi faktor penting alasan untuk menguasai MPR.
Dengan dirubahnya rekruitmen melalui pemilihan langsung untuk mengisi kursi MPR
diharapkan demokratisasi dapat terwujud serta MPR mampu menjadi lembaga yang
menjadi pemegang kedaualatan rakyat seutuhnya karena dipilih langsung oleh
rakyat. Disisi lain rekruitmen anggota DPD yang dilaksanakan bersamaan dengan
rekruitmen anggota DPR dan DPRD menjadikan konstituen DPD dan DPR adalah sama
secara logika perwakilan “orang”.
Meskipun sistem distrik yang digunakan
adalah sisttem distrik dengan menggunakan logika perwakilan ruang, bukan orang.
Sehingga dengan sistem pemilihan tersebut anggota DPD mempunyai dukungan yang
bersifat distrik. Sistem rekruitmen yang memberikan kebebasan bagi setiap
individu untuk dapat menjadi anggota DPD, baik itu berasal dari partai politik
maupun bukan, impact-nya yaitu orang-orang yang mewakili daerah di DPD adalah
orang-orang yang berasal dari politisi atau yang bertalian dengan politisi
sehingga mempunyai akses yang lebih untuk menjadi anggota DPD. Bahkan tidak
sedikit anggota DPD yang terpilih adalah orang-orang yang tidak tidak menguasai
permasalahan daerah. Hal tersebut juga disampaikan oleh Prof. Jhon yang
mengatakan bahwa salah satu hambatan DPD RI adalah hambatan personal (personal
constraint).14 Hal serupa juga disampaikan oleh Muhammad Sururi, bahwa tidak
sampai 50% (dari setiap provinsi) yang memiliki kapabilitas dan cenderung masih
belum mengoptimalakan perannya yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat
yang diwakilinya.15 Berdasarkan pada penjelasan diatas dapat ditarik benang
merah bahwa amandemen ketiga dan keempat UUD 1945 telah melahirkan DPD sebagai
lembaga perwakilan yang memegang mandat sebagai wakil dari daerah disatu sisi
serta sebagai anggota MPR di sisi lain.
Akan tetapi dari hasil amandemen
tersebut belum mampu menciptakan tata aturan ketatanegaraan yang mendekati
ideal sehingga dapat menjalankan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi
(check and balances). Hasil rumusan yang ada justru melahirkan ketegangan antar
lembaga. Kondisi saling “sandera” yang jauh dari sifat ideal dan semangat luhur
dari cita-cita melakukan penataan sistem ketatanegaraan.16 Hal tersebut juga
terjadi antara relasi DPD dan DPR. 2. Putusan Mahkamah Konstitusi dan Harapan
Penguatan Fungsi Legislasi DPD RI DPD lahir sebagai kamar kedua di parlemen
yang mengemban amanat perwakilan daerah lahir dengan kewenangan yang sangat lemah
dari konstitusi. Fungsi yang lemah ini menjadi salah satu penghambat secara
struktural bagi DPD untuk menjalankan mandat perwakilan yang dimilikinya.
Salah satu tugas DPD yang menjadi
aktivitas utama DPD adalah menyerap hasil asiprasi dari daerah akan tetapi
hasil serapan itu hanya mampu sampai ada proses komunikasi dengan pemerintah
dengan DPR yang mana hasil akhir dari serapan tersebut terserah pada kedua
lembaga tersebut. Sedangkan di fungsi legislasi DPD tidak 14 Jhon Pieris,
Op.Cit. 15 Muhammad Sururi, Op.Cit. 16 Kelompok DPD di MPR RI, Info Memo “
Perubahan Kelima Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
(Jakarta: Sekjen Dewan Perwakilan DPD RI, 2014), Hal.3. 8 memilki hak untuk
ikut membahas sampai akhir serta hak untuk ikut serta dalam pengambilan
keputusan. Hal tersebut berdampak meskipun secara produktivitas DPD mampu
melahirkan cukup banyak RUU akan tetapi RUU tersebut tidak mampu di undangkan.
Bahkan RUU usul DPD yang lain banyak
terabaikan, ada yang dijadikan sebagai UU DPR, atau dapat dikatakan RUU
inisiatif DPD sudah berganti baju dengan isi yang sama. RUU dari DPD diklaim
(berganti baju) sebagai RUU DPR setelah dilakukan harmonisasi di Badan
Legislasi (Baleg). Bahkan RUU dari inisiatif DPD tidak hanya berganti baju akan
tetapi juga terjadi pergantian subsatansi di dalamnya meskipun judulnya masih
sama. Misalnya saja UU tentang keuangan Lembaga Mikro, yang mana RUU nya
merupakan inisiatif pure dari DPD, substansinya berubah dari inisiatif DPD.
Dari inisiaif DPD ingin membentuk lembaga keuangan non bank seperti Grameen
Bank di Pakistan sebagagai yang sifatnya membantu bagi para petani, pedagang
dan para nelayan tanpa bunga yang simpan-pinjamnya tidak membebani si peminjam.
C.
Pembagian Kekuasaan antara MPR, DPR
dan DPD dalam Mewujudkan Kedaulatan Rakyat
Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945
mengamanatkan bahwa susunan negara Republik Indonesia adalah negara yang
berkedaulatan rakyat yang dalam pelaksanaannya menganut prinsip kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan. Untuk mewujudkan hal tersebut perlu dibentuk lembaga
permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat dan lembaga perwakilan daerah
yang mampu memperjuangkan aspirasi rakyat termasuk kepentingan daerah dalam
rangka menegakkan nilai-nilai demokrasi keadilan dan kesejahteraan rakyat dalam
wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan seperti disebutkan dalam
penjelasan Undang Undang Susduk, diwujudkan dengan pembentukan lembaga
permusyawaratan yaitu MPR, lembaga perwakilan rakyat yaitu DPR (pusat) dan DPRD
(daerah) dan lembaga perwakilan daerah yaitu DPD.
Prinsip
kedaulatan rakyat salah satunya tercermin dalam struktur dan mekanisme
kelembagaan negara dan pemerintahan yang menjamin tegaknya hukum dan
berfungsinya sistem demokrasi. Dari segi kelembagaan, prinsip kedaulatan rakyat
itu biasanya diorganisasikan sistem pemisahaan kekuasaan (separation of power) atau pembagian kekuasaan (distribution atau division of
power).
Pembagian
kekuasaan antara MPR, DPR dan DPD secara prinsipil bertugas untuk mengemban
amanat rakyat, sebagai perwujudan kedaulatan rakyat. Sebelum amandemen
Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 pembagaian kekuasaan yang dianutadalah
bersifat vertikal, yaitu MPR sebagai pemegang kedaulatan memberikan dan
membagikan kekuasaan yang dimilikinya kepada lembaga-lembaga negara lainnya.
Namun sekarang, dengan kedudukan MPR yang bukan lagi sebagai lembaga tertinggi
melainkan sederajat, pembagian kekuasaannya adalah bersifat horizontal.[6]
Pembagian
kekuasaan antara ketiga lembaga ini, sangat menentukan terwujudnya kepentingan
rakyat dengan baik dan proporsional. Kepentingan rakyat adalah pertimbangan
yang
D. Hubungan antara MPR, DPR dan DPD
dalam Sistem Ketatanegaraan Setelah Amandemen UUD 1945
Hubungan antara MPR, DPR, dan DPD adalah hubungan
kesederajatan untuk dapat saling mengisi dan mengimbangi, sebagaimana prinsip check and balances. Berdasarkan prinsip ini diharapkan pelaksanaan dari
masing-masing tugas dan fungsi yang dimilikinya, dapat lebih membentuk suatu
lembaga yang harmonis. Harmonisasi hubungan antara lembaga negara sangat
menentukan kualitas dari produk kerja dan kredibilitas daripada lembaga-lembaga
negara.
Hubungan antara MPR dengan DPR dan DPD menyangkut bidang
tugas yang dijalankan oleh MPR, di mana anggota-anggota DPR dan DPD yang
merupakan anggota MPR secara otomatis ikut terlibat didalamnya, seperti dalam
kewenangan MPR untuk melantik dan memberhentikan Presiden dan/atau Wakil
Presiden serta mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945. Namun
terhadap bidang tugus yang dimiliki oleh DPR maupun DPD maka MPR tidak memiliki
kapasitas untuk ikut terlibat, karena MPR tidak memiliki organ tersendiri
seperti DPR dan DPD.
Bagaimanakah hubungan antara DPR dan DPD dalam konteks
lembaga perwakilan ? Hubungan antara kedua lembaga perwakilan ini dapat dilihat
dari fungsi utamanya dalam bidang pengawasan, legislasi dan anggaran. Sebagai
sama-sama lembaga parlemen, keseluruhan fungsi parlemen itu ada di kedua
lembaga ini, dan karena itu pembagian tugas keduanya dapat diatur berkenaan
dengan aspek-aspek tertentu yang terkait dengan fungsi legislatif, pengawasan
dan fungsi anggaran tersebut. Misalnya, pelaksanaan fungsi legislatif,
pengawasan dan fungsi anggaran yang berkenaan dengan kepentingan daerahdaerah,
haruslah dilakukan oleh DPD bukan oleh DPR.
Hubungan antara DPR dan DPD dalam bidang legisiasi,
berdasarkan amandemen Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945, terlebih dahulu
dipaparkan mengenai kekuasaan dari masing-masing lembaga perwakilan tersebut
berkenaan dengan fungsi pembuatan undang-undang (legisiasi).
Dewan Perwakilan Rakyat memiliki kekuasaan untuk
membentuk undang-undang. Setiap rancangan undang-undang yang diajukan oleh
Presiden, DPR maupun DPD, kemudian dibahas oleh Presiden dan DPR untuk mendapat
persetujuan bersama. Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat
persetujuan bersama, RUU itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR
masa itu. Rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi
undang-undang kemudian disahkan oleh Presiden. Apabila presiden tidak
mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama, untuk menjadi undang-undang
kemudian disahkan oleh Presiden. Apabila Presiden tidak mengesahkan RUU yang
telah disetujui bersama, dalam waktu tiga puluh hari semenjak RUU tersebut
disetujui, RUU itu sah menjadi undang-undang.
Sedangkan kekuasaan Dewan Perwakilan Daerah dalam bidang
legisiasi, dimana DPD mengajukan kepada DPR RUU yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan pemekaran serta penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. DPD ikut membahas
RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah, memberikan pertimbangan kepada DPR atas
RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agaKekuasaan
DPD dalam bidang legislasi di bandingkan
dengan kekuasaan DPR, hanya terbatas pada kekuasaan untuk mengajukan RUU dan bukan
memberikan persetujuan.
Kemampuan untuk memberikan persetujuan terhadap setiap
RUU menurut amandemen Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 hanya diberikan kepada
DPR dan Presiden. Bukankah sebagai suatu lembaga perwakilan yang memang
memiliki tugas untuk membentuk UU seharusnya memiliki kekuasaan untuk membentuk
dan sekaligus memberikan persetujuan terhadap pembuatan suatu RUU untuk menjadi
UU. Kekuasaan yang dimiliki oleh Presiden untuk memberikan persetujuan terhadap
RUU menjadi UU, sebaiknya dihapuskan saja, karena Presiden selaku lembaga
eksekutif hanyalah pelaksana daripada UU yang dibuat oleh lembaga perwakilan.
Namun persoalan ini tentunya tidak bisa dilepaskan dari dianutnya sistem “soft becameralism”
di Indonesia dan bukan “strong becameralism“.
Dalam sistem parlemen dua kamar seperti di Amerika
Serikat, setiap rancangan UU mengharuskan persetujuan bersama antara DPR dan
Senat. Ketentuan semacam ini tentu tidak harus diadopsi secara persis dalam
situasi di Indonesia. Jika suatu RUU dipersyaratkan untuk disetujui oleh DPR
dan DPD sekaligus seperti di Amerika Serikat, niscaya dapat timbul penilaian
bahwa proses pembuatan suatu UU di masa yang akan datang menjadi lebih berat,
yaitu di samping harus disetujui bersama oleh DPR. dan DPD, juga harus
disetujui bersama oleh Presiden.
Terhadap hal ini
Jimly Asshiddiqie mengusulkan agar persetujuan atas RUU sebaiknya disetujui
oleh dua lembaga saja, yaitu DPR bersama Presiden, atau DPR bersama DPD. Jika
dua dari ketiga lembaga tersebut sudah menyetujui maka lembaga ketiga tidak
dapat lagi menolak untuk menerimanya sebagai UU yang sah. Sayang, dalam naskah
perubahan Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945, khususnya yang berkenaan dengan
ketentuan Pasal 20 ayat (1) sampai dengan ayat (5), pengertian demikian belum
tercakup secara utuh.
Berkaitan dengan itu, mengenai hubungan kekuasaan antara
DPR dan DPD dalam bidang legislasi yang mana DPD hanya memiliki kekuasaan untuk
mengajukan usul dan membahas usulannya tersebut bersama-sama dengan DPR dan
pemerintah, tetapi hanya sampai pada tingkat I dalam hal penyampaian pandangan
dan pendapat DPD atas RUU, serta tanggapan atas pandangan dan pendapat dari
masing-masing lembaga. Pandangan dan pendapat serta tanggapan ini dijadikan
sebagai bahan masukan utuk pembahasan lebih lanjut antara DPR dan pemerintah.
PENUTUP
Kesimpulan dari makalah kami yaitu bahwa tugas-tugas MPR dalam Pasal 3 UUD 1945 hasil amandemen adalah sebagai
berikut : Mengubah dan menetapkan
undang-undang dasar, melantik presiden dan/atau wakil
presiden, memberhentikan presiden dan/atau
wakil presiden dalam masa jabatannya menurut undang-undang dasar. Susunan
keanggotaan MPR terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) yang dipilih melalui pemilihan umum.
Keanggotaan DPR merangkap keanggotaan MPR. Oleh karena itu, kedudukan dewan
ini kuat dan tidak dapat dibubarkan oleh presiden yang memegang kekuasaan
tertinggi dalam pemerintahan negara. Tugas-tugas DPR dalam UUD 1945 hasil amandemen adalah sebagai berikut :
Membentuk undang-undang (Pasal 20 Ayat 1), membahas rancangan undang-undang (RUU) bersama presiden (Pasal 20 Ayat 2), membahas rencana anggaran pengeluaran belanja negara (RAPBN) bersama presiden (Pasal 23 Ayat 2)
Membentuk undang-undang (Pasal 20 Ayat 1), membahas rancangan undang-undang (RUU) bersama presiden (Pasal 20 Ayat 2), membahas rencana anggaran pengeluaran belanja negara (RAPBN) bersama presiden (Pasal 23 Ayat 2)
Dalam UUD 1945 hasil amandemen 2002 tersebut juga dicantumkan fungsi dan
hak DPR. DPR mempunyai fungsi legislasi, fungsi aggaran dan fungsi pengawasan
(Pasal 20A Ayat 1)
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) adalah sebuah lembaga baru setelah adanya
perubahan UUD 1945. Menurut Pasal 22C Ayat 1, anggota DPD dipilih dari setiap
provinsi melalui pemilihan umum. Anggota DPD dari setiap provinsi jumlahnya
sama.
Sesungguhnya
makalah kami ini pastilah tidak luput dari kesalahan. Karenanya kami sungguh
sangat mengharapkan kritik dan saran dari segala pihak. Yang dapat lebih membangun
kami lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Jimly
Asshidiqie, 10 November 2018,
Lembaga Perwakilan dan Rakyat Tingkat Pusat, https://brandalmetropolitan.blogspot.com/2016/10/lembaga-perwakilan-dan-permusyawaratan.html.
Materi Kita, 10 November 2018, Sejarah
Hak dan Wewenang DPD, https://materikita.com/dewan-perwakilan-daerah/.
[1] Jimly Asshidiqie,
Lembaga Perwakilan dan Rakyat Tingkat Pusat, diakses dari https://brandalmetropolitan.blogspot.com/2016/10/lembaga-perwakilan-dan-permusyawaratan.html, pada tanggal 10 November 2018.
[2] DPR RI, Sejarah Terbentuknya Dewan Perwakilan
Rakyat RepublikIndonesia,diakses
dari http://www.dpr.go.id/tentang/sejarah-dpr, pada tanggal 7 Desember 2018.
[3]
Jimly Asshidiqie, Lembaga
Perwakilan dan Rakyat Tingkat Pusat,
diakses dari https://brandalmetropolitan.blogspot.com/2016/10/lembaga-perwakilan-dan-permusyawaratan.html, pada tanggal 10 November 2018.
[4] Rmol, Profil
DPR RI, diakses dari https://rmol.co/dpr/profil.php, pada tanggal 10 November 2018.
[5] Materi Kita, Sejarah Hak dan
Wewenang DPD, diakses dari https://materikita.com/dewan-perwakilan-daerah/, pada tanggal 10 November 2018.
[6] Munif Rochmawanto, Pembagian Kekuasaan Antara
Mpr, Dpr, Dan Dpd Dalam Mewujudkan Sistem Ketatanegaraan Yang Berkedaulatan
Rakyat, Journal.unisla,Vol. 2 No.1, 2011, hal.8.
Sangat bermanfaat..
BalasHapus