PENGADILAN AGAMA DALAM MENGEMBANGKAN EKONOMI SYARIAH


“PENGADILAN AGAMA DALAM MENGEMBANGKAN
EKONOMI SYARIAH”

Dosen Pengampu: Imam Edy Ashari, SH.MH

 




1.      Suci Ramadhani Putri                            (170201027)
2.      Dian Sri Lestari                                         (170201028)
3.      Muhammad Safri Hanafi                          (170201029)
4.      Eva Septiana                                             (170201030)
5.      Nava Yuliana Safitri                                 (170201031)


PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH (MUAMALAH)
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM
2020


KATA PENGANTAR


Assalamu’alaikum wr.wb.
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat dan salam senantiasa  kita haturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam yang gelap gulita menuju alam yang terang benderang. Dan semua perkataan, perbuatan, pengakuan dan sifatnya adalah panutan bagi semua umatnya.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Fiqh Siyasah"  pada Prodi Hukum Ekonomi Syariah, Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram. Makalah ini berjudul “Pengadilan Agama Dalam Mengembangkan Ekonomi Syariah”.
Demikianlah yang dapat kami sampaikan, kurang lebihnya kami mohon maaf bila ada salah-salah kata. Sesungguhnya segala kekurangan dan kesalahan itu datangnya dari kami sendiri. Sedangkan segala kelebihan itu datangnya dari Allah SWT semoga Allah SWT meridhai kita. Tiada gading yang tak retak. Sekian.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
                                                                                                 Mataram, 30 Maret 2020
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Kelompok 05


DAFTAR ISI







BAB I

PENDAHULUAN


Peradilan Agama di Indonesia, merupakan salah satu institusi pelaksana kekuasaan kehakiman, yakni suatu kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakkan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.[1] Sedangkan ekonomi syariah menurut Abdul Manan, ekonomi syariah adalah “social science which studies the economic problems of people imbued with the values of islam” (Ekonomi islam adalah ilmu pengetahuan social yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam”.[2]
Belakangan ini perekonomian syariah di Indonesia berkembang cukup pesat bahkan dibeberapa sektor perekonomian, ekonomi syariah telah berhasil mendominasi pangsa pasar. Seiring dengan perkembangan ekonomi syariah di Indonesia, tentu tidak luput pula dari sengketa-sengketa yang melibatkan para pelakunya, yaitu antara oengusaha dengan konsumennya maupun sebaliknya.
Sehingga hadirnya suatu peradilan agama ini sebagai pemberi kepastian hukum di bidang ekonomi syariah sangat membantu dalam menjamin hak dan kewajiban masing-masing pihak dapat benar-benar terlaksana. Sehingga kemudian dalam makalah ini kami mencoba untuk untuk mengupas beberapa hal yang kiranya dapat memberi penjelasan tentang hubungan atau relasi anatar pengadilan agama dengan ekonomi syariah. Dan bagaimana pula sesungguhnya regulasi mengenai kewenangan pengadilan agama dalam menyelesaikan sengketa-sengketa ekonomi syariah. Semakin hari persoalan-persoalan ekonomi syariah semakin kompleks yang harus diselesaikan, sehingga pada makalah kami ini juga kami mengupas mengenai bagaimana sesungguhnya penguatan peradilan agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Terakhir, kami juga melengkapi makalah kami ini dengan bagaimana pelaksanaan dari penyelesaian sengketa ekonomi syariah itu sendiri di pengadilan agama.
1.      Bagaimanakah relasi antara pengadilan agama dan ekonomi syariah?
2.      Bagaimanakah kewenangan pengadilan agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah?
3.      Bagaimanakah penguatan peran pengadilan agama dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah?
4.      Bagaimanakah pelaksanaan penyelesaian perkara ekonomi syariah di pengadilan agama?
1.      Mengetahui bgaimana relasi antara pengadilan agama dan ekonomi syariah.
2.      Mengetahui bagaimana kewenangan pengadilan agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah.
3.      Mengetahui bagaimana penguatan peran pengadilan agama dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah.
4.      Mengetahui bagaimana pelaksanaan penyelesaian perkara ekonomi syariah di pengadilan agama.







PEMBAHASAN

Pengadilan Agama merupakan salah satu unsur utama dalam pengembangan industri keuangan syariah di Indonesia. Hal ini disebabkan karena kepastian hukum dalam berbisnis sangatlah diperlukan bagi semua pelaku bisnis, termasuk bagi pelaku bisnis yang terlibat langsung pada sektor keuangan syariah. Dalam industri keuangan syariah semua aspek memerlukan kejelasan, mulai dari jenis produk, aturan main, sampai dengan penyelesaian sengketa. Dalam kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi dan keuangan suatu negara, topik bahasan mengenai penyelesaian sengketa menjadi relevan. Bahkan di beberapa aspek penyelesaian sengketa erat kaitannya dengan iklim ekonomi dan keuangan suatu negara. Artinya, jika penyelesaian sengketa disuatu negara dapat dilakukan dengan cepat, baik, dan berkualitas, maka iklim usaha, termasuk pertumbuhan investasi dalam negeri akan semakin baik pula.
Sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu, Pengadilan Agama memiliki peran yang strategis, dalam hal ini ialah terkait dengan penyelesaian sengketa ekonomi syariah.[3] Kewenangan dalam menangani penyelesaian sengketa ekonomi syariah tersebut secara tegas tertuang dalam Undang Undang Nomor 03 Tahun 2006 jo. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, dan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 yang mempertegas kewenangan peradilan agama dalam menangani sengketa perbankan syariah secara litigasi. Putusan MK ini merupakan penghapusan atas gagasan Choice of Law dan Choice of Forum dalam hal penyelesaian sengketa ekonomi syariah dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang sebelumnya dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa ekonomi syariah dapat dilakukan melalui musyawarah, mediasi, Peradilan Umum dan Peradilan Agama. Namun dengan putusan ini Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa penyelesaian sengketa ekonomi syariah merupakan kewenangan absolut dari  Pengadilan Agama.[4]
Dengan demikian, segala sesuatu yang berkaitan dengan sengketa syariah, menjadi tugas dan wewenagan Pengadilan Agama dalam menyesaikannya. Oleh karenanya, jika penanganan terhadap sengketa ekonomi syariah dilakukan dengan baik dan profesional, maka secara bersaman akan terjadi pertumbuhan iklim ekonomi ke  arah yang lebih baik. Sehingga, cita-cita dan harapan Indonesia menjadi pusat keuangan Islam dunia dapat dengan mudah direalisasikan.
Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945) menegaskan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut, maka salah satu prinsip Negara Hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman menegakkan hukum dan keadilan.[5] Dalam pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 menjelaskan bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung bersama badan peradilan lainnya di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer. Dengan semikian, Peradilan Agama adalah satu badan peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan khusus untuk perkara tertentu antara orang yang beragama Islam.
Dalam melaksanakan tugasnya, Pengadilan Agama memilki kewenangan terkait perkara apa saja yang ditanganinya (kompetensi absolut).[6] Dalam perkembangannya, kompetensi Peradilan Agama telah mengalami perubahan. Diantara yang menjadi kewenangannya adalah bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah. Terkait dengan kewenagannya dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah dapat dilihat dari perkembangan perubahan kewenangan tersebut pada tabel berikut:
No
Undang-Undang Peradilan Agama
Keterangan
01
Undang Undang No 7 Tahun 1989  Tentang Peradilan Agama
Sengketa ekonomi syariah belum menjadi kewenangan Peradilan Agama 
02
Undang Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama 
Pada Pasal 49 memperluas kewenangan Peradilan Agama untuk juga menyelesaikan sengketa dalam bidang ekonomi Syariah 
03
Undang Undang No. 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
Memperkuat perluasan kewenangan Peradilan Agama untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah

Adapun “ekonomi syariah” yang dimaksudkan dalam undang-undang tersebut adalah segala sesuatu perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah[7] yang meliputi:
a.       Perbankan Syariah;
b.      Lembaga Keuangan Mikro Syariah;
c.       Asuransi Syariah;
d.      Reasuransi Syariah;
e.       Reksadana Syariah; 
f.       Obligasi Syariah;
g.      Surat Berharga Berjangka Menengah Syariah;
h.      Sekuritas syariah;
i.        Pembiayaan Syariah;
j.        Pegadaian Syariah;
k.      Dana Pensiun Lembaga Keuangan Syariah, dan 
l.        Bisnis Syariah.[8]
Dalam kaitannya dengan bisnis syariah, maka macam dan jenisnya sangatlah beragam. Hal ini terkait dengan makna dari bisnis syariah itu sendiri. Adapun maksud dari bisnis syariah adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan aktivitas jual beli atau transaksi dalam berbagai bentuknya yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariah.[9] Dengan demikian, maka setiap transaksi atau bisnis yang menggunakan akad syariah dapat dikategorikan sebagai bisnis syariah dan dapat diselesaikan di Pengadilan Agama, seperti sengketa yang terjadi pada bisnis Mullti Level Marketing Syariah, Parawisata Halal yang meliputi jasa layanan perhotelan syariah, biro perjalanan syariah, dan SPA syariah yang berdasarkan Fatwa DSN-MUI Nomor 108 segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan parawisata halal harus menggunakan akad berdasarkan syariat Islam, ataupun bisnis-bisnis lainnya.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa penyelesaian sengketa ekonomi syariah menjadi satu-satunya kewenangan Pengadilan Agama. Dengan demikian, penguatan intitusi Pengadilan Agama dalam menyelesaikan perkara ekonomi syariah perlu ditingkatkan. Dalam hal ini, para hakim di Pengadilan Agama sebagai pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Undang-undang dituntut untuk dapat memahami perekonomian syariah dalam bingkai regulasi Indonesia dan aktualisasi fiqh Islam, mempunyai wawasan terhadap produk layanan dan mekanisme operasional dari perbankan syariah, lembaga keuangan mikro syariah, reksadana syariah, obligasi dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun syariah, serta bisnis-bisnis yang berbasis pada akad syariah. Selain itu, para hakim Pengadilan Agama juga perlu meningkatkan wawasan hukum tentang prediksi terjadinya sengketa dalam aktivitas dan kegiatan ekonomi syariah.[10]
Untuk mendukung penyelesaian sengketa ekonomi syariah di Pengadilan Agama, Mahkamah Agung Republik Indonesia setidaknya telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) yang terkait dengan penyelesaian sengketa ekonomi syariah. Diantara Perma tersebut ialah Perma terkait hukum materiil ekonomi dan keuangan syariah (Perma Nomor 2 Tahun Tahun 2008 tentang Pemberlakuan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah), Perma terkait dengan keharusan hakim yang menangani ekonomi syariah memiliki sertifikat hakim ekomoni syariah (Perma Nomor 5 Tahun 2016 tentang Sertifikasi Hakim Ekonomi Syariah), dan Perma yang terkait dengan hukum acara penyelesaian sengketa ekonomi syariah (Perma Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah).
1.    Lahirnya Perma Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pemberlakuan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)
Perma Nomor 2 tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) merupakan implementasi dari Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang memberikan peluang bagi Pengadilan Agama untuk menyelesaiakan sengketa ekonomi syariah yang setelahnya diperkuat oleh putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012. Perma ini menjelaskan bahwa KHES merupakan pedoman yang dapat digunakan oleh hakim dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah di Pengadilan Agama. Namun demikian, adanya pedoman ini tidak mengurangi tanggung jawab hakim untuk senantiasa menggali dan menemukan hukum untuk menjamin putusan yang dikeluarkannya adil dan benar. 
2.    Lahirnya Perma Nomor 5 Tahun 2016 tentang Sertifikasi Hakim Ekonomi Syariah
Pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 Pengadilan Agama merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Konsekuensi logis dari pelimpahan kewengan tersebut ialah harus siapnya Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Bentuk kesiapan tersebut ialah dengan mempersiapkan para hakim di Pengadilan Agama yang mumpuni dalam mengatasi setiap perkara yang masuk untuk segera diselesaikan dengan putusan yang adil dan profesional. 
Dalam hal ini Mahkamah Agung sebagai lembaga yang menaungi lembaga peradilan di Indonesia, termasuk Pengadilan Agama, menjawab tantangan tersebut melalui sertifikasi hakim ekonomi syariah. Sehingga setiap perkara ekonomi syariah harus diadili oleh hakim ekonomi syariah yang bersertifikat yang langsung diangkat oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia. Tujuan diselenggarakannya sertifikasi ekonomi syariah ialah untuk meningkatkan efektifitas penanganan perkara-perkara ekonomi syariah di Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah sebagai bagian dari upaya penegakkan hukum ekonomi syariah yang memenuhi rasa keadilan. Selain itu, tujuan sertifikasi hakim ekonomi syariah ialah untuk menjawab pihak-pihak baik dikalangan industri maupun praktisi yang meragukan kemampuan Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah.
Dalam prosesnya, para hakim yang memenuhi persyaratan dan dinyatakan lulus oleh Tim Seleksi, akan mengikuti pelatihan yang disiapkan oleh Tim Khusus dan Pusdiklat Teknis Mahkamah Agung Republik Indonesia. Tim pengajarnya terdiri dari berbagai lembaga seperti para praktisi dari Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia, Dewan Syariah Nasional, dan praktisi berkompeten lainnya. 
Dengan adanya Perma Sertifikasi Hakim Ekonomi Syariah ini diharapkan penyelesaian sengketa ekonomi syariah dapat diselesaikan oleh para hakim yang qualified dan teruji kemampuannya sehingga keraguan di kalangan pelaku industri ekonomi dan keuangan syariah menjadi sirna, berubah menjadi suatu kepercayaan (trust).
3.    Lahirnya Perma Nomor 14 Tahun  2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah
Setelah menunggu penantian yang cukup lama, akhirya Perma Nomor 14 tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah resmi dikeluarkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tanggal 22 Desember 2016. Perma ini mengatur hukum acara sengketa ekonomi syariah melengkapi Perma Nomor 2 tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) sebagai implementasi Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
Dalam Perma ini dijelaskan bahwa gugatan terhadap ekonomi syariah dapat dilakukan dengan gugatan sederhana dan gugatan biasa. Gugatan sederha dapat dilakukan jika nilainya di bawah atau senilai 200 juta rupiah yang pada Perma Nomor 2 tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana yang tidak memasukkan sengketa ekonomi sebagai bagian dari objek small claim court.
Perma ini juga mempertegas bahwa keberadaan arbitrase syariah serta kewenangan pengadilan agama dalam menangani perkara ekonomi syariah dalam hal melaksanakan putusan arbitrase syariah dan pembatalannya. Termasuk pula kewenangan pengadilan agama untuk mengeksekusi hak tanggungan dan fidusia yang menggunakan akad syariah.
Selain itu, Perma menjalaskan atas pengakuan layanan teknologi informasi dalam proses perkara mulai dari pendaftaran gugatan (Pasal 4 dan 7), pemanggilan para pihak (Pasal 8), dan pemeriksaan ahli dalam tahap pembuktian (Pasal 11). Perma ini sejalan dengan Perma Nomor 3 Tahun 2018 yang baru dikeluarkan yang menjelaskan aturan mengenai Administrasi Perkara di Pengadilan secara Elekronik.
Lebih jauh lagi, Perma ini mengatur bahwa penyelesaian sengketa ekonomi syariah harus dilakukan oleh hakim yang telah mendapatkan sertifikat hakim ekonomi syariah sebagaimana dijelaskan pada Perma Nomor 5 Tahun 2016 atau setiaknya jika tidak terdapat hakim yang bersertifikat, maka harus oleh hakim yang telah mengikuti diklat teknis ekonomi syariah.
Dan tidak kalah pentingnya, Perma ini mengatur mengenai pentingnya proses mediasi. Pada pasal 10 dijelaskan bahwa Hakim wajib dengan sungguh-sungguh mengupayakan perdamaian yang tentunya berpedoman pada Perma Nomor 1 Tahun 2016 tentang prosedur Mediasi. 
Dalam pelaksanaan Mediasi, terdapat beberapa masukan dari kalangan akademisi bahwa sudah selayaknya di Pengadilan Agama dibentuk satu unit tersendiri yang khusus menyediakan mediator-mediator (dalam hal ini mediator atas sengketa ekonomi syariah) yang telah bersertifikat atau setidaknya Pengadilan Agama memiliki list mediator-mediator bersertifikat yang berkompeten dalam masalah ekonomi syariah. Penyediaan tenaga-tenaga mediator non hakim sangat dimungkinkan. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan kerjasamanya Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Dewan Syariah Nasioanal, atau Pusat Mediasi Nasional (PMN) yang pada saat ini elah terakreditasi oleh Mahkamah Agung melalui Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 136/KMA/SK/VIII/2014 bertanggal 21 Agustus 2014.[11]
Berkaitan dengan tata cara penyelesaian sengketa ekonomi syariah di Pengadilan Agama, pada tahun 2016, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah. PERMA ini untuk menjamin pelaksanaan penyelesaian sengketa ekonomi syariah yang lebih sederhana, cepat dan biaya ringan. Berdasarkan PERMA Nomor 14 Tahun 2016 maka perkara ekonomi syariah dapat diajukan dalam bentuk gugatan sederhana atau dengan acara biasa. Pemeriksaan perkara dengan acara sederhana adalah pemeriksaan terhadap perkara ekonomi syariah yang nilainya paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Pemeriksaan ini mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana kecuali hal-hal yang diatur secara khusus.
Penanganan perkara ekonomi syariah dengan cara sederhana mengacu kepada PERMA Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana atau biasa dikenal dengan istilah small claims court. Sementara itu, penanganan perkara ekonomi syariah dengan cara biasa tetap mengacu kepada pelbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Baik dalam hal gugatan sederhana maupun gugatan biasa, penggugat dapat mengajukan perkaranya dengan datang ke kepaniteraan atau melalui pendaftaran elektronik. Bedanya, jika hendak mendaftarkan gugatan sederhana, penggugat cukup mengisi formulir atau blanko gugatan yang disediakan pengadilan. Isinya menguraikan identitas penggugat dan tergugat; penjelasan ringkas duduk perkara (posita); dan tuntutan penggugat (petitum). Selain itu, ketika mendaftarkan perkaranya, penggugat wajib melampirkan bukti surat yang sudah dilegalisasi. Pendaftaran perkara secara elektronik sesungguhnya bukan hal baru lagi di peradilan agama. Sejumlah pengadilan sudah menerapkannya, dengan beberapa varian. Namun, sejauh ini belum ada satupun regulasi yang mengaturnya. Berikut perbandingan cara penyelesaian sederhana dan cara biasa:
Aspek
Cara Sederhana
Cara Biasa
Nilai gugatan
Paling banyak Rp 200 juta
Lebih dari Rp 200 juta
Domisili para pihak
Penggugat dan tergugat berdomisili di wilayah hukum yang sama
Penggugat dan tergugat tidak harus berdomisili di wilayah hukum yang sama
Jumlah para pihak
Penggugat dan tergugat masing-masing tidak boleh lebih dari satu, kecuali punya kepentingan hukum yang sama
Penggugat dan tergugat masingmasing boleh lebih dari satu.
Alamat tergugat
Harus diketahui
Tidak harus diketahui
Pendaftaran perkara
perkara Menggunakan blanko gugatan
Membuat surat gugatan
Pengajuan bukti-bukti
Harus bersamaan dengan pendaftaran perkara
Pada saat sidang beragenda pembuktian
Pemeriksa dan pemutus
Hakim tunggal
Majelis hakim
Pemeriksaan pendahuluan
Ada
Tidak ada
Mediasi
Tidak ada
Ada
Kehadiran para pihak
Penggugat dan tergugat wajib menghadiri setiap persidangan secara langsung (impersonal), meski punya kuasa hukum
Penggugat dan tergugat tidak wajib menghadiri setiap persidangan secara langsung (impersonal)

Konsekuensi ketidakhadiran penggugat pada sidang pertama tanpa alasan yang sah

Gugatan dinyatakan gugur
Gugatan tidak dinyatakan gugur

Pemeriksaan perkara
Hanya gugatan dan jawaban
Dimungkinkan adanya tuntutan provisi, eksepsi, rekonvensi, intervensi, replik, duplik, dan kesimpulan
Batas waktu penyelesaian perkara
25 hari sejak sidang pertama
5 bulan
Penyampaian putusan
Paling lambat 2 hari sejak putusan diucapkan
Paling lambat 7 hari sejak putusan diucapkan
Upaya hukum dan batas waktu penyelesaiannya
Keberatan (7 hari sejak majelis hakim ditetapkan)
Banding (3 bulan), kasasi (3 bulan) dan peninjauan kembali (3 bulan)
Batas waktu pendaftaran upaya hukum
7 hari sejak putusan diucapkan atau diberitahukan
14 hari sejak putusan diucapkan atau diberitahukan
Kewenangan pengadilan tingkat banding dan MA
Tidak ada
Ada


PERMA Nomor 14 Tahun 2016 menjadi regulasi pertama yang mengakomodasi kemungkinan pengajuan perkara dengan memanfaatkan internet di lingkungan peradilan agama. Selain melegitimasi pendaftaran perkara online, PERMA yang berisi 15 Pasal pada 11 Bab ini juga memberi peluang pemeriksaan ahli melalui teknologi informasi, misalnya via teleconference. Hal-hal lain berkaitan dengan gugatan sederhana dalam perkara ekonomi syariah yang perlu pengaturan lebih spesifik di antaranya adalah format blanko gugatan sederhana, komponen-komponen dan nominal panjar biaya perkara, register perkara, format penetapan oleh hakim tunggal mengenai kelayakan berperkara secara sederhana, format berita acara sidang dan putusan, juga prosedur dan biaya upaya hukum keberatan.

BAB III

PENUTUP


1.      Relasi antara pengadilan agama dengan ekonomi syariah adalah bahwa kehadiran pengadilan agama sangat dibutuhkan bagi para pebisnis yang bergelut di ekonomi syariah guna menjamin kepastian hukum yang akan berdampak baik bagi perkembangan ekonomi syyariah itu sendiri demi mewujudkan cita-cita Indonesia sebagai pusat perekonomian syariah di dunia.
2.      Kewenangan pengadilan agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah mengalami beberapa tahapan, dimulai dengan Undang Undang No 7 Tahun 1989  Tentang Peradilan Agama yang mengatur kewenangan pengadilan agama namun belum menyangut sengketa ekonomi syariah, Undang Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama  yang telah mulai mengatur kewenangan pengadilan agama untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah dan terakhir Undang Undang No. 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang mengatur perluasan kewenangan pengadilan agama.
3.      Penguatan peran pengadilan agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah diatur di dalam Perma terkait hukum materiil ekonomi dan keuangan syariah (Perma Nomor 2 Tahun Tahun 2008 tentang Pemberlakuan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah), Perma terkait dengan keharusan hakim yang menangani ekonomi syariah memiliki sertifikat hakim ekomoni syariah (Perma Nomor 5 Tahun 2016 tentang Sertifikasi Hakim Ekonomi Syariah), dan Perma yang terkait dengan hukum acara penyelesaian sengketa ekonomi syariah (Perma Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah).
4.      Pelaksanaan penyelesaian sengketa ekonomi syariah di pengadilan agama terbagi menjadi dua cara, yaitu dengan cara sederhana dan biasa.

Pengadilan agama sebagai satu-satunya yang telah diberi kewenangan absolut menyelesaikan sengketa ekonomi syariah di Indonesia sudah seharusnya mampu menjawab tantangan-tantangan dari ekonomi syariah, mengingat perkembangan ekoonommi syariah yang semakin hari semakin pesat perkembangannya. Hal ini penting bagi para pebisnis karena mereka membutuhkan kepastian hukum untuk menjamin terlaksananya hak dan kewajiban masing-masing dan terlebih lagi Negara Indonesia adalah Negara hukum yang menekankan bahwa hukum adalah sebagai kekuasaan tertinggi.





















Buku

Asmuni, 2013, BISNIS SYARIAH: Suatu Alternatif Pengembangan Bisnis yang Humanistik dan Berkeadilan, Medan: Perdana Publishing
Bisri, Cik Hasan, 2003, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana
Djalil, 2010, Peradilan Agama di Indonesi, Jakarta: Kencana
Hamami, Taufik, 2003, Kedudukan dan Eksistensi Peradilan Agama dalam Sistem Tata Hukum di Indonesia, Bandung: PT Alumni
Manan, Abdul, 2012, Hukum Ekonomi Syariah dalam Perspektif  Kewenangan Peradilan Agama,  Jakarta: Kencana

Jurnal

Iyan,R.Y., Peran Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi, Journal of Finance, Vol. 5 No. 2. Desember 2016
Renny Supriyatni dan Andi Fariana,  Model Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Yang Efektif Dikaitkan Dengan Kompetensi Di Peradilan Agama Dalam Rangka Pertumbuhan Ekonomi Nasional, Jurnal  Jurisprudence, Vol. 7 No. 1 Juni 2017
Siti Nurhayati, Penguatan Peran Hakim Pengadilan Agama dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/puu-x/2012, YUDISIA, Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosial Keagamaan. Vol. 7, No. 2, Desember 2016


Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Perma Nomor 2 Tahun Tahun 2008 tentang Pemberlakuan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
Perma Nomor 5 Tahun 2016 tentang Sertifikasi Hakim Ekonomi Syariah
Perma Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah
Perma Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi




[1] Taufik Hamami, Kedudukan dan Eksistensi Peradilan Agama dalam Sistem Tata Hukum di Indonesia, PT Alumni, Bandung: 2003, hlm. vii
[2] Abdul Manan, Hukum Ekonomi SYariah dalam Perspektif  Kewenangan Peradilan Agama, Kencana,  Jakarta: 2012, hlm 6-7
[3] Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman  yang menjelaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan keempat pengadilan yang ada dibawahya, yaitu: Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara
[4] Renny Supriyatni dan Andi Fariana,  Model Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Yang Efektif Dikaitkan Dengan Kompetensi Di Peradilan Agama Dalam Rangka Pertumbuhan Ekonomi Nasional, Jurnal  Jurisprudence, Vol. 7 No. 1 Juni 2017, hlm. 7
[5] Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, Kencana, Jakarta: 2010, hlm. 11
[6] Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, Kencana, Jakarta: 2003, hlm. 217
[7] Penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, pasal 49 huruf i
[8] Siti Nurhayati, Penguatan Peran Hakim Pengadilan Agama dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/puu-x/2012, YUDISIA, Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosial Keagamaan. Vol. 7, No. 2, Desember 2016, hlm. 22
[9] Asmuni, BISNIS SYARIAH: Suatu Alternatif Pengembangan Bisnis yang Humanistik dan Berkeadilan, Perdana Publishing, Medan: 2013, hlm. 31
[10] Siti Nurhayati, Penguatan Peran Hakim Pengadilan Agama, YUDISIA, Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosial Keagamaan. Vol. 7, No. 2, Desember 2016, hlm. 19
[11] Iyan,R.Y., Peran Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi, Journal of Finance, Vol. 5 No. 2. Desember 2016, hlm. 15

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Konsep Kewirausahaan Islam

Makalah Filsafat Empirisme

KAIDAH FIKIH KULLIYAT YANG KE 26-30