HAK-HAK BUDAYA MENURUT HAM BARAT, HAM INDONESIA DAN HAM ISLAM


HAK-HAK BUDAYA MENURUT HAM BARAT, HAM INDONESIA DAN HAM ISLAM
Oleh: Suci Ramadhani Putri (170201027)

Abstrak
Hak-hak Budaya menurut HAM Barat, HAM Indonesia, dan HAM Islam memiliki persamaan dan perbedaan. Di dalam konsep HAM sendiri dikenal bersifat Universalitas dan Partikular. Hak-hak Budaya menurut konsep HAM barat adalah bersifat Universalitas, sehingga hak-hak budaya berlaku sama di semua tempat. Terdapat DUHAM (Deklarasi Universal Of Human Right) dan Konvenan Internasional EKOSOB (Ekonomi Sosial dan Budaya sebagai paying hokum perlindungan hak-hak budaya. Sedangkan untuk Indonesia, Indonesia menyatakan konsep HAM-nya bersifat particular, hal ini disepakati bersama Negara-negara ASEAN (Assotiation Of South Of Asia Nation) lain di dalam Deklarasi ASEAN Human Rights Declaration di Pnom Phen, Kamboja. Sedangkan payung hokum perlindungan hak-budaya terdapat dianataranya di UUD 1945, UU HAM, UUPA, dan UU Adminduk. Terakhir, hak-hak budaya menurut  HAM Islam menganut konsep yang sama seperti HAM Indonesia yaitu particular. Payung hukum perlindungan hak-hak budaya di dalam HAM Islam tertuang di dalam Maqashid Syariah dan Deklarasi Cairo.
Kata Kunci: Budaya, HAM Barat, HAM Indonesia, HAM Islam.
Pendahuluan
HAM dan budaya tidak bisa dipisahkan, manusia adalah produk dari lingkungan sosial, budaya, tradisi dan peradaban tertentu yang keseluruhannya membentuk karakter HAM. Kebudayaan merupakan sumber keabsahan hak atau kaidah moral, sehingga HAM mestinya dipahami dengan konteks budaya. Hak hidup serta martabat merupakan hak yang dimiliki semua kebudayaan yang harus dihormai. John Locke mendefinisikan HAM adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan sebagai hak kodrati.[1] Sedangkan menurut E. B. Tylor, budaya adalah suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keilmuan, hukum, adat istiadat, dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.[2]
Hak hak budaya menurut HAM Indonesia, HAM Barat maupun HAM Islam diantara ketiganya sama-sama mengakui keberadaan dari hak ini sendiri. Namun terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara budaya menurut HAM Barat dengan Budaya menurut HAM Indonesia dan islam Perbedaannya adalah jika di Barat menganut paham Universalitas budaya, yaitu bahwa budaya yang diterapkan disamaratakan dimanapun. Berbeda dengan HAM Islam dan Indonesia yang menganut paham particular, yaitu penerapan hak budaya tidak bias disama ratakan, kembali kepada kebudayaan yang berlaku di suatu masyarakat atau Negara tertentu. Pada 18 November 2012 lalu negara-negara anggota ASEAN menandatangi ASEAN Human Rights Declaration di Pnom Phen, Kamboja. Kedua deklarasi di atas diakomodasi dalam deklarasi ASEAN ini, yakni right to development (hak untuk pembangunan, pasal 35, 36 dan 37) dan right to peace (hak untuk perdamaian, pasal 38). Deklarasi yang sebenarnya mengacu kepada DUHAM ini menegaskan tentang pelaksanaannya untuk mempertimbangkan konteks regional dan nasional masing-masing negara dengan melihat latarbelakang perbedaan latar politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, sejarah dan agama (pasal 7). Dan tahun 1990 negara-negara Muslim yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam mengeluarkan Cairo Declartion of Human Rights in Islam. pelaksaan HAM disesuaikan dengan filosofi dan budaya masingmasing bangsa dan Negara.
Untuk lebih  jelasnya, penulis akan memaparkan bagaimana konsep Hak-hak Budaya menurut HAM Barat, HAM Indonesia dan HAM Islam.
A.    Hak-hak Budaya Menurut HAM Barat
Hak Budaya di Barat muncul pada generasi hak kedua hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (EKOSOB).  Hak-hak  EKOSOB  merupakan  kontribusi  dari  negara- negara sosialis yang menomorsatukan pemenuhan kesejahteraan warganya. Hak-hak yang termasuk dalam rumpun hak ini antara lain, hak atas pekerjaan dan upah yang layak, hak atas jaminan sosial, hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, hak atas pangan, hak atas perumahan, hak atas tanah, dan hak atas lingkungan yang sehat. Hak ini disebut pula sebagai hak positif yang mensyaratkan peran aktif negara dalam pemenuhannya. Oleh karena itulah, hak-hak generasi kedua ini dirumuskan dalam bahasa yang positif: “hak atas” (right to), bukan dalam bahasa negatif: “bebas dari” (freedom from).[3] Pada dasarnya, generasi hak kedua ini merupakan tuntutan akan persamaan social. Beberapa prinsip utama kewajiban negara dalam pemenuhan hak- hak ini, antara lain realisasi progresif, sumber daya maksimal yang mungkin, nonretrogresi, kewajiban pokok minimal, nondiskriminasi, setara, partisipasi, akuntabilitas, pemulihan yang efektif, serta perhatian pada kelompok rentan.
Pada  generasi  hak  ini,  budaya  merupakan  objek  hak  yang  bisa diklaim. Setiap individu berhak memiliki dan menikmati budaya. Konsep kepemilikian setiap individu atas budaya inilah yang kemudian menjadi pembeda hak budaya menurut HAM Barat dengan HAM Indonesia maupun HAM Islam.
 Hak budaya ini dilegitimasi pula di dalam beberapa instrumen internasional, di antaranya Pasal 21 Universal Declaration on the Rights of Persons Belonging to Ethnic or National, Linguistic and Religious Minorities dan Pasal 27 Kovenan Internasional tentang Ekonomi, Soial dan Budaya dan Konvensi ILO No. 169.
Pada tahun 1948, PBB menyelenggarakan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau Universal Declaration of Human Rights. Yang didalamnya terdapat hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang mencakup hak atas jaminan sosial, hak atas pekerjaan, hak atas pengupahan yang adil, hak atas istirahat dan cuti liburan, hak untuk memasuki serikat pekerja, hak atas pengajaran, dan hak untuk turut serta dalam hidup kebudayaan masyarakat.
Selain itu juga diatur di  Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (the Covenant on Economic, Social and Cultural Rights). Mengakui, bahwa sesuai dengan Deklarasi Sedunia tentang Hak-hak-hak-hak Asasi Manusia, cita-cita manusia bebas agar dapat menikmati kebebasan dari ketakutan dan kekurangan, hanya dapat dicapai jika tercipta kondisi tempat setiap orang dapat menikmati hak-hak ekonomi, sosial dan budaya maupun hak-hak sipil dan politiknya.
Pasal 3 Negara-negara Peserta Perjanjian ini berusaha menjamin persamaan hak pria dan wanita dalam menikmati hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang dikemukakan dalam Perjanjian ini.
Pasal 6 Tindakan-tindakan yang diambil Negara Peserta Perjanjian untuk mencapai realitasai penuh hak ini meliputi bimbingan teknis dan kejuruan serta program latihan, kebijakan dan terknik untuk mencapai perkembangan ekonomi, sosial dan budaya yang mantap dan kesempatan bekerja secara penuh dan produktif berdasarkan kondisi yang menjamin kebebasan politik dan ekonomi yang fundamental bagi tiap individu.
Badan yang bertugas inengawasi pelaksanaan dari Kovenan EKOSOB ini ialah Committee on Economic, Social and Cultural Rights (Komite EKOSOB). Komite ini dibentuk oleh Economic and Social Council (ECOSOC) pada 1985. Pertemuan pertama Komite ini diadakan pada 1987 dan telah melangsungkan 14 sesi pertemuan. Pertemuan diselenggarakan setiap dua kali setahun, biasanya pada bulan Mei dan Novernber/Desernber dan dilangsungkan di Markas  PBB di Jenewa. Komite ini terdiri dari 18 anggota yang memiliki keahlian di bidang HAM. Para anggota Komite dipilih oleh ECOSOC untuk masa tugas 4 tahun dan dapat dipilih kernbali. Komite ini merupakan organ tambahan (subsidiary organ) dari ECOSOC dan memperoleh otoritas formal dan ECOSOC.[4]
Fungsi utarna Komite ialah untuk memonitor pelaksanaan Kovenan ini melalui Negara-negara Pesertanya. Komite juga berupaya meningkatkan dialog antar-Negara Peserta dan rnernantau sejauh mana keteatuan-ketentuan dalarn Kovenan ini diterapkan oleh Negara Peserta. Komite juga dapat membantu Pernerintah dari Negara Peserta dalam memenuhi kewajibannya atas Kovenan ini dengan mengusulkan kebijakan, saran, dan rekomendasi agar hak ekonomi, sosial, dan budaya dapat dilaksanakan dengan efektif.
Sehingga dapat kita tarik kesimpulan bahwa hak-hak budaya menurut perkembangan HAM Barat telah mendapatkan jaminan perlindungan hukum baik melalui DUHAM maupun Konvenan EKOSOB. Dan terdapat Komite EKOSOB guna mengawasi terjaminnya hak-hak budaya. Sedangkan yang menjadi ciri khas hak-hak budaya menurut HAM Barat sendiri adalah hak-hak budayanya lebih bertujuan untuk menjamin hak-hak individual dari pemilik hak.
B.     Hak-hak Budaya Menurut HAM Indonesia
Baru pada tahun 1993 pemerintah negara-negara di Asia menandatanganiThe Bangkok Declaration yang menegaskan komitmen mereka kepada prinsip-prinsip yang terdapat dalam piagam PBB danUniversal Declaration of Human Rights. Deklarasi ini dipersiapkan untuk Konferensi Dunia tentang hak-hak asasi manusia pada bulan Juni 1993 di Wina.6 Pemerintah-pemerintah di negara-negara berkembang yang membatasi HAM pada umunya beralasan, bahwa pelaksanaan HAM yang dalam hal-hal tertentu dibatasi itu dimaksudkan untuk mewujudkan stabilitas nasional sebagai pra-syarat bagi pembangunan. Pada pertengahan tahun 1980an negara Dunia Ketiga mengeluarkan deklarasi hak untuk perdamaian dan pembangunan, yakniDeclaration on the Rights of Peoples to Peace (1984) danDeclaration on the Rights to Development (1986). Di samping itu, perbedaan juga dimaksudkan untuk meyesuaikan konsep HAM dengan karakteristik sosial budaya suatu masyarakat di negara-negara berkembang, termasuk di dunia Islam. Pada 18 November 2012 lalu negara-negara anggota ASEAN menandatangiASEAN Human Rights Declaration di Pnom Phen, Kamboja. Kedua deklarasi di atas diakomodasi dalam deklarasi ASEAN ini, yakniright to development (hak untuk pembangunan, pasal 35, 36 dan 37) danright to peace (hak untuk perdamaian, pasal 38). Deklarasi yang sebenarnya mengacu kepada DUHAM ini menegaskan tentang pelaksanaannya untuk mempertimbangkan konteks regional dan nasional masing-masing negara dengan melihat latarbelakang perbedaan latar politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, sejarah dan agama (pasal 7). Disamping itu, ekspresi kebebasan juga perlu memperhatikan keamanan nasional, ketertiban dan kesejahteraan umum serta kesehatan dan moraltas publik (pasal 8).
Larangan-larangan terkait Hak Budaya di dalam UU Nomor 39 Tentang HAM
1.      larangan diskriminasi budaya
Pasal 1 ayat 3: Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individu maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.
Pasal 3 ayat 3: setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan manusia tanpa diskriminasi. Dalam pasal di atas disebutkan bahwa hak dalam budaya tidak boleh didiskriminasi dan itu sifatnya universal, sebagaimana disebutkan bahwa larangan diskriminasi ini berlaku bagi semua manusia dalam semua agama, suku, ras, etnik, kelompok, dan golongan. Indonesia memiliki budaya yang sangat banyak dengan berbagai macam sukunya berdasarkan undang undang ini budaya-budaya yang ada tidak boleh mendapatkan diskriminasi, sehingga tidak dibenarkan apabila suatu budaya dilanggar hak-haknya dan mendapatkan diskriminasi atas budaya yang lain. 
2.      Perlindungan identitas budaya
Pasal 6 ayat 1: dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan, dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah.
Pasal 6 ayat 2: identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.
3.      Hak pengembangan budaya
Pasal 13: setiap orang berhak untuk mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya sesuai dengan martabat manusia demi kesejahteraan pribadinya.
4.      Kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dalam hal budaya
Pasal 71: Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia.
Pasal 72: Kewajiban dan tanggung jawab pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 71 meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain.
5.      Pembatasan dan larangan budaya
Pasal 73: hak dan kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.
Pasal 74: tidak satu ketentuanpun dalam undangundang ini boleh diartikan bahwa pemerintah, partai, golongan, atau pihak manapun dibenarkan mengurangi, merusak, atau menghapuskan hak asasi manusia atau kebebasan dasar yang diatur dalam undang-undang ini.

C.     Hak-Hak Budaya Menurut HAM Islam
Konsepsi Islam   tentang HAM yang ditemukan dalam al-Qur’an dan hadis Nabi maupun penafsiran terhadapnya yang dikemukakan oleh pakar muslim mengakui HAM sebagai aspek yang berkaitan dengan kemuliaan manusia yang  mengatur kehidupan individual dan sosial. Bahkan dalam kehidupan modern dewasa  ini tidak dapat dipungkiri persentuhan antara agama, budaya, suku, politik, ekonomi, dan keamanan yang membentuk pola-pola interaksi antara Islam dan budaya-budaya lainnya dan berusaha meningkatkan keadaan mereka.
Dalam perspektif Islam konsep Hak budaya dijelaskan melalui konsep maqasid al-syariah (tujuan syariah), yang sudah dirumuskan oleh para ulama masa lalu. Tujuan Syariah ini adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia dengan cara melindungi dan mewujudkan dan melindungi hal-hal yang menjadi keniscayaan mereka, serta memenuhi hal-hal yang menjadi kebutuhan dan hiasan mereka
1.      Hifzh al-Din, yaitu memberikan jaminan hak kepada umat Islam untuk memelihara agama dan keyakinannya. Islam juga menjamin sepenuhnya atas identitas agama yang bersifat lintas etnis. Oleh karena itu, Islam menjamin kebebasan beragama dan melarang adanya pemaksaan agama yang satu dengan yang lain.
2.      Hifzh al-Nafs wa al-‘irdh, yaitu memberikan jaminan hak atas setiap  jiwa (nyawa) manusia,  untuk tumbuh dan  berkembang secara layak. Dalam hal ini Islam menuntut adanya keadilan, pemenuhan kebutuhan  dasar (hak atas penghidupan) pekerjaan, hak kemerdekaan dan keselamatan, bebas dari penganiyaan dan kesewenag-wenangan.
3.      Hifzh al- Aql, adalah adanya suatu jaminan atas kebebasan berekspresi, kebebasan mimbar, kebebasan mengeluarkan opini, melakukan penelitian, dan berbagai aktivitas ilmiah. Dalam hal ini melarang terjadinya perusakan akal dalam bentuk penyiksaan, penggunaan ekstasi, minuman keras dan lain-lain.
4.      Hifzh al Nasl, yaitu jaminan atas kehidupan privasi setiap individu, perlindungan atas profesi (pekerjaan), jaminan masa depan keturunan dan generasi penerus yang lebih baik dan berkualitas. Karena itu, Free sex, zina, homoseksual, menurut syara’ adalah perbuatan yang dilarang karena bertentangan dengan hifzh al-nasl.
5.      Hifzh al-Mal, ialah sebagai jaminan atas kepemilikan harta benda properti dan lain-lain. Larangan adanya tindakan mengambil harta orang lain, mencuri, korupsi, monopoli, dan lain-lain.[5]
Mencermati hal tersebut diatas, dapat dipahami bahwa Islam sebagai agama sangat menghormati hak-hak yang ada pada diri manusia termasuk dalam hal penegakkan hukum. Antara hak-asasi manusia dengan hukum adalah bagian integral yang tak dapat dipisahkan. Berpikir tentang hukum otomatis akan berkaitan dengan ide bagaimana keadilan dan ketertiban dapat terwujud. Pengakuan dan pengukuhan hukum pada hakikatnya ditujukan untuk menjamin terjaganya hak asasi manusia.
Hal ini disampaikan pula dalam Declaration Cairo on Human right in Islam dinyatakan bahwa manusia mempunyai hak yang sama dalam hukum dan bebas dari praduga tak bersalah sebelum diputuskan oleh hakim di pengadilan, seperti dalam pasal 19 yang berbunyi:
“Semua individu adalah sederajat dimuka hukum tanpa ada perbedaan antarayang memerintah dengan yang diperintah”.[6]
Dalam pandangan Islam pada prinsipnya hak asasi manusia bukanlah berasal dari siapapun, melainkan berasal dari causa prima alam semesta ini yaitu Tuhan yang Maha Esa. Disinilah terdapat perbedaan yang mendasar antara konsep HAM dalam Islam dengan konsep HAM Barat seperti yang ada dalam masyarakat internasional. HAM  dalam pandangan Islam,  dikategorisasikan  sebagai aktivitas yang didasarkan pada diri manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi, sedangkan bagi pandangan Barat, HAM ditentukan oleh aturan- aturan public demi tercapainya perdamaian dan keamanan semesta alam
Dari paparan tersebut, sangat jelas perbedaan antara pemahaman Barat yang dilatarbelakangi oleh sekularisme dengan pemahaman Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan. HAM di Barat hanya   dipertanggungjawabkan pada sesama manusia,   sedangkan dalam Islam pertanggungjawabannya kepada manusia dan kepada Tuhan. Dengan kata lain bahwa HAM bukan sekedar masalah kemanusiaan saja, tetapi juga masalah yang berhubungan dengan masalah ketuhanan (teosentris). Sebab, pada dasarnya, secara fitri manusia senantiasa menginginkan agar kebutuhan pokoknya terpelihara. Dalam hal ini sangat terkait dengan tujuan Tuhan menurunkan syari’at atau biasa disebut dengan  istilah maqasid al- syari yang berintikan kemaslahatan manusia. Hal ini dapat dilihat pada Q.S. al-Maidah (5): 16; Q.S.al-An’am (6): 104; Q.S. Yunus (10):57, 58 dan 108.
Penutup
Daftar Pustaka



[1] Trianto dan Titik Triwulan Tatik, Falsafah Negara & Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007), hlm.259
[2] Sarinah, Ilmu Sosial Budaya Dasar, (Yogyakarta: Depublish, tahun 2016), hlm.11.
[3] Arinanto, Satya. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), 2003.
[4] Ketut Arianta, dkk, Perlindungan Hukum Bagi Kaum Etnis Rohingya Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Internasional, e-Journal Komunitas Yustitia Universitas Pendidikan Ganesha, Volume 1 No 1 Tahun 2018
[5] Ali Muhammad, Rusjdi. 2003. Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh, Problem,
solusi  dan Implementasi. Cet. I.. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
[6] Laila Rahmawat HAK ASASI MANUSIA DALAM ISLAM JURNALTRANSFORMATIF(IslamicStudies) Volume1,Nomor2,Oktober2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Konsep Kewirausahaan Islam

Makalah Filsafat Empirisme

KAIDAH FIKIH KULLIYAT YANG KE 26-30