KHILAFAH, KERAJAAN DAN DEMOKRASI DALAM ISLAM


 “KHILAFAH, KERAJAAN DAN DEMOKRASI DALAM ISLAM”

Dosen Pengampu: Saprudin, S.Ag., M.Si








                                       Suci Ramadhani Putri                            (170201027)







PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH (MUAMALAH)
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM
2020



KATA PENGANTAR


Assalamu’alaikum wr.wb.
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat dan salam senantiasa  kita haturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam yang gelap gulita menuju alam yang terang benderang. Dan semua perkataan, perbuatan, pengakuan dan sifatnya adalah panutan bagi semua umatnya.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Fiqh Siyasah" pada Prodi Hukum Ekonomi Syariah, Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram. Makalah ini berjudul “Khilafah, Kerajaan dan Demokrasi dalam Islam”.
Demikianlah yang dapat kami sampaikan, kurang lebihnya kami mohon maaf bila ada salah-salah kata. Sesungguhnya segala kekurangan dan kesalahan itu datangnya dari kami sendiri. Sedangkan segala kelebihan itu datangnya dari Allah SWT semoga Allah SWT meridhai kita. Tiada gading yang tak retak. Sekian.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
                                                                                                 Mataram, 14 Maret 2020
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Kelompok 04



DAFTAR ISI










BAB I

 PENDAHULUAN


Islam sebagai agama yang penuh rahmat, yang cocok untuk segala waktu dan tempat telah mengatur tentang pedoman bagaimana kita seharusnya bersikap. Meskipun Islam trlah turun berabad-abad silam lamanya, bukan berarti Islam tidak bias menjawab persoalan hari ini yang kita hadapi.
Konsep mengenai Khilafah, Kerajaan dan Demokrasi menjadi isu kontemporer yang hangat dibicarakan baik dikalangan ulama islam sendiri maupun dikalangan akademisi. Jika konsep khilafah telah kita sama-sama ketahui bahwa konsep ini asli dari kalangan umat islam sendiri, muncul setelah wafatnya Rasulullah Saw. Sedangkan konsep kerajaan telah ada sejak zaman yunani kuno. Dan terakhir konsep Demokrasi dimulai sejak era modern, dimana kita telah mengenal konsep kebebasan. Diantara konsep ketiga diatas, menarik untuk dikaji ;ebih lanjut bagaimana sesungguhnya Islam memandang ketiganya. Relevankah hingga hari ini bagi umat Islam atau sesuaikan dengan nilai-nilai Islam jika kemudian diadopsi oleh umat Islam untuk digunakan hari ini. Pada makalah ini, kami mencoba untuk mengkaji lebih lanjut kedudukan ketiganya menurut Islam.
1.      Bagaimanakah konsep khilafah di dalam Islam?
2.      Bagaimanakah konsep kerajaan di dalam Islam?
3.      Bagaimanakah konsep demokrasi di dalam Islam?
1.      Mengetahui bagaimanakah konsep khilafah di dalam Islam.
2.      Mengetahui bagaimanakah konsep kerajaan di dalam Islam.
3.      Mengetahui bagaimanakah konsep demokrasi di dalam Islam.

BAB II

PEMBAHASAN


Didalam sejarah pemerintahan Islam, istilah ini muncul setelah pemerintahan kenabian dengan wafatnya beliau pada tahun 632 M. Istilah khilafah ini mengandung arti “perwakilan”, “penggantian” atau “jabatan khalifah.” Istilah ini berasal dari behasa Arab, “khalf” yang berarti “wakil”, “pengganti”, dan “penguasa.” Lain halnya dengan perspektif politik Sunni, khilafah menurut mereka didasarkan pada dua rukun, yaitu: konsensus elit politik (ijma’) dan pemberian legitimasi (bay’ah).[1] Karenanya, setiap pemilihan pemimpin Islam, cara yang digunakan adalah dengan memilih pemimpin yang ditetapkan oleh elit politik. Setelah itu baru dibai’ah oleh rakyatnya demikian, menurut Harun Nasution, bukanlah dalam artian suatu bentuk kerajaan, tetapi lebih cenderung pada republik. Dalam arti, seorang kepala negara dipilih dan tidak tetap mempunyai sifat turun-temurun.[2]
Sedangkan menurut Bernard Lewis, istilah khalifah muncul untuk pertama  kalinya di Arabia pra-Islam dalam suatu prasasti Arab abad ke-6 Masehi. Pada waktu itu kata Khalifah ditujukan kepada raja muda atau letnan yang bertindak sebagai wakil pemilik kedaulatan yang berada ditempat lain. Dalam Islam sendiri, istilah ini telah digunakan ketika Abu Bakar diangkat menjadi khalifah pertama Islam, setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW.
Dalam pidato inagurasinya, Abu Bakar menyebut dirinya sebagai Khalifah Rasul Allah”, dalam pengertian “Pengganti Rasulullah.”[3] Karena itu, penggunaan istilah Khalifah erat hubungannya dengan tugas kenabian yang tujuannya meneruskan misi-misi Rasul, sebagai salah satu syi’ar dakwah. Sejauh ini terdapat tiga teori tentang dasar-dasar pembentukan khilafah. Pertama, pembentukan khilafah ini wajib hukumnya berdasarkan Syari’ah atau berdasarkan wahyu. Para ahli Fiqh Sunni, antara lain, Abu Hasan Al-Ashari, berpendapat bahwa khilafah itu wajib, karena wahyu dan Ijma’ para sahabat. Pendapat Kedua, antara lain dikemukakan oleh al-Mawardi mengatakan bahwa  mendirikan khilafah hukumnya farhu kifayah atau wajib kolektif berdasarkan Ijma.’ Ketiga, adalah pendapat kaum Mu’tazillah mengatakan bahwa, pembentukan khilafah ini memang wajib tetapi dengan pertimbangan akal.[4]
Pada fase selanjutnya, konsep khilafah ini memiliki perluasan makna yang akhirnya menjadi kontroversi di sebagian pemikir-pemikir Muslim pada waktu itu. Pendapat ini mengataan bahwa, Islam itu tidak ada kaitannya sedikitpun dengan kekhilafahan, artinya kehilafahan itu bukanlah satu sistem yang Islamis, atau bercorak keagamaan sampai dengan kekhilafahan al-Khulafa al-Rashidin. Ia hanyalah sistem duniawiah yang sepenuhnya berbeda dan bertentangan dengan agama, serta memiliki tujuantujuan yang bersifat duniawiah untuk mempertahankan kerajaan, penaklukan dan kolonialisasi, serta sama sekali bukanlah bertujuan merealisasikan tujuan-tujuan agama.
Inilah yang menjadi tarik ulur dikalangan cendekiawan Muslim saat itu. Propaganda-propaganda ganjil dan aneh itu ternyata terlahir dari seorang Non- Muslim. Jadi sudah hampir dapat dipastikan pokok-pokok pikiran yang ada didalamnya benar-benar bertentangan dengan pandangan seluruh ulama Islam sejak awal sampai saat ini. Hal itu disebabkan karena seiring dengan wafatnya Rasulullah, maka tidak bisa tidak harus ada seseorang yang menggantikannya sebagai seorang pemimpin dan mengemban amanatnya dalam memelihara agama, memelihara kelestariannya, melaksanakan syri’atnya, melindungi umatnya, dan menyampaikan risalahnya sampai keseluruh dunia.
Istilah monarki berasal dari bahasa Yunani, monos yang berarti satu, dan archein yang berarti pemerintahan. Monarki merupakan jenis pemerintahan yang dipimpin oleh seorang pengusaha atau raja. Sistem monarki adalah sistem pemerintahan yang paling tua di dunia. Pada awal abad ke 19, terdapat lebih 900 tahta kerajaan dunia, tetapi hanya selang beberapa waktu turun menjadi 240 di abad ke 20, kemudian di dekade ke delapan pada abad 20 yang tersisa adalah 40 tahta kerajaan. Dari jumlah tersebut hanya enam negara saja yang menerapkan monarki mutlak dan selebihnnya terbatas pada sistem konstitusi.
Suatu negara disebut dengan negara monarki/ kerajaan, jika dalam sebuah negara tersebut kepala negaranya dipimpin oleh seorang raja/sultan/kaisar yang berasal sari garis keturunan keluarga penguasa. Raja tersebut akan berkuasa seumur hidup kecuali atas keinginan sendiri mengundurkan dirinya sendiri. Raja diangkat dan diturunkan atas kehendak diri dan keluarganya saja. Rakyat sama sekali tidak dilibatkan dalam penentuan pemimpinya.[5]
Setelah berakhirnya Khulafa al Rasyidin kondisi pemerintahan semakin berubah, khalifah yang melekat pada diri penguasa hanya sekedar lambang dan pemerintahanpun telah berusaha menjadi kerajaan (otokrasi) dan jauh dari tendensi semula.Tahapan yang dilalui untuk berubah menjadi kerajaan  itu kita lihat sebagai berikut;
-Awal perubahan
Awal dari perubahan  ini telah nampak ketika Usman mengangkat kaumkerabatnya menjadi pemegang kendali pemerintahan, padahal ini tak pernahdilakukan pendahulunya.
- Tahapan kedua
Terbunuhnya sayyidina Usman adalah sebagai akibat amarah yang takterkendali dari massa yang didominasi oleh penduduk Basrah, Kuffah danMesir.
- Tahapan ketiga
Keretakan dalam tubuh kekhilafahan makin tampak dan secara berangsurmenuju kerajaan  setelah terpilihnya Ali bin Abi Thalib, hal ini dikarenakan;
a.       Ikut serta para pemberontak dalam pemilihan khalifah.
b.      Sikap netral yang telah ditunjukkan oleh beberapa sahabat besar dalampersoalan bai’at kepada Ali
c.       Penuntutan bela atas kematian Usman r.a oleh dua kelompok. Pertama dipimpin oleh Aisyah r.ha dan Thalhah bin Zubair, sedangkan kelompok kedua dipimpin oleh Muawiyah bin Abi Shofyan.
- Tahapan keempat
Terjadinya peperangan yang tak dapat dielakkan antara muslim yang kita kenal dengan perang Jamal dan perang Shiffin.
- Tahapan kelima
Pemecatan Muawiyah Abi Sofyan dari jabatan di Syam membuatnya semakin ingin membalas kematian Usman, salah satu cara yang dilakukannya bagi menarik massa adalah dengan memamerkan gamis Usman yang penuh bercak darah dan juga potongan jari Nailah istri sayyidina Usman r.a.
- Tahapan keenam
Hasil dari keputusan tahkim antara Amr bin Ash dan Abu Musa Al Asy’ari,utusan dari kelompok Muawiyah dan Ali r.a. Keputusan ini berakhir dengan tidak seimbang  karena kelicikan  utusan Muawiyah sebagai khalifah pengganti Ali r.a.
Begitulah tahapan yang dilalui umat Islam sehingga menghilangkan sistem khilafah dan menuju bentuk pemerintahan baru, yaitu otokrasi. Selain itu, banyak  hal-hal yang dizaman khalifah al rasyidah tidak lagi dipraktekkan  dimasa Bani Umayah, Bani Abbasiyah dan khalifah Usmaniyah, sehingga terjadi penghapusan sistem pemerintahan khilafah dari Turki dan diikuti oleh Ali Abdur Raziq di Mesir. Khilafah benar-benar hanya menjadi alat pemersatu saja dan tidak lebih dari itu.
Asal kata demokrasi adalah demos, sebuah kosa kata Yunani berarti masyarakat, dan kratio atau krato yang dalam bahasa Yunani  berarti pemerintahan. Demokrasi secara etimologis berarti pemerintahan oleh rakyat (rule by the people). Dilihat dari sejarahnya, pertama kali, istilah ini digunakan sekitar lima abad sebelum Masehi.  Chleisthene tokoh pada masa itu dianggap banyak memberi kontribusi dalam pengembangan demokrasi.  Chleisthenes adalah tokoh pembaharu Athena yang menggagas sebuah sistem pemerintahan kota. Pada 508 SM, Chleisthenes membagi peran warga Athena ke dalam 10 kelompok. Setiap kelompok terdiri dari beberapa demes yang mengirimkan wakilnya ke Majelis yang terdiri dari 500 orang wakil.
Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan di mana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, dilaksanakan secara langsung oleh mereka, atau oleh wakil terpilih dalam sistem pemilu yang bebas.1Karena definisi ini maka Abraham Lincoln, salah seorang mantan Presiden Amerika Serikat, mengatakan bahwa dalam proses demokrasi mengharuskan adanya partisipasi rakyat dalam memutuskan suatu permasalahan dan mengontrol pemerintahan yang berkuasa.[6]
Dalam penjelasan mengenai demokrasi dalam kerangka konseptual Islam, Esposito mengatakan bahwa kesesuaian demokrasi dengan Islam dapat dikembangkan melalui beberapa aspek khusus dari ranah sosial dan politik. Seperti banyak konsep dalam tradisi politik barat, istilah-istilah ini tidak selalu dikaitkan dengan pranata demokrasi dan mempunyai banyak konteks dalam wacana Muslim dewasa ini. Demokrasi Islam dianggap sebagai sistem yang mengukuhkan konsep-konsep islami yang sudah lama berakar, yaitu konsep syura, Ijma’, Maslahah, dan ijtihad. Hubungan antara Islam dan demokrasi seperti berikut:
a.       Syura dalam Konsep Demokrasi
Istilah musyawarah berasal dari kata  .ﻣﺸﺎورة  Ia adalah masdar dari kata kerja syawara-yusyawiru,  yang  berakar  kata  syin,  waw,  dan  ra, dengan  pola  fa’ala. Pendapat  senada  mengemukakan  bahwa  musyawarah  pada  mulanya bermakna  “mengeluarkan  madu  dari  sarang  lebah”.  Makna  ini  kemudian berkembang  sehingga  mencakup  segala  sesuatu  yang  dapat  diambil  atau dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat). Musyawarah juga dapat berarti mengatakan  atau  mengajukan  sesuatu.  Karenanya,  kata  musyawarah  pada dasarnya  hanya  digunakan  untuk  hal-hal  yang  baik,  sejalan  dengan  makna dasarnya. Dalam  Kamus  Besar  Bahasa  Indonesia,  musyawarah  diartikan  sebagai: pembahasan  bersama  dengan  maksud  mencapai  keputusan  atas  penyelesaian masalah  bersama.  Selain  itu  dipakai  juga  kata  musyawarah  yang  berarti berunding dan berembuk.[7]
Secara historis, konsep syura dalam sejarah Islam telah ada jika menunjuk pertemuan di Bani Sa’idah segera setelah Nabi Muhammad wafat. Menurut Fazlur Rahman kejadian itu sebagai pelaksanaan prinsip syura yang pertama. Kejadian ini kemudian diikuti dengan pidato pelantikan Abu Bakar sebagai khalifah pertama. Dalam pidatonya pelantikannya itu, secara kategoris ia menyatakan bahwa dirinya telah menerima mandat dari rakyat yang memintanya melaksanakan al-Quran dan Sunnah. Abu Bakar juga menyatakan bahwa ia melaksanakan ketentuan al-Quran dan Sunnah, ia perlu didukung terus. Tetapi bilamana ia melakukan pelanggaran berat maka ia harus diturunkan. Konsep syura dan demokrasi Fazlur Rahman juga berpendapat bahwa institusi semacam syura telah ada pada masyarakat Arabia pra-Islam. Waktu itu, para pemuka suku atau kota menjalankan urusan bersama melalui permusyawaratan. Institusi inilah yang kemudian didemokrasitasi oleh al-Quran, yang menggunakan istilah syura. Perubahan dasar yang dilakukan al-Quran adalah mengubah syura dari sebuah institusi suku menjadi institusi komunitas, karena ia menggantikan hubungan darah dengan hubungan iman.[8]
Menurut Syafii Maarif, pada dasarnya syura merupakan gagasan politik utama dalam al-Quran. Jika konsep syura ditransformasikan dalam kehidupan modern sekarang, maka menurut Syafii sistem politik demokrasi adalah lebih dekat dengan cita-cita politik Qurani, sekalipun ia tidak terlalu identik dengan praktek demokrasi barat. Begitu halnya dengan Mohammad Iqbal yang menganggap demokrasi sebagai cita-cita politik Islam, kritik Iqbal terhadap demokrasi bukanlah dari aspek normatifnya, akan tetapi dalam praktek pelaksanaannya. Kohesi antara Islam dan demokrasi terletak pada prinsip persamaan (equality), yang di dalam Islam dimanifestasikan oleh tauhid sebagai satu gagasan kerja (a working idea) dalam kehidupan sosio-politik umat Islam.
Perlunya musyawarah merupakan konsekuensi politik prinsip kekhalifahan manusia. “perwakilan rakyat dalam sebuah negara Islam tercermin terutama dalam doktrin musyawarah (syura). Karena semua muslim yang dewasa dan berakal sehat, baik pria maupun wanita adalah khalifah (agen) Tuhan, mereka mendelegasikan kekuasaan mereka kepada penguasa dan pendapat mereka harus diperhatikan dalam menangani permasalahan negara”. Ayatullah Baqir Al-Sadr menegaskan bahwa musyawarah adalah hak rakyat. “rakyat sebagai khalifah Allah berhak mengurus persoalan mereka sendiri atas dasar prinsip musyawarah” dan ini termasuk “pembentukan majlis yang para anggotanya adalah wakil-wakil rakyat yang sesungguhnya. Dengan demikian syura menjadi unsur operasional yang menentukan dalam hubungan antara Islam dan demokrasi.[9]
Secara umum konsep syura sangat sesuai dengan demokrasi karena menempatkan semua masyarakat dalam satu tempat yang sama. Di Indonesia, demokrasi yang dibangun berdasarkan konsep syura dimana setiap pemimpin dipilih oleh rakyatnya. Tentang apakah sistem pemilihan tersebut secara langsung oleh pemerintah maupun melalui perwakilan di dewan perwakilan rakyat sebenarnya adalah hal yang sama. Selama rakyat atau wakilnya mempunyai keinginan yang sama hal tersebut bukanlah masalah.  Namun akan berbeda ketika wakil rakyat yang telah dipilih tersebut tidak menggambarkan apa yang menjadi keinginan rakyat yang diwakilinya. Oleh karena itu, seorang wakil rakyat harus benar-benar mewakili setiap kebutuhan rakyat yang harus diperjuangkan. Jika wakil rakyat hanya mewakili golongannya tentu sudah menyalahi dari konsep demokrasi itu sendiri.
Piagam Madinah merupakan konstitusi demokrasi Islam pertama dalam sejarah pemerintahan konstitusional. Para intelektual muslim sepakat bahwa prinsip syura adalah sumber etika demokrasi Islam. Mereka menyamakan konsep syura dengan konsep demokrasi modern.
b.      Ijma’ dalam Konsep Demokrasi
Secara etimelogi Ijma’ mengandung arti kesepakatan atau konsensus. Ijma’ juga dapat diartikan sebagai al Azmu ‘alassyai’ atau ketetapan hati untuk melakukan sesuatu. Ijma’ secara terminolgi didefinisikan oleh  beberapa ahli diantaranya: menurut Al Ghazali Ijma’ adalah kesepakatan umat Muhammad Saw secara khusus atas suatu urusan agama; definisi ini mengindikasikan bahwa Ijma’ tidak dilakukan pada masa Rasulullah Saw, sebab keberadaan Rasulullah sebagai syar’i tidak memerlukan Ijma’. Sedangkan menurut Al Amidi: Ijma’ adalah kesepakatan  ahlul halli wal ‘aqdi  atau para ahli yang berkompoten mengurusi umat dari umat Nabi Muhammad pada suatu masa atau hukum suatu kasus.[10]
 Ijma’ atau konsensus  telah lama diterima sebagai konsep pengesahan resmi dalam hukum Islam, terutama di kalangan kaum Muslim Sunni. Namun, hampir sepanjang sejarah Islam pada konsensus sebagai salah satu sumber hukum Islam cenderung dibatasi pada konsensus para cendekiawan, sedangkan konsensus rakyat kebanyakan mempunyai makna kurang begitu penting dalam kehidupan umat Islam. Namun dalam pemikiran modern, potensi fleksibilitas yang terkandung dalam konsep konsensus akhirnya mendapat saluran yang lebih besar. 
Dalam pengertian lebih luas, konsensus dan musyawarah sering dipandang sebagai landasan yang efektif bagi demokrasi Islam modern. Konsep konsensus memberikan dasar bagi penerimaan sistem yang mengakui suara mayoritas. Beberapa cendekiawan kontemporer menyatakan bahwa dalam sejarah Islam karena tiedak ada rumusan yang pasti mengenai struktur negara dalam al-Quran, legitimasi negara bergantung pada sejauh mana organisasi dan kekuasaan negara mencerminkan kehendak umat. Sebab seperti yang pernah ditekankan oleh para ahli hukum klasik, legitimasi pranata-pranata negara tidak berasal dari sumber-sumber tekstual, tetapi didasarkan pada prinsip Ijma’.  Atas dasar inilah konsensus dapat menjadi legitimasi sekaligus prosedur dalam suatu demokrasi Islam.[11]
c.       Maslahah dalam Konsep Demokrasi
Secara etimologis, arti al-Maslahah  dapat  berarti  kebaikan, kebermanfaatan, kepantasan, kelayakan, keselarasan, kepatutan. Kata alMaslahah adakalanya dilawankan dengan kata al-mafsadah  dan  adakalanya  dilawankan dengan kata al-madarrah, yang mengandung arti: kerusakan. Secara terminologis, Maslahah telah diberi muatan makna oleh beberapa ulama usûl al-fiqh. Al-Gazâli (w.505 H), misalnya, mengatakan bahwa makna genuine dari Maslahah adalah menarik/mewujudkan kemanfaatan atau menyingkirkan/ menghindari kemudaratan  (jalb al-manfa‘ah atau daf‘ al-madarrah). Menurut  al-Gazâli, yang dimaksud Maslahah, dalam arti terminologis-syar‟i, adalah memelihara dan mewujudkan tujuan hukum  Islam (Syariah) yang berupa memelihara agama, jiwa, akal budi, keturunan, dan harta kekayaan. Ditegaskan oleh al-Gazâli bahwa setiap sesuatu yang  dapat menjamin dan melindungi eksistensi salah satu dari kelima hal  tersebut dikualifikasi sebagai Maslahah; sebaliknya, setiap sesuatu yang  dapat mengganggu dan merusak salah satu dari kelima hal tersebut dinilai  sebagai al-mafsadah; maka, mencegah dan menghilangkan sesuatu yang  dapat mengganggu dan merusak salah satu dari kelima hal tersebut dikualifikasi sebagai Maslahah.
Dalam konsep demokrasi, Maslahah menjadi bagian yang penting ketika dihadapkan dengan kebebasan individu dan persamaan HAM. Konsep Maslahah memberikan penilaian yang lebih obyektif tentang bagaimana kepentingan umum didahulukan daripada kepentingan pribadi. Perwujudan Maslahah dan mafsadah dalam pelbagai situasi dan kondisi memerlukan standar yang jelas dan berterusan untuik digunakan oleh para mujtahid. Apabila mafsadah dan Maslahah tidak mampu dipertemukan maka hendaklah dilakukan pentarjihan di antara kedua posisi dengan dipilih salah satu dari dua posisi yang lebih dominan. Bahkan ketika terjadi kontradiksi antara Maslahah dengan Maslahah, mafsadah dengan mafsadah dalam kategori yang sama seperti daruriyah, hajiyyah dan tahsiniyah.[12]
Akan tetapi, terdapat kemungkinan muncul pihak-pihak yang menyalahgunakan  dalil/metode Maslahah memang tidak bisa dipungkiri. Mereka menggunakan Maslahah sebagai dalil/metode untuk menetapkan hukum tanpa mengindahkan batasan-batasan dan kaedah-kaedah yang baku. Hal ini mengakibatkan terjadinya kesalahan/kekacauan dalam menetapkan hukum Islam, dan pada gilirannya melahirkan keresahan di kalangan masyarakat. Dalam konteks ini, kehadiran institusi ijtihâd jamâ‘iy (ijtihad kolektif) seperti MUI, Bahtsul Masa‟il NU, Majelis Tarjih Muhammadiyah, dan Dewan Hisbah Persis, menjadi urgen dalam mengeliminasi kemungkinan penyalahgunaan dalil/metode Maslahah oleh aktivitas ijtihâd fardiy sehingga konsepsi dan aplikasi Maslahah dalam proses ijtihad tersebut terhindar dari salah paham dan salah kaprah. Meskipun demikian, ini tidak berarti menutup rapat rapat pintu ijtihâd fardî.
Maslahah merupakan konsep bahwa kepentingan publik harus diutamakan dari kepentingan individu. Dalam hal ini, penggusuran dalam rangka normalisasi sungai (seperti yang dilakukan di Jakarta, Indonesia) yang dilakukan oleh pemerintah sudah selayaknya diterima oleh masyarakat bahkan tanpa disediakan tempat untuk pindah, masyarakat wajib mematuhinya. Pemerintah hanya perlu mengganti biaya ganti rugi dari masyarakat tersebut tanpa harus membelinya, dan masyarakat harusnya juga memahami bahwa untuk kepentingan umum, pengorbanan yang dilakukan akan mendapatkan pahala dari Allah SWT.
d.      Ijtihad dalam Konsep Demokrasi
Konsep operasional yang terakhir adalah ijtihad, atau pelaksanaan penilaian yang ilmiah dan mandiri. Bagi banyak pemikir muslim, upaya ini merupakan langkah kunci menuju penerapan perintah Tuhan di suatu tempat atau waktu.
Ijtihad diterapkan pada pertanyaan-pertanyaan yang tidak tercakup oleh Al-Qur'an dan Sunnah, tidak dengan taqlid, atau dengan analogi langsung (qiyas). Ijtihad dianggap, oleh banyak pemikir Muslim, sebagai kunci untuk pelaksanaan kehendak Allah dalam waktu dan tempat tertentu. Hampir semua reformis dan intelektual Muslim abad 20 menunjukkan antusiasme dalam konsep Ijtihad kontemporer, Muhmmad Iqbal, Khurshid Ahmad, Taha Jabir al 'Alwani dan Altaf Gauhar menjadi beberapa dari mereka.
Bentuk demokrasi menurut Fazlur Rahman dapat berbeda-beda menurut kondisi yang ada dalam suatu masyarakat. Untuk dapat memilih  suatu bentuk demokrasi yang sesuai dengan keadaan suatu masyarakat Islam tertentu, peranan ijtihad menjadi sangat menentukan.
Ijtihad saat ini menjadi tren pemikiran dari cendekiawan-cendekiawan muslim kontemporer. Mati surinya ijtihad selama beberapa abad silam memang membuat dunia Islam menjadi jalan ditempat. Ijtihad memberikan jalan alternatif dari perbagai permasalahan dalam dunia modern saat ini.                                                            


PENUTUP

1.      Khilafah di dalam Islam dimulai sejak masa Khulafaur Rasyidin, yang ditandai saat pelantikan Abu Bakar sebagai khalifah atau pengganti Rasulullah Saw.
2.      Kerajaan di dalam islam dimulai sejak era bani umayyah, dimana kekuasaan tidak lagi di tangan umat tetapi kekuasaan diturunkan dari raja sebelumnya.
3.      Demokrasi di dalam islam telah sejalan dengan  nilai-nilai Islam, jika dilihat dari segi, ijtihad, maslahah, syura, dan ijma’.

Tidak ada bentuk pasti mengenai system pemerintahan yang seharusnya dipakai oleh umat Islam, kesemuanya adalah bagian dari ijtihad. Namun, Rasulullah dan para Khulafaur Rasyidin telh memberi contoh kepada kita mengenai system pemerintahan haruslah sesuai dengan nilai-nilai Islam. Sehingga, agama Islam sekali lagi cocok untuk segala kondisi waktu maupun tempat bagi umat islam.










Buku

Anwar. M. Syafi’I, 1999, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina
Bawazir, Tohir, 2015, Jalan Tengah Demokrasi antara Fundamentalisme dan Sekularisme, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
Enayat, Hamid, 1988, Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah: Pemikiran Politik Islam Modern Menghadapi Abad Ke-20, terjemahan Asep Hikmat, Bandung
Esposito, John L dan John O. Voll, 1999,. Islam and Democracy, alih bahasa Rahmani Astuti, Cet 1, Bandung: Miza
Nasution, Harun, 1985, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, Cet.V, Jakarta: UI Press
Sadzali, H.Munawir,1993,  Islam dan Tata Negara: ajaran, sejarah, dan pemikiran, Edisi V, Jakarta: UI Press
Samsuddin, M. Din, 2000, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, Jakarta: Logos
Sulaiman, Sadek J. 2003, Demokrasi dan Shura, dalam Islam Liberal, ed. Charles Khurzman, terj. Bahrul Ulum dan Heri Junaedi Jakarta: Paramadina Syarifuddin, Amir, 1997, Ushul Fiqih, Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu

Jurnal

Sohrah, Musywarah vs Demokrasi, Al-Risalah Volume 11 Nomor 1 Mei 2011
Ridzwan Ahmad,  Metode Pentarjihan Maslahah dan Mafsadah dalam Hukum Islam Semasa, Sharia Journal, Vol. 16, No. 1 2008


[1] Hamid Enayat, Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah: Pemikiran Politik Islam Modern Menghadapi Abad Ke-20, terjemahan Asep Hikmat, Bandung: Pustaka, 1988, hlm. 9
[2] Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, Cet.V, Jakarta: UI Press, 1985, hlm. 95
[3] H.Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara: ajaran, sejarah, dan pemikiran, Edisi V, Jakarta: UI Press, 1993, hlm. 21                                
[4] M. Din Samsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, Jakarta: Logos, 2000, hlm.78.
[5] Tohir Bawazir, Jalan Tengah Demokrasi antara Fundamentalisme dan Sekularisme, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015, hlm. 73
[6] Sadek J. Sulaiman, Demokrasi dan Shura, dalam Islam Liberal, ed. Charles Khurzman, terj. Bahrul Ulum dan Heri Junaedi Jakarta: Paramadina, 2003, hlm. 125
[7] Sohrah, Musywarah vs Demokrasi, Al-Risalah Volume 11 Nomor 1 Mei 2011, hlm. 34-35.
[8] M. Syafi’I Anwar.  Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina. 1999, hlm. 223
[9] John L Esposito dan John O. Voll. Islam and Democracy, alih bahasa Rahmani Astuti, Cet 1, Bandung: Penerbit Miza, 1999, hlm. 33
[10] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm. 99
[11] John L Esposito dan John O. Voll. Islam and Democracy, alih bahasa Rahmani Astuti, Cet 1, Bandung: Penerbit Miza, 1999, hlm. 34.
[12] Ridzwan Ahmad,  Metode Pentarjihan Maslahah dan Mafsadah dalam Hukum Islam Semasa, Sharia Journal, Vol. 16, No. 1 2008, hlm. 108.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Konsep Kewirausahaan Islam

Makalah Filsafat Empirisme

KAIDAH FIKIH KULLIYAT YANG KE 26-30