KONFIGURASI POLITIK HUKUM PERIODE DEMOKRASI TERPIMPIN
KONFIGURASI POLITIK HUKUM PERIODE
DEMOKRASI TERPIMPIN
Makalah
ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Politik Hukum”
Dosen Pengampu: Nasrullah, MH
Disusun Oleh : Kelompok IV
Suci Zuhriah (170201026)
Suci Ramadhani Putri (170201027)
Dian Sri Lestari (170201028)
M. Safri Hanafi (170201029)
Eva Septiana (170201030)
Nava Yuliana Safitri (170201031)
PRODI
HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS
SYARIAH
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM
BAB I
PENDAHULUAN
Mahfud MD membangun
hipotesis bahwa konfigurasi politik tertentu akan melahirkan karakter produk
hokum tertentu pula. Dan dalam penelitiannya, Mahfud MD menguraikan, variable
bebas (konfigurasi politik) dan variable terpengaruh (karakter produk hokum)
dibagi dalam dua ujung yang dikotomis. Variable konfigurasi politik dibagi atas
konfigurasiyang demokratis dan konfigurasi yang otoriter, sedangkan variable
karakter produk hokum dibagi atas produk hokum yang berkarakter responsive atau
otonom dan produk hokum yanh berkarakter ortodoks atau konservatif. Dengan
pemecahan kedua variabel tersebut di dalam konsep-konsep yang dikotomis,
hipotesis di atas dinyatakan secara lebih rinci bahwa hokum konfigurasi politik
yang demokratis akan melahirkn produk hokum yang responsive, sedangkan
konfigurasi politik yang otoriter akan melahirkann produk hokum yang ortodoks
atau menindas.
Berangkat dari
hipotesis di atas, sehingga disusunlah makalah ini guna mengetahui lebih lanjut
seputar pengaruh konfigurasi politik terhadap produk hokum.
1. Bagaimana
konfigurasi politik periode demokrasi terpimpin?
2. Bagaimana karakter
produk hokum akibat konfigurasi politik
periode demokrasi terpimpin?
1. Mengetahui bagaimana
konfigurasi politik periode demokrasi terpimpin.
2. Mengetahui bgaimana karakter
produk hokum akibat konfigurasi politik
periode demokrasi terpimpin.
BAB II
PEMBAHASAN
Konfigurasi
politik yang demokratis berakhir pada 1959 ketika Presiden Soekarno
mengeluarkan dekrit yang kemudian dianggarp sebagai jalan bagi tampilnya
demokrasi terpimpin yang berlangsung pada 1959-1966. Selama kurun waktu ini,
Presiden Soekarno menjelma menjadi seorang pemimpin yang otoriter. Partai-partai
yang pernah marak pada era demokrasi liberal secara praktis menjadi lemah dan
tak berdaya, kecuali PKI (Partai Komunis Indonesia) yang dapat memperluas
pengaruhnya dengan berlinduung di bawah kekuasaan Soekarno, sementara Angkatan
Darat dapat memperluas peran dan kekuasaan politiknya.[1]
Sebenarnya
gagasan Soekarno tentang demokrasi terpimpin telah dilintarkan kira-kira dua
tahun sebelum Dekrit 5 Juli 1959 diumumkan. Ketika pemerintah demokrasi liberal
yang terakhir jatuh pada tanggal 14 maret 1957, presiden menemukan jalan untuk
menerapkan gagasan tentang demokrasi terpimpin, yang menurutnya, berdasarkan
kepribadian bangsa Indonesia yang mempunyai budaya gotong royong dan musyawarah
mufakat. Dewan Nasiona yang diusulkannya akan diisi oleh wakil-wakil kelompok
fungsional, daerah, dan angota ex-officio
seperti kepala staf ABRI, kepala kepolisian, jaksa agung dan menteri-menteri
penting tertentu.
Secara
agak rinci, pengertian demokrasi terpimpin bisa diambil dari pidato Soekarno
dalam rangka HUT kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1957 dan 1958 yang
pokok-pokoknya adalah sebagai berikut.[2]
Pertama, ada
rasa tidak puas terhadap hasil-hasil yang dicapai sejak tahun 1945, karena
belum mendekati cita-cita dan tujuan proklamasi, seperti masalah kemakmuran dan
pemerataan keadilan yang tidak terbina, belumutuhnya wilayah RI karena masih
ada wilayah yang dijajah Belanda, instabilitas nasional yang ditandai jatuh
bangunnya cabinet sampai tujuh kali, serta pemberontakan daerah-daerah.
Kedua, kegagalan
tersebut disebabkan menipisnya rasa nasionalisme pemilihan demokrasi liberal
tanpa pimpinan dan disiplin, suatu demokrasi yang tidak cocok dengan
kepribadian Indonesia, serta system multipartai berdasarkan pada Maklumat Pemerintah
tanggal 3 November 1945 yang ternyata partai-partai itu digunakan sebagai alat
perebutan kekuasaan dan bukan alat pengabdi rakyat.
Ketiga, suatu
koreksi untuk segera kembali pada cita-cita dan tujuan semula harus diciptakan
system demokrasi yang menuntun untuk mengabdi kepada Negara dna bangsa yang
beranggotakan orang-orang jujur.
Keempat,
cara yang harus ditempuh untuk melaksanakan koreksi tersebut adalah:
1. Mengganti
system free fight lliberalism dengan demokrasi terpimpin yang lebih sesuai
dengan kepribadian bangsa Indonesia
2. Dewan
Perancang Nasionalakan membuat blue-print masyarakat yang addil dna makmur
3. Hendaknya
konstituante tidka menjadi tempat berdebat yang berlarut-larut dan
menyelesaikan pekerjaannya agar blue print yang dibuat Dewan Perancang Nasional
dapat didasarkan pada konstitusi baru yang dibuat konstituante.
4. Hendaknya
konstitunate meninjau dan memutuskan masalah demokrasi terpimpin dan masalah
kepartaian.
5. Perlu
penyederhanaan system kepartaian dengan mencabut Maklumat Pemerintah tanggal 3
November 1945 yang telah memberi jalan bagi system multipartai dan menggantinya
dengan undang-undang kepartaian serta undang-undang pemilu.
Betapapun
dari sudut definisi demokrasi terpimin tidak jelek, tetapi kehadirannya tidak
serta merta mendapat dukungan luas, bahkan banyak yang menolak. Masyumi serta
partai Katolik serta daerah-daerah bergolak menolaknya dengan tegas. Sedangkan
PSI, NU, PSII, PKI dan Parkindo menolak secara berhati-hati namun PKI
memberikan dukungan kuat.
Kritik
atau penolakan terhadap demokrasi terpimpn didasarkan didasarkan pada keraguan,
apakah dengan kekuasaan yang terpusat ditangannya itu Soekarno bisa konsisten
dengan teorninya? Sejarah membuktikan, apa yang
dikhawatirkan para penentang demokrasi terpimpin benar, sebab dalam praktiknya,
Soekarno melaksanakannya jauh dari apa yang diteorikan.
Pada
akhirnya gagasan demokraasi terpimpin Soekarno mendapat dukungan dari
lembaga-lembaga Negara yang telah diatur oleh kekuasaan Soekarno. Pada tahun
1965 MPRS mengeluarkan Ketetapan No. VIII/MPRS/1965 yang berisi pedoman
pelaksanaan demokrasi terpimpin. Ketetpan ini memuat isi yang menekankan proses
pengambilan keputusan yang harus dilakukna dengan musyawarah mufakat, tetapi
jika musyawarah mufakat (mufakat bulat
itu) tidka dapat dicapai, maka putusannya diserahkan kepada pimpinan. Mekanisme
yang demikian tentu saja akan memberikan
peluang kepada Soekarno untuk menguasai setiap pengambilan keputusan. Sebab
sangat sulit jika setiap musyawarah harus selalu mufakat bulat. Akhirnya
pimpinanlah yang akan menentukan segalanya.
Ketika membahas konfigurasi politik pada
periode 1945-1959, diperoleh kesimpulan bahwa pada periode itu dianut system
banyak partai. Hal itu berimplikasi pada kuatnya parlemen yang menajdi ajang
partai untuk mengartikulasikan kepentingan politiknya. Pemerintahan menjadi
tidak stabil dna jatuh bangun dalam waktu yang relative pendek.
Segera setelah dekrit 5 juli 1959,
pemerintah mulai mengimplementasikan gagasan-gagasannya tentang demokrasi
terpimpin. System demokrasi terpimpin didasarkan pada aliansi antara
partai-partai, ABRI, dan presiden.[3]
Akan tetapi partai yang bisa bermain dalam system ini hanyalah PKI. Sehingga
konfigurasi politik ditandai oleh adanya tarik tambang antara Soekarno,
Tentara, dan PKI. Partai-partai yang dulunya aktif memainkan perannya di DPR
kecuali Masyumi dan PSI yang telah dipaksa untuk bubar, tinggal menjadi
penonton yang peranannya memberikan justifikasi atas gagasan-gagasan Soekarno.
Dalam keadaan partai-partai tidak
berdaya,, maka lembaga perwakilan rakyat juga menjadi mandul. Sebab sebenarnya
lembaga perwakilan rakyatlah terminal paling penting bagi partai-partai untuk mengartikulasikan
kepentingannya dalam proses pembuatan keputusan public. DPR hasil pemilu 1955
harus mengalami akibat fatal “dibubarkan” ketika mencoba tidak menyetuji
keinginan Soekano.
Pada periode ini telah terjadi tindakan
anti pers. Pers yang terkena tindakan pada umumnya adalah pers yang independen dan
tidak menyatakan diri sebagai aliran atau pembawa politik yang diperkenankan
oleh pemerintah. Surat kabar atau pers yang dapat hidup pada saat itu hayalah
pers yang menjadi penyalur aliran politik yang dapat menerima system demokrasi
terpimpin.[4]
Setelah kembali ke dekrit presiden 5
Juli 1959, maka kekuasaan eksekutif secara konstitusional beralih ke tangan
presiden. Meskipun UUD 1945 dengan tegas menyatakan memberlakukan UUD 1945,
tetapi dalam praktiknya apa yang dilakukan Soekarno jauh menyimpang dari
konstitusi tersebut.
System demokrasi terpimpin ternyata
tidak melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Secara
formal diatas kertas, Pancasila dan UUD 1945 memang menjadi konstitusi resmi,
tetapi realita kehidupan politik yang berkembang di zaman demokrasi terpimpin
jauh berbeda dengan apa yang sesungguhnya dikehendaki.
Pada era ini, peranan presiden menjadi
sangat besar. Kedudukannya sebagai kepala eksekutif, merangkap ketua DPA yang
fungsinya diperluas sampai melampaui batas konstitusional serta
tindakan-tindakannya membuat produk legislasi di luar lembaga yang resmi
berkuasa untuk itu, semuanya telah semakin memperkokoh terpusatnya kekuasaan di
tangan presiden. Dengan keadaan seperti itu, hamper seluruh spectrum dalam
proses politik tidak bisa tidak bisa lepas dari kekuasaan presiden.[5]
Selama periode demokrasi terpimpin,
tidak pernah dikeluarkan peraturan-peraturan perundang-undangan pemilu.seperti
telah dikemukakan, lembaga perwakilan yang mula-mula dipakai pada awal periode
ini adalah DPR yang anggota-anggotanya berdasarkan haasil pemilu 1955. Akan
tetapi, kendati dengan penghentian pelaksanaan tugas, DPR ini telah dibubarkan
denga Penetapan Presiden Nomor 3 Tahun 1960. Dictum Penpres tersebut adalah
sebagai berikut.
a. Menghentikan
peaksanaan tugas pekerjaan anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
b. Mengusahakan
pembaruan susunan Dewan Perwakilan rakyat berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dalam waktu singkat.[6]
Hingga akhir masa pemerintahan Soekarno
pemilu tak sempat dilaksanakan sampai kejatuhan presiden pada 1967, bahkan
sampai meninggalnya pada tahun 1970.
Berbeda dengan pemilu yang tidak
menghasilkan sebuah UU pun sebagai produk hokum, pada periode ini pemerintah
telah mengeluarkan produk hokum tentang pemerintahan di daerah, yakni
Penpres No. 6 Tahun 1959 dan UU No. 18
tahun 1965. Semua produk hokum ini merupakan perubahan atas produk hokum yang
sama yang dihasilkan pada era demokraasi liberal. Dapat dimengerti karakter
produk hokum ini mengikuti konfigurasi
politik otoriter yang menggantikan konfigurasi yang (ultra) demokratis
pada periode sebelumnya. Setelah tampilnya demokrasi terpimpin yang otoriter,
ada konsekuensi berupa tuntutan dicabutnya produk hokum di bidang Pemerintah
Daerah dan konfigurasi politik yang sangat demokratis. Sebab pada periode
sebelumnya bidang Pemda (yang ultra demokratis) didasarkan pada suprastruktur
yang ingin menyebarkan kekuasaan ke daerah-daerah. Sedangkan demokrasi
terpimpin didasarkan pada suprastruktur yang memusatkan kekuasaan di tangan
pemerintah pusat dengan control yang sangat ketat.
Sehingga dikeluarkanlah Penpres No. 6
Tahun 1959 yang menggariskan kebijaksanaan politik yang ingin mengembalikan dan
memperkuat kedudukan kepala daerah sebagai alat pemerintah pusat.
Pada awal demokrasi terpimpin,
gagasan-gagasan tentang dasar-dasar hokum agraria nasional yang baru dapat
dikatakan telah bulat dan mengkristal dalam RUU yang disiapkan oleh pemerintah.
Artinya, pemerintah pada periode ini tinggal menyempurnakan sistematika dan
beberapa ketentuan atas rancangan lama untuk disampaikan pada DPR dalam rangka
pembahasna dan pengundangannya.[7]
Hingga akhirnya pada 24 September 1960
RUU Agraria disahkan oleh DPR-GR sebagai UU Nomor 5 Tahun 1950 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yng menurut dictum kelimanya dapat disebut
sebagai Undang-Undang Pokok Agraria.
Dictum UUPA didahului dengan pencabutan
terhadap beberapa peraturan perundang-undangan agrarian yang berlaku sejak
puluhan tahun sebelumnya. Pencabutan itu wajar karena peraturan
perundang-undangan lama sagat ekploitatif dan tidak adil.
Adapun peraturan perundang-undangan yang
dicabut dengan berlakunya UUPA dapat dibagi dalam dua kelompok. Pertama yang
dicabut secara eksplisit atau tegas.
Kedua yang dicabut secara implisit atau tidak secara tidak tegas.
a. Yang
dicabut secara eksplisit
1) Agrarische
Wet (S. 1870-55) sebagai yang termuat dalam pasal 51 Wet op de Staatsinrichting
van Nederlands Indie (S. 1925-447) dan ketentuan dalam ayat-ayat lain.
2) Domeinverkelaring,
tersebut dalam pasal Agrarishe Besluit S. 1870-118.
Algemene
Domeinverkelaring, tersebut dalam pasal 1 dalam S. 1875-119a.
Domeinverkelaring untuk
Sumatra, tersebut dalam Pasal dari S. 1874-94 F.
Domeinverkelaring untuk
Keresidenan Manado, tersebut dalam pasal I dari S. 1877-55.
Domeinverkelaring untuk
Residentie Zuider en Qoster –ofdeling Van Borneo, tersebut dalam pasal 1 dan S
1888-58.
3) Koninklijk
Besluit anggal 16 April 1872 No. 29 (S.
1872-117)dan peraturan pelaksanaannya.
4) Buku
ke-II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia Sepanjang yang mengenai bumi,
air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kecuali
ketentuan-ketentuan mengenai hipotek yang masih berlaku pada mulai berlakunya
undang-undang ini.
b. Yang
dicabut secara implisit
Meskipun tidak ada pencabutan tegas selain yang di
atas, tetapi dengan berlakunya UUPA terdapat juga konsekuensi bagi tercabutnya
peraturan perundang-undnagn lain, jika memuat materi yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip yang dianut oleh UUPA. Hal ini didasarkan pada ketentuan pasal
58 UUPA, yang menyebutkan berlakunya peraturan perundang-undangan lama masih dimungkinkan
selama tidak bertentangan degan UUPA.
BAB III
PENUTUP
1.
Konfigurasi
politik pada masa demokrasi terpimpin 1959-1966 berorientasi otoriter. Pusat
kekuasaan dipegang oleh pemerintah. Selain pemerintah juga ada PKI dan ABRI.
2.
Terdapat
beberapa produk hokum yang dihasilkan pada periode ini, yaitu UU Pemda dan
UUPA. Karakter produk hokum pada periode ini sejalan dengan konfigurasi politik
yang terjadi, yaitu otoriter.
Saran
penulis kepada para sarjana hokum hari ini untuk memperbanyak kajian-kajian
seputar konfigurasi politik hokum. Karena di Indonesia ini menurut penulis
masih sangat jarang kajian-kajian seputar konfigurasi politik hokum.
DAFTAR PUSTAKA
Djojowadono, Soepomo, 1958, Demokrasi dalam Pembangunan di Indonesia, Seminar
Demokrasi di Fakultas Sospol UGM
Hadi, Solikhul, 2015, Pengaruh Konfigurasi Politik Pemerintah
Terhadap Produk Hukum, Vol.2, No. 2
MD, Mahfud, 2014, Politik Hukum, Jakarta: raja Grafindo
Onghokham, 1983, Rakyat dan Negara, Jakarta: Sinar Harapan
Sutikyono, Imam, 1987, Proses Terjadinya UUPA, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
[1] Solikhul Hadi, Pengaruh Konfigurasi Politik Pemerintah
Terhadap Produk Hukum, Jurnal Addin,
Vol. 2, No. 2, 2015, hlm. 5.
[2] Soepomo Djojowadono, Demokrasi dalam Pembangunan di Indonesia, Seminar
Demokrasi di Fakultas Sospol UGM, Desember 1958.
[3] Onghokham, Rakyat dan Negara, Jakarta: LP3ES dan Sinar Harapan, 1983, hlm. 24.
[4] Mahfud MD, Politik Hukum, Jakarta: Raja Grafindo, 2014, hlm. 139.
[5] Ibid., hlm. 159.
[6] Ibid., hlm. 159-160.
[7] Imam Sutiknyo, Proses Terjadiya UUPA, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1987. Hlm.191-193.
Komentar
Posting Komentar