KONFIGURASI POLITIK HUKUM PERIODE DEMOKRASI TERPIMPIN


KONFIGURASI POLITIK HUKUM PERIODE DEMOKRASI TERPIMPIN
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Politik Hukum”
Dosen Pengampu: Nasrullah, MH





Disusun Oleh                                                            : Kelompok IV
Suci Zuhriah                                                                (170201026)
Suci Ramadhani Putri                                                  (170201027)
Dian Sri Lestari                                                            (170201028)
M. Safri Hanafi                                                            (170201029)
Eva Septiana                                                                 (170201030)
Nava Yuliana Safitri                                                     (170201031)


PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM

KATA PENGANTAR





                                                                       Mataram, 08 Maret 2020

                                                                                    Kelompok IV




DAFTAR ISI






BAB I

PENDAHULUAN


Mahfud MD membangun hipotesis bahwa konfigurasi politik tertentu akan melahirkan karakter produk hokum tertentu pula. Dan dalam penelitiannya, Mahfud MD menguraikan, variable bebas (konfigurasi politik) dan variable terpengaruh (karakter produk hokum) dibagi dalam dua ujung yang dikotomis. Variable konfigurasi politik dibagi atas konfigurasiyang demokratis dan konfigurasi yang otoriter, sedangkan variable karakter produk hokum dibagi atas produk hokum yang berkarakter responsive atau otonom dan produk hokum yanh berkarakter ortodoks atau konservatif. Dengan pemecahan kedua variabel tersebut di dalam konsep-konsep yang dikotomis, hipotesis di atas dinyatakan secara lebih rinci bahwa hokum konfigurasi politik yang demokratis akan melahirkn produk hokum yang responsive, sedangkan konfigurasi politik yang otoriter akan melahirkann produk hokum yang ortodoks atau menindas.
Berangkat dari hipotesis di atas, sehingga disusunlah makalah ini guna mengetahui lebih lanjut seputar pengaruh konfigurasi politik terhadap produk hokum.
1.      Bagaimana konfigurasi politik periode demokrasi terpimpin?
2.      Bagaimana karakter produk hokum akibat konfigurasi politik  periode demokrasi terpimpin?
1.      Mengetahui bagaimana konfigurasi politik periode demokrasi terpimpin.
2.      Mengetahui bgaimana karakter produk hokum akibat konfigurasi politik  periode demokrasi terpimpin.


BAB II

PEMBAHASAN


Konfigurasi politik yang demokratis berakhir pada 1959 ketika Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang kemudian dianggarp sebagai jalan bagi tampilnya demokrasi terpimpin yang berlangsung pada 1959-1966. Selama kurun waktu ini, Presiden Soekarno menjelma menjadi seorang pemimpin yang otoriter. Partai-partai yang pernah marak pada era demokrasi liberal secara praktis menjadi lemah dan tak berdaya, kecuali PKI (Partai Komunis Indonesia) yang dapat memperluas pengaruhnya dengan berlinduung di bawah kekuasaan Soekarno, sementara Angkatan Darat dapat memperluas peran dan kekuasaan politiknya.[1]
Sebenarnya gagasan Soekarno tentang demokrasi terpimpin telah dilintarkan kira-kira dua tahun sebelum Dekrit 5 Juli 1959 diumumkan. Ketika pemerintah demokrasi liberal yang terakhir jatuh pada tanggal 14 maret 1957, presiden menemukan jalan untuk menerapkan gagasan tentang demokrasi terpimpin, yang menurutnya, berdasarkan kepribadian bangsa Indonesia yang mempunyai budaya gotong royong dan musyawarah mufakat. Dewan Nasiona yang diusulkannya akan diisi oleh wakil-wakil kelompok fungsional, daerah, dan angota ex-officio seperti kepala staf ABRI, kepala kepolisian, jaksa agung dan menteri-menteri penting tertentu.
Secara agak rinci, pengertian demokrasi terpimpin bisa diambil dari pidato Soekarno dalam rangka HUT kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1957 dan 1958 yang pokok-pokoknya adalah sebagai berikut.[2]
Pertama, ada rasa tidak puas terhadap hasil-hasil yang dicapai sejak tahun 1945, karena belum mendekati cita-cita dan tujuan proklamasi, seperti masalah kemakmuran dan pemerataan keadilan yang tidak terbina, belumutuhnya wilayah RI karena masih ada wilayah yang dijajah Belanda, instabilitas nasional yang ditandai jatuh bangunnya cabinet sampai tujuh kali, serta pemberontakan daerah-daerah.
Kedua, kegagalan tersebut disebabkan menipisnya rasa nasionalisme pemilihan demokrasi liberal tanpa pimpinan dan disiplin, suatu demokrasi yang tidak cocok dengan kepribadian Indonesia, serta system multipartai berdasarkan pada Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 yang ternyata partai-partai itu digunakan sebagai alat perebutan kekuasaan dan bukan alat pengabdi rakyat.
Ketiga, suatu koreksi untuk segera kembali pada cita-cita dan tujuan semula harus diciptakan system demokrasi yang menuntun untuk mengabdi kepada Negara dna bangsa yang beranggotakan orang-orang jujur.
Keempat, cara yang harus ditempuh untuk melaksanakan koreksi tersebut adalah:
1.      Mengganti system free fight lliberalism dengan demokrasi terpimpin yang lebih sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia
2.      Dewan Perancang Nasionalakan membuat blue-print masyarakat yang addil dna makmur
3.      Hendaknya konstituante tidka menjadi tempat berdebat yang berlarut-larut dan menyelesaikan pekerjaannya agar blue print yang dibuat Dewan Perancang Nasional dapat didasarkan pada konstitusi baru yang dibuat konstituante.
4.      Hendaknya konstitunate meninjau dan memutuskan masalah demokrasi terpimpin dan masalah kepartaian.
5.      Perlu penyederhanaan system kepartaian dengan mencabut Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 yang telah memberi jalan bagi system multipartai dan menggantinya dengan undang-undang kepartaian serta undang-undang pemilu.
Betapapun dari sudut definisi demokrasi terpimin tidak jelek, tetapi kehadirannya tidak serta merta mendapat dukungan luas, bahkan banyak yang menolak. Masyumi serta partai Katolik serta daerah-daerah bergolak menolaknya dengan tegas. Sedangkan PSI, NU, PSII, PKI dan Parkindo menolak secara berhati-hati namun PKI memberikan dukungan kuat.
Kritik atau penolakan terhadap demokrasi terpimpn didasarkan didasarkan pada keraguan, apakah dengan kekuasaan yang terpusat ditangannya itu Soekarno bisa konsisten dengan teorninya? Sejarah membuktikan, apa yang  dikhawatirkan para penentang demokrasi terpimpin benar, sebab dalam praktiknya, Soekarno melaksanakannya jauh dari apa yang diteorikan.
Pada akhirnya gagasan demokraasi terpimpin Soekarno mendapat dukungan dari lembaga-lembaga Negara yang telah diatur oleh kekuasaan Soekarno. Pada tahun 1965 MPRS mengeluarkan Ketetapan No. VIII/MPRS/1965 yang berisi pedoman pelaksanaan demokrasi terpimpin. Ketetpan ini memuat isi yang menekankan proses pengambilan keputusan yang harus dilakukna dengan musyawarah mufakat, tetapi jika musyawarah mufakat  (mufakat bulat itu) tidka dapat dicapai, maka putusannya diserahkan kepada pimpinan. Mekanisme yang demikian  tentu saja akan memberikan peluang kepada Soekarno untuk menguasai setiap pengambilan keputusan. Sebab sangat sulit jika setiap musyawarah harus selalu mufakat bulat. Akhirnya pimpinanlah yang akan menentukan segalanya.
Ketika membahas konfigurasi politik pada periode 1945-1959, diperoleh kesimpulan bahwa pada periode itu dianut system banyak partai. Hal itu berimplikasi pada kuatnya parlemen yang menajdi ajang partai untuk mengartikulasikan kepentingan politiknya. Pemerintahan menjadi tidak stabil dna jatuh bangun dalam waktu yang relative pendek.
Segera setelah dekrit 5 juli 1959, pemerintah mulai mengimplementasikan gagasan-gagasannya tentang demokrasi terpimpin. System demokrasi terpimpin didasarkan pada aliansi antara partai-partai, ABRI, dan presiden.[3] Akan tetapi partai yang bisa bermain dalam system ini hanyalah PKI. Sehingga konfigurasi politik ditandai oleh adanya tarik tambang antara Soekarno, Tentara, dan PKI. Partai-partai yang dulunya aktif memainkan perannya di DPR kecuali Masyumi dan PSI yang telah dipaksa untuk bubar, tinggal menjadi penonton yang peranannya memberikan justifikasi atas gagasan-gagasan Soekarno.
Dalam keadaan partai-partai tidak berdaya,, maka lembaga perwakilan rakyat juga menjadi mandul. Sebab sebenarnya lembaga perwakilan rakyatlah terminal paling penting  bagi partai-partai untuk mengartikulasikan kepentingannya dalam proses pembuatan keputusan public. DPR hasil pemilu 1955 harus mengalami akibat fatal “dibubarkan” ketika mencoba tidak menyetuji keinginan Soekano.
Pada periode ini telah terjadi tindakan anti pers. Pers yang terkena tindakan pada umumnya adalah pers yang independen dan tidak menyatakan diri sebagai aliran atau pembawa politik yang diperkenankan oleh pemerintah. Surat kabar atau pers yang dapat hidup pada saat itu hayalah pers yang menjadi penyalur aliran politik yang dapat menerima system demokrasi terpimpin.[4]
Setelah kembali ke dekrit presiden 5 Juli 1959, maka kekuasaan eksekutif secara konstitusional beralih ke tangan presiden. Meskipun UUD 1945 dengan tegas menyatakan memberlakukan UUD 1945, tetapi dalam praktiknya apa yang dilakukan Soekarno jauh menyimpang dari konstitusi tersebut.
System demokrasi terpimpin ternyata tidak melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Secara formal diatas kertas, Pancasila dan UUD 1945 memang menjadi konstitusi resmi, tetapi realita kehidupan politik yang berkembang di zaman demokrasi terpimpin jauh berbeda dengan apa yang sesungguhnya dikehendaki.
Pada era ini, peranan presiden menjadi sangat besar. Kedudukannya sebagai kepala eksekutif, merangkap ketua DPA yang fungsinya diperluas sampai melampaui batas konstitusional serta tindakan-tindakannya membuat produk legislasi di luar lembaga yang resmi berkuasa untuk itu, semuanya telah semakin memperkokoh terpusatnya kekuasaan di tangan presiden. Dengan keadaan seperti itu, hamper seluruh spectrum dalam proses politik tidak bisa tidak bisa lepas dari kekuasaan presiden.[5]
Selama periode demokrasi terpimpin, tidak pernah dikeluarkan peraturan-peraturan perundang-undangan pemilu.seperti telah dikemukakan, lembaga perwakilan yang mula-mula dipakai pada awal periode ini adalah DPR yang anggota-anggotanya berdasarkan haasil pemilu 1955. Akan tetapi, kendati dengan penghentian pelaksanaan tugas, DPR ini telah dibubarkan denga Penetapan Presiden Nomor 3 Tahun 1960. Dictum Penpres tersebut adalah sebagai berikut.
a.       Menghentikan peaksanaan tugas pekerjaan anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
b.      Mengusahakan pembaruan susunan Dewan Perwakilan rakyat berdasarkan Undang-Undang Dasar  1945 dalam waktu singkat.[6]
Hingga akhir masa pemerintahan Soekarno pemilu tak sempat dilaksanakan sampai kejatuhan presiden pada 1967, bahkan sampai meninggalnya pada tahun 1970.
Berbeda dengan pemilu yang tidak menghasilkan sebuah UU pun sebagai produk hokum, pada periode ini pemerintah telah mengeluarkan produk hokum tentang pemerintahan di daerah, yakni Penpres  No. 6 Tahun 1959 dan UU No. 18 tahun 1965. Semua produk hokum ini merupakan perubahan atas produk hokum yang sama yang dihasilkan pada era demokraasi liberal. Dapat dimengerti karakter produk hokum ini mengikuti konfigurasi  politik otoriter yang menggantikan konfigurasi yang (ultra) demokratis pada periode sebelumnya. Setelah tampilnya demokrasi terpimpin yang otoriter, ada konsekuensi berupa tuntutan dicabutnya produk hokum di bidang Pemerintah Daerah dan konfigurasi politik yang sangat demokratis. Sebab pada periode sebelumnya bidang Pemda (yang ultra demokratis) didasarkan pada suprastruktur yang ingin menyebarkan kekuasaan ke daerah-daerah. Sedangkan demokrasi terpimpin didasarkan pada suprastruktur yang memusatkan kekuasaan di tangan pemerintah pusat dengan control yang sangat ketat.
Sehingga dikeluarkanlah Penpres No. 6 Tahun 1959 yang menggariskan kebijaksanaan politik yang ingin mengembalikan dan memperkuat kedudukan kepala daerah sebagai alat pemerintah pusat. 
Pada awal demokrasi terpimpin, gagasan-gagasan tentang dasar-dasar hokum agraria nasional yang baru dapat dikatakan telah bulat dan mengkristal dalam RUU yang disiapkan oleh pemerintah. Artinya, pemerintah pada periode ini tinggal menyempurnakan sistematika dan beberapa ketentuan atas rancangan lama untuk disampaikan pada DPR dalam rangka pembahasna dan pengundangannya.[7]
Hingga akhirnya pada 24 September 1960 RUU Agraria disahkan oleh DPR-GR sebagai UU Nomor 5 Tahun 1950 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yng menurut dictum kelimanya dapat disebut sebagai Undang-Undang Pokok Agraria.
Dictum UUPA didahului dengan pencabutan terhadap beberapa peraturan perundang-undangan agrarian yang berlaku sejak puluhan tahun sebelumnya. Pencabutan itu wajar karena peraturan perundang-undangan lama sagat ekploitatif dan tidak adil.
Adapun peraturan perundang-undangan yang dicabut dengan berlakunya UUPA dapat dibagi dalam dua kelompok. Pertama yang dicabut secara  eksplisit atau tegas. Kedua yang dicabut secara implisit atau tidak secara tidak tegas.
a.       Yang dicabut secara eksplisit
1)      Agrarische Wet (S. 1870-55) sebagai yang termuat dalam pasal 51 Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie (S. 1925-447) dan ketentuan dalam ayat-ayat lain.
2)      Domeinverkelaring, tersebut dalam pasal Agrarishe Besluit S. 1870-118.
Algemene Domeinverkelaring, tersebut dalam pasal 1 dalam S. 1875-119a.
Domeinverkelaring untuk Sumatra, tersebut dalam Pasal dari S. 1874-94 F.
Domeinverkelaring untuk Keresidenan Manado, tersebut dalam pasal I dari S. 1877-55.
Domeinverkelaring untuk Residentie Zuider en Qoster –ofdeling Van Borneo, tersebut dalam pasal 1 dan S 1888-58.
3)      Koninklijk Besluit anggal 16 April 1872 No. 29  (S. 1872-117)dan peraturan pelaksanaannya.
4)      Buku ke-II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia Sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hipotek yang masih berlaku pada mulai berlakunya undang-undang ini.
b.      Yang dicabut secara implisit
Meskipun tidak ada pencabutan tegas selain yang di atas, tetapi dengan berlakunya UUPA terdapat juga konsekuensi bagi tercabutnya peraturan perundang-undnagn lain, jika memuat materi yang bertentangan dengan prinsip-prinsip yang dianut oleh UUPA. Hal ini didasarkan pada ketentuan pasal 58 UUPA, yang menyebutkan berlakunya peraturan perundang-undangan lama masih dimungkinkan selama tidak bertentangan degan UUPA.










BAB III

 PENUTUP


1.    Konfigurasi politik pada masa demokrasi terpimpin 1959-1966 berorientasi otoriter. Pusat kekuasaan dipegang oleh pemerintah. Selain pemerintah juga ada PKI dan ABRI.
2.    Terdapat beberapa produk hokum yang dihasilkan pada periode ini, yaitu UU Pemda dan UUPA. Karakter produk hokum pada periode ini sejalan dengan konfigurasi politik yang terjadi, yaitu otoriter.
Saran penulis kepada para sarjana hokum hari ini untuk memperbanyak kajian-kajian seputar konfigurasi politik hokum. Karena di Indonesia ini menurut penulis masih sangat jarang kajian-kajian seputar konfigurasi politik hokum.











DAFTAR PUSTAKA


Djojowadono, Soepomo, 1958, Demokrasi dalam Pembangunan di Indonesia, Seminar Demokrasi di Fakultas Sospol UGM
Hadi, Solikhul, 2015, Pengaruh Konfigurasi Politik Pemerintah Terhadap Produk Hukum, Vol.2, No. 2
MD, Mahfud, 2014, Politik Hukum, Jakarta: raja Grafindo
Onghokham, 1983, Rakyat dan Negara, Jakarta: Sinar Harapan
Sutikyono, Imam, 1987, Proses Terjadinya UUPA, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.



[1] Solikhul Hadi, Pengaruh Konfigurasi Politik Pemerintah Terhadap Produk Hukum, Jurnal Addin, Vol. 2, No. 2, 2015, hlm. 5.
[2] Soepomo Djojowadono, Demokrasi dalam Pembangunan di Indonesia, Seminar Demokrasi di Fakultas Sospol UGM, Desember 1958.
[3] Onghokham, Rakyat dan Negara, Jakarta: LP3ES dan Sinar Harapan, 1983, hlm. 24.
[4] Mahfud MD, Politik Hukum, Jakarta: Raja Grafindo, 2014, hlm. 139.
[5] Ibid., hlm. 159.
[6] Ibid., hlm. 159-160.
[7] Imam Sutiknyo, Proses Terjadiya UUPA, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1987. Hlm.191-193.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Konsep Kewirausahaan Islam

Makalah Filsafat Empirisme

KAIDAH FIKIH KULLIYAT YANG KE 26-30