JARIMAH MINUM-MINUMAN KERAS (SYURBUL KHAMR)


“JARIMAH MINUM-MINUMAN KERAS (SYURBUL KHAMR)”

Dosen Pengampu: Dr. Khairul Hamim, MA

 



Muhammad Sujaswin Ariadi                                      (170201012)
Laila Safira                                                                  (170201010)
Dian Sri Lestary                                                          (170201028)
Suci Ramadhani Putri                                                  (170201027)




PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH (MUAMALAH)
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM
2020






JARIMAH MINUM-MINUMAN KERAS (SYURBUL KHAMR)

I.             PENDAHULUAN
Islam melarang khamr (minuman keras), karena khmar dianggap sebagai induk keburukan (ummul khabbaits), di samping merusak akal, jiwa, kesehatan, dan harta. Dari sejak semula, Islam telah berusaha menjelaskan kepada umat manusia, bahwa manfaatnya tidak seimbang dengan bahaya yang ditimbulkannya.
Prinsip tentang larangan khamr ini dipegang teguh oleh negara-negara Islam sampai akhir abad ke-18. Akan tetapi pada awal abad ke 20, negara-negara islam mulai  berorientasi ke Barat dengan menerapkan hukum positif dan meninggalkan hukum Islam. Maka jadilah khamr (minuman keras) pada prinsipnya tidak dilarang dan orang yang meminumnya tidak diancam dengan hukuman, kecuali apabila ia mabuk di muka umum.
Sementara negara-negara Islam tenggelam dalam pengaruh Barat, negara-negara non muslim sendiri mulai aktif menggiatkan kampanye anti minuman keras, karena mereka sudah menyadari bahaya dari minuman keras ini, baik terhadap kesehatan maupun ketertiban masyarakat.
Karena itu pada makalah kami kali ini kami akan mencoba untuk mengupas jarimah terhadap syurbul khamr lebih lanjut. Dimulai dari defini daripada khamr itu sendiri hingga penerapan dari jarimah syurbul khamr.
II.          PEMBAHASAN
A.    Pengertian Khamr
Khamar (khamr) berasal dari kata khamarayakhmuru atau yakhmiru yang secara etimologi berarti tertutup, terhalang, atau tersembunyi. Sedangkan secara terminologi terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama fiqh. Menurut Imam Malik, Imam Syafi‟i, dan Imam Ahmad, khamr adalah minum minuman yang memabukkan baik minuman tersebut dinamakan khamr maupun bukan khamr, baik berasal dari perasan anggur maupun berasal dari bahan-bahan yang lain.
Jumhur ulama’ fiqh menyatakan bahwa minuman keras adalah setiap minuman yang di dalamnya terdapat zat yang memabukkan, baik minuman itu dinamakan khamr atau bukan, terbuat dari anggur atau bukan. Pengarang kitab al-Hidayah menerangkan, bahwa khamr menurut bahasa adalah minuman yang berasal dari perasan anggur.[1] Sedangkan, Menurut Ibnu Arabikhamr itu arak, karena khamr ditinggalkan dalam waktu yang lama sehingga mengalami perubahan. Perubahan tersebut dicirikan dengan baunya.
Dari definisi-definisi yang telah dikemukakan oleh para ulama di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa khamr adalah semua jenis minuman atau zat yang memabukkan baik yang terbuat dari anggur, kurma, madu, gandum, atau bahan lainnya, baik diminum atau dikonsumsi sedikit maupun banyak.
B.     Dasar Hukum Larangan Khamr
Jumhur ulama’ telah sepakat bahwa sumber hukum Islam pada umumnya ada empat, yaitu al-Qur‟an, as-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Untuk hukum pidana Islam materiil, yaitu berisi tentang ketentuan macam-macam jarimah dan hukumannya, keempat sumber ini tetap berlaku. Hanya saja tiga di antaranya sudah disepakati dan satu lagi masih diperselisihkan yaitu Qiyas. Al-Qur‟an sendiri menjelaskan hukum tentang minuman keras secara gradual, dimulai dengan QS. Al-Baqarah (2): 219, yang hanya menjelaskan bahwa khamr itu ada manfaatnya, kemudian QS. An-Nisa‟ (4): 43, yang menjelaskan bahwa meminum minuman keras itu dilarang bagi orang-orang Islam ketika mendekati waktuwaktu shalat, agar saat mereka melaksanakan salat tidak dalam keadaan mabuk, sehingga dapat merusak shalat dan mengacaukan al-Qur‟an yang dibacanya, yang terakhir QS. Al-Maidah (5): 90, yang menjelaskan bahwa meminum minuman keras (khamr) adalah termasuk perbuatan syaitanyang wajib dijauhi agar tidak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kaum muslimin.
1.      Surat Al-Baqarah ayat 219
۞يَسَۡٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡخَمۡرِ وَٱلۡمَيۡسِرِۖ قُلۡ فِيهِمَآ إِثۡمٞ كَبِيرٞ وَمَنَٰفِعُ لِلنَّاسِ وَإِثۡمُهُمَآ أَكۡبَرُ مِن نَّفۡعِهِمَاۗ وَيَسَۡٔلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَۖ قُلِ ٱلۡعَفۡوَۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمُ ٱلۡأٓيَٰتِ لَعَلَّكُمۡ تَتَفَكَّرُونَ 
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir”.(Qs. Al-Baqarah: 219)
2.      Surat An-Nisa’ Ayat 43
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَقۡرَبُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَنتُمۡ سُكَٰرَىٰ حَتَّىٰ تَعۡلَمُواْ مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغۡتَسِلُواْۚ وَإِن كُنتُم مَّرۡضَىٰٓ أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوۡ جَآءَ أَحَدٞ مِّنكُم مِّنَ ٱلۡغَآئِطِ أَوۡ لَٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآءٗ فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدٗا طَيِّبٗا فَٱمۡسَحُواْ بِوُجُوهِكُمۡ وَأَيۡدِيكُمۡۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا 
Artinya: Hai orang-orang yang beriman,”janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun”.(Qs. An-Nisa’:43).
3.      Surat Al-Maidah Ayat 90
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡخَمۡرُ وَٱلۡمَيۡسِرُ وَٱلۡأَنصَابُ وَٱلۡأَزۡلَٰمُ رِجۡسٞ مِّنۡ عَمَلِ ٱلشَّيۡطَٰنِ فَٱجۡتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ 
Artinya:Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.(Qs. AlMaidah: 90).
C.     Pengertian Asy-Syurbu (Meminum)
Para ulama berbeda pendapat mengenai pengertian Asy-Syurbu (meminum). Menurut Imam Malik, Imam Syafii, Imam Ahmad, sebagaimana dikutip oleh Abdul Qadir Audah bahwa pengertian Asy-Syurbu (meminum) adalah sebagai berikut.
معنى الشرب فهو...شرب المسكرسواءسمي خمرا املم يسم خمرا وسواء كان عسيرا للعنب اولاْي مادة اْخرا
“…Pengertian minum ini adalah…minum minuman yang memabukkan, baik minuman tersebut dinamakan khamr maupun bukan khamr, baik berasal dari perasan anggur maupun berasal dari bahan-bahan lain”.
Dari pengertian tersebut dapat dikemukakan bahwa khamr menurut imam Abu Hanifah membedakan antara “khamr” dan “muskir”. Khamr hukum meminumnya tetap haram baik sedikit maupun banyak. Adapun selain khamr, yaitu muskir yang terbuat dari bahan-bahan selain perasan buah anggur yang sifatnya memabukkan, baru dikenakan hukuman apabila orang yang meminumnya mabuk. Apabila tidak mabuk maka pelakunya tidak dikenai hukuman.[2]
D.    Unsur-Unsur Jarimah Minuman Khamr
Unsur-unsur jarimah minuman khamr ada dua macam, yaitu:
1.      Asy-Syurbu
Seseorang dianggap meminum apabila barang yang diminumnya telah sampai ke tenggorokan. Apabila minuman tersebut tidak sampai ke tenggorokan maka dianggap tidak meminum, seperti berkumur-kumur. Demikian pula termasuk kepada perbuatan meminum, apabila meminum minuman khamr tersebut dimaksudkan untuk menghilangkan haus, padahal ada air yang dapat diminumnya. Akan tetapi, apabila hal itu dilakukan karena terpaksa (dharurat) atau dipaksa, pelaku tidak dikenai hukuman.[3]
Jumhur ulama’ menyatakan bahwa perbuatan meminum minuman keras yang dikenakan hukuman hadd tersebut harus memenuhi dua rukun, yaitu : 
a.       Yang diminum itu minuman keras, tanpa membedakan materi atau benda asal pembuat minuman tersebut;
b.      Perbuatan itu dilakukan secara sadar dan sengaja.
Menurut ulama Hanafiyyah, rukun jarimah syurb al-khamr itu, sesuai dengan pengertian mereka tentang khamr, hanya satu yaitu, bahwa yang diminum itu adalah jenis minuman yang mereka rumuskan sebagai khamr diatas. Oleh sebab itu, jika minuman yang diminum itu bukan seperti cairan yang mereka rumuskan di atas, sekalipun memabukkan, tidak dikenakan hukuman hadd syurb al-khamr.
Sedangkan Imam Malik, Imam Syafi‟i, dan Imam Ahmad berpendapat bahwa unsur ini (asy-syurbu) terpenuhi apabila pelaku meminum sesuatu yang memabukkan. Dalam hal ini tidak diperhatikan nama dari minuman itu dan bahan apa yang diminum itu diproduksi. Dengan demikian, tidak ada perbedaan apabila yang diminum itu dibuat dari perasan buah anggur, gandum, kurma, tebu, maupun bahan-bahan yang lainnya. Demikian pula tidak diperhatikan kadar kekuatan memabukkannya, baik sedikit maupun banyak, hukumannya tetap haram.[4]
2.      Niat yang melawan hukum.
Unsur ini terpenuhi apabila seseorang melakukan perbuatan minum minuman keras (khamr) padahal ia tahu bahwa apa yang diminumnya itu adalah khamr atau musykir. Dengan demikian, apabila seseorang minum minuman yang memabukkan, tetapi ia menyangka bahwa apa yang diminumnya itu adalah minuman biasa yang tidak memabukkan maka ia tidak dikenai hukuman had, karena tidak ada unsur melawan hukum. Apabila seseorang tidak tahu bahwa minuman keras (khamr) itu dilarang, walaupun ia tahu bahwa barang tersebut memabukkan maka dalam hal ini unsur melawan hukum (Qasad al-Jina’i) belum terpenuhi. Akan tetapi, sebagaimana yang telah diuraikan dalam bab terdahulu, alasan tidak tahu hukum tidak bisa diterima dari orang-orang yang hidup dan berdomisili di negeri dan lingkungan Islam.
E.     Hukuman Untuk Peminum Khamr
Menurut Imam Malik dan Imam Abu Hanifah, hukuman untuk peminum minuman keras (khamr) adalah dera delapan puluh kali. Sedangkan menurut Imam Syafi’I dan satu riwayat dari pendapat Imam Ahmad, hukuman untuk pemminum minuman keras tersebut adalah dera empat puluh kali. Akan tetapi, mereka ini membolehkan hukuman dera delapan puluh kali apabila hakim (imam) memandang perlu. Dengn demikian, menurut pendapat Syafi’I, hukuman hadnya empat puluh kali dera, sedangkan kelebihannya, yaitu empat puluh jail dera lagi merupakan hukuman ta’zir.[5]
Adapun sebab terjadinya perbedaan dalam penentuan hukuman ini adalah karena nas yang qath’I  yang mengatur tentang hukuman had bagi peminum khamr ini tidak ada. Di samping itu, tidak ada riwayat yang memastikan adanya ijma’ sahabat dalam penetapan hukuman had bagi peminum khamr, sebagaimana yang dikemukakan oleh satu kelompok. Walaupun Al-Qur’an mengharamkan khamr, sebagaimana yang ditetapkan secara pasti. Rasulullah menghukum orang yang meminum khamr dengan pukulan yang sedikit atau banyak, tetapi tidak lebih dari empat puluh kali. Abu Bakar juga demikian. Pada masa pemerintahan khalifah Umar, beliau bingung memikirkan orang-orang yang bertambah banyak meminum khamr. Beliau mengadakan musyawarah dengan para sahabat untuk menetapkan hukumannya. Di antara sahabat yang berbicara adalah Abdurrahman bin Auf. Beliau mengatakan bahwa hukuman had yang paling ringan (rendah) adalah delapan puluh kali dera. Sayyidina Umar akhirnya menyetujui pendapat tersebut dan ditetapkan sebagai keputusan  bersama, yang kemudian dikirimkan ke daerah-daerah antara lain Syam yang waktu itu penguasanya Khalid dan Abu Ubaidah.[6]
Fuqaha yang mengaggap bahwa hukuman had untuk peminum khamr itu delapan puluh kali berpendapat bahwa para sahabat telah sepakat (ijma’), sedangkan ijma’ juga merupakan salah satu sumber hukum syara’. Akan tetapi mereka yang berpendapat bahwa hukuman had bagi peminum khamr itu empat puluh kali dera beralasan dengan sunnah, yang menjilid peminum khamr dengan empat puluh kali dera, yang kemudian diikuti juga dengan khalifah Abu Bakar. Mereka berpendapat bahwa tindakan Nabi Saw itu merupakan hujjah yang tidak boleh ditinggalkan karena adanya perbuatan orang lain. Dan ijma’ tidak boleh terjadi atas keputusan yang menyalahi perbuatan Nabi dan para sahabat. Dengan demikian, mereka menafsirkan kelebihan empat puluh dera dari Sayyidina Umar itu merupakan hukuman ta’zir yang boleh diterapkan apabila imam (hakim) memandang perlu.
Dari uraian tersebut, dapat dikemukakan bahwa para ulama sepakat, hukuman dera yang empat puluh kali jelas merupakan hak Allah, yaitu merupakan hukuman had, sehingga hukuman tersebut tidak boleh dimaafkan atau digugurkan. Akan tetapi, dera yang empat puluh kali lagi diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian menggapnya sebagai had dan wajib dilaksanakan bersama-sama dengan dera yang empat puluh tadi, dan sebagian mengggapnya sebagai ta’zir yang penerapannya diserahkan kepada pertimbangan ulil amri (imam/hakim).
Apabila terjadi beberapa kali perbuatan meminum khamr sebelum dihukum salah satunya maka hukuman tersebut saling memasuki (tadakhul), artinya pelaku hanya dikenai satu jenis hukuman saja. Apabila hukuman had bagi peminum khamr ini bergabung dengan hukum mati, seperti ia meminum khamr dan berzina sedang ia muhshan maka hukuman yang dilaksanakan cukup hukuman yang paling berat saja yaitu hukuman mati. Dalam hal ini hukuman mati menyerap hukuman lain yang lebih ringan. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Ahmad. Akan tetapi menurut Imam Ayafi’I, hukuman mati tidak menyerap hukuman lain yang lebih ringan, sehingga dengan demikian, semua hukuman harus dilaksanakan. Apabila hukuman had bagi peminum khamr bergabung dengan hukuman lain selain hukuman mati maka hukuman-hukuman tersebut tidak saling memasuki, kecuali menurut Imam Malik, dalam hukuman had asy-syurbu  dan hukuman had qadzaf yang jenis hukumannya sama.
F.      Pembuktian Untuk Jarimah Syurbul Khamr
Pembuktian untuk jarimah syurb al-khamr dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut.[7]
1.      Saksi
Jumlah saksi yang diperlukan untuk membuktikan jarimah khamr adalah dua orang yang memenuhi syarat syarat persaksian, sebagaimana yang telah diuraikan dalam jarimah zina dan qadzaf. Disamping itu Imam Abu Hanifah dan Imam Abu Yusuf mensyaratkan masih terdapatnya bau minuman pada waktu dilaksanakan persaksian. Dengan demikian, kedua imam ini mengaitkan persaksian dengan bau minuman keras (khamr). Akan tetapi, Imam Muhammad Ibn Hasan tidak mensyaratkan hal ini, syarat lain yang dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya adalah persaksian atau peristiwa minum khamrnya itu belum kadaluarsa. Batas kadaluwarsa menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Abu Yusuf adalah hilangnya bau minuman. Adapun menurut Muhammad Ibn Hasan batas kadaluarsa adalah satu bulan. Adapun menurut imam-imam yang lain, tidak ada kadaluarsa dalam persaksian untuk membuktikan jarimah syurb al-khamr.
2.      Pengakuan
Adanya pengakuan pelaku. Pengakuan ini cukup satu kali dan tidak perlu diulang-ulang sampai empat kali. Ketentuan-ketentuan yang berlaku untuk pengakuan dalam jarimah zina juga berlaku untuk jarimah syurb al-khamr .Imam Abu Hanifah dan Imam Abu Yusuf mensyaratkan pengakuan tersebut sebelum kadaluarsa. akan tetapi, imam-imam lain tidak mensyaratkan.
3.      Qarinah
Jarimah syurb al-khamr juga bisa dibuktikan dengan qarinah atau tanda. Qarinah tersebut antara lain:
a.       Bau Minuman
Imam Malik berpendapat bahwa bau minuman keras dari mulut orang yang meminum merupakan suatu bukti dilakukannya perbuatan minuman khamr, meskipun tidak ada saksi. Akan tetapi, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi‟i, dan pendapat yang rajih dari Imam Ahmad berpendapat bahwa bau minuman semata-mata tidak bisa dijadikan sebagai alat bukti, karena sebenarnya mungkin saja ia sebenarnya tidak minum, melainkan hanya berkumur-kumur, atau ia menyangka apa yang diminumnya itu adalah air, bukan khamr.
b.      Mabuk
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa mabuknya seseorang sudah merupakan bukti bahwa ia melakukan perbuatan meminum minuman keras (khamr). Apabila dua orang atau lebih menemukan seseorang dalam keadaan mabuk itu harus dikenai hukuman hadd, yaitu dera empat puluh kali. Pendapat ini juga merupakan pendapat Imam Malik. akan tetapi, Imam Syafi‟i dan salah satu pendapat Imam Ahmad tidak menganggap mabuk semata-mata sebagai alat bukti tanpa ditunjang dengan bukti yang lain. Sebabnya adalah adanya kemungkinan minumnya itu dipaksa atau karena kesalahan.
c.       Muntah
 Imam Malik berpendapat bahwa muntah merupakan alat bukti yang lebih kuat daripada sekedar bau minuman, karena pelaku tidak akan muntah kecuali setelah meminum minuman keras. akan tetapi Imam Abu Hanifah, Imam Syafi‟i, dan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya tidak menganggap muntah sebagai alat bukti, kecuali apabila ditunjang dengan bukti-bukti yang lain, misalnya terdapatnya bau minuman keras dalam muntahnya.
G.    Pelaksanaan Hukuman Had
Para ulama‟ telah sepakat bahwa orang yang boleh melaksanakan hukuman untuk jarimah hudud adalah kepala negara (imam) atau wakilnya (petugas yang diberi wewenang olehnya), karena hukuman tersebut merupakan hak Allah dan dijatuhkan untuk kepentingan masyarakat. Oleh karena hukuman tersebut merupakan hak Allah28 (hak masyarakat) maka pelaksanaannya harus diserahkan kepada wakil masyarakat, yaitu kepala negara, dengan pertimbanganpertimbangan yang matang, agar tidak terjadi kelebihan atau ketidaktepatan dalam pelaksanaannya.[8]
Sebagaimana dalam pemberian sanksi dalam syari’at Islam, tidak seperti hukuman hadd lainnya, hukuman cambuk terkesan lentur dan tidak mempunyai ketentuan baku. Dalam sebuah riwayat, salah seorang sahabat yaitu Qudamah Ibnu Madz‟un terkena hadd hukuman cambuk.
Umar bin Khatab berkata: “bawakan aku cambuk”, maka datanglah seorang membawakan cambuk, Umar mengambilnya dan berkata: “apakah kamu melakukan ini karena ada keterkaitan kerabat?”. Kemudian dibawakan aku cambuk yang pas dan akhirnya dilaksanakan hukuman cambuk.
Alat yang digunakan untuk mencambuk diharuskan sebuah cambuk, kecuali dalam hadd bagi peminum minuman keras. Sebagian pendapat ulama memperbolehkan menggunakan tangan, sandal, baju. Adapun alasannya sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah“maka dari kita ada yang memukul menggunakan tangan, ada juga yang menggunakan sandal bahkan dengan baju”, pada dasarnya, Nabi memberlakukan ketentuan tersebut dalam rangka memulai aturan baru.
Tata cara pelaksanaan hukuman cambuk: Ada lima hal yang perlu diperhatikan dalam hukuman cambuk:[9]
Pertama, jalid (orang yang mencambuk). Dalam hal ini orang yang berwenang atau diberi wewenang oleh sultan atau khalifah. Adapun persyaratan bagi seorang yang mencambuk diantaranya harus mempunyai porsi tubuh yang sedangsedang saja. Bukan orang yang terlalu kuat ataupun sebaliknya terlalu lemah. Orang tersebut mempunyai pengetahuan tentang seluk-beluk hukuman cambuk. Diriwayatkan bahwa Umar memilih porsi seorang algojo untuk mencambuk yaitu Ubaidullah Ibnu Abi Malikah.33
Kedua, sauth (cambuk), seperti halnya syarat orang yang mencambuk, cambuk yang dipergunakan haruslah yang biasa saja dan diusahakan lentur.Tidak terlalu pendek atau sebaliknya terlalu panjang dan keras. Adapun tujuannya supaya tidak menyakitkan orang yang dicambuk.
Dari riwayat yang lain, yaitu ketika Umar akan melaksanakan hukuman hadd. Dibawakan baginya cambuk: “bawakan aku cambuk yang lebih lentur”, merasa kurang pas umar meminta cambuk yang lebih keras. Kemudian umar berkata: pukulah dan jangan sampai terlihat ketiak, berikanlah setiap anggota sesuai haknya”.
Ketiga, majlud (orang yang dicambuk atau terpidana), bisa dikarenakan terkena hadd ataupun ta’zir. Meskipun seorang itu sedang dalam keadaan sakit, maka ketetapan hadd-nya sama yaitu dicambuk. Sebagaimana dalam salah satu riwayat bahwa Umar menghukum sahabat Qudamah dengan hadd khamr meskipun dalam keadaan sakit. Berbeda dengan hadd, ketika seorang mendapatkan hukuman ta’zir, maka tidak boleh dilaksanakan hukuman sampai seseorang tersebut sehat.
Keempat, sifat al-jild (sifat hukuman cambuk), ada beberapa syarat ketika seseorang melaksanakan hukuman cambuk. Diantaranya, tidak diperkenankan untuk memukul dengan sangat keras sehingga mencelakakan dan mengoyak kulit. Dalam sebuah riwayat, Umar mengirim seseorang untuk dicambuk kepada Mu‟thi ibnu Aswad al-„Adawi ketika Umar melihat hukuman yang dikenakan sangatlah keras, Umar berkata: “ apakah kamu mau membunuhnya?, berapa kalikah kamu memukulnya?”,”delapan puluh” jawab Mu‟ti. Kemudian Umar menyuruh untuk menghentikan pukulan dan jadikan pukulan yang keras itu sebagai pengganti dari dua puluh sisanya.
Kelima, al-makan li iqomat al-jilid (tempat hukuman jild dilaksanakan). Tempat untuk melaksanakan hukuman cambuk bisa dilaksanakan dimana saja, kecuali tempat yang tidak diperbolehkan untuk pelaksanaan hukuman hadd.
Lain dari itu, bagi hukuman hadd diharuskan membedakan antara bagian tubuh yang menerima hukuman cambuk, sebaliknya dalam ta’zir tidak terdapat aturan. Disyaratkan pula hukuman berdasarkan kemaslahatan bukan berdasarkan ingin menolong yang menyebabkan tidak objektifnya hukuman cambuk.
H.    Hal-hal Yang Menghalangi Pelaksanaan Hukuman
Hukuman untuk pelaku minum-minuman keras (khamr) tidak bisa dilaksanakan apabila terdapat hal-hal sebagai berikut.[10]
1.      Pelaku mencabut pengakuannya, sedangkan bukti lain tidka ada.
2.      Para saksi mencabut persaksiannya, sedangkan bukti lain tidak ada.
3.      Para saksi kehilangan kecakapannya setelah adanya putusan hakim tetapi sebelum pelaksanaan hukuman. Ini hanya pendapat Imam Abu Hanifah.
                                                         
III. PENUTUP
A.    Kesimpulan
Definisi dari khamr sendiri terjadi perselisihan dikalangan para imam mazhab, namun jumhur ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan khamr adalah setiap minuman yang di dalamnya terdapat zat yang memabukkan, baik minuman itu dinamakan khamr atau bukan, terbuat dari anggur atau bukan. Hukum dari meminum khamr sendiri adalah haram berdasarkan nash Al-Qur’an diantaranya; Qs. Al-Baqarah ayat 219, Qs. An-Nisa ayat 43 dan Qs. Al-Maidah ayat 90.  Sedangkan unsur dari jarimah minum-minuman keras sendiri terdapat dua unsur, yaitu Asy-Syurbu  dan adanya niat yang melawan hukum. Hukuman untuk peminum khamr jumhur ulama sepakat adalah had 40 kali dan bisa juga 80 kali menurut keputusan imam atau hakim.
B.     Daftar Pustaka
Al-Qadir Audah, Abd. tanpa tahun, At-Tasyri’ Al-Jinaiy, Al-Islamiy, Juz II, Dar Al-Kitab Al-‘Arabi, Beirut.
Bakrie, H.M.K. 1958, Hukum Pidana Dalam Islam, Sala: Ramadhani.
Santoso, Topo. 2003, Membumikan Hukum Pidana Islam, Jakarta: Gema Insani.
Wardi Muslich, Ahmad. 2005, Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika, Jakarta.
------------Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam,  Jakarta: Sinar Grafika




[1] H.M.K. Bakrie, Hukum Pidana Dalam Islam, Sala: Ramadhani, 1958, hlm. 60
[2] Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy, Al-Islamiy, Juz II, Dar Al-Kitab Al-‘Arabi, Beirut, tanpa tahun, hlm. 498
[3] Ahmad, Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika, Jakarta: 2005, hlm. 74
[4] Ahmad Wardi Muslih, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hlm. 76
[5] Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy, Al-Islamiy, Juz II, Dar Al-Kitab Al-‘Arabi, Beirut, tanpa tahun, hlm. 505
[6] Ibid, hlm. 506
[7] Ahmad Wardi Muslih, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hlm. 79
[8] Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, Jakarta: Gema Insani, 2003, hlm. 27
[9] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam,  Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hlm.137
[10] Ibid, hlm. 80

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Konsep Kewirausahaan Islam

Makalah Filsafat Empirisme

KAIDAH FIKIH KULLIYAT YANG KE 26-30