Ar-Rahn (Gadai) dalam Islam
AR-RAHN
(GADAI) DALAM ISLAM
Diajukan
untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Fiqh Muamalah”
Dosen Pengampu: Drs. H. Moh.
Tamimi, M.A
1.
SUCI
RAMADHANI PUTRI (170201027)
2.
MUHAMMAD
AHLUN NAZORY (170201038)
JURUSAN MUAMALAH
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr.wb.
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat dan
salam senantiasa kita haturkan kepada
Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam yang gelap gulita menuju
alam yang terang benderang. Dan semua
perkataan, perbuatan, pengakuan dan sifatnya adalah panutan bagi semua umatnya.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Fiqh
Muamalah" pada jurusan Muamalah, Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram.
Makalah ini berjudul “Rahn
(Gadai) dalam Islam” yang cakupan pembahasannya seputar definisi, hukum, rukun
serta syarat dan hikmah ar-rahn (gadai).
Demikianlah
yang dapat kami sampaikan, kurang lebihnya kami mohon maaf bila ada salah-salah
kata. Sesungguhnya segala kekurangan dan kesalahan itu datangnya dari kami
sendiri. Sedangkan segala kelebihan itu datangnya dari Allah SWT semoga Allah
SWT meridhai kita. Tiada gading yang tak retak. Sekian.
Wassalamu’alaikum
wr.wb.
Mataram,10
Mei 2018
Kelompok 12
DAFTAR ISI
DAFTARPUSTAKA
PENDAHULUAN
Islam agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan kaIdah-kaIdah
dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia baik dalam ibadah dan juga
mu’amalah (hubungan antar makhluk). Setiap orang mesti butuh berinteraksi
dengan lainnya untuk saling menutupi kebutuhan dan saling tolong menolong
diantara mereka. Karena itulah sangat perlu sekali kita mengetahui aturan islam
dalam seluruh sisi kehidupan kita sehari-hari, diantaranya yang bersifat
interaksi social dengan sesama manusia, khususnya berkenaan dengan berpindahnya
harta dari satu tangan ketangan yang lainnya.
Hutang piutang terkadang tidak dapat dihindari, padahal banyak
bermunculan fenomena ketidakpercayaan diantara manusia, khususnya dizaman
kiwari ini. Sehingga orang terdesak untuk meminta jaminan benda atau barang
berharga dalam meminjamkan hartanya. Dalam hal jual beli sungguh beragam,
bermacam-macam cara orang untuk mencari uang dan salah satunya dengan cara Rahn
(gadai). Para ulama berpendapat bahwa gadai boleh dilakukan dan tidak termasuk
riba jika memenuhi syarat dan rukunnya.
Akan tetapi banyak sekali orang yang melalaikan masalah tersebut
senghingga tidak sedikit dari mereka yang melakukan gadai asal-asalan tampa
mengetahui dasar hukum gadai tersebut. Oleh karena itu kami akan mencoba
sedikit menjelaskan apa itu gadai dan hukumnya.
1. Apa definisi dan dasar hukum ar-rahn/gadai?
2. Apa rukun dan syarat dari ar-rahn/gadai?
3. Bagaimana hukum ar-rahn/gadai?
4. Apakah pada ar-rahn/gadai terdapat unsur riba?
5. Bagaimana pengaplikasian ar-rahn/gadai pada perbankan
syariah?
6. Apa hikmah disyariatkan ar-rahn/gadai?
1.
Megetahui definisi dan dasar hukum ar-rahn/gadai.
2.
Megetahui rukun dan syarat dari ar-rahn/gadai.
3.
Megetahui hukum ar-rahn/gadai.
4.
Megetahui pada ar-rahn/gadai terdapat unsur
riba.
5.
Megetahui pengaplikasian ar-rahn/gadai pada
perbankan syariah.
6.
Megetahui hikmah disyariatkan ar-rahn/gadai.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
dan Dasar Hukum Ar-Rahn/Gadai/Mortgage
Menurut etimologi ar-rahn
berarti Atsubuutu wa Dawamu artinya tetap dan kekal, atau al-Habsu wa
Luzumu artinya pengekangan dan keharusan dan juga bisa berarti jaminan.[1]
Adapun secara terminology para ulama
mendefinisikannya sebagai berikut:
1. Menurut Sayyid Sabiq, ar-rahn adalah menjadikan barang berharga
menurut pandangan syara’ sebagai jaminan utang.
2. Menurut Muhammad Rawwas Qal’ahji penyusun buku Ensiklopedia Fiqh Umar bin
Khattab ra berpendapat bahwa ar-rahn adalah menguatkan utang dengan jaminan utang.
3. Menurut Masjfuq Zuhdi, ar-rahn adalah perjanjian atau akad
pinjam-meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan utang.
4. Menurut Nasruh Haroen, ar-rahn adalah menjadikan suatu (barang)
sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai
pembayaran hak (piutang) itu, baik keseluruhannya ataupun sebagiannya.
5. عقدموضوعه
إختباس مال لوفاء حق يمكن إستبفاءه منه (Akad yang objeknya
menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin diperoleh bayaran dengan
sempurna darinya).
6. جعل المال وثبقة بدين (Menjadikan harta sebagai jaminan utang).
7. جعل عين ما لية وثبقة ب-ين (Menjadikan zat suatu benda sebagai jaminan
utang).
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa ar-rahn adalah
menjadikan barang berharga sebagai jaminan utang. Dengan
begitu jaminan tersebut berkaitan erat dengan utang piutang dan timbul dari
padanya. Sebenarnya pemberian utang itu merupakan suatu tindakan kebajikan
untuk menolong orang yang sedang dalam keadaan terpaksa dan tidak mempunyai
uang dalam keadaan kontan. Namun untuk ketenangan hati, pemberi utang
memberikan suatu jaminan, bahwa uang itu akan dibayar oleh yang berutang. Untuk
maksud itu pemilik uang boleh meminta jaminan dalam bentuk barang berharga.
Hukum meminta jaminan itu adalah mubah berdasarka petunjuk Allah dalam
Al-Qur’an dan penjelaan dari hadis Nabi yang berbunyi sebagai berikut:[2]
bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»ydÌsù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ Ïjxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# mtFuZ»tBr&
Artinya:“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya.” (Qs.
Al-Baqarah: 283)
إسترى من يهدي طعا ما ور هنه درعامن حديد
Artinya: “Rasulullah saw pernah membeli makanan dengan menggadaikan baju
besi” (HR. Bukhari dan Muslim)
Para ulama sepakat bahwa ar-rahn dibolehkan tetapi tidak diwajibkan,
sebab gadai hanya bersifat jaminan saja jika kedua belah pihak tidak saling
mempercayai. Firman Allah Farihaanun Maqbuudhah pada ayat di atas adalah
irsyad (anjuran baik) saja keapda orang yang beriman, sebab pada lanjutan
ayat tersebut dinyatakan “ akan tetapi jika sebagian dari kamu mempercayai
sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya
(utangnya)”. (Qs. Al-Baqarah: 283)
Para ulama fiqh berbeda pendapat dalam menetapkan rukun ar-rahn. Menurut
jumhur ulama rukun ar-rahn itu ada empat, yaitu:
1. Orang yang berakad (ar-rahin dan al-murtahin)
2. Sighat (lafadz ijab dan qabul)
3. Utang (al-marhun bih)
4. Harta yang dijadikan jaminan (al-marhun)[3]
Adapun ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun ar-rahn itu hanya ijab dan kabul.[4] Disamping itu, menurut mereka untuk sempurna dan mengikatnya akad rahn ini, maka
diperlukan adanya penguasaan barang oleh pemberi utang. Adapun kedua orang yang
melakukan akad, harta yang dijadikan jaminan dan utang menurut ulama Hanafiyah
ahanya termasuk syarat-syarat ar-rahn dan bukan rukunnya.
Adapun syarat-syarat ar-rahn para ulama fiqh menyusunnya sesuai
denan rukun ar-rahn itu sendiri. Dengan demikian syarat-syarat ar-rahn adalah
sebagai berikut:
1. Syarat yang terkait dengan orang berakad adalah cakap bertindak hukum.
Kecakapan bertindak hukum, menururt Jumhur Ulama adalah orang yang telah baligh
dan berakal. Sedangkan menururt ulama Hanafiyah kedua belah pihak yang berakad
tidak disyaratkan baligh, tetapi cukup berakal saja. leh sebab itu, menurut
mereka anak kecil yang mumayyiz boleh melakukan akad ar-rahn asal
mendapat persetujuan dari walinya.
2. Syarat yang terkait dengan sighat, ulama Hanafiyah berpendapat dalam akad
itu ar-rahn tidak boleh dikaitkan dengan syarat tertentu. Karena akad ar-rahn
sama dengan akad jual beli. Apabila akad itu dibarengi dengan syarat
tertentu maka syaratnya batal sedangkan akadnya sah. Misalnya orang yang
berutang mensyaratkn apabila telah tenggang waktu utang telah habis dan utang
belum dibayar maka jaminan atau ar-rahn itu diperpanjang satu bulan.
Seementara Jumhur Ulama mengatakan bahwa apabila syarat itu ialah syarat yang
mendukung kelancaran akad itu, maka syarat itu dibolehkan, tetapi apabila
syarat itu bertentangan dengan tabiat akad ar-rahn, amka syaratnya
batal. Perpanjangan ar-rahn dalam contoh syarat di atas termasuk syarat yang tidak sesuai dengan
tabiat ar-rahn. Karenanya syarat tersebut dinyatakan batal. Syarat yang
dibolehkan itu misalnya, untuk sahnya ar-rahn, pihak pemberi utang minta disaksikan oleh dua
orang saksi.
3. Syarat yang terkait dengan utang: a)merupakan hak yang wajib dikembalikan
kepada orang yang memberi utang, b)utang itu boleh dilunasi dengan jaminan, dan
c) utang itu jelas dan tertentu.
4. Syarat yang terkait dengan barang yang dijadikan jaminan, menurut ulama
fiqh syarat-syaratnya sebagai berikut: a)barang jaminan itu boleh dijual dan
nilainya seimbang dengan utang, b)berharga dan boleh dimanfaatkan, c)jelas dan
tertentu, d)milik sah orang yang berutang, e)tidak terkait dengan hak orang
lain, f)merupakan harta utuh, dan g)boleh diserahkan baik materinya maupun
manfaatnya.
Siapa saja yang berhak memanfaatkan barang gadai ar-rahin atau ar-murtahin?
Untuk lebih jelasnya perhatikan urain berikut ini.
1. Pemanfaatan barang gadai oleh ar-rahin
Diantara para ulama terdapat dua pendapat. Jumhur Ulama selain
Syafi’iyah melarang ar-rahin untuk memanfaatkan barang gadai atau
jaminan, sedangkan ulama syafi’iyah membolehkannya selagi tidak memudharatkan ar-murtahin.[5]
Secara perinci uraiannya sebagai berikut:
a. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa ar-rahin tidak boleh memanfaatkan barang gadai tanpa seizin al-murtahin. Mereka beralasan
bahwa barang gadai harus tetap dikuaisai leh al-murtahin selamanya.
Pendapat ini senada dengan pendapat Hanabillah, sebab manfaat pada barang gadai
pada dasarnya termasuk rahn atau gadai.
b. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa ar-rahin dibolehkan memanfaatkan
barang gadai.jika tidak menyebabkan barang gadai itu berkurang, tidak perlu
meminta izin kepada al-murtahin seperti mengendarainya, dan
menempatinya. Aka tetapi jika menyebabkan barang gadai tersebut berkurang
seperti pengolahan sawah, dan kebun, ar-rahin harus meminta izin kepada al-murtahin.
2. Jumhur Ulama selain Hanabillah berpendapat bahwa al-murtahin tidak
boleh memanfaatkan barang gadai , kecuali bila ar-rahin tidak mau
membiayai barang gadai tersebut. Dalam hal ini al-murtahin dibolehkan
mengambil manfaat sekedar untuk mengganti ongkos pembiayaan. Ulama Hanabillah
berpendapat al-murtahin boleh memanfaatkan barang gadai, jika berupa
kendaraa atau hewan seperti dibolehkan mengendarainya atau mengambil susunya,
sekedar pengganti pembiayaan. Lebih jauh pemanfaatan barang gadai oleh al-murtahin
sebagai berikut:
a. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa, al-murtahin tidak boleh
memanfaatkan barang gadai sebeb ia hanya berhak menguasainyadan tidak boleh
menguasainya dan tidak boleh mamanfaatkannya. Sebagian ulama Hanafiyah ada yang
boleh memanfaatkannyajika diizinkan oleh ar-rahin. Tetapi sebagiannya
lagi tidak membolehkannyasekalipun ada izin, bahwkan mengkategorikannya sebagai
riba. Jika disyaratkan ketika akad untuk memanfaatkan barang gadai hukumnya
haram, sebab termasuk riba.
b. Ulama Malikiyah membolehkan al-murtahin memanfaatkan barang gadai
jika diizinkan oleh ar-rahin atau disyaratkan ketika akad, dan barang
gadai tersebut merupakan barang yang dapat diperjualbelikan serta ditentukan
waktunya dengan jelas. Demikian juga pendapat Syafi’iyah.
c. Pendapat Ulama Hanabillah berbeda dengan pendapat Jumhur Ulama.mereka
berpendapat jika barang gadai berupa hewan atau kendaraan, ar-murtahin boleh
memanfaatkan seperti mengendarai atau mengambil susunya sekedar menggati biaya
pemeliharaan meskipun tidak diizinkan ar-rahin. Adapun barang gadai selain
kendaraan atau hewan tidak boleh dimanfaatkan kecuali atas izin ar-rahin.
Siapakah yang menanggung resiko bila terjadi kerusakan pada barang yang
digadaikan? Hendi Suhendi dalam bukunya Fiqh Muamalah menyatakan, bahwa menurut
Syafi’iyah bila barang gadai atau ar-marhun hilang dibawah penguasaan ar-murtahin,
maka al-murtahin tidak berhak menggantinya, kecuali karena rusak atau
hilangnya itu karena kelalainnnya atau karena disia-siakan.
Dengan mengutip pendapat dari Hanafi dan Ahmad Azhar Basyir, Hendi Suhendi
menyatakan bahwa al-murtahin yang memegang al-marhun menanggung
resiko kerusakan atau kehilangan al-marhun. Bila al-marhun itu
rusak atau hilang, baik karena kelalaian atau tidak.
Perbedaan dua pendapat itu adalah jika menurut
Hanafi al-murtahin harus menanggung resiko kerusakan atau kehilangan al-marhun
yang dipegangnya, baik karena al-marhun itu hilang karena
disia-siakan atau dengan sendirinya, sedangkan menurut Syafi’iyah al-murtahin
menanggung resiko kehilangan atau kerusakan al-marhun apabila al-marhun
rusak atau hilang karena tidak diurus atau disia-siakan oleh al-murtahin.[6]
Perjanjian pada gadai atau ar-rahn pada dasarnya adalah akad atau
transaksi utang piutang, hanya saja dalam gadai ada jaminannya. Riba akan
terjadi dalam gadai apabila dalam akad ditentukan bahwa rahin harus
memberikan tambahan kepada murtahin ketika membayar utangnya atau ketika
akad gadai ditentukan syarat-syarat, kemudian syarat tersebut dilaksanakan.
Bila rahin tidak mampu membayar utangnya hingga pada waktu yang
telah ditentukan, kemudian rahin menjual marhun dengan tidak
memberikan kelebihan harta marhun kepada rahin maka di sini juga
telah berlaku riba.[7]
1. Aplikasi ar-rahn
Kontrak rahn di pakai dalam perbankan syariah dalam dua hal berikut:
a. Sebagai produk pelengkap, artinya sebagai akad tambahan (jaminan/collateral)
terhadap produk lain seperti dalam pembiayaan murabahah. Bank dapat menahan
barang nasabah sebagai konsekuensi akad tersebut.
b. Sebagai produk tersendiri. Di beberapa
negara Islam seperti Malaysia, akad rahn telah dipakai sebagai
alternatif dari pegadaian konvensional. Bedanya dengan pegadaian biasa, dalam rahn
nasabah tidak dikenakan bunga, yang dipungut dari nasabah adalah biaya
penitipan, pemeliharaan, penjagaan, serta penaksiran.
Perbedaan utama antara biaya rahn dan bunga pegadaian adalah dari
sifat bunga yang bisa berakumulasi dan berlipat ganda, sedangkan biaya rahn
hanya sekali dan ditetapkan di muka.[8]
2. Manfaat ar-rahn
Manfaat yang dapat diambil oleh bank dari prinsip rahn
adalah sebagai berikut:
a. Menjaga kemungkinan nasabah untuk lalai atau bermain-main dengan fasilitas
pembiayaan yang diberikan oleh bank.
b. Memberikan keamanan bagi semua penaung dan pemegang deposito, bahwa dananya
tidak akan hilang begitu saja jika nasabah ingkar janji karena ada suatu aset
atau barang yang dipegang oleh bank.
c. Jika rahn diterapkan dalam mekanisme pegadaian, sudah barang tentu
akan sangat membantu saudara kita yang kesulitan dana, terutama di daerah-daerah.
Adapun manfaat langsung yang didapat bank adalah biaya-biaya kongkret yang
harus di bayar oleh nasabah untuk pemeliharaan dan keamanan aset tersebut. Jika
penahanan aset berdasarkan fidusia (penahanan barang bergerak sebagai jaminan
pembayaran), nasabah juga harus membayar biaya asuransi yang besarnya sesuai
yang berlaku secara umum.[9]
Lalu apakah ada resiko bagi bank ataupun pegadaian bila menerapkan rahn
sebagai produk? Adapun resiko yang mungkin terdapat pada rahn apabila
diterapkan sebagai produk adalah:
1. Resiko tidak terbayarnya utang nasabah (wanprestasi).
2. Resiko penurunan nilai aset yang ditahan atau rusak.
a. Gadai disyariatkan untuk menjaga harta pemberi hutang agar tidak lenyap.
b. Jika jatuh tempo, maka orang yang berhutang wajib melunasi hutangnya.
c. Jika dia menolak membayar, dan pemilik barang mengizinkan pemberi hutang
untuk menjual maka barang itu dijual dan hutang dilunasi dari hasil penjualan
tersebut.
d. Jika tidak maka hakim memaksanya untuk melunasi.
e. Jika dia tidak melakukannya, maka hakimlah yang menjual dan melunasinya.[10]
Allah SWT berfirman:
bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»ydÌsù ×p|Êqç7ø)¨B
Artinya: ”Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang”. (Qs. Al-Baqarah: 283)
BAB III
PENUTUP
Ar-rah/gadai adalah menjadikan barang berharga sebagai jaminan utang. Sedangkan hukumnya di dalam Islam adalah mubah. Adapun rukun
gadai yaitu: 1) Orang yang berakad (ar-rahin dan al-murtahin), 2) Sighat (lafadz ijab dan qabul), 3)
Utang (al-marhun bih), dan 4) Harta yang dijadikan jaminan (al-marhun).
Sedangkanuntuk siapa yang menanggung resiko para ulamaberbeda
pendapat, jika
menurut Hanafi al-murtahin harus menanggung resiko kerusakan atau
kehilangan al-marhun yang dipegangnya, baik karena al-marhun itu
hilang karena disia-siakan atau dengan sendirinya, sedangkan menurut Syafi’iyah
al-murtahin menanggung resiko kehilangan atau kerusakan al-marhun apabila
al-marhun rusak atau hilang karena tidak diurus atau disia-siakan oleh al-murtahin.
Perbedaan utama antara biaya rahn dan
bunga pegadaian adalah dari sifat bunga yang biasberakumulasi dan berlipat
ganda,sedangka biaya rahn hanya sekali dan ditetapkan di muka.
Hikmah Disyariatkan Gadai yaitu: 1) Gadai disyariatkan untuk menjaga harta pemberi hutang agar tidak lenyap, 2) Jika jatuh tempo, maka orang yang berhutang wajib melunasi hutangnya, 3) Jika dia menolak membayar, dan pemilik barang mengizinkan pemberi hutang
untuk menjual maka barang itu dijual dan hutang dilunasi dari hasil penjualan
tersebut, 4) Jika tidak maka hakim memaksanya untuk melunasi, dan 5) Jika dia tidak melakukannya, maka hakimlah yang menjual dan melunasinya.
Kami
sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca yang dapat membangun
kami. Karena kami semata-mata tak luput dari segala kekurangan dan kesalahan.
DAFTAR
PUSTAKA
Hendi Suhendi, 2007, Fiqh Muamalah, Jakarta: Raja Grafindo
Mardani, 2013, Fiqh Ekonomi Syariah, Jakarta: Kencana
Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah Al-Tuwaijiri, 2012, Ensiklopedi
Islam Kaffah,
Surabaya:Pustaka Yasir
Rahman Ghazaly, Abdul dkk. 2010, Fiqh Muamalah, Jakarta:
Kencana
[1] Abdur Rahman
Ghazaly, dkk.Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 265.
[2] Ibid., hlm.266.
[3]
Abdur Rahman
Ghazaly, dkk.Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 266-267.
[4] Ibid., hlm.
267.
[5]
Abdur Rahman
Ghazaly, dkk.Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 269.
[6]
Abdur Rahman
Ghazaly, dkk.Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 271.
[7]
Hendi Shuhendi,
Fiqh Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindoo, 2007), hlm. 111.
[8] Mardani, Fiqh
Ekonomi Syariah, (Jakarta: kencana, 2013), hlm. 298.
[9]
Mardani, Fiqh
Ekonomi Syariah, (Jakarta: kencana, 2013), hlm. 299.
[10] Muhammad bin Ibrahim
bin Abdullah Al-Tuwaijiri, Ensiklopedi Islam Kaffah, (Surabaya:Pustaka
Yasir, 2012), hlm. 750.
Komentar
Posting Komentar