Syi'ah dan Mu'tazilah

MAKALAH
SYI’AH DAN MU’TAZILAH
Diajukan untukMemenuhiTugas Mata Kuliah“TauhiddanIlmuKalam”
Dosen Pegampu:Muh. Yusuf al-Hamdani, S.S.,M.Ag




DisusunOleh:
1.      SUCI RAMADHANI PUTRI               
2.      NINING MULIANI                               
3.      LAELY ANJARWATI                         

JURUSAN MU’AMALAH
FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM
2017/2018

KATA PENGANTAR


Assalamu’alaikum wr.wb.
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Shalawat dan salam senantiasa dihaturkan kepada Nabi  SAW. yang semua perkataan-Nya adalah wahyu. Dan semua perkataan, perbuatan, pengakuan dan sifat-Nya adalah panutan bagi semua umat-Nya.

            Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah TAUHID DAN ILMU KALAM" di jurusan Muamalah, Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram. Makalah ini berjudul ”PERKEMBANGAN ALIRAN SYI’AH DAN MU’TAZILAHmembahas tentang pengertian aliran Syi’ah serta Mu’tazilah, tokoh-tokoh pada aliran Syi’ah dan Mu’tazilah dan terakhir tentang dalil dari aliran Syi’ah dan Mu’tazilah.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Khususnya kepada Dosen Pengampu Bapak Muh. Yusuf al-Hamdani, S.S.,M.Ag
Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita..
Wassalamu’alaikum wr.wb.
                                                                        Mataram, 27 November 2017

      Penulis



GLOSARIUM……………………………………………………………………24
DAFTAR PUSTAKA………………………………………….…………..…..…26

 









BAB I

PENDAHULUAN


Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW untuk mengatur interaksi antar manusia dengan Allah SWT sesamanya dan dirinya sendiri. Manusia yang membentuk kesatuan politik, yang diikiat oleh akidah dan sistem yang sama disebut umat. Dengan demikian dapat dinyatakan, bahwa umat islam merupakan akumulasi manusia yang membentuk kesatuan politik, meskipun terdiri dari berbagai bangsa, etnik dan bahasa yang bebeda.
Sejarah umat Islam dimulai dari sejarah Nabi Muhammad SAW yang diutus oleh Allah SWT di Mekah dengan tujuan untuk kemashalatan hidup manusia di dunia dan di akhirat, yang menjadi pedoman hidup dan petunjuk menuju jalan kebenaran dengan syari’at-syari’at yang telah ditentukan oleh Allah SWT dalam firmannya (Al-Qur’an).
Perkembangan dakwah yang begitu pesat itu dapat dicapai, sebab umat Islam pada waktu itu berada pada satu komando dan satu kefahaman dalam akidah dibawah bimbingan Rasulllah SAW. Namun, setelah Rasulullah SAW wafat dalam tubuh Islam mengalami banyak sekali perpecahan mulai dari segi politik, dan pemerintahan hingga akhirnya menjalar pada masalah akidah. Sehingga memunculkan banyak pemikiran, faham aliran.
Namun, akibat dari kelemahan akal daya manusia yang kurang mampunya memahami ajaran atau akidah islam yang telah diajarkan oleh Rasuullah SAW secara utuh serta tingkat keimanan dan kefahaman seseorang yang berbeda, mengakibatkan tokoh-tokoh islam yang juga merupakan kumpulan orang-orang shalih sebagai panji-panjinya Islam, ikut terjerembab kedalam lubang perpecahan dan perdebatan dalam Islam. Dan islam sendiri yang dulunya diibaratkan batang tubuh yang satu, kini mulai berpecah belah, saling menghujat antara satu dengan yang lain, saling membunuh demi memperebutkan kekuasaan, dan demi membenarkan argumen masing-masing dalam masalah akidah, pemikiran, serta keyakinan akan suatu ajaran dalam peribadatan yang pada akhirnya memunculkan aliran-aliran yang mempunyai faham yang berbeda bahkan berseberangan dan merupakan awal dari munculnya ilmu kalam, ilmu tauhid dan filsafat dalam Islam yang membahas tentang faham aliran-liran dalam islam, perdebatan dalam lingkup akidah Islam dan bahkan perdebatan tentang ketuhidan Allah beserta sifat-sifatnya.[1]
1.      Bagaimana sejarah kemunculan dari aliran Syi’ah dan Mu’tazilah?
2.      Siapa saja tokoh-tokoh dari aliran Mu’tazilah?
3.      Apa saja ajaran-ajaran pokok dari aliran Syi’ah dan Mu’tazilah?
4.      Apa saja dalil yang menjadi dasar aliran Syi’ah dan Mu’tazilah?  
    C.    TUJUAN
1.      Untuk mengetahui sejarah dari kemunculan aliran Syi’ah dan Mu’tazilah.
2.      Untuk mengetahui tokoh-tokoh dari aliran Syi’ah dan Mu’tazilah.
3.      Untuk mengetahui ajaran-ajaran pokok dari aliran Syi’ah dan Mu’tazilah.
4.      Untuk mengetahui dalil-dalil yang menjadi dasar dari aliran Syi’ah dan Mu’tazilah.
1.      Agar mahasiswa dapat lebih mengenal aliran-aliran dalam Islam.
2.      Agar mahasiswa tidak taklid dalam mengikuti aliran yang dipilihnya.
3.      Agar mahasiswa memiliki sikap toleran dalam menyikapi keberagaman pemikiran dalam tubuh Islam.

BAB II

PEMBAHASAN


1.      Sejarah Perkembangan Syi’ah
Peristiwa wafatnya Nabi, tanggal 8 Januari 632 M, telah menimbulkan perjuangan keagamaan dan politik dalam masyarakat Islamyang kemudian mengakibatkan perpecahan umat menjadi dua golongan, golongan Sunni dan golongan Syi’ah. Dengan meninggalnya Nabi , umat Islam kehilangan pemimpin yang dapat menyelesaikan segala persoalan yang mereka hadapi. Sementara itu, Nabi  tidak menunjuk pemimpin sebagi gantinya. Lalu, timbullah perselisihan, golongan siapa yang menggantikan kepemimpinan Nabi ? Dan bagaimana cara pemilihan itu dilangsungkan? Ayat-ayat Al-Qur’an sendiri tidak secara jelas menyebutkan siapa yang akan memimpin.[2]
Kata Syi’ah adalah akar kata dari syaa’a. tasyaya’a, yang berarti pihak, partai, dan kelompok. Pengertian kata syi’ah telah dikenal sebelum datangnya ajaran Islam. Namun kata ini belakangan lebih tertuju pada Syi’ah Ali, yaitu pengikut suatu aliran yang mencintai keturunan Nabi  dan menaati pemimpin-pemimpin yang diangkat dari keluarga dan keturunan Nabi  (ahl al-bait).[3]
Pengertian pengikut yang memihak Ali, menurut al-Nubakhti, telah dikenal semasa Nabi  masih hidup. Namun A. Mahmud Shubhi, berpendapat bahwa pertumbuhan aliran Syi’ah muncul sesudah wafatnya Nabi  dan hasil konsensus para sahabat, Ali menolak pembaiatan terhadap Abu-Bakar. Pendapat lain menyebutkan munculnya setelah terjadinya kekacauan di masa Usman yang berakhir dengan kematiannya. Ada pula yang mengatakan setelah perang Shiffin dan setelah pembunuhan Husain.[4]
Bagi Syi’ah, pangkal kepercayaan tentang sahnya Ali sebagai penerus Nabi adalah peristiwa Ghadir Khum, saat perjalanan haji terakhir Nabi  dari Mekah ke Madinah, memilih Ali sebagai pimpinan umum dari umat Islam dan menjadikan Ali sebagai pelindung, seperti Nabi  sendiri.  Hadis-hadis Ghadir Khum itu berbunyi, salah satu diantanya:
“Sesungguhnya Allah adalah mala’ ku (pemimpinku), dan aku adalah maula bagi setiap mukmin.” Lalu beliau mengangkat tangan Ali bin Abi Thalib sambil bersabda, “Siapa yang menganggap aku sebagai pemimpinnya maka dia ini (Ali) adalah juga pemimpin baginya. Ya Allah cintailah siapa yang mencintainya dan musuhilah siapa yang memusuhinya.”
Terdapat empat dugaan mengenai timbulnya al-tasyayyu’ (dukungan) terhadap Ali. Kesemuanya dikaitkan dengan peristiwa politik, yaitu:[5]
a.       Wafatnya Nabi dan pertemuan di Bani Tsaqifah serta keterlambatan Ali dalam membaiat Abu Bakar.
b.      Fitnah pada masa Usman yang mencapai puncaknya dengan terbunuhnya Usman.
c.       Pertempuran Shiffin dan peristiwa tahkim (arbitrase).
d.      Peristiwa terbunuhnya Husain bin Ali di Karbala.
e.       Sejarah Perkembangan Aliran Mu'tazilah
2.      Sejarah Perkembangan Mu’tazilah
Aliran Mu’taazilah ini muncul sebagai reaksi atas pertentangan antara aliran Khawarij dan aliran Murjiah,mengenai orang mukmin yang berdosa besar. Menurut kaum Khawarij, orang mukmin yang berdosa besar sudah tidak dapat dikatakan mukmin lagi,melainkan kafir. Namun, menurut kaum Murjiah tetap menganggap orang mukmin yang berdosa besar itu sebagai mukmin, bukan kafir. Menghadapi pendapat yang kontroversial ini, Wasil yang ketika itu menjadi murid Hasan al-Basri mengatakan bahwa orang mukmin yang berdosa besar menempati posisi antara mukmin dan kafir. Tegasnya, orang itu bukanlah mukmin atau kafir malainkan diantara keduanya. Demikian pendapat Wasil sehingga menjadi salah satu doktrin Mu’tazilah yaitu al Manzilah bin al Manzilatain (posisi diantara dua posisi).[6]
Setelah menyatakan pendapatnya itu, Wasil bin Atha meninggalkan perguruan Hasan al-Basri lalu membentuk kelompok sendiri. Kelompok itulah yang menjadi cikal bakal Mu’tazilah. Setelah Wasil memisahkan diri, Hasan al-Basri berkata “I’tazala’ann Wasil (Wasil menjauhkan diri dari kita)”. Menurut Syahristani dari kata I’tazala’ann itulah lahirnya istilah Mu’tazilah yang artinya orang yang memisahkan diri. Pendapat lain menyatakan bahwa Mu’tazilah memang berarti memisahkan diri, tetapi tidak selalu memisahkan diri secara fisik. Mu’tazilah dapat berarti memisahkan diri dari pendapat-pendapat yang berkembang sebelumnya karena memang pendapat Mu’tazilah berbeda dengan pendapat sebelumnya. Selain nama Mu’tazilah, pengikut aliran ini juga sering disebut kelompok Ahl at Tauhid (golongan pembela tauhid), kelompok Ahl al-‘Adl (pendukung paham keadilan Tuhan), dan kelompok Kadariah.[7]
Pada awal perkembangannya, aliran ini tidak mendapat simpati dari umat Islam, khususnya dikalangan masyarakat awam, karena mereka sulit memahami ajaran-ajaran Mu’tazilah yang bersifat rasional dan filosofis. Alasan lain adalah kaum mu’tazilah dinilai tidak teguh berpegang pada sunah Rasulullah dan para sahabat. Kelompok ini baru memperoleh dukungan yang luas, terutama dikalangan Intelektual, yaitu pada masa pemerintahan Khalifah al-Ma’mun, penguasa Abbasiyah (198-218H/813-833M). kedudukan Mu’tazilah semakin kuat setelah al-Ma’mun menyatakan sebagai mazhab resmi Negara. Hal ini disebabkan karena al-Ma’mun sejak kecil dididik dalam tradisi Yunani yang gemar akan Ilmu pengetahuan dan filsafat.[8]
Dalam fase kejayaannya itu, Mu’tazilah sebagai golongan yang mendapat dukungan penguasa memaksakan ajarannya kepada kelompok lain. Pemaksaan ajaran ini dikenal dalam sejarah dengan peristiwa mihnah. Mihnah itu timbul sehubungan dengan paham-paham Khalq Al Quran. Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Al-Quran adalah kalam Allah SWT yang tersusun dari suara dan huruf-huruf. Al-Quran itu makhluk dalam arti diciptakan Tuhan. Karena diciptakan berarti ia sesuatu yang baru, jadi tidak qadim. Jika Al-quran itu dikatakan qadim, maka akan timbul kesimpulan bahwa ada yang qadim selain Allah SWT dan hukumnya Musyrik. Khalifah al-Ma’mun menginstruksikan supaya diadakan pengujian terhadap aparat pemerintahan (mihnah) tentang keyakinan mereka akan paham ini. Menurut al-Ma’mun orang yang mempunyai keyakinan bahwa Al-Quran adalah qadim tidak dapat dipakai untuk menempati posisi penting dalam pemerintahan. Dalam pelaksanaannya, bukan hanya aparat pemerintah yang diperiksa melainkan juga tokoh-tokoh masyarakat. Sejarah mencatat banyak tokoh dan pejabat pemerintah yang disiksa, diantaranya Imam Hanbali, bahkan ada ulama’ yang dibunuh karena tidak sepaham dengan ajaran Mu’tazilah. Peristiwa ini sangat menggoncang umat Islam dan baru berakhir setelah al Mutawakkil (memerintah 232-247 H / 847-861 M).[9]
Di masa al-Mutawakkil, dominasi aliran Mu’tazilah menurun dan menjadi semakin tidak simpatik dimata masyarakat. Keadaan ini semakin buruk setelah al Mutawakkil membatalkan pemakaian mazhab Mu’tazilah sebagai mazhab resmi Negara dan menggantinya dengan aliran Asy’ariyah. Dalam perjalanan selanjutnya, kaum Mu’tazilah muncul kembali di zaman berkuasanya Dinasti Buwaihi di Baghdad. Akan tetapi kesempatan ini tidak berlangsung lama.[10]
1.      Aliran-aliran dalam Syi’ah
Para ulama pakar perbandingan aliran Islam mencatat bahwa Syi’ah itu ada 3 jenis golongan: pertama, Syi’ah ‘Ghaliyah’ atau ‘Ghulat’ yang berpandangan ekstrim seputar Ali bin Abi Thalib ra sampai pada taraf menuhankan Ali atau menganggapnya Nabi. Kedua, Syi’ah Rafidhah yang mengklaim adanya nash atau wasiat penunjukan Ali sebagai khalifah dan berlepas diri dari dan bahkan mencaci dan mengkafirkan para khlalifah sebelum Ali dan mayoritas para sahabat Nabi. Kelompok ini telah meneguhkan dirinya kedalam sekte Imamiyah Itsna ‘Asyariah dan Isma’iliyah. Ketiga, Syiah ‘Zaidiyah’ yaitu pengikut Zaid bin Ali Zainal Abidin yang mengutamakan Ali ra atas sahabat lain dan menghormati seerta loyal kepada Abu Bakar dan Umar ra sebagai khalifah yang sah.[11]



a.      Syi’ah Itsna ‘Asyariah
1)      Asal-usul Syiah Itsna ‘Asyariah
Sekte ini menamakan dirinya Itsna ‘Asyariah karena mereka mempercayai kedua belas imam. Kedua belas imam itu yaitu sebagai berikut. Ali bin Abi Thalib, Hasan bin Ali, Husain bin Ali,  Ali Zainal Abidin,  Al-Baqir, Abdullah Ja’far Ash-Shadiq, Musa Al-Kazhim, Ali Ar-Rida,  Al-Jawwad, Ali Al-Hadi, Hasan Al-Askari, dan terakhir adalah  Al-Mahdi sebagai Imam kedua belas. Akidah mereka yaitu meyakini kemutlakan imamah Ali bin Abi Thalib dan beranggapan bahwa dialah yang diwasiati Nabi untuk menjadi khalifah sesudah beliau wafat, untuk kemudian diberikan kepada keturunannya.[12]
Nama dua belas (Itsna ‘Asyariah) ini mengandung pesan penting dalam tinjauan sejarah, yaitu bahwa golongan ini terbentuk setelah lahirnya semua imam yang berjumlah dua belas.
2)      Ajaran Syi’ah Itsna ‘Asyariah
Kira-kira pada tahun 260 H / 878 M. imam kedua belas, Imam Al-Mahdi dinyatakan gaibah (occultation) oleh para pengikut sekte ini.  Al-Mahdi bersembunyi dibawah ruang bawah tanah rumah ayahnya setelah itu tidak kembali. Kembalinya Imam Al-Mahdi ini selalu ditunggu-ditunggu oleh sekte Itsna ‘Asyariah dan ciri khas kehadirannya adalah sebagai “ratu adil” yang akan turun pada akhir zaman. Oleh karena itu,  Al-Mahdi dijuluki sebagai Imam Mahdi Al-Muntazhar (yang ditunggu)[13].
Sekte ini juga menambahkan rukun Islam yang lima menjadi enam, yaitu i’tiqad bil imamah (mempercayai imamah). Mereka berkeyakinan bahwa imamah adalah martabat yang datang dari Allah, sejajar dengan keNabian. Bedanya jika Nabi menerima wahyu, sedangkan imamah tidak, hanya saja ia memiliki tanggung jawab untuk meneruskan tugas yang dilakukan oleh seorang Nabi. Jadi, Nabi menyampaikan apa yang diamanatkan oleh Allah sedangkan imamah menyampaikan apa yang di ajarkan oleh Nabi. Syi’ah Itsna ‘Asyariyah tidak mengakui kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Usman bin Affan[14].

b.      Syi’ah Zaidiyyah
1)      Asal-usul penamaan Syiah Zaidiyah
Kelompok ini dinamakan Syi’ah Zaidiyah karena mereka adalah kelompok aliran Syi’ah yang menjadi pengikut imam Zaid, atau yang nama lengkapnya Zaid bin Zainal Abidin. Kelompok ini, seperti dilihat dari namanya, adalah pengikut Ali.  Kelompok ini meyakini 5 imam. Yaitu Ali bin abi Thalib, Hasan bin Ali, Husain bin Ali, Ali bin Husain, Zaid bin Ali. Kelompok ini merupakan kelompok Syi’ah imamiyyah yang jauh dari perbuatan berlebihan dan tidak mengutuk Abu Bakar serta Umar bin Khattab. Mereka bahkan mengatakan dengan tegas kebenaran dan andil kedua khalifah itu, sekalipun mereka menyatakan bahwa Ali lebih afdhal dibanding kedua khalifah tersebut[15].
2)      Ajaran Syi’ah Zaidiyah
Menurut keyakinan Syi’ah Zaidiyah, imamah bukanlah karena ketetapan nash, namun siapapun boleh menjadi pemimpin asalkan memenuhi persyaratan. Dengan demikian, makna imamah menurut mereka bukanlah diwarisi tetapi berdasarkan bai’at. Pandangan semacam ini memperbolehkan adanya dua iman pada dua negeri yang berlainan. Konsep ini bersebrangan dengan konsep Itsna ‘Asy’ariyah.Mazhab Zaidiyyah pada dasarnya condong kepada Mu’tazilah. Dan dari sekian banyak mazhab Syi’ah, Zaidiyah merupakan mazhab yang paling dekat dengan Ahlus Sunnah ajarannya. Kendatipun memiliki banyak kesamaan namun tetap ada yang beda. Hal ini umum terjadi, misalnya mereka mengucapkan hayya ‘alal khairil ‘amal ketika adzan seperti umumnya kaum Syi’ah, dan juga mereka menganggap bahwa sholat ‘ied adalah fardhu ‘ain yang boleh dilaksanakan sendiri-sendiri ataupun berjama’ah.[16]
Pada mulanya, Zaid adalah murid dari pemimpin aliran Mu’tazilah. Dari sinilah, tampak dengan jelas pengaruh pemikiran mazhab tersebut. Ada sebagian ulama yang menganggap bahwa Zaidiyyah merupakan mazhab Ahlus Sunnah kelima dari empat mazhab Ahlus Sunnah yang dikenal.[17]
c.       Syi’ah Ghulat
1)      Asal-usul Penamaan Syiah Ghulat
Istilah Ghulat berasal dari kata ghala-yaghlu-ghuluw, artinya “bertambah” dan “naik”. Ghala bi ad-din artinya memperkuat dan menjadi ekstrem sehingga melampaui batas. Syi’ah Ghulat berartikan kelompok pendukung Ali yang memiliki sikap berlebihan atau ekstrim. Lebih jauh, Abu Zahrah menjelaskan bahwa Syi’ah Ghulat adalah kelompok yang menempatkan Ali pada derajat keTuhanan, dan ada yang mengangkat pada derajat keNabian, bahkan lebih tinggi dari Nabi sendiri . Berikut sekte-sekte Syi’ah Ghulat yang terkenal, antara lain Sabahiyah, Kamaliyah, Albaiyah, Mughriyah, Mansuriyah, Khattabiyah, Kayaliyah, Hisamiyah, Nu’miyah, Yunusiah, dan Nasyisiah wa Ishaqiyah.[18]
Nama-nama sekte tersebut menggunakan nama tokoh yang membawa atau pemimpinnya. Sekte-sekte ini awalnya hanya satu sekte yaitu yang dibawa oleh Abdullah bin Saba’ yang mengajarkan bahwa Ali adalah Tuhan. Kemudian Karena perbedaan prinsip dan ajaran, Syi’ah Ghulat terpecah menjadi beberapa sekte. Walaupun demikian, seluruh sekte ini pada intinya mensepakati tentang hulul dan tanasukh.[19]
2)      Ajaran Syiah Ghulat
Adapun ajaran-ajaran Syi’ah Ghulat adalah sebagai berikut:[20]
a)      Tanasukh adalah keluarnya roh dari satu jasad dan mengambil tempat pada jasad yang lain. Paham ini diambil dari falsafah Hindu. Penganut agama Hindu berkeyakinan bahwa roh disiksa dengan cara berpindah ke tubuh hewan yang lebih rendah dan diberi pahala dengan cara berpindah dari satu kehidupan pada satu kehidupan yang lebih tinggi. Syi’ah Ghulat menerapkan konsep ini dalam konsep Imamiyahnya, sehingga ada yang menyatakan bahwa roh Allah berpindah kepada Adam kemudian keapda Imam-imam secara turun-temurun.
b)      Bada’ adalah keyakinan bahwa Allah mengubah kehendak-Nya sejalan dengan perubahan ilmunya, serta dapat memerintahkan perbuatan kemudian memerintahkan yang sebaliknya.
c)      Raj’ah adalah keyakinan bahwa salah imam yang mereka yaini akan kembali pada akhir zaman. Yang diyakini oleh Syi’ah Ghulat akan turun adalah imam Mahdi Al-Mumtazhar.
d)     Tasbih artinya mempersamakan. Syiah Ghulat menyerupakan salah seorang imamnya dengan Tuhan atau menyerupakan Tuhan dengan makhluk.
e)      Hulul artinya Tuhan berada disetiap tempat, berbicara dengan semua bahasa dan ada pada setiap individu manusia. Hulul bagi Syi’ah Ghulat berarti bahwa Tuhan menjelma dalam diri manusia sehingga imam harus disembah.
f)       Ghayba artinya menghilangnya imam Mahdi. Ghayba merupakan paham Syi’ah Ghulat bahwa imam Mahdi ada didalam negeri ini namun tidak bisa dilihat dengan mata biasa.

2.      Tokoh-tokoh dalam Mu’tazilah
a.       Wasil bin Atha.
Wasil bin Atha adalah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar ajaran Mu’tazilah. Ada tiga ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu paham al-manzilah bain al-manzilatain, paham Kadariyah (yang diambilnya dari Ma’bad dan Gailan, dua tokoh aliran Kadariah), dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan. Dua dari tiga ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran Mu’tazilah, yaitu al-manzilah bain al-manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan.[21]
b.      Abu Huzail al-Allaf.
Abu Huzail al-‘Allaf (w. 235 H), seorang pengikut aliran Wasil bin Atha, mendirikan sekolah Mu’tazilah pertama di kota Bashrah. Lewat sekolah ini, pemikiran Mu’tazilah dikaji dan dikembangkan. Sekolah ini menekankan pengajaran tentang rasionalisme dalam aspek pemikiran dan hukum Islam.[22]
Abu Huzail al-Allaf adalah seorang filosof Islam. Ia mengetahui banyak falsafah Yunani dan itu memudahkannya untuk menyusun ajaran-ajaran Mu’tazilah yang bercorak filsafat. Ia antara lain membuat uraian mengenai pengertian nafy as-sifat. Ia menjelaskan bahwa Tuhan Maha Mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya ini adalah Zat-Nya, bukan Sifat-Nya; Tuhan Maha Kuasa dengan kekuasaan-Nya dan kekuasaan-Nya adalah Zat-Nya dan seterusnya. Penjelasan dimaksudkan oleh Abu-Huzail untuk menghindari adanya yang qadim selain Tuhan karena kalau dikatakan ada sifat (dalam arti sesuatu yang melekat di luar zat Tuhan), berarti sifat-Nya itu qadim. Ini akan membawa kepada kemusyrikan. Ajarannya yang lain adalah bahwa Tuhan menganugerahkan akal kepada manusia agar digunakan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, manusia wajib mengerjakan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk. Dengan akal itu pula manusia dapat sampai pada pengetahuan tentang adanya Tuhan dan tentang kewajibannya berbuat baik kepada Tuhan. Selain itu ia melahirkan dasar-dasar dari ajaran as-salah wa alaslah.[23]
c.       Al-Jubba’i
Al-Jubba’i adalah guru Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariah. Pendapatnya yang masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT, sifat Allah SWT, kewajiban manusia, dan daya akal. Mengenai sifat Allah SWT, ia menerangkan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat; kalau dikatakan Tuhan berkuasa, berkehendak, dan mengetahui, berarti Ia berkuasa, berkehendak, dan mengetahui melalui esensi-Nya, bukan dengan sifat-Nya. Lalu tentang kewajiban manusia, ia membaginya ke dalam dua kelompok, yakni kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia melalui akalnya (wajibah ‘aqliah) dan kewajiban-kewajiban yang diketahui melaui ajaran-ajaran yang dibawa para rasul dan Nabi (wajibah syar’iah).[24]
d.      An-Nazzam
Pendapatnya yang terpenting adalah mengenai keadilan Tuhan. Karena Tuhan itu Maha Adil, Ia tidak berkuasa untuk berlaku zalim. Dalam hal ini berpendapat lebih jauh dari gurunya, al-Allaf. Kalau Al-Allaf mangatakan bahwa Tuhan mustahil berbuat zalim kepada  hamba-Nya,  maka  an-Nazzam  menegaskan  bahwa hal itu bukanlah hal yang mustahil, bahkan Tuhan tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat zalim. Ia berpendapat bahwa pebuatan zalim hanya dikerjakan oleh orang yang bodoh dan tidak sempurna, sedangkan Tuhan jauh dari keadaan yang demikian. Ia juga mengeluarkan pendapat mengenai mukjizat al-Qur’an. Menurutnya, mukjizat al-Qur’an terletak pada kandungannya, bukan pada uslub (gaya bahasa) dan balagah (retorika)-Nya. Ia juga memberi penjelasan tentang kalam Allah SWT. Kalam adalah segalanya sesuatu yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat didengar. Karena itu, kalam adalah sesuatu yang bersifat baru dan tidak qadim.[25]
1.      Syi’ah
a.       Al-Ishmah
Menurut keyakinan golongan Syi’ah, bahwa imam-imam mereka itu sebagaimana para Nabi adalah bersifat al-ishmah atau mash’um dalam segala tindak lakunya, tidak pernah berbuat dosa besar maupun kecil, tidak ada tanda-tanda berlaku maksiat, tidak boleh berbuat salah ataupun lupa.[26]
b.      Imam Al-Mahdi/Mahdawiyah
Datangnya juru selamat yang akan menyelamatkan kehidupan manusia pada akhir zaman. Dikalangan Syi’ah imam Mahdi itu imam yang kedua belas, yang diyakini setelah dilahirkan kemudian menghilang dalam waktu yang lama. Setelah menghilang dalam waktu yang lama, ia akan datang untuk memperbaiki dunia dengan kadilan. Yang telah dirusak penguasa-penguasa zalim.[27]
c.       Imamah
Menurut keyakinan golongan Syi’ah, mereka meyakini adanya imam. Mereka menyebut pemimpin itu imam, bukan khalifah. Oleh sebab itu, bagi Syi’ah imam bukan hanya sebagai pemimpin dalam hal urusan soal duniawi saja. Melainkan juga berfungsi sebagai pemimpin agama. Imam mempunyai otoritas untuk menafsirkan kehendak Allah SWT dalam bentuk hukum-hukum syariat, karena para imam mendapat ilham dan petunjuk dari Allah SWT.[28]
d.      Asyura
Memperingati hari kesepuluh bulan Muharram, sebagai hari berkabung atas wafatnya imam Husain bin Ali yang terbunuh di padang Karbala. Dikalangan Syi’ah disebut dengan upacaha raudhah-khani, semacam ritual atau prosesi gabngan dari khutbah, pembacaan sajak, ayat-ayat Al-Qur’an, dan pertunjukan drama yang melukiskan kehidupan imam-imam yang menyedihkan.Dalam helatan tersebut, terdapat pawai jalanan yang dilakukan dengan ritual nyanyian, tangisan, dan terkadang memukul-mukul diri mereka sendiri sampai berdarah sebagai symbol dalam merasakan derita yang dialami oleh imam dalam musibah besar di padang karbala. Kegiatan ini terbentuk secara luas pada masa Dinasti Safawi.[29]
e.       Al-Bada’
Keyakinan bahwa Allah dapat membatalkan ketentuan yang telah Dia tetapkan.[30]
f.       Taqiyah
Sikap berhati-hati dengan menyembunyikan identitas, karena khawatir bahaya mengancam. Dalam keyakinan Syi’ah seseorang boleh menyembunyikan keyakinan agamanya atau beberapa praktik tertentu dari agamanya. Hal itu dapat dilakukan bila ia menghadapi keadaan yang diperkirakan mungkin atau pasti akan menimbulkan bahaya.[31]
2.      Mu’tazilah
a.      At-Tauhid
At-tauhid (pengesaan Tuhan), merupakan prinsip utama dan intisari ajaran mu’tazilah. Sebenarnya, setiap mazhab teologis dalam Islam memegang doktrin ini. Namun, bagi mu’tazilah, tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kemahaesaan-Nya. Tuhanlah satusatunya yang esa, yang unik dan tidak ada satupun yang menyamainya. Oleh karena itu, hanya dialah yang qadim. Jika ada lebih dari satu yang qadim, maka telah menjadi ta’addud al-qudama (berbilangnya dzat yang tak berpermulaan). Untuk memurnikan keesaan Tuhan (tazih), mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki sifat-sifat, menggambarkan fisik Tuhan (antromorfisme tajassum), dan Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan itu esa, tak ada satupun yang menyamai-Nya. Dia maha melihat, mendengar, kuasa, mengetahui dan  sebagainya. Namun, itu semua bukanlah sifat Allah, melainkan dzatnya.[32]
Menurut mereka, sifat adalah sesuatu yang melekat. Bila sifat Tuhan itu qadim, maka yang qadim itu berarti ada dua, yaitu dzat dan sifatnya. Wasil bin Atha’ seperti yang dikutip oleh Asy-Syahrastani mengatakan “siapa yang mengatakan sifat yang qadim, berarti telah menduakan Tuhan”. Ini tidak dapat diterima karena merupakan perbuatan syirik. Apa yang disebut dengan sifat menurut mu’tazilah adalah dzat Tuhan itu sendiri. Abu Hudzail, sebagaimana dikutip oleh Musthafa , berkata “Tuhan mengetahui dengan ilmu, dan ilmu itu adalah Tuhan itu sendiri. Tuhan berkuasa dengan kekuasaannya, dan kekuasaan itu adalah Tuhan itu sendiri”.[33]
Mu’tazilah  berpendapat bahwa Al-Qur’an itu baru (diciptakan), Al-qur’an adalah manifestasi dari kalam Tuhan, Al-Qur’an terdiri atas rangkaian huruf, kata, dan bahasa yang satunya mendahului yang lainnya.[34]
b.      Al-Adl
Ajaran dasar Mu’tazilah yang kedua adalah al-adl yang berarti “Tuhan maha adil”. Tuhan dikatakan adil jika bertindak hanya yang baik (ash-saleh) dan terbaik  (al-ashlah), dan bukan yang tidak baik. Begitu pula Tuhan itu dipandang adil jika  tidak menyalahi/melanggar janjinya. Dengan demikian, Tuhan terikat oleh janjinya. Ajaran tentang keadilan ini berkaitan erat dengan beberapa hal, antara lain:[35]
1)                  Perbuatan manusia
2)                   Berbuat baik dan terbaik
3)                  Mengutus rasul
c.       Al-Wa’d Wa Al-Wa’id
Ajaran ketiga ini sangat erat hubungannya dengan ajaran kedua di atas. Al-wa’d wa al-wa’id berarti janji dan ancaman. Tuhan yang maha adil dan maha bijaksana  tidak akan melanggar janjinya. Perbuatan Tuhan terikat dan dibatasi oleh janjinya sendiri, yaitu memberi pahala berupa surga bagi orang yang mau berbuat baik (al-muthi) dan mengancam dengan siksa neraka bagi orang yang durhaka (alashi).  Begitu pula janji Tuhan untuk memberi pengampunan bagi yang mau bertobat nashuha, pasti benar adanya. Ini sesuai dengan prinsip keadilan.[36]
 Jelasnya, siapapun  yang berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan pula dan juga sebaliknya, siapa yang  berbuat jahat akan dibalas dengan siksa yang pedih. Ajaran ketiga ini tidak memberi peluang bagi Tuhan, selain menuaikan janjinya. Yaitu memberi pahala bagi orang yang taat dan menyiksa orang-orang yang berbuat maksiat, kecuali bagi yang sudah bertobat nasuha. Tidak ada harapan bagi pendurhaka, kecuali bila ia bertobat. Kejahatan dan kedurhakaan yang menyebabkan pelakunya masuk ke dalam neraka, merupakan dosa besar, sedangkan bagi dosa kecil, mungkin Allah mengampuninya.  Ajaran ini tampaknya bertujuan mendorong menusia berbuat baik dan tidak melakukan perbuatan dosa.[37]
d.      Manzilah Bain Al-Manzilataini
Inilah ajaran yang mula-mula melahirkannya aliran Mu’tazilah. Ajaran ini terkenal dengan status orang beriman (mukmin) yang melakukan dosa besar. Seperti yang tercatat dalam sejarah, khawarij menganggap orang tersebut sebagai orang musyrik, sedangkan murji’ah berpendapat bahwa orang itu tetap mukmin dan dosanya  sepenuhnya diserahkan sepenuhnya pada Tuhan. Boleh jadi dosa itu diampuni Tuhan.[38]
Pokok ajaran ini adalah bahwa muKmin yang melakukan dosa besar dan belum  tobat bukan lagi mukmin atau kafir, tetapi fasik. Izutsu, dengan mengutip ibn hazm, menguraikan pandangan mu’tazilah sebagia berikut “orang yang melakukan dosa besar disebut fasiqin. Ia bukan mukmin bukan pula kafir, bukan pula munafik (hipokrit)”. Mengomentari pendapat tersebut izutsu menjelaskan bahwa sikap mu’tazilah adalah membolehkan hubungan perkawinan dan warisan antara mukmin pelaku dosa besar dan mukmin lain dan dihalalkannya binatang sembelihannya.[39]
e.       Al- Amr Bi Al-Ma’ruf Wa An-Nahy An-Munkar
Ajaran dasar yang kelima adalah menyuruh pada kebajikan dan melarang pada kemunkaran (Al-amr bi Al-ma’ruf wa An-nahy an-Munkar). Ajaran ini menekankan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan konsekuensi logis dari keimanan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik, diantaranya dengan mengajak pada kebajikan dan melarang pada kemungkaran.[40]
Perbedaan mazhab Mu’tazilah dengan mazhab yang lain mengenai ajaran kelima ini terletak pada tatanan pelaksanaannya. Menurut Mu’tazilah, jika memang diperlukan, kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut. Sejarahpun telah mencatat kekerasan yang pernah dilakukannya ketika menyiarkan ajaran-ajarannya.[41]
1.      Syi’ah
a.       Keimanan Ali dan arti pentingnya ahl al-bait[42]
Qs. Al-Ma’idah ayat 67. [43]
*$pkšr'¯»tƒãAqߧ9$#õ÷Ïk=t/!$tBtAÌRé&šøs9Î)`ÏBy7Îi/¢(bÎ)uróO©9ö@yèøÿs?$yJsù|Møó¯=t/¼çmtGs9$yÍ4ª!$#uršßJÅÁ÷ètƒz`ÏBĨ$¨Z9$#3¨bÎ)©!$#ŸwÏökutPöqs)ø9$#tûï͍Ïÿ»s3ø9$#ÇÏÐÈ
Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (Q.S.Al-Ma’idah ayat 67).
b.      Bukti atas keimanan Ali[44]
Qs. Al-Ma’idah ayat 3.[45]
tPöquø9$#àMù=yJø.r&öNä3s9öNä3oYƒÏŠàMôJoÿøCr&uröNä3øn=tæÓÉLyJ÷èÏRàMŠÅÊuurãNä3s9zN»n=óM}$#$YYƒÏŠ4Ç`yJsù§äÜôÊ$#Îû>p|ÁuKøƒxCuŽöxî7#ÏR$yftGãB5OøO\b} ¨bÎ*sù©!$#ÖqàÿxîÒOÏm§ÇÌÈ
“Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S.Al-Ma’idah ayat 3).
2.      Mu’tazilah
a.       Dalil tentang bahwa tidak ada yang menyamai Allah[46]
Q.S. Asy-Syura ayat 11.[47]
ãÏÛ$sùÏNºuq»yJ¡¡9$#ÇÚöF{$#ur4Ÿ@yèy_/ä3s9ô`ÏiBöNä3Å¡àÿRr&$[_ºurør&z`ÏBurÉO»yè÷RF{$#$[_ºurør&(öNä.ätuõtƒÏmŠÏù4}§øŠs9¾ÏmÎ=÷WÏJx.Öäïx«(uqèdurßìŠÏJ¡¡9$#玍ÅÁt7ø9$#ÇÊÊÈ
(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan- pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.” (Q.S. Asy-Syura ayat 11)
b.      Dalil alasan ketidakterlibatan mereka dalam perang Jamal dan Shiffin[48]
Q.S. Al-Hujarat ayat 9.[49]
bÎ)urÈb$tGxÿͬ!$sÛz`ÏBtûüÏZÏB÷sßJø9$#(#qè=tGtGø%$#(#qßsÎ=ô¹r'sù$yJåks]÷t/(.bÎ*sùôMtót/$yJßg1y÷nÎ)n?tã3t÷zW{$#(#qè=ÏG»s)sùÓÉL©9$#ÓÈöö7s?4Ó®LymuäþÅ"s?#n<Î)̍øBr&«!$#4bÎ*sùôNuä!$sù(#qßsÎ=ô¹r'sù$yJåks]÷t/ÉAôyèø9$$Î/(#þqäÜÅ¡ø%r&ur(¨bÎ)©!$#=ÏtäšúüÏÜÅ¡ø)ßJø9$#ÇÒÈ
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil.” (Q.S. Al-Hujarat ayat 9)













BAB III

 PENUTUP


Aliran-aliran ilmu kalam awalnya muncul akibat perbedaan pandangan dalam berpolitik, namun akhirnya melebar sehingga juga mencakup bidang akidah. Dalam sejarah ada banyak sekali alian-aliran ilmu kalam yang pernah tercatat dalam sejarah. Diantaranya ialah aliran Syi’ah dan Mu’tazilah. Pokok-pokok dari ajaran Syi’ah ialah  Tauhid, Al-‘Adl, An-Nubuwwah, Al Imamah, dan Al-Ma’ad. Sedangkan Mu’tazilah pokok-pokok ajarannya yaitu Tauhid, Al-Adl, Al-Wa’d wa Al-Wa’id, Manzila baina Manzilatain, dan Al- Amr Bi Al-Ma’ruf Wa An-Nahy An-Munkar.    
Saran kami bagi para teman-teman ataupun pembaca pada umunya agar janganlah langsung menganggap aliran-aliran tertentu sesat. Tapi kita harus bisa membedakan. Bagaimana? Yaitu dengan mengenalnya. Keberagaman adalah sesuatu yang bagus sesungguhnya. Karena hal itu menandakan bahwa umat Islam ada kemauan untuk berpikir.







GLOSARIUM


Konsensus : kesepakatan atau kata pemufakatan bersama (mengenai pendapat, pendirian, dsb) yang dicapai melalui kebulatan suara.
Sekte : kelompok orang yang mempunyai kepercayaan atau pandangan agama yang sama, yang berbeda dari pandagan agama yang lebih lazim diterima oleh para penganut agama tersebut.
Mayoritas : jumlah orang terbanyak yang memperlihatkan ciri tertentu menurut suatu patokan dibandngkan dengan jumlah yang lain yang tidak memperlihatkan ciri itu.
Filsafat  : berpikir sedalam-dalamnya untuk mencapai sebuah kesimpulan yang bermanfaat.
Doktrin : ajaran atau asas suatu aliran keagamaan.
Ilham : petunjuk Tuhan yang timbul di hati
Rasional : logis atau dapat diterima oleh akal.
Zalim : tidak meletakkan sesuatu pada tempatnya
Akidah : kepercayaan dasar atau keyakinan pokok.
Khalifah : pemimpin suatunegara yang dasar negaranya menggunakan hokum Islam.
Mukmin : istilah bagi orang yang beriman kepada Allah SWT.
Kafir : orang yang tidak percaya kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.
Filosofis : ungkapan  yang berdasarkan filsafat.
Loyal : patuh atau setia
Kalam : perkataan.
Otoritas : kekuasaan penuh.
Ekstrem : yang paling keras pendapatnya atau pemikirannya.
Mazhab : aliran hukum fikih yang menjadi pedoman umat Islam.
Intelektual : orang yang berpendidikan tinggi.
Musyrik : sebutan bagi orang yang kafir.
Imam : pemimpun agama.












DAFTAR PUSTAKA

.
A. Nasir. Sahilun. 2012. Pemikiran Kalam (Teologi Islam), Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Abbas, Siradjudin. 1988. Itiqad Ahlu Sunnah Wal Jamaah. Jakarta: Pustaka Tarbiyah.
Abul Yazid Abu Zaid Al-’Ajami. 2012. Akidah Islam Menurut Empat Mazhab, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar.
Amin, Nurdin  dan Fauzi, Abbas Afifi. 2014. Sejarah Pemikiran Islam. Jakarta: Amzah.
Kementerian Agama Republik Indonesia. 2013. Akidah Akhlak. Jakarta: Direktorat Pendiikan Madrasah.
Asy Syak’ah Mustofa, 1994. Islam Tidak Bermazhab. Jakarta: Gema Insani Pers.
Rozak, Abdul dan Anwar, Rosihon. 2014. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia.
Tim Penulis MUI Pusat, 2013. Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah di Indonesia. Depok: Gema Insani.
Yunan Yusuf, Muhammad. 2014.Alam Pikiran Islam Alam Pikiran Kalam. Jakarta: Prenamedia Group.







[1] Abul Yazid Abu Zaid Al-‘Ajami, Akidah Islam Menurut Empat Madzhab, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2012), hlm. 59.
[2]M. Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, Sejarah Pemikiran Islam.(Jakarta: Amzah, 2014), hlm. 177.
[3]M. Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, Sejarah Pemikiran Islam, hlm.178.
[4]M. Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, Sejarah Pemikiran Islam(Jakarta: Amzah, 2014), hlm. 176.
[5]M. Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, Sejarah Pemikiran Islam, hlm. 163
[6] Siradjudin Abbas,  Itiqad Ahlu Sunnah Wal Jamaah, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1988),  hlm. 292.
[7]Siradjudin Abbas,  Itiqad Ahlu Sunnah Wal Jamaah, hlm. 295.
[8]Siradjudin Abbas,  Itiqad Ahlu Sunnah Wal Jamaah, hlm. 300.
[9]Siradjudin Abbas,  Itiqad Ahlu Sunnah Wal Jamaah, hlm. 301.
[10]Siradjudin Abbas,  Itiqad Ahlu Sunnah Wal Jamaah, hlm. 303.
[11] Tim Penulis MUI Pusat, Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah di Indonesia (Depok: Gema Insani, 2013), hlm.29.
[12]Tim Penulis MUI Pusat, Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah di Indonesia, hlm. 31.
[13]Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2014), hlm. 116.
[14] Ris’an Rusli, Teologi Islam (Jakarta: Prenademedia, 2015), hlm. 218.
[15]Mustofa Muhammad Asy Syak’ah, Islam Tidak Bermazhab ( Jakarta: Gema Insani Press, 1994), hlm. 187.
[16]Ris’an Rusli, Teologi Islam (Jakarta: Prenademedia, 2015), hlm. 224
[17]Ris’an Rusli, Teologi Islam, hlm. 226.
[18]Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2014), hlm. 127.
[19]Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, hlm.127.
[20]Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, hlm. 128-129.
[21]Siradjudin Abbas, Itiqad Ahlusunnah Wal-Jama’ah, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1988), hlm. 70.
[22]Siradjudin Abbas, Itiqad Ahlusunnah Wal-Jama’ah, hlm. 70.
[23]Siradjudin Abbas, Itiqad Ahlusunnah Wal-Jama’ah, hlm. 71..
[24]Siradjudin Abbas, Itiqad Ahlusunnah Wal-Jama’ah, hlm. 71.
[25]Siradjudin Abbas, Itiqad Ahlusunnah Wal-Jama’ah, hlm, 72.
[26]Sahilun A. Nasir. Pemikiran Kalam (Teologi Islam), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 86.
[27]Sahilun A. Nasir. Pemikiran Kalam (Teologi Islam), hlm.. 92.
[28] Muhammad  Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Alam Pikiran Kalam,(Jakarta: Prenamedia Group, 2014), hlm. 161.
[29]Muhammad  Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Alam Pikiran Kalam, hlm. 164.
[30]Muhammad  Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Alam Pikiran Kalam, hlm. 95.
[31]Muhammad  Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Alam Pikiran Kalam,  hlm. 166.
[32] Siradjudin Abbas,  Itiqad Ahlu Sunnah Wal Jamaah, hlm. 296.
[33] Siradjudin Abbas,  Itiqad Ahlu Sunnah Wal Jamaah, hlm. 296.
[34] Siradjudin Abbas,  Itiqad Ahlu Sunnah Wal Jamaah, hlm. 297.
[35] Siradjudin Abbas,  Itiqad Ahlu Sunnah Wal Jamaah, hlm. 297.
[36] Siradjudin Abbas,  Itiqad Ahlu Sunnah Wal Jamaah, hlm. 298.
[37] Siradjudin Abbas,  Itiqad Ahlu Sunnah Wal Jamaah, hlm. 299.
[38] Siradjudin Abbas,  Itiqad Ahlu Sunnah Wal Jamaah, hlm. 299.
[39] Siradjudin Abbas,  Itiqad Ahlu Sunnah Wal Jamaah, hlm. 299.
[40] Siradjudin Abbas,  Itiqad Ahlu Sunnah Wal Jamaah, hlm. 230.
[41] Siradjudin Abbas,  Itiqad Ahlu Sunnah Wal Jamaah, hlm. 230.
[42] Ris’an Rusli, Teologi Islam (Jakarta: Prenademedia, 2015), hlm. 234.
[43] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemah.
[44] Muhammad  Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Alam Pikiran Kalam,(Jakarta: Prenamedia Group, 2014), hlm. 165.
[45] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemah.
[46]Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2014), hlm. 102.
[47]Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemah.
[48]Mustofa Muhammad Asy Syak’ah, Islam Tidak Bermazhab ( Jakarta: Gema Insani Press, 1994), hlm. 310.
[49] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Konsep Kewirausahaan Islam

Makalah Filsafat Empirisme

KAIDAH FIKIH KULLIYAT YANG KE 26-30