Syi'ah dan Mu'tazilah
SYI’AH DAN
MU’TAZILAH
Diajukan untukMemenuhiTugas
Mata Kuliah“TauhiddanIlmuKalam”
Dosen
Pegampu:Muh. Yusuf al-Hamdani, S.S.,M.Ag
DisusunOleh:
1.
SUCI
RAMADHANI PUTRI
2.
NINING
MULIANI
3.
LAELY
ANJARWATI
JURUSAN MU’AMALAH
FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MATARAM
2017/2018
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr.wb.
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Shalawat dan
salam senantiasa dihaturkan kepada Nabi
SAW. yang semua
perkataan-Nya adalah
wahyu. Dan semua perkataan, perbuatan, pengakuan dan sifat-Nya adalah panutan bagi semua umat-Nya.
Makalah
ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah “TAUHID DAN ILMU KALAM" di jurusan Muamalah, Universitas
Islam Negeri (UIN) Mataram.
Makalah ini berjudul ”PERKEMBANGAN
ALIRAN SYI’AH DAN MU’TAZILAH” membahas tentang pengertian aliran Syi’ah serta Mu’tazilah, tokoh-tokoh pada aliran
Syi’ah dan Mu’tazilah dan terakhir tentang dalil dari aliran Syi’ah dan
Mu’tazilah.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Khususnya
kepada Dosen Pengampu Bapak Muh. Yusuf al-Hamdani, S.S.,M.Ag
Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita..
Wassalamu’alaikum
wr.wb.
Mataram,
27
November 2017
Penulis
GLOSARIUM……………………………………………………………………24
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Islam adalah agama yang diturunkan
oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW untuk mengatur interaksi antar manusia
dengan Allah SWT sesamanya
dan dirinya sendiri. Manusia yang membentuk kesatuan politik, yang diikiat oleh
akidah dan sistem yang sama disebut umat. Dengan demikian dapat dinyatakan,
bahwa umat islam merupakan akumulasi manusia yang membentuk kesatuan politik,
meskipun terdiri dari berbagai bangsa, etnik dan bahasa yang bebeda.
Sejarah umat Islam dimulai dari
sejarah Nabi Muhammad SAW yang diutus oleh Allah SWT di Mekah dengan tujuan
untuk kemashalatan hidup manusia di dunia dan di akhirat, yang menjadi pedoman
hidup dan petunjuk menuju jalan kebenaran dengan syari’at-syari’at yang telah
ditentukan oleh Allah SWT
dalam firmannya (Al-Qur’an).
Perkembangan dakwah yang begitu
pesat itu dapat dicapai, sebab umat Islam pada waktu itu berada pada satu komando
dan satu kefahaman dalam akidah dibawah bimbingan Rasulllah SAW. Namun, setelah
Rasulullah SAW wafat dalam tubuh Islam mengalami
banyak sekali perpecahan mulai dari segi politik, dan pemerintahan hingga
akhirnya menjalar pada masalah akidah. Sehingga memunculkan banyak pemikiran,
faham aliran.
Namun, akibat dari kelemahan akal
daya manusia yang kurang mampunya memahami ajaran atau akidah islam yang telah
diajarkan oleh Rasuullah SAW secara utuh serta tingkat keimanan dan kefahaman
seseorang yang berbeda, mengakibatkan tokoh-tokoh islam yang juga merupakan
kumpulan orang-orang shalih sebagai panji-panjinya Islam, ikut terjerembab
kedalam lubang perpecahan dan perdebatan dalam Islam. Dan islam sendiri yang
dulunya diibaratkan batang tubuh yang satu, kini mulai berpecah belah, saling
menghujat antara satu dengan yang lain, saling membunuh demi memperebutkan
kekuasaan, dan demi membenarkan argumen masing-masing dalam masalah akidah,
pemikiran, serta keyakinan akan suatu ajaran dalam peribadatan yang pada
akhirnya memunculkan aliran-aliran yang mempunyai faham yang berbeda bahkan
berseberangan dan merupakan awal dari munculnya ilmu kalam, ilmu tauhid dan
filsafat dalam Islam yang membahas tentang faham aliran-liran dalam islam, perdebatan
dalam lingkup akidah Islam dan bahkan perdebatan tentang ketuhidan Allah
beserta sifat-sifatnya.[1]
1. Bagaimana
sejarah kemunculan dari aliran Syi’ah dan Mu’tazilah?
2. Siapa
saja tokoh-tokoh dari aliran Mu’tazilah?
3. Apa
saja ajaran-ajaran pokok dari aliran Syi’ah dan Mu’tazilah?
C. TUJUAN
1.
Untuk mengetahui sejarah dari
kemunculan aliran Syi’ah dan Mu’tazilah.
2.
Untuk mengetahui tokoh-tokoh
dari aliran Syi’ah dan Mu’tazilah.
3.
Untuk mengetahui ajaran-ajaran
pokok dari aliran Syi’ah dan Mu’tazilah.
4.
Untuk mengetahui dalil-dalil
yang menjadi dasar dari aliran Syi’ah dan Mu’tazilah.
1.
Agar mahasiswa
dapat lebih mengenal aliran-aliran dalam Islam.
2.
Agar mahasiswa
tidak taklid dalam mengikuti aliran
yang dipilihnya.
3.
Agar mahasiswa
memiliki sikap toleran dalam menyikapi keberagaman pemikiran dalam tubuh Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Sejarah Perkembangan
Syi’ah
Peristiwa
wafatnya Nabi, tanggal 8 Januari 632 M, telah menimbulkan perjuangan keagamaan
dan politik dalam masyarakat Islamyang kemudian mengakibatkan perpecahan umat
menjadi dua golongan, golongan Sunni dan golongan Syi’ah. Dengan meninggalnya Nabi
, umat Islam kehilangan pemimpin yang dapat menyelesaikan segala persoalan yang
mereka hadapi. Sementara itu, Nabi tidak
menunjuk pemimpin sebagi gantinya. Lalu, timbullah perselisihan, golongan siapa
yang menggantikan kepemimpinan Nabi
? Dan bagaimana cara pemilihan itu dilangsungkan? Ayat-ayat Al-Qur’an sendiri
tidak secara jelas menyebutkan siapa yang akan memimpin.[2]
Kata
Syi’ah adalah akar kata dari syaa’a.
tasyaya’a, yang berarti pihak, partai, dan kelompok. Pengertian kata syi’ah
telah dikenal sebelum datangnya ajaran Islam. Namun kata ini belakangan lebih
tertuju pada Syi’ah Ali, yaitu pengikut suatu aliran yang mencintai keturunan Nabi dan menaati pemimpin-pemimpin yang diangkat
dari keluarga dan keturunan Nabi (ahl al-bait).[3]
Pengertian
pengikut yang memihak Ali, menurut al-Nubakhti, telah dikenal semasa Nabi masih hidup. Namun A. Mahmud Shubhi,
berpendapat bahwa pertumbuhan aliran Syi’ah muncul sesudah wafatnya Nabi dan hasil konsensus para sahabat, Ali menolak
pembaiatan terhadap Abu-Bakar. Pendapat lain menyebutkan munculnya setelah
terjadinya kekacauan di masa Usman yang berakhir dengan kematiannya. Ada pula
yang mengatakan setelah perang Shiffin
dan setelah pembunuhan Husain.[4]
Bagi
Syi’ah, pangkal kepercayaan tentang sahnya Ali sebagai penerus Nabi adalah
peristiwa Ghadir Khum,
saat perjalanan haji terakhir Nabi dari
Mekah ke Madinah, memilih Ali sebagai pimpinan umum dari umat Islam dan
menjadikan Ali sebagai pelindung, seperti Nabi
sendiri. Hadis-hadis Ghadir Khum
itu berbunyi, salah satu diantanya:
“Sesungguhnya
Allah adalah mala’ ku (pemimpinku),
dan aku adalah maula bagi setiap
mukmin.” Lalu beliau mengangkat tangan Ali bin Abi Thalib sambil bersabda,
“Siapa yang menganggap aku sebagai pemimpinnya maka dia ini (Ali) adalah juga
pemimpin baginya. Ya Allah cintailah siapa yang mencintainya dan musuhilah siapa yang memusuhinya.”
Terdapat
empat dugaan mengenai timbulnya al-tasyayyu’
(dukungan) terhadap Ali. Kesemuanya dikaitkan dengan peristiwa politik, yaitu:[5]
a. Wafatnya
Nabi dan pertemuan di Bani Tsaqifah serta keterlambatan Ali dalam membaiat Abu
Bakar.
b. Fitnah
pada masa Usman yang mencapai puncaknya dengan terbunuhnya Usman.
c. Pertempuran
Shiffin dan peristiwa tahkim
(arbitrase).
d. Peristiwa
terbunuhnya Husain bin Ali di Karbala.
e. Sejarah
Perkembangan Aliran Mu'tazilah
2. Sejarah
Perkembangan Mu’tazilah
Aliran
Mu’taazilah ini muncul sebagai reaksi atas pertentangan antara aliran Khawarij
dan aliran Murjiah,mengenai orang mukmin yang berdosa besar. Menurut kaum
Khawarij, orang mukmin yang berdosa besar sudah tidak dapat dikatakan mukmin
lagi,melainkan kafir. Namun, menurut kaum Murjiah tetap menganggap orang mukmin
yang berdosa besar itu sebagai mukmin, bukan kafir. Menghadapi pendapat yang
kontroversial ini,
Wasil yang ketika itu menjadi murid Hasan al-Basri mengatakan bahwa orang
mukmin yang berdosa besar menempati posisi antara mukmin dan kafir. Tegasnya,
orang itu bukanlah mukmin atau kafir malainkan diantara keduanya. Demikian
pendapat Wasil sehingga menjadi salah satu doktrin Mu’tazilah yaitu al Manzilah
bin al Manzilatain (posisi diantara dua posisi).[6]
Setelah menyatakan pendapatnya itu,
Wasil bin Atha meninggalkan perguruan Hasan al-Basri lalu membentuk kelompok
sendiri. Kelompok itulah yang menjadi cikal bakal Mu’tazilah. Setelah Wasil
memisahkan diri, Hasan al-Basri berkata “I’tazala’ann Wasil (Wasil menjauhkan
diri dari kita)”. Menurut Syahristani dari kata I’tazala’ann itulah lahirnya
istilah Mu’tazilah yang artinya orang yang memisahkan diri. Pendapat lain
menyatakan bahwa Mu’tazilah memang berarti memisahkan diri, tetapi tidak selalu
memisahkan diri secara fisik. Mu’tazilah dapat berarti memisahkan diri dari
pendapat-pendapat yang berkembang sebelumnya karena memang pendapat Mu’tazilah
berbeda dengan pendapat sebelumnya. Selain nama Mu’tazilah, pengikut aliran ini
juga sering disebut kelompok Ahl at Tauhid (golongan
pembela tauhid), kelompok Ahl al-‘Adl
(pendukung paham keadilan Tuhan), dan kelompok Kadariah.[7]
Pada awal perkembangannya, aliran ini
tidak mendapat simpati dari umat Islam, khususnya dikalangan masyarakat awam,
karena mereka sulit memahami ajaran-ajaran Mu’tazilah yang bersifat rasional
dan filosofis. Alasan lain adalah kaum mu’tazilah dinilai tidak teguh berpegang
pada sunah Rasulullah dan para sahabat. Kelompok ini baru memperoleh dukungan
yang luas, terutama dikalangan Intelektual, yaitu pada masa pemerintahan
Khalifah al-Ma’mun, penguasa Abbasiyah (198-218H/813-833M). kedudukan Mu’tazilah
semakin kuat setelah al-Ma’mun menyatakan sebagai mazhab resmi Negara. Hal ini
disebabkan karena al-Ma’mun sejak kecil dididik dalam tradisi Yunani yang gemar
akan Ilmu pengetahuan dan filsafat.[8]
Dalam fase kejayaannya itu, Mu’tazilah
sebagai golongan yang mendapat dukungan penguasa memaksakan ajarannya kepada
kelompok lain. Pemaksaan ajaran ini dikenal dalam sejarah dengan peristiwa mihnah. Mihnah itu timbul sehubungan dengan paham-paham Khalq Al Quran. Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Al-Quran
adalah kalam Allah SWT yang tersusun dari suara dan huruf-huruf. Al-Quran itu
makhluk dalam arti diciptakan Tuhan. Karena diciptakan berarti ia sesuatu yang
baru, jadi tidak qadim. Jika Al-quran
itu dikatakan qadim, maka akan timbul
kesimpulan bahwa ada yang qadim
selain Allah SWT dan hukumnya Musyrik. Khalifah al-Ma’mun menginstruksikan
supaya diadakan pengujian terhadap aparat pemerintahan (mihnah) tentang keyakinan mereka akan paham ini. Menurut al-Ma’mun
orang yang mempunyai keyakinan bahwa Al-Quran adalah qadim tidak dapat dipakai untuk menempati posisi penting dalam
pemerintahan. Dalam pelaksanaannya, bukan hanya aparat pemerintah yang
diperiksa melainkan juga tokoh-tokoh masyarakat. Sejarah mencatat banyak tokoh
dan pejabat pemerintah yang disiksa, diantaranya Imam Hanbali, bahkan ada
ulama’ yang dibunuh karena tidak sepaham dengan ajaran Mu’tazilah. Peristiwa
ini sangat menggoncang umat Islam dan baru berakhir setelah al Mutawakkil
(memerintah 232-247 H / 847-861 M).[9]
Di masa al-Mutawakkil, dominasi aliran Mu’tazilah
menurun dan menjadi semakin tidak simpatik dimata masyarakat. Keadaan ini
semakin buruk setelah al Mutawakkil membatalkan pemakaian mazhab Mu’tazilah
sebagai mazhab resmi Negara dan menggantinya dengan aliran Asy’ariyah. Dalam
perjalanan selanjutnya, kaum Mu’tazilah muncul kembali di zaman berkuasanya
Dinasti Buwaihi di Baghdad. Akan tetapi kesempatan ini tidak berlangsung lama.[10]
1.
Aliran-aliran
dalam Syi’ah
Para ulama pakar perbandingan aliran Islam mencatat
bahwa Syi’ah itu ada 3 jenis golongan: pertama, Syi’ah ‘Ghaliyah’ atau ‘Ghulat’ yang berpandangan ekstrim
seputar Ali bin Abi Thalib ra sampai pada taraf menuhankan Ali atau
menganggapnya Nabi. Kedua, Syi’ah Rafidhah
yang mengklaim adanya nash atau
wasiat penunjukan Ali sebagai khalifah dan berlepas diri dari dan bahkan
mencaci dan mengkafirkan para khlalifah sebelum Ali dan mayoritas para sahabat Nabi.
Kelompok ini telah meneguhkan dirinya kedalam sekte Imamiyah Itsna ‘Asyariah dan Isma’iliyah.
Ketiga, Syiah ‘Zaidiyah’ yaitu
pengikut Zaid bin Ali Zainal Abidin yang mengutamakan Ali ra atas sahabat lain
dan menghormati seerta loyal kepada Abu Bakar dan Umar ra sebagai khalifah yang
sah.[11]
a.
Syi’ah
Itsna ‘Asyariah
1) Asal-usul
Syiah Itsna ‘Asyariah
Sekte
ini menamakan dirinya Itsna ‘Asyariah
karena mereka mempercayai kedua belas imam. Kedua belas imam itu yaitu sebagai
berikut. Ali bin Abi Thalib, Hasan bin Ali, Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Al-Baqir, Abdullah Ja’far Ash-Shadiq, Musa
Al-Kazhim, Ali Ar-Rida, Al-Jawwad, Ali
Al-Hadi, Hasan Al-Askari, dan terakhir adalah
Al-Mahdi sebagai Imam kedua belas. Akidah mereka yaitu meyakini
kemutlakan imamah Ali bin Abi Thalib dan beranggapan bahwa dialah yang
diwasiati Nabi untuk menjadi khalifah sesudah beliau wafat, untuk kemudian
diberikan kepada keturunannya.[12]
Nama
dua belas (Itsna ‘Asyariah) ini
mengandung pesan penting dalam tinjauan sejarah, yaitu bahwa golongan ini
terbentuk setelah lahirnya semua imam yang berjumlah dua belas.
2) Ajaran
Syi’ah Itsna ‘Asyariah
Kira-kira
pada tahun 260 H / 878 M. imam kedua belas, Imam Al-Mahdi dinyatakan gaibah (occultation) oleh para pengikut sekte ini. Al-Mahdi bersembunyi dibawah ruang bawah
tanah rumah ayahnya setelah itu tidak kembali. Kembalinya Imam Al-Mahdi ini
selalu ditunggu-ditunggu oleh sekte Itsna
‘Asyariah dan ciri khas kehadirannya
adalah sebagai “ratu adil” yang akan turun pada akhir zaman. Oleh karena
itu, Al-Mahdi dijuluki sebagai Imam
Mahdi Al-Muntazhar (yang ditunggu)[13].
Sekte
ini juga menambahkan rukun Islam yang lima menjadi enam, yaitu i’tiqad bil imamah (mempercayai imamah).
Mereka berkeyakinan bahwa imamah adalah martabat yang datang dari Allah,
sejajar dengan keNabian. Bedanya jika Nabi menerima wahyu, sedangkan imamah tidak, hanya saja ia memiliki
tanggung jawab untuk meneruskan tugas yang dilakukan oleh seorang Nabi. Jadi, Nabi
menyampaikan apa yang diamanatkan oleh Allah sedangkan imamah menyampaikan apa
yang di ajarkan oleh Nabi. Syi’ah Itsna
‘Asyariyah tidak mengakui kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Usman
bin Affan[14].
b.
Syi’ah
Zaidiyyah
1) Asal-usul
penamaan Syiah Zaidiyah
Kelompok ini dinamakan Syi’ah Zaidiyah karena mereka adalah kelompok aliran Syi’ah yang menjadi
pengikut imam Zaid, atau yang nama lengkapnya Zaid bin Zainal Abidin. Kelompok
ini, seperti dilihat dari namanya, adalah pengikut Ali. Kelompok ini meyakini 5 imam. Yaitu Ali bin
abi Thalib, Hasan bin Ali, Husain bin Ali, Ali bin Husain, Zaid bin Ali. Kelompok
ini merupakan kelompok Syi’ah imamiyyah yang jauh dari perbuatan berlebihan dan
tidak mengutuk Abu Bakar serta Umar bin Khattab. Mereka bahkan mengatakan
dengan tegas kebenaran dan andil kedua khalifah itu, sekalipun mereka
menyatakan bahwa Ali lebih afdhal
dibanding kedua khalifah tersebut[15].
2) Ajaran
Syi’ah Zaidiyah
Menurut
keyakinan Syi’ah Zaidiyah, imamah
bukanlah karena ketetapan nash, namun siapapun boleh menjadi pemimpin asalkan
memenuhi persyaratan. Dengan demikian, makna imamah menurut mereka bukanlah
diwarisi tetapi berdasarkan bai’at. Pandangan semacam ini memperbolehkan adanya
dua iman pada dua negeri yang berlainan. Konsep ini bersebrangan dengan konsep Itsna ‘Asy’ariyah.Mazhab Zaidiyyah pada
dasarnya condong kepada Mu’tazilah. Dan dari sekian banyak mazhab Syi’ah, Zaidiyah merupakan mazhab yang paling
dekat dengan Ahlus Sunnah ajarannya. Kendatipun memiliki banyak kesamaan namun
tetap ada yang beda. Hal ini umum terjadi, misalnya mereka mengucapkan hayya ‘alal khairil ‘amal ketika adzan
seperti umumnya kaum Syi’ah, dan juga mereka menganggap bahwa sholat ‘ied
adalah fardhu ‘ain yang boleh dilaksanakan
sendiri-sendiri ataupun berjama’ah.[16]
Pada
mulanya, Zaid adalah murid dari pemimpin aliran Mu’tazilah. Dari sinilah,
tampak dengan jelas pengaruh pemikiran mazhab tersebut. Ada sebagian ulama yang
menganggap bahwa Zaidiyyah merupakan mazhab Ahlus Sunnah kelima dari empat mazhab
Ahlus Sunnah yang dikenal.[17]
c. Syi’ah Ghulat
1)
Asal-usul Penamaan Syiah Ghulat
Istilah
Ghulat berasal dari kata ghala-yaghlu-ghuluw, artinya “bertambah”
dan “naik”. Ghala bi ad-din artinya memperkuat dan menjadi ekstrem
sehingga melampaui batas. Syi’ah Ghulat
berartikan kelompok pendukung Ali yang memiliki sikap berlebihan atau ekstrim.
Lebih jauh, Abu Zahrah menjelaskan bahwa Syi’ah Ghulat adalah kelompok yang menempatkan Ali pada derajat keTuhanan,
dan ada yang mengangkat pada derajat keNabian, bahkan lebih tinggi dari Nabi sendiri
. Berikut sekte-sekte Syi’ah Ghulat
yang terkenal, antara lain Sabahiyah, Kamaliyah, Albaiyah, Mughriyah,
Mansuriyah, Khattabiyah, Kayaliyah, Hisamiyah, Nu’miyah, Yunusiah, dan
Nasyisiah wa Ishaqiyah.[18]
Nama-nama
sekte tersebut menggunakan nama tokoh yang membawa atau pemimpinnya.
Sekte-sekte ini awalnya hanya satu sekte yaitu yang dibawa oleh Abdullah bin
Saba’ yang mengajarkan bahwa Ali adalah Tuhan. Kemudian Karena perbedaan
prinsip dan ajaran, Syi’ah Ghulat
terpecah menjadi beberapa sekte. Walaupun demikian, seluruh sekte ini pada
intinya mensepakati tentang hulul dan tanasukh.[19]
2) Ajaran
Syiah Ghulat
Adapun ajaran-ajaran Syi’ah Ghulat adalah sebagai berikut:[20]
a) Tanasukh adalah keluarnya roh
dari satu jasad dan mengambil tempat pada jasad yang lain. Paham ini diambil
dari falsafah Hindu. Penganut agama Hindu berkeyakinan bahwa roh disiksa dengan
cara berpindah ke tubuh hewan yang lebih rendah dan diberi pahala dengan cara
berpindah dari satu kehidupan pada satu kehidupan yang lebih tinggi. Syi’ah Ghulat menerapkan konsep ini dalam
konsep Imamiyahnya, sehingga ada yang menyatakan bahwa roh Allah berpindah
kepada Adam kemudian keapda Imam-imam secara turun-temurun.
b) Bada’ adalah keyakinan bahwa
Allah mengubah kehendak-Nya sejalan dengan perubahan ilmunya, serta dapat
memerintahkan perbuatan kemudian memerintahkan yang sebaliknya.
c) Raj’ah adalah keyakinan bahwa
salah imam yang mereka yaini akan kembali pada akhir zaman. Yang diyakini oleh
Syi’ah Ghulat akan turun adalah imam
Mahdi Al-Mumtazhar.
d) Tasbih artinya mempersamakan.
Syiah Ghulat menyerupakan salah
seorang imamnya dengan Tuhan atau menyerupakan Tuhan dengan makhluk.
e) Hulul artinya Tuhan berada
disetiap tempat, berbicara dengan semua bahasa dan ada pada setiap individu
manusia. Hulul bagi Syi’ah Ghulat berarti bahwa Tuhan menjelma
dalam diri manusia sehingga imam harus disembah.
f) Ghayba artinya menghilangnya imam Mahdi. Ghayba merupakan paham Syi’ah Ghulat
bahwa imam Mahdi ada didalam negeri ini namun tidak bisa dilihat dengan mata
biasa.
2.
Tokoh-tokoh
dalam Mu’tazilah
a. Wasil
bin Atha.
Wasil
bin Atha adalah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar ajaran Mu’tazilah.
Ada tiga ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu paham al-manzilah bain al-manzilatain, paham Kadariyah (yang diambilnya
dari Ma’bad dan Gailan, dua tokoh aliran Kadariah), dan paham peniadaan
sifat-sifat Tuhan. Dua dari tiga ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran Mu’tazilah,
yaitu al-manzilah bain al-manzilatain
dan peniadaan sifat-sifat Tuhan.[21]
b. Abu
Huzail al-Allaf.
Abu
Huzail al-‘Allaf (w. 235 H), seorang pengikut aliran Wasil bin Atha, mendirikan
sekolah Mu’tazilah pertama di kota Bashrah. Lewat sekolah ini, pemikiran
Mu’tazilah dikaji dan dikembangkan. Sekolah ini menekankan pengajaran tentang
rasionalisme dalam aspek pemikiran dan hukum Islam.[22]
Abu
Huzail al-Allaf adalah seorang filosof Islam. Ia mengetahui banyak falsafah Yunani
dan itu memudahkannya untuk menyusun ajaran-ajaran Mu’tazilah yang bercorak
filsafat. Ia antara lain membuat uraian mengenai pengertian nafy as-sifat. Ia menjelaskan bahwa Tuhan
Maha Mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya ini adalah Zat-Nya,
bukan Sifat-Nya; Tuhan Maha Kuasa dengan kekuasaan-Nya dan kekuasaan-Nya adalah
Zat-Nya dan seterusnya. Penjelasan dimaksudkan oleh Abu-Huzail untuk
menghindari adanya yang qadim selain Tuhan
karena kalau dikatakan ada sifat (dalam arti sesuatu yang melekat di luar zat Tuhan),
berarti sifat-Nya itu qadim. Ini akan
membawa kepada kemusyrikan. Ajarannya yang lain adalah bahwa Tuhan menganugerahkan
akal kepada manusia agar digunakan untuk membedakan yang baik dan yang buruk,
manusia wajib mengerjakan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang
buruk. Dengan akal itu pula manusia dapat sampai pada pengetahuan tentang
adanya Tuhan dan tentang kewajibannya berbuat baik kepada Tuhan. Selain itu ia
melahirkan dasar-dasar dari ajaran as-salah
wa alaslah.[23]
c. Al-Jubba’i
Al-Jubba’i
adalah guru Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariah. Pendapatnya yang
masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT, sifat Allah SWT, kewajiban manusia,
dan daya akal. Mengenai sifat Allah SWT, ia menerangkan bahwa Tuhan tidak
mempunyai sifat; kalau dikatakan Tuhan berkuasa, berkehendak, dan mengetahui,
berarti Ia berkuasa, berkehendak, dan mengetahui melalui esensi-Nya, bukan
dengan sifat-Nya. Lalu tentang kewajiban manusia, ia membaginya ke dalam dua
kelompok, yakni kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia melalui akalnya (wajibah
‘aqliah) dan kewajiban-kewajiban yang diketahui melaui ajaran-ajaran yang
dibawa para rasul dan Nabi (wajibah syar’iah).[24]
d. An-Nazzam
Pendapatnya
yang terpenting adalah mengenai keadilan Tuhan. Karena Tuhan itu Maha Adil, Ia
tidak berkuasa untuk berlaku zalim. Dalam hal ini berpendapat lebih jauh dari
gurunya, al-Allaf. Kalau Al-Allaf mangatakan bahwa Tuhan mustahil berbuat zalim
kepada hamba-Nya, maka
an-Nazzam menegaskan bahwa hal itu bukanlah hal yang mustahil,
bahkan Tuhan tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat zalim. Ia berpendapat
bahwa pebuatan zalim hanya dikerjakan oleh orang yang bodoh dan tidak sempurna,
sedangkan Tuhan jauh dari keadaan yang demikian. Ia juga mengeluarkan pendapat
mengenai mukjizat al-Qur’an. Menurutnya, mukjizat al-Qur’an terletak pada
kandungannya, bukan pada uslub (gaya
bahasa) dan balagah (retorika)-Nya.
Ia juga memberi penjelasan tentang kalam Allah SWT. Kalam adalah segalanya
sesuatu yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat didengar. Karena itu, kalam
adalah sesuatu yang bersifat baru dan tidak qadim.[25]
1.
Syi’ah
a.
Al-Ishmah
Menurut keyakinan golongan Syi’ah, bahwa imam-imam
mereka itu sebagaimana para Nabi adalah bersifat al-ishmah atau mash’um
dalam segala tindak lakunya, tidak pernah berbuat dosa besar maupun kecil,
tidak ada tanda-tanda berlaku maksiat, tidak boleh berbuat salah ataupun lupa.[26]
b.
Imam Al-Mahdi/Mahdawiyah
Datangnya juru selamat yang akan menyelamatkan
kehidupan manusia pada akhir zaman. Dikalangan Syi’ah imam Mahdi itu imam yang
kedua belas, yang diyakini setelah dilahirkan kemudian menghilang dalam waktu
yang lama. Setelah menghilang dalam waktu yang lama, ia akan datang untuk
memperbaiki dunia dengan kadilan. Yang telah dirusak penguasa-penguasa zalim.[27]
c.
Imamah
Menurut keyakinan golongan Syi’ah, mereka meyakini
adanya imam. Mereka menyebut pemimpin itu imam, bukan khalifah. Oleh sebab itu,
bagi Syi’ah imam bukan hanya sebagai pemimpin dalam hal urusan soal duniawi
saja. Melainkan juga berfungsi sebagai pemimpin agama. Imam mempunyai otoritas
untuk menafsirkan kehendak Allah SWT dalam bentuk hukum-hukum syariat, karena
para imam mendapat ilham dan petunjuk dari Allah SWT.[28]
d.
Asyura
Memperingati hari kesepuluh bulan Muharram, sebagai
hari berkabung atas wafatnya imam Husain bin Ali yang terbunuh di padang
Karbala. Dikalangan Syi’ah disebut dengan upacaha raudhah-khani, semacam
ritual atau prosesi gabngan dari khutbah, pembacaan sajak, ayat-ayat Al-Qur’an,
dan pertunjukan drama yang melukiskan kehidupan imam-imam yang menyedihkan.Dalam
helatan tersebut, terdapat pawai jalanan yang dilakukan
dengan ritual nyanyian, tangisan, dan terkadang memukul-mukul diri mereka
sendiri sampai berdarah sebagai symbol dalam merasakan derita yang dialami oleh
imam dalam musibah besar di padang karbala. Kegiatan ini terbentuk secara luas
pada masa Dinasti Safawi.[29]
e.
Al-Bada’
Keyakinan bahwa Allah dapat membatalkan ketentuan
yang telah Dia tetapkan.[30]
f.
Taqiyah
Sikap berhati-hati dengan menyembunyikan identitas,
karena khawatir bahaya mengancam. Dalam keyakinan Syi’ah seseorang boleh
menyembunyikan keyakinan agamanya atau beberapa praktik tertentu dari agamanya.
Hal itu dapat dilakukan bila ia menghadapi keadaan yang diperkirakan mungkin
atau pasti akan menimbulkan bahaya.[31]
2.
Mu’tazilah
a.
At-Tauhid
At-tauhid
(pengesaan Tuhan), merupakan prinsip utama dan intisari ajaran mu’tazilah.
Sebenarnya, setiap mazhab teologis dalam Islam memegang doktrin ini. Namun,
bagi mu’tazilah, tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari
segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kemahaesaan-Nya. Tuhanlah satusatunya
yang esa, yang unik dan tidak ada satupun yang menyamainya. Oleh karena itu,
hanya dialah yang qadim. Jika ada
lebih dari satu yang qadim, maka
telah menjadi ta’addud al-qudama
(berbilangnya dzat yang tak berpermulaan). Untuk memurnikan keesaan Tuhan (tazih), mu’tazilah menolak konsep Tuhan
memiliki sifat-sifat, menggambarkan fisik Tuhan (antromorfisme tajassum),
dan Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan
itu esa, tak ada satupun yang menyamai-Nya. Dia maha melihat, mendengar, kuasa,
mengetahui dan sebagainya. Namun, itu
semua bukanlah sifat Allah, melainkan dzatnya.[32]
Menurut
mereka, sifat adalah sesuatu yang melekat. Bila sifat Tuhan itu qadim, maka yang qadim itu berarti ada
dua, yaitu dzat dan sifatnya. Wasil bin Atha’ seperti yang dikutip oleh
Asy-Syahrastani mengatakan “siapa yang mengatakan sifat yang qadim, berarti telah menduakan Tuhan”.
Ini tidak dapat diterima karena merupakan perbuatan syirik. Apa yang disebut
dengan sifat menurut mu’tazilah adalah dzat Tuhan itu sendiri. Abu Hudzail,
sebagaimana dikutip oleh Musthafa , berkata “Tuhan mengetahui dengan ilmu, dan
ilmu itu adalah Tuhan itu sendiri. Tuhan berkuasa dengan kekuasaannya, dan
kekuasaan itu adalah Tuhan itu sendiri”.[33]
Mu’tazilah berpendapat bahwa Al-Qur’an itu baru
(diciptakan), Al-qur’an adalah manifestasi dari kalam Tuhan, Al-Qur’an terdiri
atas rangkaian huruf, kata, dan bahasa yang satunya mendahului yang lainnya.[34]
b. Al-Adl
Ajaran
dasar Mu’tazilah yang kedua adalah al-adl yang berarti “Tuhan maha
adil”. Tuhan dikatakan adil jika bertindak hanya yang baik (ash-saleh)
dan terbaik (al-ashlah), dan
bukan yang tidak baik. Begitu pula Tuhan itu dipandang adil jika tidak menyalahi/melanggar janjinya. Dengan
demikian, Tuhan terikat oleh janjinya. Ajaran tentang keadilan ini berkaitan
erat dengan beberapa hal, antara lain:[35]
1)
Perbuatan
manusia
2)
Berbuat baik dan terbaik
3)
Mengutus rasul
c. Al-Wa’d Wa Al-Wa’id
Ajaran
ketiga ini sangat erat hubungannya dengan ajaran kedua di atas. Al-wa’d wa
al-wa’id berarti janji dan ancaman. Tuhan yang maha adil dan maha
bijaksana tidak akan melanggar janjinya.
Perbuatan Tuhan terikat dan dibatasi oleh janjinya sendiri, yaitu memberi
pahala berupa surga bagi orang yang mau berbuat baik (al-muthi) dan
mengancam dengan siksa neraka bagi orang yang durhaka (alashi). Begitu pula janji Tuhan untuk memberi
pengampunan bagi yang mau bertobat nashuha, pasti benar adanya. Ini
sesuai dengan prinsip keadilan.[36]
Jelasnya, siapapun yang berbuat baik akan dibalas dengan
kebaikan pula dan juga sebaliknya, siapa yang
berbuat jahat akan dibalas dengan siksa yang pedih. Ajaran ketiga ini
tidak memberi peluang bagi Tuhan, selain menuaikan janjinya. Yaitu memberi
pahala bagi orang yang taat dan menyiksa orang-orang yang berbuat maksiat,
kecuali bagi yang sudah bertobat nasuha. Tidak ada harapan bagi
pendurhaka, kecuali bila ia bertobat. Kejahatan dan kedurhakaan yang
menyebabkan pelakunya masuk ke dalam neraka, merupakan dosa besar, sedangkan
bagi dosa kecil, mungkin Allah mengampuninya.
Ajaran ini tampaknya bertujuan mendorong menusia berbuat baik dan tidak
melakukan perbuatan dosa.[37]
d. Manzilah Bain Al-Manzilataini
Inilah
ajaran yang mula-mula melahirkannya aliran Mu’tazilah. Ajaran ini terkenal
dengan status orang beriman (mukmin)
yang melakukan dosa besar. Seperti yang tercatat dalam sejarah, khawarij
menganggap orang tersebut sebagai orang musyrik,
sedangkan murji’ah berpendapat bahwa orang itu tetap mukmin dan dosanya sepenuhnya diserahkan sepenuhnya pada Tuhan.
Boleh jadi dosa itu diampuni Tuhan.[38]
Pokok
ajaran ini adalah bahwa muKmin yang melakukan dosa besar dan belum tobat bukan lagi mukmin atau kafir, tetapi fasik. Izutsu, dengan mengutip ibn
hazm, menguraikan pandangan mu’tazilah sebagia berikut “orang yang melakukan
dosa besar disebut fasiqin. Ia bukan mukmin bukan pula kafir, bukan pula
munafik (hipokrit)”. Mengomentari pendapat tersebut izutsu menjelaskan bahwa
sikap mu’tazilah adalah membolehkan hubungan perkawinan dan warisan antara mukmin
pelaku dosa besar dan mukmin lain dan dihalalkannya binatang sembelihannya.[39]
e. Al- Amr Bi Al-Ma’ruf Wa An-Nahy An-Munkar
Ajaran
dasar yang kelima adalah menyuruh pada kebajikan dan melarang pada kemunkaran (Al-amr
bi Al-ma’ruf wa An-nahy an-Munkar). Ajaran ini menekankan keberpihakan
kepada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan konsekuensi logis dari keimanan
seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik,
diantaranya dengan mengajak pada kebajikan dan melarang pada kemungkaran.[40]
Perbedaan
mazhab Mu’tazilah dengan mazhab yang lain mengenai ajaran kelima ini terletak
pada tatanan pelaksanaannya. Menurut Mu’tazilah, jika memang diperlukan,
kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut. Sejarahpun telah
mencatat kekerasan yang pernah dilakukannya ketika menyiarkan ajaran-ajarannya.[41]
1. Syi’ah
a. Keimanan
Ali dan arti pentingnya ahl al-bait[42]
Qs. Al-Ma’idah ayat 67. [43]
*$pkr'¯»tãAqߧ9$#õ÷Ïk=t/!$tBtAÌRé&øs9Î)`ÏBy7Îi/¢(bÎ)uróO©9ö@yèøÿs?$yJsù|Møó¯=t/¼çmtGs9$yÍ4ª!$#urßJÅÁ÷ètz`ÏBĨ$¨Z9$#3¨bÎ)©!$#wÏökutPöqs)ø9$#tûïÍÏÿ»s3ø9$#ÇÏÐÈ
“Hai
rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak
kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan
amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (Q.S.Al-Ma’idah ayat 67).
b. Bukti
atas keimanan Ali[44]
Qs. Al-Ma’idah ayat 3.[45]
tPöquø9$#àMù=yJø.r&öNä3s9öNä3oYÏàMôJoÿøCr&uröNä3øn=tæÓÉLyJ÷èÏRàMÅÊuurãNä3s9zN»n=óM}$#$YYÏ4Ç`yJsù§äÜôÊ$#Îû>p|ÁuKøxCuöxî7#ÏR$yftGãB5OøO\b} ¨bÎ*sù©!$#ÖqàÿxîÒOÏm§ÇÌÈ
“Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk
(mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan
takutlah kepada-Ku. pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan
telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama
bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa,
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S.Al-Ma’idah ayat 3).
2. Mu’tazilah
a.
Dalil tentang
bahwa tidak ada yang menyamai Allah[46]
Q.S. Asy-Syura ayat 11.[47]
ãÏÛ$sùÏNºuq»yJ¡¡9$#ÇÚöF{$#ur4@yèy_/ä3s9ô`ÏiBöNä3Å¡àÿRr&$[_ºurør&z`ÏBurÉO»yè÷RF{$#$[_ºurør&(öNä.ätuõtÏmÏù4}§øs9¾ÏmÎ=÷WÏJx.Öäïx«(uqèdurßìÏJ¡¡9$#çÅÁt7ø9$#ÇÊÊÈ
“
(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu
sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan- pasangan
(pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. tidak ada
sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.”
(Q.S. Asy-Syura ayat 11)
b. Dalil
alasan ketidakterlibatan mereka dalam perang Jamal dan Shiffin[48]
Q.S. Al-Hujarat ayat 9.[49]
bÎ)urÈb$tGxÿͬ!$sÛz`ÏBtûüÏZÏB÷sßJø9$#(#qè=tGtGø%$#(#qßsÎ=ô¹r'sù$yJåks]÷t/(.bÎ*sùôMtót/$yJßg1y÷nÎ)n?tã3t÷zW{$#(#qè=ÏG»s)sùÓÉL©9$#ÓÈöö7s?4Ó®LymuäþÅ"s?#n<Î)ÌøBr&«!$#4bÎ*sùôNuä!$sù(#qßsÎ=ô¹r'sù$yJåks]÷t/ÉAôyèø9$$Î/(#þqäÜÅ¡ø%r&ur(¨bÎ)©!$#=ÏtäúüÏÜÅ¡ø)ßJø9$#ÇÒÈ
“Dan
kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu
damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian terhadap
yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut
kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya
menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai
orang-orang yang Berlaku adil.” (Q.S. Al-Hujarat ayat 9)
BAB III
PENUTUP
Aliran-aliran ilmu kalam awalnya muncul
akibat perbedaan pandangan dalam berpolitik, namun akhirnya melebar sehingga
juga mencakup bidang akidah. Dalam sejarah ada banyak sekali alian-aliran ilmu kalam yang
pernah tercatat dalam sejarah. Diantaranya ialah aliran Syi’ah dan Mu’tazilah.
Pokok-pokok dari ajaran Syi’ah ialah Tauhid, Al-‘Adl, An-Nubuwwah, Al Imamah, dan Al-Ma’ad. Sedangkan Mu’tazilah
pokok-pokok ajarannya yaitu Tauhid,
Al-Adl, Al-Wa’d wa Al-Wa’id, Manzila baina Manzilatain, dan Al- Amr Bi Al-Ma’ruf Wa An-Nahy An-Munkar.
Saran kami bagi para teman-teman
ataupun pembaca pada umunya agar janganlah langsung menganggap aliran-aliran
tertentu sesat. Tapi kita harus bisa membedakan. Bagaimana? Yaitu dengan
mengenalnya. Keberagaman adalah sesuatu yang bagus sesungguhnya. Karena hal itu
menandakan bahwa umat Islam ada kemauan untuk berpikir.
GLOSARIUM
Konsensus : kesepakatan
atau kata pemufakatan bersama (mengenai pendapat, pendirian, dsb) yang dicapai
melalui kebulatan suara.
Sekte : kelompok orang
yang mempunyai kepercayaan atau pandangan agama yang sama, yang berbeda dari
pandagan agama yang lebih lazim diterima oleh para penganut agama tersebut.
Mayoritas : jumlah
orang terbanyak yang memperlihatkan ciri tertentu menurut suatu patokan
dibandngkan dengan jumlah yang lain yang tidak memperlihatkan ciri itu.
Filsafat : berpikir sedalam-dalamnya untuk mencapai
sebuah kesimpulan yang bermanfaat.
Doktrin : ajaran atau asas suatu aliran keagamaan.
Ilham : petunjuk Tuhan yang timbul di hati
Rasional : logis atau dapat diterima oleh akal.
Zalim : tidak meletakkan sesuatu pada tempatnya
Akidah : kepercayaan dasar atau keyakinan pokok.
Khalifah : pemimpin suatunegara yang dasar negaranya
menggunakan hokum Islam.
Mukmin : istilah bagi orang yang beriman kepada
Allah SWT.
Kafir : orang yang tidak percaya kepada Allah SWT
dan Rasul-Nya.
Filosofis : ungkapan
yang berdasarkan filsafat.
Loyal : patuh atau setia
Kalam : perkataan.
Otoritas : kekuasaan penuh.
Ekstrem : yang paling keras pendapatnya atau
pemikirannya.
Mazhab : aliran hukum fikih yang menjadi pedoman
umat Islam.
Intelektual : orang yang berpendidikan tinggi.
Musyrik : sebutan bagi orang yang kafir.
Imam : pemimpun agama.
DAFTAR
PUSTAKA
.
A. Nasir. Sahilun. 2012. Pemikiran Kalam (Teologi Islam), Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
Abbas,
Siradjudin. 1988. Itiqad Ahlu Sunnah Wal Jamaah. Jakarta:
Pustaka Tarbiyah.
Abul Yazid Abu Zaid Al-’Ajami. 2012. Akidah
Islam Menurut Empat Mazhab, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar.
Amin, Nurdin dan Fauzi, Abbas Afifi. 2014. Sejarah
Pemikiran Islam. Jakarta: Amzah.
Kementerian
Agama Republik Indonesia. 2013. Akidah
Akhlak. Jakarta: Direktorat
Pendiikan Madrasah.
Asy Syak’ah Mustofa, 1994. Islam
Tidak Bermazhab. Jakarta: Gema Insani Pers.
Rozak,
Abdul dan Anwar, Rosihon. 2014. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia.
Tim Penulis MUI Pusat, 2013. Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan
Syi’ah di Indonesia. Depok: Gema Insani.
Yunan Yusuf, Muhammad. 2014.Alam Pikiran Islam Alam Pikiran
Kalam. Jakarta: Prenamedia Group.
[1] Abul Yazid Abu Zaid Al-‘Ajami, Akidah Islam Menurut Empat Madzhab, (Jakarta
Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2012), hlm. 59.
[3]M. Amin Nurdin dan Afifi Fauzi
Abbas, Sejarah Pemikiran Islam, hlm.178.
[11] Tim Penulis
MUI Pusat, Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah di Indonesia (Depok:
Gema Insani, 2013), hlm.29.
[13]Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia,
2014), hlm. 116.
[14]
Ris’an Rusli, Teologi Islam (Jakarta: Prenademedia, 2015), hlm. 218.
[15]Mustofa Muhammad Asy Syak’ah, Islam Tidak Bermazhab ( Jakarta: Gema
Insani Press, 1994), hlm. 187.
[16]Ris’an
Rusli, Teologi Islam (Jakarta: Prenademedia, 2015), hlm. 224
[18]Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia,
2014), hlm. 127.
[21]Siradjudin
Abbas, Itiqad Ahlusunnah Wal-Jama’ah, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1988),
hlm. 70.
[26]Sahilun A.
Nasir. Pemikiran Kalam (Teologi Islam), (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2012), hlm. 86.
[27]Sahilun A.
Nasir. Pemikiran Kalam (Teologi Islam), hlm.. 92.
[28] Muhammad Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Alam
Pikiran Kalam,(Jakarta: Prenamedia Group, 2014), hlm. 161.
[42]
Ris’an Rusli, Teologi Islam (Jakarta: Prenademedia, 2015), hlm. 234.
[44]
Muhammad Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Alam
Pikiran Kalam,(Jakarta: Prenamedia Group, 2014), hlm. 165.
[46]Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia,
2014), hlm. 102.
[48]Mustofa Muhammad Asy Syak’ah, Islam Tidak Bermazhab ( Jakarta: Gema
Insani Press, 1994), hlm. 310.
Komentar
Posting Komentar