Sejarah Awal Pembentukan Hukum Islam

MAKALAH
SEJARAH AWAL PEMBENTUKAN HUKUM ISLAM (SYARIAH)
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “TARIKH TASYRI
Dosen Pengampu: Drs. H. M. Fachrir Rahman, M.A

SUCI RAMADHANI PUTRI
MUH. SUJASWIN ARIADI


JURUSAN MUAMALAH
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM
2018



KATA PENGANTAR


Assalamu’alaikum wr.wb.
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat dan salam senantiasa  kita haturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam yang gelap gulita menuju alam yang terang benderang. Dan semua perkataan, perbuatan, pengakuan dan sifatnya adalah panutan bagi semua umatnya.
 Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Tarikh Tasyri’" pada      jurusan Muamalah, Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram. Makalah ini berjudul ”Sejarah Awal Pembentukan Hukum Islam” yang membahas tentang syariat Islam dan hukum Arab pra-Islam.
Demikianlah yang dapat kami sampaikan, kurang lebihnya kami mohon maaf bila ada salah-salah kata. Sesungguhnya segala kekurangan dan kesalahan itu datangnya dari kami sendiri. Sedangkan segala kelebihan itu datangnya dari Allah SWT semoga Allah SWT meridhai kita. Tiada gading yang tak retak. Sekian.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
                                                            Mataram, 27 Februari 2018

                                                                                                            Kelompok 01



DAFTAR ISI








BAB I

PENDAHULUAN


Sebelum Syariat datang menghampiri bangsa Arab pra-Islam, merke sebenarnya telah mempunyai sistem hukum tersendiri, namun sistem hukum yang mereka jalani terkadang berat sebelah. Yang kuat menindas yang lemah. karenanyalah syariat datang untuk memperbaiki sistem hukum yang demikian. Menghadirkan sistem hukum baru yang menjunjung niali keadilan dan juga kehormatan khusunya bagi perempuan.
Disaat syariat datang, adat ataupun sistem hukum yang sudah berlaku pada bangsa Arab pra-Islam tidaklanh langsung dihapus total begitu saja, tetapi ada beberapa yang diserap, setelah melalui proses penyariangan. Jika memang baik maka diadopsi dan jika tidak baik maka di buang. Dan jika baik tetapi ada tidak baiknya, maka yang tidak baik itu di buang, lalu disisakan yang baiknya saja. Seperti konsep thalaq dan masih banyak lagi.
1.      Bagaimana kondisi sosial dan sistem hukum bangsa Arab pra-Islam?
2.      Apa yang dimaksud dengan syariat dan apa saja objek kajiannya?
3.      Apa saja rekontruksi yang terjadi dengan sistem hukum bangsa Arab pra-Islam dengan sistem hukum Islam (Syariat)?
4.      Apa tujuan dari syariat?
1        Agar kita bisa memetik pelajaran dari kondisi bangsa Arab pra-Islam.
2        Agar kita lebih mengenal dan memahami apa itu syariat.
3        Agar kita mengetahui apa saja sistem hukum bangsa Arab pra-Islam yang diadosi oleh Islam ke dalam syariat.

BAB II

PEMBAHASAN


Sebelum diutusnya baginda Rasulullah Saw, bangsa Arab hidup dalam suasanana yang beragam, baik dari aspek sosial, ekonomi, politik dan perundangan. Dari aspek sosial, bangsa Arab adalah bangsa yang ummy (tidak menulis), tidak memiliki ilmu, seni juga termasuk akhlak, adat kebiasaan kecuali sangat sedikit sekali dan sudah dapat dipastikan dengan keadaan seperti ini tidak akan dapat membangun sebuah aturan, meletakkan dasar-dasar perundang-undangan yang dapat menjamin sebuah kehidupan yang stabil dan hidup yang gemilang[1].
Atas dasar ini, maka tidak ditemukan daari mereka aspek sosial kecuali betapa besar perhatian mereka dengan ilmu lisan, syair, periwayatan biografi, sejarah dan sedikit ilmu nujum, ramalan bintang (zodiak), dan cuaca. Karena kondisi hisuplah yang menyebabkan mereka mempelajarinya dengan cara pengalaman dan bukan dengan cara mempelajari satu hakikat dan melatih diri dengan beberapa disiplin ilmu.
Bangsa Arab Pra-Islam mempunyai banyak kepercayaan. Diantaranya adalah  merupakan penyembah berhala (paganisme). Mereka mempunyai banyak tempat suci untuk pemujaan dan upacara keagamaan. Mereka menyerahkan  korban  pada Tuhan-tuhannya yang berwujud patung batu, dan mereka berarak keliling mengitari patung tersebut Sebanyak 360 patung yang mereka sembah. Diantaranya adalah Lata, Manat, Suwa dan Wadd. Selain menyembah berhala, sebenarnya pada bangsa Arab juga ada yang beragama Yahudi,, lalu ada juga yang menyembah matahari dan bintang (kaum sha’ibah), dan juga mereka ada yang menyembah api (kaum Majusi)[2].
Namun kepercayaan-kepercayaan itu hanya sedikit sekali yang memilih menganutnya. Sebenarnya di kawasan tetangga Arab tepatnya Syiria dan Absenya telah berkembang agama Kristen, namun hal itu tidak menarik bagi bangsa Arab.
Walaupun dengan beragamnya kepercayaan bangsa Arab pra-Islam, namun masih ada beberapa orang yang masih berpegang kepada ajaran nabi Ibrahim dan meyakini keesaan Allah. Mereka inilah yang berkeyakinan bahwa nanti akan muncul sebuah agama yang bersifat monoteisme yang akan menghilangkan kehancuran dan kebodohan. Tepatnya bangsa Arab utara meyakini akan hal ini. Atau mereka disebut juga pengikut Hanifiyah (agama Ibrahimik)[3]. Mereka inilah yang menyerukan agar meninggalkan penyembahan berhala dan menganut ajaran Nabi Ibrahim as yang mengajak untuk mengesakan Allah beriman kepada hari kebangkitan, pahala dan siksa.
Keragaman ini membuat setiap agama tidak dapat membuat satu agamapun mendominasi di Jazirah Arab, namun begitu ia telah membuka jalan bagi nabi yang ditunggu, yaitu nabi Muhammad Saw.
Selain apa yang telah tercantum di atas, ada juga di Jazirah Arab orang yang mendapat petunjuk akhlak yang mulia dan fitrahnya yang masih suci, seperti membenci kezhaliman dan permusuhan. Membuang sikap melampaui batas dan ini terlihat sangat jelas sekali sebelum baginda nabi Muhammad Saw diangkat menjadi nabi. Mereka mengajak supaya berbuat adil melawan kezaliman yaitu ketika melakukan perjanjian Fudhul. Nabi Muhammad Saw ikut dalam perjanjian ini sebelum baginda diangkat menjadi nabi dengan sabdanya, “Sungguh aku telah menyaksikan di rumah Abdullah bin Jad’an perjanjian Fudhul, seandainya aku tidak (melakukannya lagi) niscaya aku akan dating dan aku lebih menyukainya daripada di beri unta merah”[4].
Dari aspek ekonomi, sebelum kenabian mereka hidup sebagai penggembala di pelosok kampung. Dari hasil menggembala ini sebenarnya tidaklah mencukupi kebutuhan bagi mereka untuk hidup karena jarangnya hujan. Sehingga mereka banyak melakukan perampokan dan pencurian[5].
Dari aspek politik, orang-orang Arab tidak mengenal sistem Negara dalam arti yang sesuai dengan undang-undang dasar, perundangan, kehakiman, dan tentara sebagai pelindung dari dalam. Inilah yang tidak ditemukan dari orang-orang Arab. Mereka hanya hidup dengan sistem kabilah. Setiap kabilah ada pemimpin kabilah[6].
Walaupun sistem kabilah ini dapat bertahan dan berkuasa, namun keputusan pemimpin kbailah tidak mengikat setiap orang pada kabilahnya. Setiap orang dalam kabilah memiliki hak untuk menolak dan tidak ada yang bisa menyatukan sistem kabilah ini. Sehingga sistem kabilah ini tidak menjamin terjadinya persatuan dan kesatuan pada orang-orang Arab itu sendiri.
Sedangkan dari aspek perundangan, banyak terpengaruh oleh kondisi politik dan ekonomi dalam peraturan perundangannya. Ini disebabkan oleh ketidaktahuan mereka tentang menulis (ummy) yang memang menjadi fenomena umum masyarakat saat itu[7]. Sehingga mereka tidak dapat melahirkan sebuah sistem perundangan yang sempurna, yang ada hanyalah aturan adat dan kebiasaan lokal.
Dalam aspek hubungan keluarga, mereka mengenal beberapa bentuk pernikahan. Yaitu diantaranya adalah seorang wanita dilamar dari orang tuanya lalu sang pelamar memberi mahar dan kemudian akad nikah. Antara calon suami dan wali setelah calon mempelai wanita dimintai izin dan disaksikan oleh para saksi. Dan akad inilah yang masih tersisa dari ajaran nabi Ibrahim.
Ada juga bentuk pernikahan lain yang sama dengan perzinaan, lalu dibatalkan oleh Islam karena tidak dapat menjaga kesucian pernikahan dan nasab serta menodai kehormatan wanita. Pernikahan ini disebut dengan nikah al-isytirak. Yaitu pernikahan yang ada beberapa laki-laki secara bersama-sama menggarap seorang wanita. Setelah terbukti hamil, si perempuan mengundang semua laki-laki yang telah menggarapnya dan mengumumkan bahwa ia telah hamil. Untuk menentukan bapak janin yang dikandungnya, ia menunjuk salah seorang laki-laki. Dan siapapun yang di tujuk oleh si wanita tidak boleh menolaknya[8].
Selain itu, ada juga yang namanya nikah badal. Yaitu saling tukar menukar istri tanpa bercerai terlebih dahulu dengan tujuan menghilangkan kejenuhan dalam hubungan seksual[9].
Praktik  poligami juga sudah menjadi kebiasaan pada saat itu tanpa mengenal batas. Seorang lelaki dapat menikahi sesuai dengan kemampuan keuangan dan kekuasaan yang dimiliki tanpa ada yang menghalangi.
Orang Arab juga mengenal istilah talak sebagai cara untuk memutus ikatan pernikahan dan hanya ada ditangan suami. Jika talak dijatuhkan maka suami juga memiliki masa iddah.
Bangsa Arab juga sudah mengenal sistem warisan, walaupun belum proposional dalam hal pembagian menurut kehendak dan wasiat orang yang akan meninggal[10]. Jika ia tidak memberi wasiat maka warisannya akan kembali kepada ahli waris ashabah yang laki-laki dan mampu berperang. Mereka juga tidak memberikan warisan kepada kaum wanita dan anak-anak walaupun hubungannya sangat dekat dengan si mayit.
Dalam tradisi mereka, pembagian warisan juga ditentukan oleh faktor perjanjian kabilah dan adopsi. Jika ada dua orang saling mengikat janji setia ketika keduanya masih hidup darah mereka adalah satu, saling mewarisi setelah salah satunya meninggal. Siapapun yang wafat sebelum yang lain maka yang masih hidup berhak mendapatkan harta yang sudah disepakati dari harta yang meninggal sesuai dengan akad perjanjian.
Sebelum itu, jika seorang mengadopi anak orang lain maka nasabnya berpindah kepada yang mengadopsinya dan bukan kepada orang tuanya yang asli, dan jika yang mengadopsiya meninggal, maka hartanya akan berpindah kepada anak angkatnya.
Dalam bidang transaksi keuangan, bangsa Arab juga mengenal banyak jenis transaksi untuk memindahkan harta dan manfaatnya dari tanggungan seperti jual beli, sewa-menyewa, dan jual beli salam. Akan tetapi, banyak jenis transaksi itu yang mereka lakukan mengandung unsur penipuan, dan jahalah (tidak diketahui) yang sangat terlihat seperti dalam jual beli manabadzah (menjual sssuatu dengan cara melemparkannya lalu akad sah), dan akad madazamah (menjual sesuatu dengan cara menyentuh barang yang dijual lalu akad sah), jual beli hushat (jual beli dengan cara melempar batu) atau jual beli hablul hablah[11].
Bangsa Arab juga mengenal jenis transaksi yang bertujuan meningkatkan penghasilan seperti akad asy-syarikah (perkongsian), mudharabah (bagi hasil), mereka juga mengenal transaksi rahn (gadai) dimana jika orang meminjam tidak sanggup membayar hutang jika sudah jatuh tempo maka barang yang digadaikan menjadi milik pemberi gadaian.
Praktik riba juga tersebar dianatara mereka dan mereka menganggapnya lebih penting dari jual beli karena keuntungannya dalam jual beli belum pasti, sedangkan dalam riba sudah pasti, dan kebanyakan harta orang-orang kaya Mekah berasal dari riba[12].
Dalam bidang jinayah (kriminalitas), tidak ada berita yang menjelaskan tentang hukuman tertentu kecuali dalam bab pembunuhan, seperti qishash untuk membunuh atas dasar kesengajaan, dan diyat (denda)  untuk pembunuhan yang disengaja. Namun, mereka tidak melaksanakannnya secara adil jika yang mereka hadapi seorang pembesar yang membunuh orang kecil atau seorang laki-laki yang membunuh seorang wanita, atau orang yang terhormat yang membunuh warga biasa. Bahkan, mereka tidak hanya membunuh seseorang yang membunuh orang yang terhormat saja. Namun, keluarga atau kabilahnya juga menjadi sasaran.
Dalam hal diyat (denda pembunuhan) mereka juga tidak bersikap adil, diyat orang-orang yang terhormat tidak sama dengan diyat orang biasa dan diyat seorang laki-laki lebih besar dari seorang wanita dan diyat orang dewasa lebih besar dari diyat anak kecil.
Bagaimanakah sejarah awal pensyariatan? Sebelumnya perlu kita ketahui, di dalam Islam ada kita kenal sebuah cabang ilmu yang bernama tarikh tasyri’.  Tarikh tasyri’ berasal dari dua kata, yaitu tarikh dan tasyri. Tarikh berarti sejarah sedangkan tasyri berarti penetapan peraturan, penjelasan hokum-hukum, dan penyusunan undang-undang. Jadi, yang dimaksud dengan tarikh tasyri menurut  Muhammad ‘Ali As-Sayyis adalah ilmu yang membahas keadaan hukum Islam sejak zaman Rasululah dan sesudahnya denga uraian dan periodesasinya ketika hukum itu berkembang, cirri-ciri spesifiknya, dan membahas keadaan fuqaha dan mujtahid saat merumuskan hukum itu.[13]
 Pensyariatan pada awal masa Islam di bagi menjadi dua periode[14]. Yaitu periode Mekah dan Madinah. Pertama periode Mekah, pada periode ini pensyariatan berlangsung kurang lebih selama 13 tahun. Di masa kenabian. Pensyariatan pada masa ini lebih terfokus pada proses penanaman tata nilai tauhid, seperti iman kepada Allah, Rasul-Nya, hari kiamat, dan perintah untuk berakhlak mulia.
Demikian pula pada masa ini terdapat perintah yang sifatnya masih umum, seperti perintah berzakat. Pada periode ini, zakat merupakan kewajiban yang atas dasar keimanan masing-masing. Kadar zakat pada periode ini belum ditentukan
Kedua. Pensyariatan periode kelanjutan atau perode Madinah. Pada periode ini syariat sudah mulai bersifat khusus dan konkrit. Misalnyatahun kedua Hijriah pada periode ini zakat mulai disyariatkan Allah dan di jalankan pelaksanaan hukumnya dengan tegas dan rinci.
 Makna harfiah syariat adalah jalan menuju sumber kehidupan. Syariat adalah sumber rujukan umat Islam dalam beragama yang erat kaitannya dengan akidah, muamalah dan ibadah. Secara etimologi syariat berarti jalan yang dilewati air untuk diminum atau tangga tempat naik yang bertingkat-tingkat. Syariat juga diartikan sebagai jalan yang lurus. Sebagaimana disebutkan dalam Qs. Al-Jasiyah : 18.
¢OèO y7»oYù=yèy_ 4n?tã 7pyèƒÎŽŸ° z`ÏiB ̍øBF{$# $yg÷èÎ7¨?$$sù Ÿwur ôìÎ7®Ks? uä!#uq÷dr& tûïÏ%©!$# Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÊÑÈ  
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (Qs. Al-Jasiyah : 18)
Manna’ Al-Qathan secara mendefinisikan syariat secara terminologis adalah hukum-hukum yang berasal dari Allah atau produk Allah yang dilimpahkan kepada para nabi-Nya, sebagaimana kepada nabi Muhammad Saw sebagai rasul untuk memberikan petunjuk bagi umat manusia[15].
Atau juga bisa didefinisikan sebagai “Hukum-hukum yang ditetapkan oleh Allah Swt untuk hamba-Nya, baik melalui Al-Qur’an maupun Sunnah nabi, berupa perkataan, perbuatan dan pengakuan[16].
Jadi, maksudnya syariat itu mencakup aturan yang ada dalam Islam. Termasuk aqidah, hukum, dan akhlak. Jadi syariat itu adalah Islam itu sendiri. Namun belakangan, syariat diartikan oleh para ahli sebagai sistem hukum dalam Islam.
Yang menjadi objek hukum Islam adalah mukallaf. Dalam hal ini yang dapat diberi ketentuan wajib atau makruh, atau haram, atau mubah, adalah perbuatan mukallaf. Misalnya adalah hukum meminum khamr, adalah haram. Yang diberi predikat haram adalah perbuatan meminum khamr, bukan khamr. Karena khamr adalah zat bukan perbuatan. Dengan demikian jika timbul pertanyaan; Apa hukum khamr? Maka dapat diberi jawaban: Khamr tidak ada hukumnya, karena khamr  bukan perbuatan. Tetapi hukum meminum khamr adalah haram, karena meminum khamr adalah perbuatan[17]. Adapun syarat-syarat objek hukum adalah:
a.       Seorang mukallaf mestilah mengetahui dengan jelas bahwa yang memerintahkan atau melarang suatu perbuatan adalah asy-syari’. Karena itu, suatu perintah atau larangan yang tidak memiliki landasan yang jelas, baik langsung maupun tidak langsung, berasal dari Al-Qur’an atau hadis, tidak dapat diberi predikat hukum taklifi.
b.      Suatu perbuatan yang diperintahkan untuk dilakukan mukallaf atau ditinggalkannya, atau diberi kebebasan kepadanya untuk melakukan atau meninggalkannya, mestilah diketahui dan dipahami dengan jelas oleh mukallaf. Hukum taklifi tidak bisa diterapkan kepada perintah yang belum jelas.
c.       Suatu perbuatan yang diperintahkan kepada mukallaf haruslah dalam batas kemampuan manusia untuk melakukan atau meninggalkannya.
Islam hadir sebagai agama rahmatan lil alamin, yaitu sebagai pembawa keselamatan di dunia dan akhirat. Islam hadir untuk mengatur manusia agar menjadi pribadi yang lebih baik. Karenanya Islam telah mengatur berbagai aspek dan sendi kehidupan. Berikut beberapa tujuan dari penetapan hokum Islam (maqashid syariah)[18].
a.       Perlindungan terhadap agama (Hifdz Ad-Din)
b.      Perlindungan terhadap jiwa (Hifdz An-Nafs)
c.       Perlindungan terhadap akal (Hifdz Al-‘Aql)
d.      Perlindungan terhadap kehormatan (Hifdz Al-‘Ardh)
e.       Perlindungan terhadap harta benda (Hifdz Al-Mal)
Seperti yang sudah diuraikan diatas, bahwa hukum Arab pra-Islam itu kebanyakan tidak menghargai nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Karenanyalah Islam hadir ke tengah-tengah mereka untuk merekontruksi dan memperbaiki sistem hukum untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Sesungguhnya Islam hadir bukan hanya untuk orang Arab saja, tetapi untuk seluruh umat Islam di dunia ini. Berikut beberapa rekontruksi hukum Arab pra-Islam setelah datangnya Islam atau syariat.
Dalam bidang ekonomi misalnya, jika bangsa Arab pra-Islam menganggap bahwa riba lebih penting dibanding dengan jual beli, maka Islam membaliknya bahwa jual belilah yang dibolehkan sedangkan riba lah yang dilarang atau diharamkan. Mengapa demikian? Karena di dalam riba mengandung unsur ketidaksetaraan, dan keadilan. Dan juga riba bisa menyebabkan seseorang menjadi pemalas, karena malas berusaha hanya menunggu keuntungan yang berlipat ganda. Berbeda dengan jual beli. Tentang pelarangan riba telah dijelaskan di dalam Qs. Al-Baqarah : 275[19].
¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Qs. Al-Baqarah : 275)

Lalu dalam bidang pernikahan, jika pada bangsa Arab pra-Islam telah dikenal sistem poligami namun tanpa batas tergantung kemampuan dari si laki-laki, maka di dalam Islam poligami menjadi terbatas, yaitu hanya boleh 4. Poligami pada dasarnya di dalam Islam hukumnya adalah mubah atau boleh. Dan juga harus adil dalam menjalankannya. Sebagaimana firman Allah di dalam Al-Qur’an surat An-Nisa : 3[20].
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz žwr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ #oT÷Šr& žwr& (#qä9qãès? ÇÌÈ  
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

Masih pada bidang pernikahan, pada bidang pernikahan kita sama-sama mengenal yang namanya ‘iddah. Iddah jika menurut bangsa Arab pra-Islam adalah masa menunggu setelah bercerainya pasangan suami istri, dan dilakukan oleh kedua pihak. Sedangkan ‘iddah menurut syariat Islam adalah masa di mana seorang wanita yang diceraikan suaminya menunggu. Maka disini dapat kita lihat bahwa terdapat definisi ‘iddah antara definisi ‘iddah menurut bangsa Arab pra-Islam dengan definisi ‘iddah menurut syariat Islam. Landasan ketentuan bahwa ‘iddah hanya dilakukan oleh suami telah diterangkan sebagaimana firman Allah di dalam Qs.Al-Baqarah : 228[21].
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4 Ÿwur @Ïts £`çlm; br& z`ôJçFõ3tƒ $tB t,n=y{ ª!$# þÎû £`ÎgÏB%tnör& bÎ) £`ä. £`ÏB÷sム«!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 £`åkçJs9qãèç/ur ,ymr& £`ÏdÏjŠtÎ/ Îû y7Ï9ºsŒ ÷bÎ) (#ÿrߊ#ur& $[s»n=ô¹Î) 4 £`çlm;ur ã@÷WÏB Ï%©!$# £`ÍköŽn=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4 ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`ÍköŽn=tã ×py_uyŠ 3 ª!$#ur îƒÍtã îLìÅ3ym ÇËËÑÈ  
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs.Al-Baqarah : 228).

Selanjutnya dalam bidang warisan, jika pada masa Arab pra-Islam bangsa Arab memang telah mengenal sistem waris tetapi masih dengan konsep diskriminasi terhadap wanita, maka di dalam Islam diskriminasi itu dilenyapkan. Dengan syariat bahwa wanita juga berhak mendapatkan warisan. Sebagaimana firman Allah dalam Qs. An-Nisa : 7[22].
ÉA%y`Ìh=Ïj9 Ò=ŠÅÁtR $£JÏiB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# tbqç/tø%F{$#ur Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur Ò=ŠÅÁtR $£JÏiB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# šcqç/tø%F{$#ur $£JÏB ¨@s% çm÷ZÏB ÷rr& uŽèYx. 4 $Y7ŠÅÁtR $ZÊrãøÿ¨B ÇÐÈ  
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.” (Qs. An-Nisa : 7)

Masih berkaitan dengan warisan, jika pada bangsa Arab pra-Islam kedudukan anak angkat atau adopsi menjadi sama kedudukannya dengan anak kandung sehingga mendapat hak waris juga, maka berbeda di dalam Islam. Islam tidak menamakan status antara anak adopsi dengan anak kandung, karena demi menjaga nasab. Sebagaimana hadis nabi Muhammad Saw.”Orang yang memanggil (menasabkan diri) kepada selain bapaknya, padahal dia mengetahui bahwa orang itu bukan bapaknya, maka surga adalah aharam baginya”. Di hadis yang lain lagi bahkan Islam menjadikan tidak adopsi sebagai bentuk kekafiran. “Tidaklah termasuk laki-laki, orang yang membangsakan dirinya kepada selain bapaknya, melainkan dia telah kafir”[23].
Selanjutnya yang terakhir adalah pada bidang jinayat atau tindak pidana pada masa Arab pra-Islam telah mengenal yang namanya sistem qishah dan diyat.
Qishah adalah berasal dari bahasa Arab yyang artinya memotong atau mengikuti. Jika pada masa Arab pra-Islam, qishash yang mereka lakukan tidak secara adil jika yang mereka hadapi seorang pembesar yang membunuh orang kecil atau seorang laki-laki yang membunuh seorang wanita. Berbeda dengan Islam yang sangat menjunjung keadilan. Menurut syara’ yang dimkasud dengan qishash  adalah hukuman balasan yang seimbang bagi pelaku pembunuhan maupun perusakan . Sebagaimana firman Allah di dalam Qs. Al-Maidah : 45[24].
$oYö;tFx.ur öNÍköŽn=tã !$pkŽÏù ¨br& }§øÿ¨Z9$# ħøÿ¨Z9$$Î/ šú÷üyèø9$#ur Èû÷üyèø9$$Î/ y#RF{$#ur É#RF{$$Î/ šcèŒW{$#ur ÈbèŒW{$$Î/ £`Åb¡9$#ur Çd`Åb¡9$$Î/ yyrãàfø9$#ur ÒÉ$|ÁÏ% 4 `yJsù šX£|Ás? ¾ÏmÎ/ uqßgsù ×ou$¤ÿŸ2 ¼ã&©! 4 `tBur óO©9 Nà6øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqßJÎ=»©à9$# ÇÍÎÈ  
“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (Qs. Al-Maidah : 45)
Lalu yang dimaksud dengan diyat di dalam Islam adalah sejumlah harta yang wajib diberikan karena tindakan pidana (jinayat) kepada korban kejahatan atau walinya  atau kepada pihak terbunuh dan teraniaya[25]. Seperti yang telah di singgung di atas, bahwa Islam sangat menjunjung keadilan. Jika pada bangsa Arab pra-Islam  diyat orang-orang yang terhormat tidak sama dengan diyat orang biasa dan diyat seorang laki-laki lebih besar dari seorang wanita dan diyat orang dewasa lebih besar dari diyat anak kecil. Maka tidak dengan Islam. Diyat di dalam Islam tidak memandang status dan derajat seseorang, semuanya sama yang membedakan hanyalah iman dan taqwanya saja.
1.      Keadilan
Bila syariat dijalankan dalam bentuk formal dan utuh, maka dampak yang akan dirasakan adalah tegaknya keadilan. Karena syariat menegakkan keadilan dalam hukum-hukumnya.
2.      Keamanan
Salah satu dampak langsung dari pelaksanaan syariat ialah terwujudnya rasa aman dimasyarakat. Karena syariat memberikan sanksi kepada setiap tindak pidana sehingga terciptalah rasa aman.
3.      Kemakmuran
Syariat juga mempunyai dampak kemakmuran bagi yang menjalankannya. Karena di dalam syariat dilarang yang kuat menindas yang lemah.
4.      Persaudaraan
Dan yang terakhir, dengan berjalannya syariat maka akan tercipta harmonisasi karena hilangnya diskriminasi lagi. Sehingga mempererat tali persaudaraan (ukhuwah).












BAB III

 PENUTUP


Kesimpulan dari makalah kami adalah bahwa pada masa Arab pra-islam mereka telah mengenal sistem hukum. Yang walaupun belum sempurna dari segi keadilan dan kehormatan. Dan juga mereka belum mengenal dengan namanya sistem negara, masih menggunakan sistem kabilah.
Sedangkan yang dimaksud dengan syariat adalah segala ketetapan atau hukum Allah Swt. Yang objek kajiannya adalah mukallaf. Yang bertujuan untuk melindungi jiwa, akal, kehormatan, harta, dan agama.
Lalu rekontruksi yang dilakukan oleh syariat terhadap sistem hukum bangsa Arab pra-Islam mencakup diantaranya pada bidang pernikahan, warisan dan jinayat.
Sesungguhnya makalah kami ini pastilah tidak luput dari kesalahan. Karenanya kami sungguh sangat mengharapkan kritik dan saran dari segala pihak. Yang dapat lebih membangun kami lagi.











DAFTAR PUSTAKA


Abdad Zaini. 2013. Pengantar Ilmu Fiqh. Jakarta: Bania Publishing.

Rasyad Hasan, Khalil. 2010. Tarikh Tasyri’. Jakarta: Sinar Grafika.

Ismatullah Dedi. 2011. Sejarah SosialHukum Islam. Bandung: Cv Pustaka Setia.

Kementerian Agama Indonesia. 2015. Fikih. Jakarta: Direktorat Pendidikan.

Rahman Dahlan, Abd. 2014. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah.

Rahman Ghazaly, Abdul dkk. 2010. Fiqh Muamalah. Jakarta: Kencana.

Sarwat Ahmad. 2009. Fikih Nikah. Jakarta: Kampus Syariah.
                       2009. Fikih Mawaris. Jakarta: Du Center.

Supriyadi Dedi. 2010. Sejarah Hukum Islam. Bandung: Cv Pustaka Setia.
.                                                                       




[1] Nadirsyah Hawari, Tarikh Tasyri, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 35.
[2] Dedi Ismatullah, Sejarah Sosial Hukum Islam, (Bandung: Cv Pustaka Setia, 2011), hlm. 147.
[3] Nadirsyah Hawari, Tarikh Tasyri, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 36.
[4] Ibid,. hlm.  37.
[5] Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, (Bandung: Cv Pustaka Setia, 2010), hlm. 44.
[6] Nadirsyah Hawari, Tarikh Tasyri, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 38.
[7] Ibid,. hlm. 38.
[8] Dedi Ismatullah, Sejarah Sosial Hukum Islam, (Bandung: Cv Pustaka Setia, 2011), hlm. 152.
[9] Ibid,. hlm. 152.
[10] Nadirsyah Hawari, Tarikh Tasyri, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 39.
[11] Ibid,. hlm. 40.
[12]Ibid,. hlm. 40.
[13] Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm.32.
[14] Zaidi Abdad, Pengantar Ilmu Fiqh. (Jakarta: Bania Publishing. 2013), hlm.98.
[15] Dedi Ismatullah, Sejarah Sosial Hukum Islam, (Bandung: Cv Pustaka Setia, 2011), hlm. 35.
[16] Daud Rasyid, Indahnya Syariat Isam, (Jakarta: Usamah Press, 2014), hlm. 01.
[17] Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2014), hlm. 92.
[18] Ahmad Al-mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah, (Jakarta: Amzah, 2013), hlm. xiii.
[19] Abdul Rahman Ghazaly dkk. Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 69.
[20] Ahmad Sarwat, Fiqh Nikah, (Jakarta: Kampus Syariah, 2009), hlm. 129.
[21] Ibid,. hlm. 173.
[22] Ahmad Sarwat, Fiqh Mawaris, (Jakarta: Du Center, 2009), hlm. 71.
[23] Ahmad Al-mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah, (Jakarta: Amzah, 2013), hlm. 143.
[24] Kementerian Agama Indonesia, Fikih, (Jakarta: Direktorat Pendidikan Madrasah, 2013), hlm. 10.
[25] Ibid,. hlm. 14.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Konsep Kewirausahaan Islam

Makalah Filsafat Empirisme

KAIDAH FIKIH KULLIYAT YANG KE 26-30