Kedudukan Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam

MAKALAH
KEDUDUKAN SUNNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “USHUL FIQH
Dosen Pengampu: Lalu Akhmad Rizkan, M.H.I



1.      SUCI RAMADHANI PUTRI               
2.      JUAIRIYAH                                           
3.      LAILA SAFIRA                                     
4.      ALYA AFIFAH SAPUTRI                   


JURUSAN MUAMALAH
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM
2018


KATA PENGANTAR


Assalamu’alaikum wr.wb.
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat dan salam senantiasa  kita haturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam yang gelap gulita menuju alam yang terang benderang. Dan semua perkataan, perbuatan, pengakuan dan sifatnya adalah panutan bagi semua umatnya.
 Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh’" pada      jurusan Muamalah, Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram. Makalah ini berjudul ”Kedudukan Sunnah Sebgai Sumber Hukum Islam” yang mencakup pembahasannya seputar pengertian, macam-macam, dan kehujjahannya.
Demikianlah yang dapat kami sampaikan, kurang lebihnya kami mohon maaf bila ada salah-salah kata. Sesungguhnya segala kekurangan dan kesalahan itu datangnya dari kami sendiri. Sedangkan segala kelebihan itu datangnya dari Allah SWT semoga Allah SWT meridhai kita. Tiada gading yang tak retak. Sekian.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
                                                            Mataram, 21 Maret 2018

                                                                                                            Kelompok 02

 



DAFTAR ISI











BAB I

PENDAHULUAN


Di dalam tubuh Islam, istilah sunnah sudah sering kita dengar. Istilah sunnah atau yang biasa juga disebut dengan hadis Nabi bahkan orang seawam apapun pasti pernah mendengar istilah ini. Hal ini di karenakan kedudukannya sebagai sumber hukum Islam kedua. Tepatnya Al-Qur’an di osisi pertama lalu di posisi kedua adalah sunnah. Hal ini tidak ada yang memperdebatkannya lagi.
Pada makalah kami ini, kami akan mengupas tuntas seputar kedudukan sunnah sebagai sumber hukum Islam, dan apa saja alasannya mengapa kedudukannya sebagai sumber hukum yang kedua tidak ada lagi yang menyelisihinya. Bahwa semua umat sepakat bahwa sunnah menempati posisi kedua setelah Al-Qur’an. Serta dalam makalah kami ini, kami akan mengupas pula fungsi sunnah kepada Al-Qur’an serta masih banyak lagi. 
1.      Apa pengertian sunnah?
2.      Apa kedudukan sunnah?
3.      Apa macam-macam sunnah?
4.      Apa contoh sunnah yang berkaitan dengan penetapan hukum Islam?
1.      Agar mengetahui apa yang dimaksud dengan sunnah.
2.      Agar mengetahui apa kedudukan dari sunnah.
3.      Agar mengetahui apa macam-macam dari sunnah.
4.      Agar mengetahui contoh sunnah penetapan hukum Islam.



BAB II  

PEMBAHASAN


Ditinjau dari segi etimologis (bahasa), sunnah bisa berarti “jalan yang ditempuh, perbuatan yang senantiasa dilaksanakan, atau adat kebiasaan”.[1]
Kata sunnah terdapat di dalam Al-Qur’an, salah satunya di dalam  Qs. Al-Imaran: 137.
ôs% ôMn=yz `ÏB öNä3Î=ö6s% ×ûsöß (#r玍šsù Îû ÇÚöF{$# (#rãÝàR$$sù y#øx. tb%x. èpt6É)»tã tûüÎ/Éjs3ßJø9$# ÇÊÌÐÈ  
”Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah,  karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (Al-Imran:137)

Sedangkan menurut terminologis (istilah) terdapat beberapa pengertian, antara lain:
1.      Menurut ulama fikih (fuqaha). Sunnah adalah:

ما طلب الشا رع فعله من المكلف طلبا غلير حتم
Sesuatu yang dituntutoleh pembuat syara’ (Allah) untuk dikerjakan dengan tuntutan yang tidak mewajibkan (mengharuskan).”
     
Atau dengan  kata lain “Sesuatu perbuatan yang jika dikerjakan akan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa”.[2]
2.      Menurut ulama hadis, sunnah adalah:

اقوا له صلا الله عليه وسلم وؤفعا و احوا له
“Perkataan-perkataan, perbuatan-perbuatan atau keadaan Nabi Muhammad SAW”.
3.      Menurut ulama ushul fiqh:

افوا له صلى الله عليه وسلم و افعا له و تقاريره مما يتعلق به حكم بنا
Perkatan-perkataan, perbuatan-perbuatan, atau ketetapan-ketetapa Nabi SAW yang berhubungan dengan pembentukan hukum”.
4.      Menurut Abu Zahrah:
اقوالنلبي وافعا له و تقريراته
Perkataan, perbuatan, dan pengakuan Nabi”
Selain kata sunnah yang pengertiannnya disebutkan di atas, kita juga menjumpai kata hadis, khabar, dan atsar. Menurut Jumhul Ulama’ atau kebanyakan para ulama ahli hadis, mengartikan sunnah, hadis, khabar, dan atsar sama saja, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muahammad SAW, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun ketetapan. Pengertian ini di dasarkan kepada pandangan mereka  terhadap nabi sebagai suri teladan yang baik bagi manusia. Sementara itu, ulama Ushul  mengartikan bahwa sunnah adalah sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad SAW dalam bentuk ucapan, perbuatan, dan persetujuan beliau yang berkaitan dengan hukum. Pengertian ini didasarkan pada pandangan mereka yang menempatkan Nabi Muhammad SAW sebagai pembuat hukum.[3]
1.      Pembagian Sunnah Dari Segi Bentuknya
a.       Sunnah Qauliyah
Sunnah qauliyah adalah sesuatu yang diucapkan oleh Nabi Muhammad SAW melalui lisan beliau lalu didengar dan dipahami oleh para sahabat, kemudian diberitakan dan diriwayatkan dari satu generasi hingga generasi selanjutnya[4]. Contoh sunnah qauliyah adalah:

عن انس عن النبي صلى الله وسلم قال لا يعمن احدكم حتى يحب لاخيه ما يحب لنفسه
Dari Anas ra, dari Nabi SAW,bahwa beliau bersabda :”Belum beriman salah seorang dari kamu, sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya”.
b.      Sunnah Fi’liyah
Sunnah fi’liyah yaitu semua serak-gerik, tingkah laku dan perbuatan Nabi Muhammad SAW yang dilihat dan diperhatikan oleh para sahabat yang kemudian diberitakan dan diriwayatkan kepada para sahabat lainnya secara terus menerus dari satu generasi ke generasi berikutnya.[5]
Sunnah fi’liyah pada dasarnya dapat di bagi menjadi tiga bagian yaitu sebagai berikut:
1)      Gerak-gerik, perbuatan dan tingkah laku Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan hukum. Misalnya tata cara sholat, puasa, haji dan masih banyak lagi yang berkaitan dengan masalah ibadah dan muamalah. Para ulama sepakat bahwa kedua hal itu merupakan perbuatan dan tingkah laku Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan hukum. Oleh karena itu bersifat umum, berlaku bagi beliau dna umatnya. Perbuatan yang termasuk dalam kelompok pertama ini dapat diketahui dengan adanya petunjuk dari beliau sendiri , atau karena adanya petunjuk (qarinah) lain, baik dari Al-Qur’an maupun dari sifat perbuatan Nabi Muhammad SAW tersebut, yang menunjukkan bahwa perbuatan itu bagian dari ajaran agama.
2)      Perbuatan yang khusus berlaku bagi Nabi Muhammad SAW. Misalnya, beristri lebih dari empat yang wajib melaksanakan shalat tahajjud, sholat dhuha dan berkurban, di mana terdapat petunjuk yang menyatakan bahwa perbuatan-perbuatan tersebut hanya merupakan khusush-iyyah bagi Nabi Muhammad SAW, maka perbuatan tersebut tidak berlaku bagi umat beliau. Berkaitan dengan contoh-contoh ibadah di atas bagi beliau hukum melaksanakannya wajib, sedang bagi umat hanya sunnah saja. Bahkan tentang beristri lebih dari empat orang bagi umatnya adalah haram.
3)      Perbuatan dan tingkah laku Nabi Muhammad SAW sebagai manusia biasa. Misalnya cara makan dan minum, cara berpakaian duduk dan lain sebagainya beliau lakukan sebagai manusia biasa, dan yang sesuai dengan adat kebiasaan yag berlaku saat itu.
Para ulama berbeda pendapat, apakah kedudukan perbuatan dan tingkah laku Nabi Muhammad SAW sebagai manusia biasa di atas sebagai bagian dari ajaran Islam yang perlu diikuti atau tidak. Sebagian ulama berpendapat, perbuatan tersebut merupakan bagian dari sunnah Nabi Muhammad SAW, karena merupakan adat kebiasaan dari kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai manusia biasa.[6]
Contoh sunnah filiyah:
اكما رءتتمو ني ء صلي صلو
shlatlah kamu sebagimana kamu melihatku shalat” (HR. Bukhari)
c.       Sunnah Taqririyah
Sunnah taqririyah adalah sikap persetujuan Nabi Muhammad SAW mengenai peristiwa yang terjadi atau yang dilakukan sahabat beliau, di mana terdapat petunjuk yang menggambarkan bahwa beliau menyetujui perbuatan tersebut.[7] Berikut contoh dari sunnah taqririyah.

عن خالدبن الوالدقالء تي انبي صلااالله عليه وسلم بضب مشوي فؤهوي ءليه ليؤ كل فقيل له ء نه ضب فؤمسك يداه فقال خالج ءحارام هو قال لا ولكنه لا يكون بؤرض قومى فؤ حدنىءعا فه فؤكل خالد ورسولوالله صل الله عليه وسلم
Dari Khalid bin Walid ra katanya”Kepada Nabi SAW dihidangkan makanan dhabb (sejenis biawak) yang dipanggang untuk di makan beliau. Kemudian ada yang berkata kepada beliau: “itu adalah dhabb”, maka beliau menahan tangannya, maka khalid berkata “Apakah haram memakannya?”, Beliau menjawab, “Tidak, tetapi binatang jenis ini tidak ditemukan di daerah saya, maka saya tidak suka dan menghindarinya”, Maka Khalid memakannya, sedang Rasulullah SAW memandanginya.
2.      Pembagian Sunnah Dari Segi Kualitasnya
Ditinjau dari segi bilangan perawinya, maka sunnah terbagi menjadi sebagai berikut.
a.      Mutawattir
Yaitu sunnah yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW oleh sejumlah besar perawi, yang menurut kebiasaan mustahil merekaberkumpul lalu berdusta.
Sunnah mutawattir banyak berisi tentang perbuatanNabi seperti shalat, puasa, haji dan azan. Jumlah hadis mutawattir dalam bentuk perkataan sedikit sekali tetapi tinggi kualitasnya, sehingga dapat di jadikan sumber hukum tingkat ilmu yakin bi al-dharury[8]. Contoh hadis mutawattir.
 كذب علي متعمدا فليتبوؤ مقعده من النا ر من
Siapa yang berdusta maka silahkan mengambil tempat di neraka”
b.      Masyhur
Yaitu sunnah yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW oleh seorang sahabat, dua sahabat, atau sekelompok sahabat yang tidak sampai pada tingkat mutawattir, kemudian diterima oleh kelompok perawi lainnya, yang jumlahnyamencapai tingkat mutawattir.
Kehujjahan sunnah masyhur ini tidak sampai kepada mutawattir. Menurut Abu Hanifah tingkat kehujjahannya sampai kepada tingkay ilmu Yakin. Akan tetapi para fuqaha menganggapnya sampai kepada tingkat zhan sama seperti hadis ahad.[9]
c.       Ahad
Yaitu sunnah yang diriwayatkan oleh Rasulullah oleh satu atau dua orang atau lebih yang tidak memenuhi syarat sunnah masyhur. Kehujjahan sunnah ahad dalam hukum hanya mencapai peringkat zhan tidak sampai kepada tingkat qat’i.[10]
Sementara itu diinjau dari segi ketepercayaan pada para perawinya, kualitas suatu sunnah dapat di bedakan kepada empat tingkatan sebagai berikut.
a.      Shahih
Yaitu sunnah yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, semprna ingatannya, sanadnya bersambung, tidak ber-illat, dan tidak janggal.
Untuk sunnah yang berkualitas shahih, para ulama sepakat dapat dijadikan hujjah untuk masalah hokum, dan lain-lainnya kecuali bidang aqidah.[11]
b.      Hasan
Yaitu sunnah yang pada sanadnya tidak terdapat orang yang tertuduh dusta, tidak terdapat  kejanggalan pada matannya, dan sunnah itu tidak diriwayatkan dari satu jurusan, tetapi tidak pada derajat shahih.
Untuk sunnah yang berkualitas hasan, Imam Bukhari  dan Ibnul Araby, menolaknya sebagai dalil untuk menetapkan hukum.tetapi Al-Hakim, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzainah, dapat menerimana sebagai hujjah, dengan syarat apabila ternyata isinya bertentangan dengan hadis yang berkualitas shahih, maka yang harus di ambil adalah hadis yang berkualitas shahih.[12]
c.       Dha’if
Yaitu sunnah yang kehilangan satu atau lebih dari syarat-syarat hadis yang shahih atau hasan.
Adapun tentang hadis dha’if, ada dua pendapat tentang boleh atau tidaknya diamalakan, atau dijadikan hujjah. Yakni:
1)      Imam Bukhari, Muslim, Ibnu hazm dan Abu Bakar Ibnu Araby menyatakan, hadis dha’if sama sekali tidak boleh diamalka atau diadikan hujjah baik untuk masalah yang berhubungan dengan hukum, maupun keutamaan amal.
2)      Imam Ahmad bin Hambal, Abdul Rahman bin Mahdi dan Ibnu Hajar Al-Asqalany menyatakan bahwa hadis dha’if dapat dijadikan hujjah hanya untuk dasar keutamaan amal (fadha’il amal) dengan syarat: a) para rawi yang meriwayatkan tidak terlalu lemah, b) masalah yang dikemukakan oleh hadis itu mempunyai dasar pokok yang ditetapkan oleh Al-Qur’an dan hadis shahih, c) tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat.

Sunnah menjadi hujjah, bisa dijadikan sumber hukum karena:
1.      Allah menyuruh untuk taat kepada Rasulullah SAW. Taat kepada Rasulullah SAW juga berarti taat kepada Allah.[13] Sebagaimana firman Allah SWT.
!$tBur ãNä39s?#uä ãAqߧ9$# çnräãsù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߃Ïx© É>$s)Ïèø9$# ÇÐÈ  
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya. (Qs. Al-Hasyr: 7)
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ  
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Qs An-Nisa: 59)
ôs)©9 tb%x. öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé& ×puZ|¡ym `yJÏj9 tb%x. (#qã_ötƒ ©!$# tPöquø9$#ur tÅzFy$# tx.sŒur ©!$# #ZŽÏVx. ÇËÊÈ  
                                                                                                                            
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah. (Qs. Al-Ahzab : 21)
øŒÎ)ur $oYù=è% (#qè=äz÷Š$# ÍnÉ»yd sptƒós)ø9$# (#qè=à6sù $yg÷ZÏB ß]øym ÷Läê÷¥Ï© #Yxîu (#qè=äz÷Š$#ur šU$t6ø9$# #Y¤fß (#qä9qè%ur ×p©ÜÏm öÏÿøó¯R ö/ä3s9 öNä3»u»sÜyz 4 ߃Ít\yur tûüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÎÑÈ  
“Dan (ingatlah), ketika Kami berfirman: "Masuklah kamu ke negeri ini (Baitul Maqdis), dan makanlah dari hasil buminya, yang banyak lagi enak dimana yang kamu sukai, dan masukilah pintu gerbangnya sambil bersujud, dan Katakanlah: "Bebaskanlah Kami dari dosa", niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahanmu, dan kelak Kami akan menambah (pemberian Kami) kepada orang-orang yang berbuat baik". (Qs. An-Nisa : 65)
2.       Rasulullah mempunyai wewenang untuk menjelaskan Al-Qur’an.[14] Sebagaimana firman Allah.

`¨B ÆìÏÜムtAqߧ9$# ôs)sù tí$sÛr& ©!$# ( `tBur 4¯<uqs? !$yJsù y7»oYù=yör& öNÎgøŠn=tæ $ZàŠÏÿym ÇÑÉÈ  
“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (Qs. An-Nisa: 80)
ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ ̍ç/9$#ur 3 !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍköŽs9Î) öNßg¯=yès9ur šcr㍩3xÿtGtƒ ÇÍÍÈ  
“Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,” (Qs. An-Nahl: 44)
3.      Ijma’ sahabat, dan dibuktikan pula oleh hadis Muadz bin Jabal yang menerangkan urutan-urutan sumber hukum.[15]

Adapun sebabnya sunnah menjadi sumber hukum Islam yang kedua adalah[16]:
a.       Wurudl Al-Qur’an qath’i seluruhnya, sedangkan sunnah banyak yang wurudl-nya dhanni.
b.      Sunnah merupakan penjelasan terhadap Al-Qur’an, yang di jealskan sudah barang tentu menempati tempat yang pertama, dan penjelasannya menempati tempat yang kedua.
c.       Urutan dasar hukum yang digunakan oleh para sahabat yang menempatkan sunnah pada tempat yang kedua.
Adapun fungsi sunnah sebagai penjelas terhadap Al-Qur’an terdiri atas tiga kategori sebagai berikut:
a.       Menjelaskan maksud ayat-ayat hukum Al-Qur’an[17]
Penjelasan sunnah terhadap maksud Al-Qur’an dapat diperinci sebagai berikut:
1)      Memerinci ketentuan-ketentuan hukum AlQur’an yang disebutkan secara garis besar.  Misalnya sunnah fi’liyah, yang menjelaskan tatacara sholat yang diperintahkan Al-Qur’an secara garis besar pada Qs. Al-Baqarah: 110.
(#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qŸ2¨9$# 4 ÇÊÊÉÈ  
Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.” (Qs.Al-Baqarah:110)

2)      Menerangkan kata-kata yang maknanya belum spesifik dalam Al-Qur’an.  Misalnya Al-Qur’an menggunakan kata shalah. Kata ini dalam bahasa Arab mengandung arti doa sebagaimana dipahami oleh masyarakat umum pada waktu turunnya ayat.sunnah kemudian menerangkan makna kata shalah dalam bentuk ucapan dan perbuatan tertentu yang kemudian dikenal sebagai sholat.
b.      Men-takhsish ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum[18]
Misalnya, ayat Al-Qur’an menyebutkan secara umum bahwa warisan anak laki-laki adalah satu banding dua, sebagaimana disebutkan dalam Qs. An-Nisa: 11.
ÞOä3ŠÏ¹qムª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( ̍x.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$# ÇÊÊÈ  
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan” (Qs. An-Nisa: 11)

Sifat umum dari ketentuan warisan di atas kemudian di batasi oleh sunnah yang menjelaskan bahwa ketentuan tersebut hanya berlaku bagi anak yang tidak melakukan pembunuhanterhadap orang tuanya, dengan menegaskan bahwa pembunuh tidak mendapat harta warisan sedikitpun.
c.       Mengukuhkan dan mempertegas kembali ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur’an[19]
Para ulama menyebut fungsi ini denga istilah ta’qid wa taqrir.  Misalnya Al-Qur’an memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa dan menunaikan zakat, maka sunnah mengukuhkannya dengan penegasan Rasulullah SAW.

عن ابن عمررضي الله عنهما قال رسول الله صلى الله عليه و سلم بني الاسلام على خمس شها دة ان لا اله ا لا الله و ان محمدا رسول الله و ا قام الصلا ة و ا تاء الزكاة وا لحج و صوم رماضان        
“Dari Ibnu Umar ra, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: islam di bangun di atas lima landasan; kesaksian bahwatiada Tuhan selain  Allah dan Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan haji, dan puasa di bulan Ramadhan.”
d.      Menetapkan hukum baru yang menurut zhahirnya tidak terdapat di dalam Al-Qur’an[20]
Para ulama menyebut fungsi ini dengan istilah itsbat wa insya’.  Akan tetapi, jika diperhatikan lebih jauh, meskipun dikatakan bahwa Rasulullah SAW menetapkan hukum baru yang tidak terdapat di dala Al-Qur’an, namun pada hakikatnya ketentuan yang ditetapkan Rasulullah SAW tersebut sudah terdapat di dalam Al-Qur’an. Dalam hal ini Al-Qur’an menyebutkan landasan filosofinya , sementara Rasulullah SAW melalui sunnah beliau merumuskan aturan operasional yang bersifat filosofis tersebut. Misalnya, surat An-Nisa: 23 melarang menikahi dua wanita yang bersaudara secara bersamaan.
ôMtBÌhãm öNà6øn=tã öNä3çG»yg¨Bé& öNä3è?$oYt/ur öNà6è?ºuqyzr&ur öNä3çG»£Jtãur öNä3çG»n=»yzur ßN$oYt/ur ˈF{$# ßN$oYt/ur ÏM÷zW{$# ãNà6çF»yg¨Bé&ur ûÓÉL»©9$# öNä3oY÷è|Êör& Nà6è?ºuqyzr&ur šÆÏiB Ïpyè»|ʧ9$# àM»yg¨Bé&ur öNä3ͬ!$|¡ÎS ãNà6ç6Í´¯»t/uur ÓÉL»©9$# Îû Nà2Íqàfãm `ÏiB ãNä3ͬ!$|¡ÎpS ÓÉL»©9$# OçFù=yzyŠ £`ÎgÎ/ bÎ*sù öN©9 (#qçRqä3s? OçFù=yzyŠ  ÆÎgÎ/ Ÿxsù yy$oYã_ öNà6øn=tæ ã@Í´¯»n=ymur ãNà6ͬ!$oYö/r& tûïÉ©9$# ô`ÏB öNà6Î7»n=ô¹r& br&ur (#qãèyJôfs? šú÷üt/ Èû÷ütG÷zW{$# žwÎ) $tB ôs% y#n=y 3 žcÎ) ©!$# tb%x. #Yqàÿxî $VJŠÏm§ ÇËÌÈ  
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(Qs. An-Nisa’: 23)

Sunnah kemudian menambahkan ketentuan larangan tambahan baru yang secara zhahir-nya tidak terdapat di dalam AL-Qur’an. Rasulullah SAW bersabda.

عن ابى هريرة رضي الله عنه ان رسو ل الله صلى الله عليه وسلم قا ل يجمع بين المر ءة  و عمتها ولا بينا االمر ئة  وخا لتها
“Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Seorang wanita jangan dimadu dengan saudara ayahnya, dan janga pula antara seorag wanita dengan saudara ibunya”.


Pada ayat 23 surat An-Nisa di atas sebenarnya terlihat bahwa larangan memadu dua wanita yang bersaudara mengandung filosofi dapat memutuskan silaturrahmi antara kedanya, sedangkan Islam sangat mementingkan silaturrahmi. Sementara itu memadu antara seorang wanita dengan saudara ayah atau saudara ibunya juga dapat memutuskan silaturrahim. Sebagaimana disebutkan dalam hadis lainnya. Dengan demikian, sejalan dengan filosofi ayat tersebut Rasulullah SAW melarang memadukan antara wanita dengan saudara ayah atau saudara ibunya dalam suatu perkawinan yang sedang berlaku. Berdasarkan pandangan ini sebenarnya ketentuan yang ditetapkan Rasulullah SAW tidak sama sekali baru, tetapi terdapat di dalam, dan sejalan dengan ketentuan Al-Qur’an. [21]
Contoh lainnya, sunnah mengharamkan memakan binatang buas.

عن ءبى هريرة عن النبي صلي الله عليه وسلم قا ل كل ذي نا ب من السبا ع فؤ كله حرام
“Dari Abu Hurairah ra, dari Nabi SAW, beliau bersabda,’’ Setiap binatang yang bertaring, maka memakannya haram”

Ketentuan di atas sebenarnya tidak terdapat di dalam Al-Qur’an sehingga dapat di katakan bahwa Rasulullah SAW menetapkan penambahan hukum baru di bandingkan dengan yang ditetapkan Al-Qur’an, sebagaimana disebutkan dalam Qs. Al-Maidah: 3.
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøŠyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ͍ƒÌYσø:$# !$tBur ¨@Ïdé& ÎŽötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/ èps)ÏZy÷ZßJø9$#ur äosŒqè%öqyJø9$#ur èptƒÏjŠuŽtIßJø9$#ur èpysÏܨZ9$#ur !$tBur Ÿ@x.r& ßìç7¡¡9$# žwÎ) $tB ÷LäêøŠ©.sŒ $tBur yxÎ/èŒ n?tã É=ÝÁZ9$# br&ur (#qßJÅ¡ø)tFó¡s? ÉO»s9øF{$$Î/ 4 öNä3Ï9ºsŒ î,ó¡Ïù ÇÌÈ  
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah,  (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. “ (Qs. Al-Maidah: 3)
Secara umum, sunnah Nabi menjadi teladan bagi umatnya. Namun dilihat dari segi hukum ternyata tidak semua sunnah harus diikuti bahkan ada sunnah yang tidak boleh diikuti oleh umatnya[22]. Berkaitan dengan hal ini, ulama mengelompokkan sunnah menjadi dua:
1.      Sunnah tasyri’ atau sunnah yang berdaya hukum dan mengikat untuk diikuti. Sunnah yang berdaya hukum ini meliputi aspek-aspek kehidupan manusia yang berhubungan dengan:
a.       Masalah akidah. Semua sunnah yang mengandung akidah yang menjelaskan tentang keesaan Allah, sifat-sifat-Nya, Rasul, wahyu, hari kiamat,dan sebagainya.  Semuanya bermuatan hukum yang wajib ditaati oleh umatnya.
b.      Masalah akhlak.  Sunnah yang mengandung ajaran akhlak, bak yang berhubungan dengan Allah dan manusia seperti shalat, berdoa, tawakkal, atau yang berhubungan dengan manusia seperti adab bertetangga, keadilan, menepati janji dan lain sebagainya.
c.       Masalah hukum amaliah. Yaitu sunnah yang mengandung penetapan bentuk-bentuk ibadah, pengaturan muamalat  antar manusia, memisahkan hak dan kewajiban, menyelesaikan perengketaan antar umat secara adil. Sunnah-sunnah tentang diatas semuanya dapat dijadikan sumber hukum oleh para ahli ulama fikih dan wajib bagi umat untuk mengikutinya.
2.      Sunnah bukan tasyri’ atau sunnah yang tidak mengandung hukum. Yaitu sunnah yang tidak harus diikuti. Oleh karena itu sifatnya tidak mengikat. Sunnah ini biasanya menyangkut dengan hal-hal yang berhubungan dengan:
a.       Perbuatan Nabi sebagai manusia biasaseperti: makan, minum, cara berpakaian, kunjungan, dan sopan dalam bertemu.
b.      Perbuatan Nabi yang timbul dari pengalaman pribadi, kebiasaan dalam pergaula seperti urusan pertanian dan kesehatan badan, dan merawt anak.
c.       Ucapan dan perbuatan Nabi yang timbul dari tindakan pribadi Nabi dalam keadaan tertentu, seperti penempatan pasukan, pengaturan barisan, dan penentua n tempat dalam peperangan.
Semua itu adalah sunnah Nabi yang tidak mengandung hukum dan tidak mengikat serta tidak mengandung tuntutan atau larangan. Umat boleh saja meniru sunnah Nabi tersebut, karena itu merupakan sunnah Nabi,. Namun sifatnya tidak mengikat artinya tidak ada keharusan untuk mengikuti.[23]









BAB III

PENUTUP

  
Jadi, kesimpulan dari makalah kami adalah; bahwa yang di maksud dengan sunnah adalah perkatan-perkataan, perbuatan-perbuatan, atau ketetapan-ketetapa Nabi SAW yang berhubungan dengan pembentukan hukum. Serta pembagian sunnah berdasarkan bentuknya ada tiga, yaitu qauliyah, fi’liyah dan taqririyah.
Sedangkan, pembagian sunnah berdasarkan kualitasnya berdasarkan jumlah peraawinya terbagi pula menjadi tiga, yaitu; mutawattir, masyhur dan ahad. Terakhir pembagian sunnah dari segi keterpercayaan perawinya di bagi pula menjadi tiga, yaitu; shahih, hasan dan dha’if.
Sementara itu, mengapa sunnah menjadi sumber hukum yang kedua adalah karena sunnah berasal dari Rasulullah dank arena Rasulullah memiliki kedudukan yang mulia. Segala tingkah lakunya terpelihara karena beliau adalah uswatun hasanah.
Kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca yang dapat membangun kami. Karena kami semata-mata tak luput dari segala kekurangan dan kesalahan.





DAFTAR PUSTAKA


Abdad, M. Zaini, 2013, Pengantar Ilmu Fiqh, Jakarta: Bania Publishing.
Dahlan, Abd. Rahman, 2014, Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah.
H.A. Djazuli, 2012, Ilmu Fiqh, Jakarta: Kencana.
Ismail, M. Syuhudi, 1987,  Pengantar Ilmu Hadits, Bandung: Angkasa.
Nata Abuddin, 2012, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Shidiq Sapiudin, 2014, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana.




[1] Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2014), hlm. 130.
[2] M. Zaidi Abdad, Pengantar Ilmu Fiqh, (Jakarta: Bania Publishing, 2013), hlm.46.
[3][3] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 73.
[4] Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2014), hlm. 132.
[5] Ibid,. hlm. 133.                                                                
[6] Ibid,. 134.
[7] Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2014), hlm. 133,
[8] Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 58.
[9] Ibid., hlm. 58.
[10] Ibid., hlm. 58.
[11] M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits, (Bandung: Angkasa, 1987), hlm. 186.
[12] Ibid., hlm.187.
[13] H.A. Djazuli, Ilmu Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 68.
[14] H.A. Djazuli, Ilmu Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm.68.
[15] H.A. Djazuli, Ilmu Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 69.
[16] Ibid,. hlm. 69.
[17] Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2014), hlm. 141.
[18] Ibid,. hlm. 141.
[19] Ibid,.hlm.142.
[20] Ibid,. hlm. 142.
[21] Ibid,. hlm.143.
[22] Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 60.
[23] Ibid, hlm. 62.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Konsep Kewirausahaan Islam

Makalah Filsafat Empirisme

KAIDAH FIKIH KULLIYAT YANG KE 26-30