Harta Dalam Perspektif Islam

AR-RAHN (GADAI) DALAM ISLAM
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Fiqh Muamalah”
Dosen Pengampu: Drs. H. Moh. Tamimi, M.A


SUCI RAMADHANI PUTRI




JURUSAN MUAMALAH
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM
2018




KATA PENGANTAR


Assalamu’alaikum wr.wb.
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat dan salam senantiasa  kita haturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam yang gelap gulita menuju alam yang terang benderang. Dan semua perkataan, perbuatan, pengakuan dan sifatnya adalah panutan bagi semua umatnya.
 Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Muamalah" pada      jurusan Muamalah, Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram. Makalah ini berjudul ”Harta dalam Perspektif Islamyang membahas tentang pengertian harta, unsure-unsur harta, kegunaan harta dan pembagian harta.
Tak lupa pula kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Dan juga, makalah kami ini sesungguhnya tak luput dari kesalahan. Karenaya kami mengharapkan kritikan dan saran dari pihak manapun yang dapat membangun. Karena kami disini masihlah seorang pelajar yang masih butuh banyak belajar lagi.
Demikianlah yang dapat kami sampaikan, kurang lebihnya kami mohon maaf bila ada salah-salah kata. Sesungguhnya segala kekurangan dan kesalahan itu datangnya dari kami sendiri. Sedangkan segala kelebihan itu datangnya dari Allah SWT semoga Allah SWT meridhai kita. Tiada gading yang tak retak. Sekian.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
                                                            Mataram, 20 Februari 2018

                                                                                                                        Kelompok 01





BAB I

PENDAHULUAN


Harta adalah sesuatu yang sangat pokok bagi umat Islam untuk menjalani hidupnya. Bahkan didalam Islam harta termasuk kedalam al kulliyat al-khams (lima hal inti/pokok), selain dari jiwa, keturunan, agama dan akal.seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya, bahwa harta adalah termasuk ke dalam lima hal pokok dalam Islam. Dengan ini Islam membuktikan bahwa Islam memberikan perhatian khusus memang dengan permasalahan harta. Hal ini terbukti dengan sedemikian Islam membentuk peraturan-peraturan guna menjaga harta.  Karena harta yang ada di dunia ini sesungguhnya adalah milik Allah SWt dan titipan kepada kita manusia. Dengan mengeathui bahwa harta ini adalah milik Allah SWT maka sudah sepatutnya kita interopeksi diri agar jangan menyiakan harta titipan ALllah SWT ini.
1.      Apa yang dimaksud dengan harta?
2.      Bagiamana kedudukan dan fungsi dari harta?
3.      Bagaimana cara memperoleh harta dan pemanfaatannya?
4.      Apa saja bagian dari harta?
1.      Agar kita sama-sama mengetahui dan mengenal apa itu harta dan bagaimana harta dalam perspektif Islam.
2.      Agar kita interopeksi diri untuk tidak semena-mena menggunakan harta titipan Allah SWT.
3.      Agar kesadaran untuk berbagi semakin tumbuh lagi.





BAB II

PEMBAHASAN


Harta dalam bahasa Arab disebut al-mal, berasal dari kataما ل-ىمىل-مىلا yang menurut bahasa berarti condong, cenderung atau miring[1]. Al-mal juga diartikan sebagai segala sesuatu yang menyenangkan manusia dan mereka pelihara, baik dalam bentuk materi, maupun manfaat.
Menurut bahasa umum, arti mal ialah uang atau harta.adapun menurut istilah, ialah “segala benda yang berharga dan bersifat materi serta beredar diantara manusia”. Menurut ulama Hanafiyah harta yaitu:“Segala yang diminati manusia dan dapat dihadirkan ketika diperlukan, atau segala sesuatu yang dapat dimiliki, disimpan dan dimanfaatkan”.[2]
Sedangkan menurut jumhur ulama, harta yaitu: “Segala sesuatu yang mempunyai nilai, yang dikenakan ganti rugibagi orang yang merusak atau melenyapkannya”.
Menurut jumhur ulama, harta itu tidak hanya bersifat materi melainkan juga termasuk manfaat dari suatu benda. Akan tetapi ulama Hanafiyah berpendirian bahwayang dimaksud dengan hartaitu hanya yang bersifat materi.
Para fuqaha memang berbeda pendapat mengenai pengertian apa itu harta. Namun dapat digarisbawahi bahwa penekanan para fuqaha bahwa dalam mendefinisikan harta itu antara lain:
Habib Ash Shidqiy menyebutkanbahwa harta merupakan nama bagi selain manusia, dapat dikelola, dimiliki, diperjualbelikan dan berharga. Konsekuensi perumusan ini adalah sebagai berikut:
1.      Manusia bukanlah harta sekalipun berwujud.
2.      Babi bukanlah harta karena bagi kaum muslimin haram diperjualbelikan.
3.      Sebiji beras bukanlah harta karena sebiji beras tidak memliki nilai (harga) menurut ‘urf.
Hanafiyah menyatakan bahwa harta adalah sesuatu yang berwujud dan dapat disimpan, sehingga segala sesuatu yang tidak dapat berwujud dan tidak dapat disimpan tidak termasuk harta, seperti hak dan manfaat.
Menurut para fuqaha harta bersendi pada dua unsur ‘urf. Unsur ‘aniyah ialah bahwa harta itu ada wujudnya dalam kenyataan (a’yan). Manfaat sebuah rumah yang dipelihara manusia tidak disebut harta, tetapi termasuk milik atau hak.[3]
Unsur ‘Urf  adalah segala sesuatu yang dipandang harta oleh seluruh manusia atau sebagian manusia, tidaklah manusia memelihara sesuatu kecuali menginginkan manfaatnya, baik manfaat madiyah maupun manfaat ma’nawiyah.
Dijelaskan dalam Al-Qur’an bahwa harta merupakan perhiasan hidup[4], firman Allah menyatakan:
ãA$yJø9$# tbqãZt6ø9$#ur èpuZƒÎ Ío4quŠysø9$# $u÷R9$#
Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia”. (Qs. Al-Kahfi : 46)
Tentang harta sebagai cobaan, Allah berfirman:
z`Îiƒã Ĩ$¨Z=Ï9 =ãm ÏNºuqyg¤±9$# šÆÏB Ïä!$|¡ÏiY9$# tûüÏZt6ø9$#ur ÎŽÏÜ»oYs)ø9$#ur ÍotsÜZs)ßJø9$# šÆÏB É=yd©%!$# ÏpžÒÏÿø9$#ur È@øyø9$#ur ÏptB§q|¡ßJø9$# ÉO»yè÷RF{$#ur Ï^öysø9$#ur 3 šÏ9ºsŒ ßì»tFtB Ío4quysø9$# $u÷R9$# ( ª!$#ur ¼çnyYÏã ÚÆó¡ãm É>$t«yJø9$# ÇÊÍÈ  
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak[186] dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)”.
Disamping sebagi perhiasan, harta juga berkedudukan sebagai amanat (fitnah)[5], sebagaimana Allah menyatakan:
!$yJ¯RÎ) öNä3ä9ºuqøBr& ö/ä.ß»s9÷rr&ur ×puZ÷GÏù 4 ª!$#ur ÿ¼çnyYÏã íô_r& ÒOŠÏàtã ÇÊÎÈ  
Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar”.
Karena harta sebagai titipan, manusia tidak memiliki harta secara mutlak sehingga dalam pandangan tentang harta, terdapat hak-hak orang lain, seperti zakat hartadan yang lainnya.
Pada hakikatnya, segala yang ada di langit dan di bumi adalah milik Allah. Firman Allah:
°! $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# 3
Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi.”.
Tentang harta sebagai sarana untuk mengimpun bekal menuju kehidupan akhirat, Allah berfirman:
tûïÏ%©!$# tbqà)ÏÿZムöNßgs9ºuqøBr& Îû È@Î6y «!$# §NèO Ÿw tbqãèÎ7÷Gム!$tB (#qà)xÿRr& $xYtB Iwur ]Œr&   öNçl°; öNèdãô_r& yYÏã öNÎgÎn/u Ÿwur ì$öqyz óOÎgøŠn=tæ Ÿwur öNèd šcqçRtóstƒ ÇËÏËÈ  
“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”.
Adapun fungsi harta sangat banyak, baik kegunaan dalam hal yang baik maupun kegunaan dalam hal yang jelek. Diantaranya:
1.      Berfungsi menyempurnakan ibadah mahdhah. Sebab untuk beribadah dibutuhkan alat-alat, seperti ain untuk menutup aurat.
2.      Untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah. Sebab kefakiran itu mendekatkan keapda kekafiran.
3.      Untuk mengembangkan dan menegakkan ilmu-ilmu, karena menuntut ilmu tanpa biaya akan terasa sulit.
4.      Untuk memutar peran-peran kehidupan, yakni dengan adanya yang miskin dan yang kaya. Sehingga tersusunlah masyarakat yang harmonis dan bercukupan.
5.      Untuk menumbuhkan silaturrahim. Karena saling membutuhkan, misalnya dengan saling tukar-menukar barang akomodasi masing-masing.
1.      Memperoleh harta
Harta merupakan kebutuhan pokok bagi kita untuk hidup. Oleh karena itu, Allah memerintahkan supaya manusia berusaha mencari harta dan memilikinya[6]. Usaha mencari dan memilikinya harus dengan cara yang baik.
#sŒÎ*sù ÏMuŠÅÒè% äo4qn=¢Á9$# (#rãÏ±tFR$$sù Îû ÇÚöF{$# (#qäótGö/$#ur `ÏB È@ôÒsù «!$# (#rãä.øŒ$#ur ©!$# #ZŽÏWx. ö/ä3¯=yè©9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÉÈ  
“Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”. (Al-Jumu’ah : 10)

Setelah seseorang berusaha mencari karunia Allah dengan bersungguh-sungguh, maka Allah alalu perintahkan untuk memohon keapda Allah agar Allah limpahkan karunianya itu dalam bentuk rizki. Sebagimana firman Allah:
(#qè=t«óur ©!$# `ÏB ÿ¾Ï&Î#ôÒsù 3 ¨bÎ) ©!$# šc%Ÿ2 Èe@ä3Î/ >äó_x« $VJŠÎ=tã ÇÌËÈ  
“Dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. (Qs An-Nisa : 32)

Bila telah berusaha dan telah meminta rizki keapda Allah maka Allah akan memberikan karunia-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Sebagimana firman Allah:
y7Ï9ºsŒ ã@ôÒsù «!$# ÏmÏ?÷sム`tB âä!$t±o 4 ª!$#ur rèŒ È@ôÒxÿø9$# ÉOŠÏàyèø9$# ÇÍÈ  
Demikianlah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah mempunyai karunia yang besar”. (Al-Jumu’ah : 4)

Adapun bentuk usaha dalam memperoleh harta yang menjadi karunia Allah untuk dimiliki oleh manusia untuk menunjang kehidupannya, secara
garis besar ada dua bentuk, yaitu:
a.       Memperoleh harta tersebut secara langsung sebelum dimiliki oleh siapapun. Misalnya adalah ihya al-mawat (menggarap tanah mati)
b.      Memperoleh harta yang telah dimiliki oleh orang seseorang melalui transaksi.bentuk ini dipisahkan menjadi dua cara: pertama peralihan harta dilakukan dengan sendirinya misalnya warisan. Kedua, peralihan harta tidak dengan sendirinya misalnya jual beli.
2.      Pemanfaatan harta
a.       Digunakan untuk kepentingan kebutuhan hidup sendir[7]i. Namun, dalam penggunaannya manusia dilarang melakukan beberapa hal ini:
1)      Israf, yaitu berlebih-lebihan dalam emanfaatkan harta meskipun untuk hidup sendiri
2)      Tabdzir (boros), dalam arti mengunkan harta untuk sesuatu yang tidak diperlukan
b.      Digunakan untuk memenuhi kewajibannya keapada Allah. Kewajiban kepada Allah itu ada dua macam, yaitu:
1)      Kewajiban materi yang berkaitan dengan kewajiban agama, seperti untuk membayar zakat ataupun lainnya.
2)      Kewajiban materi yang  harus ditunaikan untuk keluarga.
3)      Dimanfaatkan untuk kepentingan sosial. Hal ini dikarenakan rezeki yang Allah berikan kepada tiap-tiap individu itu berbeda. Sebagaimana firman Allah:
ª!$#ur Ÿ@žÒsù ö/ä3ŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ Îû É-øÌh9$#
Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki”.(Qs An-Nahl : 71)



Menurut fuqaha, harta dapat ditinjau dari beberapa segi. Harta terdiri dari beberapa bagian, tiap-tiap bagian memiliki cirri khusus dan hukumnya tersendiri. Pembagian jenis hartaini sebagai berikut.
1.      Mal Mutaqawwin  dan Ghair Mutaqawwin
a.       Harta Mutaqawwim ialah:
“Sesuatu yang boleh diambil manfaatnya menurut syara”
Harta yang termasuk mutaqawwin ini ialah semua harta yang baik jenisnya dan baik pula cara memperoleh dan penggunaannya. Misalnya, kerbau halal dimakanoleh umat Islam, tetapi kerbau ini disembelih tidak menurut syara’, misalnya dengan dipukul, maka kerbau itu tidak dapat dimanfaatkan karena tidak sesuai dengan syara’[8].
b.      Harta Ghair Mutaqawwim ialah:
“Sesuatu yang tidak boleh diambil manfaatnyamenurut syara’.”
Harta yang ghair mutaqawwim adalah harta yang tidak boleh diambil manfaatnya, baik jenisnya, cara memperolehnya dan penggunaannya. Misalnya babi, karena cara memperolehnya haram.[9]
Perbedaan kedua bentuk ini, kata Mustafa Ahmad Zarqa membawa akibat kepada:
1)      Ketidakbolehan umat Islam menjadikan harta yang tidak halal itu (babi) sebagai objek transaksi.
2)      Bebbasnya umat Islam dari tuntutan ganti rugi bila mereka merusak atau melenyapkan harta yang tidak halal dimanfaatkan oleh umat Islam sendiri.sedangkan bagaimana jika umat Islam menghancurkan babi milik kafir dzimmy? Menurut jumhur ulama umat Islam tidak boleh dituntut untuk ganti rugi.
2.       Harta Mitsli dan Harta Qimi
a.       Harta mitsli ialah:
“Harta yang ada persamaan-persamaan dalam kesatuan-kesatuannya, dalam arti dapat berdiri sebagiannya ditempat yang lain, tanpa ada perbedaan yang perlu dinilai”.
b.      Harta Qimi ialah:
“Harta yang tidak mempunyai persamaan di pasar atau mempunyai persamaan, tetapi ada perbedaan menurut kebiasaan atau kesatuannya pada nilai, seperti binatang dan pohon”[10].
Dengan kata lain, harta mitsli ialah harta yang jenisnya dapat diperoleh di pasa (secara persis), dan qimi ialah harta yang jenisnya sulit didapatkan di pasar, bisa diperoleh tapi jenisnya beda.
3.      Harta Istihlak dan Harta Isti’mal
a.       Harta Istihlak ialah:
“Sesuatu yang tidak dapat diambil kegunaan dan manfaatnya secara biasa, kecuali dengan menghabiskannya”.
Harta istihlak  terbagi menjadi dua, yaitu istihlak haqiqi dan haquqi. Istihlak haqiqi adalah suatu benda yang menjadi harta secara jelas (nyata) zatnya habis sekali digunakan. Misalnya korek api bila dibakar maka akan menjadi abu dan habislah kegunaannya. Istihlak haquqi adalah suatu harta yang telah habis nilainya bila telah digunakan, tetapi zatnya masih tetap ada. Misalnya uang yang digunakan untuk membayar hutang dipandang habis menurut hukum walaupun zatnya masih dan berpindah kepemilikannya.
b.      Harta Isti’mal
“Sesuatu yang dapat digunakan berulang kali dan materinya tetap terpelihara”.
Misalnya disini adalah kebun, sepatu, baju dan ataupun lainnya.
4.      Harta Manqul dan Ghair Manqul
a.      Harta Manqul ialah:
“Segala harta yang dapat dipindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain, seperti meas, perak, perunggu dan kendaraan”.
b.      Harta Ghair Manqul ialah:
“Segala yang tidak dapat dipindahkan dan dibawa dari suatu tempat ke tempat lain, seperti kebun, rumah, pabrik dan sawah.
5.      Harta ‘Ain dan Dayn
a.       Harta ‘ain ialah:
Harta yang berbentuk benda yang kelihatan, seperti rumah, pakaian, beras dan ataupun lainnya”.
b.      Harta dayn ialah:
“Ialah sesuatu yang berada dalam tanggungjawab, seperti uang yang dalam tanggung jawab seseorang”.
6.      Harta Mamluk, Mubah  dan Mahjur
a.       Harta mamluk ialah:
“Sesuatu yang masuk ke bawah milik , milik perorangan, atau badan hukum, seperti pemerintah dan yayasan”.
b.      Harta mubah ialah:
“Sesuatu yang pada asalnya bukan milik seseorang, seperti mta air, binatang buruan darat, pohon-pohon di hutan dan maupun lainnya’.
Sebagaimana dalam sebuah kaidah “Barangsiapa yang mengeluarkan dari tanah mubah maka ia menjadi pemiliknya”.
c.       Harta mahjur ialah:
“Sesuatu yang tidak boleh dimiliki sendiri dan memberikankepada orang lain menurut syariat.  Misalnya benda wakaf yang dikhususkan untuk umum”.
7.      Harta yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi
a.       Harta yang dapat dibagi (mal qabilli al-qismah) ialah:”Harta yang dapat menimbulkan suatu kerugian atau kerusakan apabila harta itu dibagi-bagi, misalnya beras.
b.      Harta yang tidak dapat dibagi (mal ghair qabil li al-qismah) ialah  “Harta yang menimbulkan suatu kerugian atau kerusakan apabila harta tersebut dibagi-bagi, misalnya gelas.
8.      Harta pokok dan hasil (tsamurah/buah)
a.       Harta pokok ialah harta yang mungkin dainya harta yang lain.
b.      Harta hasil (tsamarah/buah) ialah harta yang terjadi dari harta yang lain.
Pokok harta bisa juga disebut modal, misalnya uang, mas dan lainnya. Contoh harta pokok dan harta hasil ialah bulu domba yang dihasilkan dari domba, maka domba adalah harta pokok dan bulu domba adalah harta hasil.
9.      Harta khas dan ‘am
a.       Harta khas ialah harta pribadi , tidak bercampur dengan harta yang lain, tidak boleh diambil manfaatnya tanpa disetujui pemiliknya.
b.      Harta ‘am ialah harta milik umum (bersama) yang boleh diambil manfaatnya.
Harta yang dapat dikuasai terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
·         Harta yang termasuk milik perseorangan
·         Harta-harta yang tidak dapat termasuk milik perseorangan.
Harta yang dapat masuk menjadi milik perorangan, ada dua macam yaitu:
·         Harta yang bisamenjadi milik perorangan, tetapibelum ada sebab pemilikan, misalnya binatang buruan di hutan.
·         Harta yag bisa menjadi milik perorangan dan sudah ada sebab pemilikan, misalnya ikan di sungai di peroleh seseorang dengan cara memancing.
Harta yang tidak termasuk milik perorangan adalah harta yang menurut syara tidak boleh dimiliki sendiri, misalnya sungai dan lain-lain.





BAB III

PENUTUP


Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Semua kekayaan dan harta benda merupakan milik Allah, manusia memilikinya hanya sementara, semata-mata sebagai suatu amanah atau pemberian dari Allah. Manusia menggunakan harta berdasarkan kedudukannya sebagai pemegang amanah dan bukan sebagai pemilik yang kekal. Karena manusia mengemban amanah mengelola hasil kekayaan di dunia, maka manusia harus bisa menjamin kesejahteraan bersama dan dapat mempertanggungjawabkannya dihadapan Allah Swt.
Semoga apa yang di sampaikan dalam makalah ini dapat membantu kita semua dalam memahami bagaimana cara Pandang Islam tentang Kepemilikan Harta.
Sesungguhnya makalah kami ini pastilah tidak luput dari kesalahan. Karenanya kami sungguh sangat mengharapkan kritik dan saran dari segala pihak. Yang dapat lebih membangun kami lagi.








DAFTAR PUSTAKA


Rahman Ghazali, Abdul dkk. 2010. Fiqh Muamalah. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.
Al-Mursi Husain Jauhar, Ahmad. 2013. Maqashid syariah. Jakarta: Amzah.
Hendi Suhendi. 2010. Fiqh Muamalah. Jakarta: Rajawali Pers.



[1] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 09.
[2] Ibid, hlm. 09.
[3] Ibis, hlm. 10.
[4] Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah,  (Jakarta: Amzah, 2013), hlm. 167.
[5] Ibid, hlm. 11.
[6] Abdul Rahman Gazaly dkk, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana Prenada Grup. 2010), hlm.20.
[7] Ibid, hlm. 21
[8] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 30.
[9][9] Ibid, hlm. 30.
[10] Ibid, hlm. 31.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Konsep Kewirausahaan Islam

Makalah Filsafat Empirisme

KAIDAH FIKIH KULLIYAT YANG KE 26-30