Sumber Hukum Pidana
MAKALAH
SUMBER HUKUM PIDANA
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Hukum Pidana”
Dosen Pengampu:
Hamroni, MH
1.
SUCI RAMADHANI PUTRI
2.
LISANDRA
3.
ALYA AFIFAH
SAPUTRI
4.
DEWI PUSPA
WARTINI
JURUSAN MUAMALAH
FAKULTAS
SYARIAH
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM
2018/2019
KATA
PENGANTAR
Assalamu’alaikum
wr.wb.
Puji syukur kami panjatkan kehadirat
Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga
kami berhasil menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat dan salam senantiasa kita haturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang
telah membawa kita dari alam yang gelap gulita menuju alam yang terang benderang. Dan
semua perkataan, perbuatan, pengakuan dan sifatnya adalah panutan bagi semua umatnya.
Makalah ini disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah “Hukum
Pidana" pada jurusan Muamalah,
Universitas Islam Negeri (UIN)
Mataram. Makalah ini berjudul
“Tafsir Ayat-ayat tentang Harta
Kekayaan” yaitu yang akan membahas seputarapa
saja sumber dari hukum pidana lalu kemudian bagaimana kedudukan hukum adat dan
asal mula penerapan KUHP di Indonesia.
Demikianlah yang dapat kami sampaikan, kurang lebihnya kami mohon
maaf bila ada salah-salah kata. Sesungguhnya segala kekurangan dan kesalahan
itu datangnya dari kami sendiri. Sedangkan segala kelebihan itu datangnya dari
Allah SWT semoga Allah SWT meridhai kita. Tiada gading yang tak retak. Sekian.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
Mataram, 20 Oktober 2018
Kelompok 02
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Sama seperti cabang ilmu yang lain, hukum pidana juga memiliki sumber
hukumnya tersendiri. Sumber hukum yang kemudian dengannya ditetapkan
peraturan-peraturan yang berkaitan
dengan eksistensi hukum pidana itu sendiri. Sumber hukum pidana ada dua, yaitu
ada yang tertulis dan ada yang tidak tertulis (adat).
Kedudukan sumber hukum sangatlah penting bagi hukum pidana. Karena jika
hukum pidana tidak mempunyai sumber hukum yang disepakati maka tidak akan
tercipta peraturan-peraturan yang berkeuatan hukum yang kemudian akan negara
jalankan. Dengan adanya sumber hukum pidana maka akan tercipta
peraturan-peraturan yang dapat mengatur segala kegiatan manusia yang memang
kembali kepada hakikat adanya hukum yaitu salah satunya terpenuhinya rasa keadilan. Para polisi mempunyai landasan yang
jelas untuk kemudian melakukan penangkapan atas pidana yang dilakukan
seseorang. Keudian jaksa mempunyai landasan yang jelas pula untuk kemudian
menuntut pelaku pidana da kemudian hakimpun akan jelas dalam memberikan hasil
keputusan hukuman apa yang harus didapatkan oleh si pelaku tindak pidana.
Dalam makalah kami ini, kami akan mencba membahas mengenai apa saja sumber
dari hukum pidana dan kemudian sejarah dan kemudian bagaimana korelasinya
dengan hukum adat.
1. Apa saja sumber hukum pidana?
2. Bagaimana asal mula penerapan KUHP di Indonesia?
3. Bagaimana kedudukan hukum adat di hadapan hukum pidana?
1. Mengetahui apa saja sumber-sumber hukum pidana.
2. Mengetahui bagaimana asal mula penerapan KUHP di Indonesia.
3. Mengetahui bagaimana kedudukan hukum adat di hadapan hukum pidana.
BAB II
PEMBAHASAN
Yang dimaksud
dengan sumber hukum ialah segala sesuatu yang menimbulkan aturan-aturan yang
mempunyai kekuatan yang bersifat
memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakbatkan sanksi yang
tegas dan nyata. Atau sumber hukum ialah asal atau tempat mencari hukum.
Sumber hukum pidana dibedakan menjadi dua, yaitu sumber hukum pidana
yang tertulis dan tidak tertulis..
1.
Sumber
hukum tertulis
Sumber hukum
tertulis terbagi menjadi dua, yaitu:
a.
Sumber
hukum tertulis dan terkodifikasi, misalnya KUHP (Kitab Undang-undang Hukum
Pidana) yang terdiri atas 569 pasal.
Secara
sistematik, KUHP terbagi dalam
1)
Buku
I : Memuat tentang
ketentuan-ketentuan umum (Algemene
Leerstrukken) pasal 1-103.
2)
Buku
II : Mengatur tentang tindak pidana
kejahatan (Misdrijven)
pasal
104-488.
3)
Buku
III : Mengatur tentang tindak pidana
pelanggaran (Overst
dingen) pasal 489-569.
b.
Sumber
hukum tertulis tapi tidak terkodifikasi (tersebar dalam peraturan
perundang-undangan lain), misalnya: UU No. 20 Tahun 2001 jo UU Nomor 31 Tahun
1999 tentang Korupsi, dan UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasna Tindak
Pidana Terorisme.
2.
Sumber
hukum tidak tertulis dan tidak terkodifikasi. Yang dimaksud dengan sumber hukum
tidak tertulis dan tidak terkodifikasi yaitu hukum adat.
KUHP (Kitab
Undang-undang Hukum Pidana) ialah sebuah kitab hukum yang didalamnya berisi
tentang kumpulan Undang-undang hukum Pidana. Yang dimaksud dengan Undang-undang
Hukum Pidana ialah peraturan hidup (norma) yang ditetapkan oleh instansi
kenegaraan yang berhak membuatnya. Norma yang diikuti dengan sanksi atau
hukuman terhadap siapa saja yang melanggarnya.[1]
Jika
Undang-undang Hukum Pidana diartikan secara sempit, maka yang berhak membuatnya
ialah badan Legislatif tertinggi (DPR) bersama Pemerintah. Namun, jika Undang-undang
Hukum Pidana diartikan secara luas, maka yang berhak membuatnya adalah semua
badan Legislatif dan semua orang yan mempunyai kekuasaan Ekseskutif.
Suatu Undang-undang dinyatakan berlaku sejak tanggal yang ditetapkan dalam
Undang-undang itu sendiri. Sedangkan mengenai kapan berakhirnya suatu
Undang-undang terdapat beberapa alasan yang dapat mendasarinya. Diantaranya
yaitu, bila telah ada peraturan yang baru yang isinya bertentangan dengan
peraturan yang lama.
Sedangkan ruang lingkup dari Undang-ndang hukum pidana itu terbagi menjadi
dua, yaitu secara negatif dan secara positif. Yang dimaksud dengan secara
negatif yaitu mengenai berlakunya Undang-undang Hukum Pidana berdasarkan waktu.
Kemudian yang dimaksud dengan secara positif yaitu berdasarkan dengan tempat.
Orang-orang
Belanda dengan melewati lautan dan samudra luas menuju dan menetap di
tanah-tanah jajhannya, membawa hukumnya sendiri yang berlaku baginya. Maka pada
zaman penjajahan Belanda di Indonesia, sejak semula ada dualisme dalam
perundang-undangan. Ada peraturan-peraturan hukum tersendiri untuk orang-orang
Belanda dan lain-lainuntuk orang-orang Eropa merupakan jiplakan dari hukum yang
berlaku di negeri Belanda, dan ada peraturan-peraturan hukum tersendiri untuk
orang-orang Indonesia dan orang-orang Timur Asing.
Untuk
orang-orang Eropa berlaku Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang termuat dalam
firman Raja belanda taggal 10 february 1866 No. 4 yang mulai berlaku 1 January
1867. Sedangkan untuk orang-orang Indonesia dan Timur Asing, berlaku suatu
Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang termuat dalam ordonantic tanggal 6 Mei
1872 yang mulai belaku tanggal 1 Januari 1873. Pada saat itu, kedua Kitab
Undang-undang Hukum Pidanaadalah jiplakan dari code Penal Negara Perancis oleh
Napoleon Bonaparte yang dinyatakan berlaku di Belanda saat itu karena Belanda
ditaklukkan oleh Napoleon.
Kitab
Undang-undang Hukum Pidana di Indonesia baru dibentuk sesuai Firman Raja
Belanda tanggal 15 Oktober 1915, yang diberlakukan mulai 1 Januari 1918, yang
menggantikan kedua hukum pidana bagi golongan Eropa dan golongan Indonesia
serta golongan Timur Asing, yang berlaku secara nasional bagi semua penduduk
Indonesia dengan Firman Raja Belanda tanggal 4 Mei 1917 (Staatsblad 1917
nomor 497) yang mengatur tentang peralihan dari hukum pidana lama menjadi hukum
pidana baru.[2]
Perkembanga
selanjutnya ketika pada zaman penjajahan Jepang di Indonesia dan
ketikapermulaan kemerdekaan Indonesia, melalui peraturan peralihan UUD Republik
Indonesia 1945 pasal 2 aturan peralihan yang menyatakan:
“Bahwa segala badan Negara dan peraturan yang ada masih berlangsung
berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini. Filosofi yang
terkandung dalam pasal 2 aturan peralihan ini karena badan-badan Negara di
Indonesia belum terbentuk. Sehingga untuk menghindari kevakuman perundang-undangan
hukum pidana diberlakukan hukum pidana yang telah ada bagi penduduk Indonesia
secara nasional sambil menunggu terbentuknya hukum pidana yang baru.”
Dengan lahirnya
UU No. 1 tahun 1946 tanggal 26 Februari 1946, yang termuat dalam lembaran
berita Republik Indonesia II No. 9 ditegaskan bahwa, hukum pidana yang berlaku di
Indonesia dengan tidak menyimpang seperlunya dari aturan presiden Republik Indonesia tanggal 10 Oktober 1945 No. 2 yang isinya sebagai
berikut:
Pasal 1: Segala badan-badan negara dan peraturan-peraturan yang ada, sampai
berdirnya negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, selama belum
diadakan yang baru menurut UUD, masih berlaku asal saja tidak
bertentangan dengan UUD.
Pasal
2: Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal 17 Agustus 1945.
Selanjutnya UU No. 1 tahun 1946 dilakukan perubahan yang mendasar terhadap
Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie, ditentukan bahwa hukum pidana
yang berlaku sekarang adalah pada tanggal 8 mret 1942, ketika pemerintah Hindia
Belanda menyerah pada tentara Jepang yang berkuasa di Indonesia sampai dengan
tanggal 17 Agustus 1945. Berbagai perubahan-perubahan atau penambahan
disesuaikan dengan keadaan negara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dengan nama
Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie diubah menjadi Wetboek van
Strafrecht, yang dapat disebut dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Tentunya harus diingat bahwa teks asli Wetboek van Strafrecht atau Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sampai kini
punmasih di dalam bahasa Belanda, kecuali penambahan-penambahan kemudian
sesudah tahun 1946 yang teksnya sudah dalam Bahasa Indonesia, termasuk yang
dipegang dalam pelaksana hukum (hakim, Jaksa, Polisi, dan Pengacara) terjemahan
di dalam bahasa Indonesia, corak dan ragamnya tergantung selera penerjemah
termasuk yang dipakai oleh Dosen maupun Mahasiswa..
Dengan berlakunya UU No. 73 tahun 1958 pada tanggal 2 September 1958 tentang, “Menyatakan berlakunya UU No.1 tahun 1946
Republik Indonesia tentang peraturan hukum pidana untuk seluruh wilayah
Republik Indonesia dan mengubah Kitab Undang-undang Hukum Pidana”. Sehingga dengan demikian jelas berlaku satu hukum pidana untuk seluruh
wilayah Republik Indonesia dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang
kita kenal dan berlaku hingga saat ini.
Nama KUHP yang
resmi disebut dalam pasal VI Undang-undang No. 1 tahun 1946, yaitu berbunyi
“Ayat 1 nama Undang-undang Hukum Pidana Wetboekk van Strafrecht. Ayat 2
Udang-undang tersebut dapat disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana”. [3]
Bila
ditelusuri tata hukum Indonesia, kita dapat menemukan adanya beberapa peraturan
perundang-undangan yang esensinya mengandung makna sebagai aturan yang memberi
tempat bagi pemberlakuan hukum pidana adat dalam praktik
peradilan pidana. Peraturan perundang-undangan tersebut
di antaranya adalah:
1.
UU Nomor 1 Darurat Tahun 1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara
untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan, dan Acara
Pengadilan-pengadilan Sipil;
2.
UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Pembentuk
undang-undang telah membangun jembatan yuridis untuk mengaktualisasi hukum
pidana adat dalam praktik peradilan pidana melalui ketentuan Pasal 5 (3) sub b
Nomor 1 Drt Tahun 1951. Di dalam ketentuan tersebut dirumuskan aturan yang
dapat dipahami, bahwa bagi mereka yang dinyatakan bersalah menurut hukum adat,
namun tidak menjalani hukumannya, maka perbuatannya tetap dianggap sebagai
perbuatan pidana yang diancam dengan hukuman tidak lebih dari 3 bulan penjara
berdasarkan KUHP. Artinya, perbuatan yang di dalam masyarakat diakui sebagai
perbuatan yang melanggar hukum pidana adat tetap dianggap sebagai perbuatan
pidana yang diancam dengan hukuman menurut ketentuan KUHP.
Di samping itu, berbagai ketentuan yang terkandung di
dalam UU Kekuasaan Kehakiman, sejak dari UU Nomor 14 Tahun 1970, sampai pada UU
Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dapat pula diposisikan sebagai
aturan yang memberi tempat bagi hukum yang hidup dalam masyarakat. Ketentuan tersebut meliputi:
1.
Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 yang menentukan, bahwa “pengadilan
mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”.
Kata “menurut hukum” dapat diartikan secara luas mencakup
legalisasi formil dan materiil. Pasal ini merupakan petunjuk bagi hakim untuk
senantiasa memperhatikan peraturan tertulis dan hukum yang benar-benar hidup
dalam masyarakat, apabila hendak menegakkan keadilan;
2. Pasal 5 ayat (1)
UU Nomor 48 Tahun 2009 menentukan, bahwa “hakim dan hakim konstitusi wajib
menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat”;
3. Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 menentukan bahwa
“pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Jika kata “hukum” yang
dimaksud dalam rumusan ini adalah yang tertulis, maka hakim wajib memeriksa dan
mengadili perkara yang diajukan kepadanya meskipun hukum tertulis itu tidak
secara nyata mengaturnya. Dengan
demikian hakim harus menggali hukum yang tidak tertulis (hukum yang hidup).
4.
Pasal 50 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 menentukan, bahwa “putusan
pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal
tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, atau sumber hukum
tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”.
Meskipun
pembentuk undang-undang telah membuat pengaturan bagi pemberlakuan hukum pidana
adat (sekalipun tidak eksplisit), namun sayangnya, berdasarkan pengamatan
selama ini, terungkap bahwa rumusan normatif itu cenderung kurang mendapatkan
perhatian untuk diterapkan penegak hukum. Oleh karena itu, hukum pidana yang
akan datang (“ius constituendum”) mempertegas pengakuan terhadap
keberadaan hukum pidana adat. Pembuat Konsep RUU KUHP dalam beberapa rumusan
menempatkan hukum pidana adat pada posisi yang cukup strategis seperti terlihat
dalam rumusan pasal-pasal berikuit
1.
Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi: “ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat
yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut
tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan”.
2. Pasal 51 ayat (1) huruf c menentukan, “pemidanaan
bertujuan”: “menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat”;
3.
Pasal 64 ayat (1) yang menentukan sanksi pidana tambahan, di
antaranya adalah “pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban
menurut hukum yang hidup”.
Sekalipun
pembuat konsep masih tetap menempatkan asas legalitas sebagai asas yang
fundamental, namun pemberlakuannya tidak mengurangi berlakunya hukum pidana
adat. Itu berarti pembuat konsep tidak lagi secara kaku merumuskan asas
legalitas seperti yang dikenal dalam hukum pidana selama ini. Pembuat konsep
telah mengakomodasi kerangka berpikir hukum bangsanya sendiri di tengah
pergaulan antar bangsa yang memang tidak bisa kita abaikan.
BAB III
PENUTUP
Sumber hukum pidana terbagi menjadi dua, yaitu yang tertulis dan tidak
tertulis. Ntuk yang tertulis ini terbagi lagi menjadi dua, yaitu yang
terkodifikasi dan yang tidak terkodifikasi. Untuk contoh yang terkodifikasi
ialah KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) sedangkan untuk contoh yang tidak
terkodifikasi ialah: UU No. 20 Tahun 2001 jo UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Korupsi, dan UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasna Tindak Pidana
Terorisme. Kemudian untuk apa yang dimaksud sumber hukum pidana yang tidak
tertulis adalah adat atau kebiasaan.
Sesungguhnya
makalah kami ini pastilah tidak luput dari kesalahan. Karenanya kami sungguh
sangat mengharapkan kritik dan saran dari segala pihak. Yang dapat lebih
membangun kami lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Danil, Elwi. 2012, konstitusionalitas
Penerapan Hukum Adat dalam penyelesaian
Hukum Pidana, Naskah diterima: 15/08/2012. Diambil
dari: https://www.google.com/jurnal?\+tentang+sumber+hukum+pidana&gs_l=mobile-gws-wiz-serp.
Gunadi, Ismu. dkk. 2014, Cepat dan Mudah Memahami Hukum
Pidana, Jakarta: Kencana.
Kansil, C.S.T. dkk. 2010, Latihan Ujian
Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika.
Syarifin, Pipin. 2008. Hukum Pidana di
Indonesia, Bandung: Pustaka Setia.
Komentar
Posting Komentar