Manusia Sebagai Subjek Hukum
MAKALAH
MANUSIA
SEBAGAI SUBJEK HUKUM
Diajukan
untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Hukum Perdata”
Dosen Pengampu: Dr. Hj. Teti
Indrawati P. M.Hum
1.
SUCI
RAMADHANI PUTRI
2.
AFRIANSYAH
3.
INDRIATUL
AINI
JURUSAN MUAMALAH
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MATARAM
2018/2019
KATA
PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr.wb.
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat dan
salam senantiasa kita haturkan kepada
Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam yang gelap gulita menuju
alam yang terang benderang. Dan semua
perkataan, perbuatan, pengakuan dan sifatnya adalah panutan bagi semua umatnya.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Hukum
Perdata" pada jurusan Muamalah, Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram.
Makalah ini berjudul “Manusia
sebagai Subjek Hukum” yang akan membahas tentang bagaimana kedudukan manusia di
mata hukum sebagai subjek hukum.
Demikianlah
yang dapat kami sampaikan, kurang lebihnya kami mohon maaf bila ada salah-salah
kata. Sesungguhnya segala kekurangan dan kesalahan itu datangnya dari kami
sendiri. Sedangkan segala kelebihan itu datangnya dari Allah SWT semoga Allah
SWT meridhai kita. Tiada gading yang tak retak. Sekian.
Wassalamu’alaikum
wr.wb.
Mataram,
20 September 2018
Kelompok 01
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Hukum perdata sebagai sebuah cabang
ilmu ilmu hukum memiliki peran fungsi dan manfaatnya sendiri bagi manusia.
Seperti yang kita kenal bahwa hukum memang telah menjadi hal yang tak
terpisahkan bagi kehidupan manusia. Karena dengan hukum, hidup dapat menjadi
terara, tentram dan damai.
Hukum meliputi segala aspek
kehidupan manusia salah satunya adalah
aspek keperdataan. Yang di Negara kita telah di atur dengan hukum perdata yang
bersumberkan KUHPerdata (Bugerlijk Wetboek). Hukum perdata termasuk ked lam
hukum privaat. Karena hukumperdata mengatur ketentuan-ketentuan yang berkaitan
dengan kepentingan-kepentingan pribadi tiap individu.
Berdasarkan penjelasan di atas,
dapat kita ketahui bahwa subjek dari hukum perdata adalah manusia itu sendiri
ataupun orang. Yang kemudian orang ini berkembang menjadi badan hukum pula.
Pada makalah kami ini, kami akan
membahas seputar manusia sebagai subjek hukum. Bagaimana kemudian manusia dapat
menjadi subjek hukum dan bagaimanakah kedudukan manusia tersebut sebagai subjek
hukum di hadapan hukum.
1.
Apa
yang dimaksud dengan manusia sebagai subjek hukum?
2.
Bagaimana
pengakuan terhadap manusia sebagai subjek hukum?
3.
Bagaimana
kedudukan manusia sebagai subjek hukum?
1.
Mengetahui
apa yang dimaksud dengan subjek hukum.
2.
Mengetahui
bagaimana pengakuan terhadap manusia sebagai subjek hukum.
3.
Mengetahui
magaimana kedudukan manusia sebagai subjek hukum.
BAB II
PEMBAHASAN
Istilah subjek hukum berdasarkan
dari terjemahan rechtsubject (Belanda) atau law of subject (Inggris).[1] Subjek
hukum adalah
pendukung hak dan kewajiban yang disebut orang. Orang menurut konsep hukum
terdiri atas manusia (persoon) dan badan hukum (rechtpersoon).
Manusia adalah subjek hukum menurut konsep biologis, sebagai gejala alam,
sebagai makhluk budaya ciptaan Tuhanyang dilengkapi dengan akal, perasaan, dan
kehendak. Badan hukum adalah subjek hukum menurut konsep yuridis, sebagai
gejala hidup bermasyarakat, sebagai badan ciptaan manusia berdasarkan hukum,
memiliki hak dan kewajiban seperti manusia.
Secara prinsipil, badan hukum berbeda dengan manusia. Perbedaan tersebut
adalah:
1. Manusia adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan, mempunyai akal, perasaan dan
kehendak. Badan hukum adalah badan ciptaan manusia berdasar pada undang-undang,
diwakili oleh pengurusnya.
2. Manusia memiliki kelamin, dapat kawin, dapat beranak. Badan hukum tidak
memiliki kelamin, tidak dapat kawin, tidak dapat beranak.
Pengakuan terhadap manusia sebagai subjek hukum sejak masih di dalam
kandungan ibunya dengan ketentuan dilahirkan hidup. Sebagaimaa dalam pasal 2
KUHPerdata sebagai berikut.
“Anak yang ada dalam kandungan seorang
perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan bilamana juga kepentingan si anak
menghendakinya. Mati sewaktu dilahirkan , dianggaplah ia tak pernah ada”.
(Pasal 2 KUHPerdata)
Pengakuan terhadap manusia sebagai subjek hukum yang menyatakan bahwa tidak
ada satu hukumanpun yang dapat mengakibatkan kehilangan hak perdata manusia
sebagai subjek hukum.[3]
Sebagaimana dalam pasal 3 KUHPerdata sebagai berikut.
“Tiada satu hukumanpun mengakibatkan kematian
perdata, atau kehilangan segala hak kewarganegaraan”. (Pasal 3 KUHPerdata)
Meskipun menurut hukum sekarang ini,
setiap orang/manusia tanpa kecuali dapat
memiliki hak-haknya, akan tetapi di dalam hukum, tidak semua orang/manusia
dibolehkan bertindak sendiri dalam melaksanakan hak-haknya itu.hukum. Atau
biasa juga disebut dengan tidak cakap
Ada beberapa golongan orang/manusia
yang oleh hukum telah dinyatakan tidak cakap atau kurang cakap untuk bertindak
sendiri dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum, sehingga mereka itu harus
diwakili atau dibantu oleh orang lain. menurut pasal 1330 KUH Perdata,
Mereka yang oleh hukum dinyatakan
telah dinyatakan tidak cakap untuk melakukan sendiri perbuatan hukum ialah: a) Orang/manusia yang belum dewasa, b) Orang/manusia
yang ditaruh di bawah pengampuan (curatele), dan c) Orang/manusia perempuan
dalam pernikahan (wanita kawin).
1.
Orang/manusia
yang belum dewasa
Orang/manusia
yang belum dewasa hanya dapat menjalankan hak dan kewajibannya dengan perantara
orang lain, atau sam asekali dilarang. Kecakapan untuk bertindak di dalam hukum
bagi orang-orang yang belum dewasa ini diatur dalam ketentuan sebagai berikut.
a.
Menurut
pasal 330 KUH Perdata, orang yang dikatakan belum dewasa apabila ia belum
mencapai usia 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabila ia telah
menikah, maka ia akan dianggap telah dewasa dan ia tidak akan menjadi orang
yang di bawah umur lagi, meskipun perkawinannya diputuskan sebelum ia mencapai
usia 21 tahun.[4]
“Belum
dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan
tidak lebih dulu telah kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur
mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam
kedudukan belum dewasa. Mereka yang
belum dewasa dan tidak berada dalam kekuasaan orang tua, berada di bawah
perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana teratur dalam bagian ketiga,
keempat, dan kelima bab ini. Penentuan arti istilah “belum dewasa” yang dipakai
dalam beberapa peraturan.
Ordonansi
31 Januari 1931. L. N. 1931-’54.
Untuk
menghilangkan segala keragu-raguan yang timbul karena ordonansi 21 Desember
1917, L.N. 1917-138, dengan mencabut ordinansi ini, ditentukan sebagai berikut:
(1)
Apabila
peraturan undang-undang memakai istilah “belum dewasa”, maka sekedar menganai
bangsa Indonesia segala orang yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak
lebih dahulu telah kawin.
(2)
Apabila
perkawinan itu dibubarkan sebelum umur dua puluh dua tahun, maka tidaklah
mereka kembali lagi dalam istilah “belum dewasa”
(3)
Dalam
paham perkawinan tidaklah termasuk perkawinan anak-anak.
(Pasal
330 KUH Perdata)[5]
2.
Untuk
melangsungkan perkawinan
a.
Menurut
pasal 29 KUH Perdata, bagi seorang laki-laki harus berumur 18 tahun dan bagi
seorang wanita harus berumur 15 tahun.
b.
Menurut
pasal 7 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, bagi seorang laki-laki
harus berumur 19 tahun dan bagi seorang wanita harus berumur 16 tahun.
c.
Dalam
hukum waris, seseorang yang belum mencapai umur 18 tahun tidak dapat membuat
wasiat .
d.
Menurut
pasal 19 UU No. 8 tahun 2012 tentang tentang pemilu, untuk dapat memilih di
dalam pemilihan umum harus sudah berumur 17 tahun.
3.
Orang
yang ditaruh di bawah pengampuan
Menurut pasal 433 KUH Perdata orang yang ditaruh di bawah
pengampuan adalah orang yang dungu, sakit ingatan atau mata gelap, dan orang
boros. Mengenai hal ini diatur dalam ketentuan-ketentuan berikut ini:
a.
Seseorang
yang karena ketaksempurnaan akalnya ditaruh di bawah pengampuan, telah
mengikatkan dirinya dalam suatu perkawinan, dapat diminta pembatalan perkawinan
(Pasal 88 ayat 1 KUH Perdata)
b.
Untuk
dapat membuat atau mencabut suatu surat
wasiat, seseorang harus mempunyai akal budinya (Pasal 895 KUH Perdata)
c.
Mereka
yang ditaruh di bawah pengampuan dianggap tak cakap untuk membuat suatu
perjanjian (Pasal 1330 KUH Perdata)
4.
Kedudukan
wanita dalam hukum
Khusus untuk
perempuan yang dinyatakan tidak cakap dalam perbuatan hukum, dalam hal:
a.
Membuat
perjanjian, memerlukan bantuan atau izin dari suami.
b.
Menghadap
di muka hakim harus dengan bantuan suami (Pasal 110 KUH Perdata)
Untuk sekarang
ini, ketentuan pasal 108 KUH Perdata ini telah dicabut dengan surat edaran
Mahkamah Agung No. 3 tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963. Hal ini ditegaskan lagi
dalam pasal pasal 31 UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, di mana hak dan
kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam
masyarakat. Dan masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan
hukum. Selanjutnya menurut pasal 36 ayat
(2) UU No. 1 tahun 1974 mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri
mempunyaihak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta
bendanya.
Namun dalam hal
tertentu, meskipun seorang istri yang dianggap cakap melakukan perbuatan hukum
oleh UU No. 1 tahun 1974, dalam melakukan perbuatan terhadap harta bersama perkawinan, harus dengan persetujuan
suami (karena suami adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah
tangga).[6]
5.
Pendewasaan
Pendewasan atau
perlunakan (handlichting) adalah suatu daya upaya hukum untuk
menempatkan seorang yang belum dewasa menjadi sama menjadi orang yang telah
dewasa, baik untuk tindakan tertentu ataupun untuk semua tindakan. Dengan
demikian, menurut pasal 424 KUH Perdata anak yang dewasa, dalam segala-galanya mempunyai
kedudukan yang sama dengan orang dewasa.
a.
Macam-macam
bentuk pendewasaan
Pada
dasarnya, ada dua macam bentuk pendewasaan
yaitu:
1)
Pendewasaan
terbatas
Dengan
pendewasaan terbatas, maka anak yang di bawah umur (yang belum dewasa)
dinyatakan dewasa untuk melakukan tindakan hukum tertentu. Syarat untuk
mengajukan pendewasaan terbatas adalah harus sudah berusia 18 tahun dan
permohonan ini diajukan ke Pengadilan Negeri (Pasal 426 KUH Perdata)
2)
Pendewasaan
penuh
Dengan
pendewasaan penuh, maka anak di bawah umur (yang belum dewasa), dinyatakan
ewasa untuk melakukan segala tindakan. Syarat untuk mengajukan pendewasaan
penuh yaitu harus sudah berusia 20 tahun dan permohonan ini diajikan kepada
presiden (dalam hal ini Menteri Kehakiman pasal 420-421 KUH Perdata)
b.
Pencabutan
hak pendewasaan
Pendewasaan ini
dapat dicabut atau ditarik kembali oleh pengadilan Negeri apabila anak yang
belum dewasa ini menyalahgunakan kewenangan yang diberikan kepadanya atau suatu
alasan tertentu (pasal 432 KUH Perdata). Segala bentuk pendewasaan dan
pencabutan pendewasaan ini, harus diumumkan dalam berita Negara agar berlaku
bagi umum.[7]
Untuk masa
sekarang ini, lembaga pendewasaan ini sudah tidak mempunyai arti lagi, karena
batas usia dewasa menurut UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan adalah 18
tahun.
6.
Pengampuan
Pengampuan (curatele)
adalah suatu daya upaya hukum untuk menempatkan seorang yang telah dewasa
menjadi sama seperti orang yang belum dewasa. Orang yang ditaruh di bawah
pengampuan disebut curandus, pengampunya disebut curator dan
pengampuannya disebut curatele. Menurut pasal 433 KUH Perdata setiap
orang dewasa yang mempunyai sakit ingatan, boros, dungu dan mata gelap harus
ditaruh di bawah pengampuan. Setiapanak
yang belum dewasa yang berada dalam keadaan dungu, sakit ingatan atau mata
gelap, tak boleh ditaruh di bawah pengampuan, melainkan tetaplah ia di bawah
pengawasan bapak dan ibunyaatau walinya (pasal 462 KUH Perdata).
a.
Pengajuan
permohonan pengampuan
Pengampuan ini
terjadi karena adanya keputusan hakim yang didasarkan dengan adanya permohonan
pengampuan. Yang dapat mengajukan permohonan pengampuan adalah:
1)
Keluarga
sedarah terhadap keluarga sedarahnya, dalam hal keadaannya dungu, sakit ingatan
atau mata gelap (pasal 462 KUH Perdata).
2)
Keluarga
sedarah dalam garis lurus sampai dengan derajat keempat, dalam hal keborosannya
(pasal 434 ayat 2 KUH Perdata).
3)
Suami
dan istri boleh meminta pengampuan akan istri atau suaminya (pasal 434 ayat 3
KUH Perdata).
4)
Diri
sendiri, dalam hal ia tidak cakap mengurus kepentingannya sendiri (pasal 434
ayat 4 KUH Perdata).
5)
Kejaksaan,
dalam hal mata gelap, keadaandungu atau sakit ingatan (pasal 435 KUH Perdata)
Setiap
permintaan akan pengampuan harus diajukan ke Pengadilan Negeri di mana orang
yang dimintakan pengampuannya itu berdiam (pasal 436 KUH Perdata). Pengampuan
mulai berlaku sejak putusan atau penetapan diucapkan (pasal 446 KUH Perdata).
b.
Akibat
hukum pengampuan
Akibat
hukum dari orang yang ditaruh di bawah pengampuan:
1)
Ia
sama dengan orang yang belum dewasa (pasal 452 ayat 1 KUH Perdata)
2)
Segala
perbuatan hukum yang dilakukan oleh orang yang ditaruh di bawah pengampuan, batal
demi hukum (pasal 446 ayat 2 KUH Perdata)
Di samping dua hal di atas terdapat pengecualiannya, yaitu:
1)
Orang
yang ditaruh di bawah pengampuan karena boros, masih boleh membuat surat wasiat
(pasal 446 ayat 2 KUH Perdata)
2)
Orang
yang ditaruh di bawah pengampuan karena boros, masih bisa melangsungkan
perkawinan dan membuat perjanjian kawin yang dibantu oleh pengampunya (pasal
452 ayat 2 KUH Perdata)
7.
Berakhirnya
pengampuan
Pengampuan ini berakhir apabila sebab-sebab yang mengakibatkannya
telah hilang (pasal 460 KUH Perdata) pengampuan juga berakhir apabila si corundus
meninggal dunia.[8]
BAB III
PENUTUP
Istilah subjek
hukum berdasarkan dari terjemahan rechtsubject (Belanda) atau law of
subject (Inggris). Subjek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban yang disebut orang.
Orang menurut konsep hukum terdiri atas manusia (persoon) dan
badan hukum (rechtpersoon).
Pengakuan
terhadap manusia sebagai subjek hukum tertuang dalam pasal 2 dan 3 KUHP. Dimana pasal2 berisi
tentang bahwa manusia telah menjadi subjek hukum sejak dalam kandungan dan
pasal 3 berisi tentang bahwa tidak ada hukuman apapun yang dapat merenggut hak
perdata seseorang.
Meski manusia
sebagai subjek hukum memiliki hak-hak keperdataan yang telah diakui. Namun
tetap ada pengecualian tertentu. Hal ini berlaku apaila manusia tersebut tidak
cakap dalam hukum. Penyebab terjadinya ketidakcakapan dalam hukum ini bisa
disebabkan oleh misalnya gangguan jiwa ataupun lainnya. Yang oleh itu maka
dibutuhkan seorang pengampu untuknya.
Sesungguhnya
makalah kami ini pastilah tidak luput dari kesalahan. Karenanya kami sungguh
sangat mengharapkan kritik dan saran dari segala pihak. Yang dapat lebih
membangun kami lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir, Muhammad. 2014, Hukum Perdata Indonesia, Bandung:
PT Citra Aditya Bakti
Salim,2014, Pengantar Hukum Perdata tertulis (BW), Jakarta:
Sinar Grafika.
Simanjuntak, 2016, Hukum Perdata Indonesia, Jakarta: Kencana
KitabUndang-undang Hukum Perdata, 2010, Permata Press
[1] Salim HS, Pengantar
Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hlm. 5.
[2] Abdulkadir
MMuhammad, Hukum Perdata Indonesia, ( Bandung: PTCitra Aditya Bakti,
2014), hlm. 24.
[3] Simanjuntak, Hukum
Perdata, (Jakarta: Kencana, 2016), hlm.
20.
[4]
Simanjuntak, Hukum
Perdata, (Jakarta: Kencana, 2016), hlm.
21.
[5] KUHPerdata,
(Permata Press, 2010), hlm. 84-85.
[6]
Simanjuntak, Hukum
Perdata, (Jakarta: Kencana, 2016), hlm.
22.
[7] Simanjuntak, Hukum
Perdata, (Jakarta: Kencana, 2016), hlm.
23.
Komentar
Posting Komentar