MAKALAH TEORI HUKUM SOCRATES

 

HUKUM SEBAGAI TATANAN KEBAJIKAN

Oleh: Suci Ramadhani Putri

ABSTRAK

Socrates sebagai salah seorang filsuf yang mempunyai pengaruh paling besar terhadap pemikiran Eropa, memiliki pemikiran yang menarik untuk dikaji. Dimulai dari riwayat hidup, hingga situasi sosial ekonomi dan politik semasa hidupnya yang mempengaruhi pemikirannya yang akhirnya menghasilkan sebuah pemikiran bahwa hukum sebagai tatanan kebajikan. Socrates (470-399 SM), lahir di Athena dari pasangan Sophroniscos dan ibunya adalah Phairnarete, istrinya Xantipe. Socrates dihukum mati setelah diajukan ke sidang pengadilan, dengan tuduhan bahwa dia telah merusak pikiran pemuda dan meyakini dewa-dewa temuannya sendiri sebagai pengganti dewa-dewa yang diakui oleh negara. Metode berfilsafat yang digunakan oleh Socrates disebut dengan dialektika, karena dalam pengajarannya dialog memegang peranan penting, sebutan yang lain ialah seni kebidanan (maieutika tekhne). Bagi Socrates, sesuai dengan hakikat manusia, maka hukum sebagai tatanan kebajikan. Tatanan yang mengutamakan kebajikan dan kedilan bagi umum. Hukum bukanlah aturan yang dibuat untuk melanggengkan nafsu orang kuat, bukan pula aturan yang memenuhi aturan hedonisme diri. Hukum sejatinya adalah tatanan obyektif untuk mencapai kebajikan dan keadilan umum. karena kebajikan adalah pengetahuan, dan untuk mengetahui kebaikan adalah dengan melakukannya, maka kekeliruan hanya datang dari kegagalan untuk mengetahui apa yang baik. Dalam kalimat Socrates yang terkenal disebutkan: “jika mengetahui kebaikan, seseorang tak mungkin bermaksud memilih kejahatan.

Kata Kunci    : Socrates, Teori Hukum, Kebajikan.

PENDAHULUAN

Munir Fuady menyebutkan bahwa ada tiga pilar besar peradaban dunia yang berlaku abadi di sepanjang masa, antara lain; Pertama, Nabi Musa dan Nabi Muhammad untuk bidang teologi dan moralitas. Kedua, Bangsa Yunani Kuno untuk bidang filsafat dan Ketiga, Bangsa romawi Kuno untuk bidang hukum, politik dan pemerintahan.[1] Salah satu filsuf yang lahir di era Yunani Kuno dan pemikirannya abadi sampai hari ini ialah Socrates.

Socrates barangkali adalah tokoh paling penuh teka-teki dalam seluruh sejarah filsafat. Dia tidak pernah menulis sebaris kalimatpun. Namun, dia merupakan salah seorang filsuf yang mempunyai pengaruh paling besar terhadap pemikiran Eropa. Hakikat seni Socrates terletak dalam fakta bahwa dia tidak ingin menggurui orang. Sebaliknya, dia memberi kesan sebagai seseorang yang selalu ingin belajar dari orang-orang lain yang diajaknya berbicara. Jadi, bukannya memberi kuliah seperti layaknya seorang guru tradisional, dia mengajak berdiskusi.[2]

Menurut John D. Finch yang dimaksud dengan teori hukum adalah studi tentang sifat dari hal-hal yang penting dalam hukum yang lazim terdapat dalam sistem-sistem hukum, di mana salah satu objek kajiannya adalah pembahasan mengenai unsur-unsur dasar dari hukum yang membuat hukum berbeda dengan aturan standar lain yang bukan hukum.[3] Teori hukum terus mengalami perkembangan sesuai dengan situasi zaman, dalam rentang waktu itu, setiap tokoh pemikir hukum memiliki teori hukumnya masing-masing. Socrates memiliki teori bahwa hukum sebagai tatanan kebajikan. Pada makalah ini, penulis mencoba untuk memaparkan bagaimana riwayat hidup Socrates, bagaimana konteks sosial ekonomi dan politik masa Socrates, dan bagaimana teori hukum Socrates; hukum sebagai tatanan kebajikan.

PEMBAHASAN

A.    Riwayat Hidup Socrates

Socrates (470-399 SM), lahir dari pasangan Sophroniscos (seorang pemahat) dan ibunya adalah Phairnarete (seorang bidan), istrinya Xantipe dikenal sebagai orang judes (galak dan keras). Walaupun dia dikenal sebagai keluarga kaya dan mendapat pendidikan yang baik, namun perhatiannya pertama tertuju kepada prajurit di Athena. Demikian pula dikenal tidak menyukai urusan politik, maka ia memusatkan perhatiannya pada filsafat dan karena menjauhi materi maka dalam kehidupan pada akhirnya ia dalam keadaan miskin.[4]

Masa hidupnya hampir sejalan dengan perkembangan sofisme di Athena. Pada hari tuanya Socrates melihat kota penuh tumpah darah dan mulai mengalami kemunduran setelah mencapai puncak yang gemilang. Socrates bergaul dengan semua orang, tua dan muda, kaya dan miskin. Ia seorang filsuf dengan coraknya sendiri. Ajaran filosofinya tak pernah dituliskannya, melainkan dilakukannya dengan perbuatan, dengan cara hidup. Menurut kata teman-temannya: Socrates demikian adilnya, sehingga ia tidak pernah belaku zalim. Ia begitu pandai menguasai dirinya, sehingga ia tidak pernah memuaskan hawa nafsu dengan merugikan kepentingan umum. Ia demikian cerdiknya, sehingga ia tidak pernah khilaf dalam menimbang buruk dan baik.[5]

Menurut Plato, bahwa Socrates adalah seorang filsuf istimewa yang tak henti-hentinya mencari kebenaran, karena ia berkeyakinan bahwa hanya pengetahuan tentang "yang baik" dapat mengantar manusia kepada kebahagiaan (eudaimonia).[6] Berdasarkan kesaksian Xenophon, para ahli sejarah abad ke 19 umumnya menganggap Socrates sebagai seorang pembaharu dalam bidang susila serta moral dan seorang pendidik yang senantiasa memberi nasihat-nasihat kepada kaum muda, buat mereka Socrates bukan merupakan seorang filsof yang sejati.[7] Namun perlu diketahui bahwa Xenophon dengan Socrates sebagai murid dan guru dikenal tidak memiliki hubungan mesra seperti yang lain.[8]

Karena populernya, Socrates yang tidak menggambar, tergambar wajahnya dengan sejelas-jelasnya di muka tua dan muda. Dari gambarnya yanag terbayang dalam jiwa setiap orang itu kemudian orang membuat patungnya yang serupa sekali dengan wajahnya yang sebenarnya.

                                       

Sumber: Jostein Gaarder, Dunia Sophie.

Orang Grik pada umumnnya bagus. Badannya ramping dan tegap, raut mukanya juga elok. Namun Socrates kebalikan dari itu semua, potongan badannya pendek, sedikit gemuk, mulutnya lebar, hidungnya botok dan matanya terbudur. Tetapi kekurangannya itu tidak sebanding dengan kelebihnya budinya. Tabiatnya sehari-hari ialah berjalan sekeliling kota, mempelajari tingkah laku manusia dari berbagai segi hidupnya. Ia jarang keluar kota. Sebagai alasan disebutnya “padang rumput dan pohon kayu tak emberi pelajaran apapun padaku, manusia ada”. Ia memperhatikan yang baik dan buruk, yang terpuji dan yang tercela. Sebentar ia didapati di tanah lapang di mana banyak orang berkumpul, dan sebentar pula ia didapati di pasar. Ia selalu bertanya. Sungguh-sungguh bertanya, karena ia ingin tahu.

Socrates menggunakan metode tertentu untuk membuktikan adanya kebenaran yang objektif, Metode itu bersifat praktis dan dijalankan melalui percakapan-percakapan dengan cara menganalisis tentang pendapat-pendapat. Socrates selalu menganggap jawaban pertama sebagai hipotesis sedangkan jawaban-jawaban selanjutnya ditarik konsekuensi-konsekuensi yang dapat disimpulkan dari jawaban-jawaban tersebut.

Metode yang digunakan oleh Socrates disebut dengan dialektika,[9] karena dalam pengajarannya dialog memegang peranan penting, sebutan yang lain ialah seni kebidanan (maieutika tekhne).[10] Dengan kata lain, sebagaimana bidan yang baik melatih ibu yang hamil supaya si ibu bisa melahirkan bayinya (alih-alih sang bidan mengeluarkan bayi dari rahim secara paksa), tokoh utamanya pun mengajukan pertanyaan dan mengemukakan saran yang, sebagaimana adanya, "melatih" tokoh-tokoh penyerta sedemikian rupa sehingga mereka menemukan simpulan yang dikehendaki tanpa harus diberitahu.[11]

Namun pada tingkat yang lebih mendalam, kebermaknaan metode baru tersebut terletak pada dorongannya yang kuat menuju wewenang yang lebih tinggi, yakni akal, sebagai juri yang tepat untuk segala perdebatan. Dialog itu dilaksanakan dengan asumsi bahwa wewenang yang lebih tinggi ini, yang sama-sama dimiliki oleh semua orang, mampu menanamkan pemahaman yang lebih mendalam tentang realitas terdalam, atau kebenaran.

                                                                

Sumber: Stephen Palmquist, Pohon Filsafat.

Socrates dengan jelas menyatakan kriteria pertama untuk menjadi filsuf yang baik: kita harus mengakui kebebalan kita! Harga yang harus dibayar oleh Socrates demi wawasan tersebut adalah nyawanya. Para warganegara yang berpengaruh di Athena mengajukannya ke sidang pengadilan, menuduh dia "merusak pikiran pemuda dan meyakini dewa-dewa temuannya sendiri sebagai pengganti dewa-dewa yang diakui oleh negara”.[12]

Selama pengadilannya, ia membela diri bukan dengan bermohon belas kasih atau berjanji untuk berperilaku secara lebih beradab, melainkan dengan berpidato secara terbuka dan tajam di depan para penuduhnya. Ia menjelaskan bagaimana kehidupan filosofis merupakan kehidupan yang menghargai kematian. Filsuf ialah orang yang mentaati perintah prasasti pada kuil di Delfi, "Kenalilah dirimu sendiri". Orang yang tidak menerima tantangan ini berada dalam situasi yang menyedihkan, mengingat "kehidupan yang tak terperiksa bukan kehidupan yang berharga".

Memang, Socrates jelas-jelas menghargai kehidupan yang berperiksa-diri sebagai kehidupan yang mengabdi kepada Tuhan: meskipun ia sengaja menumbuhkan keragu-raguan terhadap perkembangan dewa-dewa dalam tradisi Yunani, Socrates sendiri menghargai filsafat sebagai kejuruan yang berilham ilahi. Hanya dengan menghidupkan kehidupan semacam itu manusia bisa berbudi luhur dan juga turut mengantar masyarakat yang laik.[13]

Pernyataan-pernyataan sedemikian itu tentu saja bagaikan tamparan di wajah mereka yang ia ceramahi, yaitu orang-orang yang sebagian besarnya memandang Socrates selaku (mantan) teman karena ia sendiri pernah menjadi anggota mahkamah tersebut. Jadi, tidaklah begitu mengejutkan setelah suara juri dihitung Socrates divonis mati (sekalipun dengan selisih yang cukup kecil, 281 lawan 220). Namun menghadapi kekejaman putusan itu, Socrates menerimanya dengan ketenangan yang tulus, dengan memprediksi bahwa jumlah orang yang mau mempersoalkan status quo yakni jumlah filsuf akan meningkat, bukan menyusut, sebagai akibat dari kematiannya.

B.     Konteks Sosial, Ekonomi dan Politik

Yunani sebagai salah satu negara yang memiliki peradaban kuno, wilayah Geografisnya terletak di daratan Eropa, permukaan wilayahnya terlihat dalam peta daerah perbatasan: Roma, Neapolis, Elea, Tarentum terus ke sisilia, Akragasa hingga Syrakusa; Untuk batasan wilayah Asia: Makedonia, Elis, Athena, Sparta, Megara, Korinthos Tharake, Abdera, Hellespontos; di Asia kecil: Mytilene, klazomenia, kolophon, Ephesos, Miletos; Kreta; Kyrene terus ke Alexandria. Kota-kota tersebut merupakan wilayah Yunani Besar.[14] Yunani terdiri dari berbagai negara kota yang mandiri yang saling bertempur, namun senantiasa mereka memiliki ikatan yang senantiasa menyatukan, kesadaran ini yang membuat mereka bersatu ketika mereka sedang menghadapi ancaman dari luar, membuat mereka segera bersekutu.[15]

Gambaran dari pola penghidupannya, sebagian penduduknya adalah nelayan dan pedagang sehingga dapat menguasai jalur lalu lintas di laut tengah. Hidup mereka sudah terbiasa dengan alam bebas sebagai nelayan, sehingga pengaruh kepercayaan yang bersumber dari kekuatan alam sangat menentukan. Berhubung sebagian daratan Yunani terdiri dari pegunungan dan tanah tandus, serta adanya penyerbuan suku Doria; hal inilah antara lain yang menyebabkan penduduknya banyak melakukan perantauan ke negara asing lainnya. Orang Yunani sangat berbeda dengan orang asing sebab dia hidup dalam "Polis"; polis memiliki ciri-ciri: Otonomi, Swasembada dan kemerdekaan.

Pengorganisasian polis dapat mengakibatkan kedudukan warga negara sama dan sederajat. Sehingga logos mendapat kedudukan istimewa dalam masyarakat Yunani. Dengan logos yang bebas, terlihat penciptaan filsafat dan ilmu pengetahuan, menghasilkan karya-karya seni yang mengagumkan segala jaman. Dari hal ini sehingga dikenal adanya suatu sifat "Rasionalitas yang luar biasa".[16]

Sebagai negara kota (Polis), hukum di masing-masing negara kota saling berbeda. Akan tetapi, yang paling maju dan sering menjadi kiblat dari sistem hukum di berbagai negara kota di Yunani adalah sistem hukum yang terdapat di Negara Kota Athena. Perioda selama Socrates hidup seringkali dikatakan oleh sejarawan sebagai zaman keemasan Athena. Pada tahun 480 SM, Bangsa Yunani telah mengalahkan Bangsa Persia secara meyakinkan pada Pertempuran Salamis. Karenanya pada perioda tersebut, situasi Athena dilimpahi kemakmuran, dan perdamaian, hingga akhirnya melahirkan kultur adiluhung, suatu masa yang belum pernah dirasakan oleh Bangsa Yunani sebelumnya. [17]

Apabila ditelusuri lebih jauh, hukum Yunani sebenarnya sangat banyak dipengaruhi oleh hukum Yahudi (dari Nabi Musa), yang bisa ditelusuri lagi berakar dari sistem hukum Babilonia, bahkan hukum Sumeria (tempat berasal hukum dan ajaran Nabi Ibrahim). Misalnya, hukum yang berkenaan dengan perdagangan Yunani, pada prinsipnya merupakan hukum kebiasaan dari dunia Barat yang diperkenalkan oleh bangsa Phoenician, yang aslinya sebenarnya berasal dari hukum Babilonia.[18]

Sistem peradilan Yunani memakai sistem juri, sehingga kelihaian berorasi dari para advokat di depan pengadilan sangat diperlukan untuk meyakinkan para juri yang bukan ahli hukum dan pada umumnya tidak pernah belajar hukum tersebut. Di samping sistem juri, sistem pemeriksaan saksi melalui proses eksaminasi silang (cross examination) sudah dikenal di zaman Yunani, seperti yang pernah dipraktekan dalam pengadilan Socrates.[19]

Situasi sosial dan politik di Yunani beberapa abad sebelum Masehi sama seperti Indonesia saat ini yang penuh dengan pejabat yang pandai bersilat lidah, membohongi rakyat, mengesankan yang salah menjadi benar dan menjadikan yang benar sebagai pesakitan. Keahlian membodohi rakyat ini terus saja dikembangkan bahkan disusun sistem kaderisasi yang matang. Partai politik adalah lembaga yang didirikan untuk membina orang-orang yang pandai menciptakan kesan yang salah menjadi benar dan yang benar menjadi salah.

Socrates tidak merasa tertarik untuk urusan politik, namun tetap setia menjalankan kewajibannya sebagai warga negara, bahkan hukuman mati dia rela demi mentaati hukum undang-undang Athena yang dijatuhinya. Perinsipnya untuk politik tidak dapat dipisahkan dengan etika, tugas negara adalah memajukan kebahagiaan bagi warga negara dan membuat jiwa mereka menjadi sebaik mungkin. Untuk itu seorang penguasa mutlak memiliki pengetahuan tentang yang baik, karena keahlian yang sungguh-sungguh bagi penguasa adalah menjamin terlaksananya kesejahteraan negara karena adanya pengetahuan tentang "yang baik".[20]

C.    Teori Hukum: Hukum Sebagai Tatanan Kebajikan

Pemujaan manusia Dionysian ala filsuf Ionia dan ketakpanggahan kaum Sofis terhadap keutamaan logos, memunculkan reaksi kembar dari Socrates. Terhadap filsuf Ionia. Socrates menampilkan tokoh anti tesis Apollonian yang berwatak rasional, tertib, ramah dan bermoral. Sedangkan terhadap kaum Sofis, ia memancangkan maskot ‘pribadi berintegritas’ (manusia yang menjunjung satunya kata dan tindakan). Itulah prototipe manusia sesungguhnya. Manusia bukanlah ‘binatang urakan’ model Dynosian. Bukan pula makhluk Oportunis ala Protagoras. Manusia, hakikat asasinya adalah wujud logos, dan oleh karena itu kehidupannya termasuk di bidang hukum mencerminkan keluhuran logos itu.

Berikut skema alam pikiran Yunani yang menggambarkan bahwa filsuf Ionia berciri heroic minded yang berbasis prinsip survival, kaum Sofis berciri visionary minded yang merujuk pada pencerahan logos dan nomos. Filsuf Athena (Socrates-Plato-Aristoteles) berciri rational minded yang merujuk pada penataan tertib polis secara rasional. Sedangkan Epicurus lebih pada theoretical minded berhubungan dengan pemisahan tertib polis dengan tertib individu.[21]

Sumber: Bernard L. Tanya, dkk.

Teori Hukum; Stratrgi Tertib Hukum Lintas Ruang dan Generasi.

Karena polis  merupakan wujud logos, maka dalam polis dimungkinkan tercipta keteraturan/hukum. warga polis menata hidupnya sesuai aturan logos itu. Oleh karena itu, setiap warga polis harus tunduk pada hukum yang berlaku dalam polis. Hanya dengan itu, manusia dapat berkembang secara penuh.

Bagi Socrates, sesuai dengan hakikat manusia, maka hukum merupakan tatanan kebajikan. Tatanan yang mengutamakan kebajikan dan kedilan bagi umum.[22] Hukum bukanlah aturan yang dibuat untuk melanggengkan nafsu orang kuat (kontra filsuf Ionia), bukan pula aturan yang memenuhi aturan hedonisme diri (kontra kaum Sofis). Hukum sejatinya adalah tatanan obyektif untuk mencapai kebajikan dan keadilan umum.

Pemikiran Socrates itu harus dipahami dalam konteks pemikiran etisnya tentang kebahagiaan atau eudaimonia. Tujuan kehidupan manusia menurut Socrates adalah eudaimonia . Tentu yang dimaksud Socrates adalah kebahagiaan seperti dipahami orang Yunani, yakni suatu keadaan obyektif yang tidak tergantung pada perasaan subyektif. Bagi bangsa Yunani, eudaimonia berarti kesempurnaan jiwa oleh Plato dan Aristoteles diakui sebagai tujuan tertinggi dalam hidup manusia.[23]

Menurut Socrates, untuk mencapai eudaimonia harus melalui arete, biasa dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai manusia. Arete membuat manusia sebagai manusia yang baik. Seseorang yang sudah memiliki arete (keutamaan) sudah pasti tahu apa yang baik dan hidup yang baik, tidak berarti lain daripada mempraktikkan pengetahuan tentang yang baik itu.

Prinsip ini menurut catatan Lloyd, dipertahankan Socrates secara konsisten, termasuk ketika ia dihadapkan pada ‘pengadilan sesat’ masa itu. Sebagai warga negara yang mengetahui hukum yang berlaku dan sebagai warga polis Socrates pantang menolak atau mengelakkan diri dari jeratan hukum atas dirinya. Meski ia tahu peradilan itu sesat, ia merasa wajib tunduk pada proses hukum itu. Sikap tersebut menurutnya merupakan hal yang benar dan bermoral, karena setiap warga negara secara implisit telah berada dalam kontrak sosial untuk mematuhi hukum yang berlaku dalam negara itu. Seseorang yang melanggar hukum pada dasarnya berarti mencabik landasan hidup bersama.

Kontrak sosial yang melahirkan kewajiban moral hukum dalam polis seperti dilakukan Socrates, bukanlah dalam makna kontrak sosial zaman modern. Kontrak sosial yang dimaksud Socrates adalah kesediaan menjadi warga polis. Polis itu bukanlah lembaga duniawi belaka. Ia merupakan lembaga logos, atau lebih tepat sebagai wujud logos. Karena logos merupakan representasi dewa-dewi yang mencerahkan dan sekaligus memberi petunjuk tentang jalan hidup yang baik, maka setiap orang yang menjadi warga polis (sebagai lembaga logos) terbeban secara moral untuk tunduk pada hukum polis.

Salah satu butir filsafat kebijaksanaan Socrates yakni ‘kebajikan’. Kebajikan tidak lain adalah pengetahuan. Kejahatan, kekeliruan atau semacamnya muncul karena ketidaktahuan, ketidakacuhan dan ketiadaan lainnya. Socrates menuntut agar satunya pengetahuan dan tindakan, bukan seperti kaum Sofis yang justru suka mempermainkan pengetahuannya demi materi. Menurut Socrates, hal ini konyol, karena jika Anda benar-benar lebih tahu, jika Anda benar-benar paham mengenai hal yang baik untuk dilakukan, maka Anda pasti akan melakukannya dan bukan sebaliknya.

Bagi Socrates, karena kebajikan adalah pengetahuan, dan untuk mengetahui kebaikan adalah dengan melakukannya, maka kekeliruan hanya datang dari kegagalan untuk mengetahui apa yang baik. Dalam kalimat Socrates yang terkenal disebutkan: “jika mengetahui kebaikan, seseorang tak mungkin bermaksud memilih kejahatan. Orang-orang yang menghabiskan hidupnya untuk mengejar kekuasaan, gengsi ataupun kekayaan, mereka melakukannya karena berpikir bahwa salah satu dari tindakan itu akan membawa kebahagiaan.

Socrates memilih jalan kebijaksanaan sebagai tatanan tertib hidup manusia. Maka teorinya tentang hukum pun bertumpu pada jalan kebijaksanaan itu. Mengapa jalan kebijaksanaan dijadikan tatanan tertiba manusia? Ada tiga alasan yang dapat dikemukakan; pertama, Socrates memberi tempat yang utama pada kehidupan manusia sebagai oknum moral. Itulah sebabnya keutamaan jiwa dari tiap individu manusia menjadi pusat perhatian Socrates. Keutamaan jiwa terletak pada usaha meraih kebijaksanaan. Kedua, Socrates ingin melepaskan diri sekaligus menghentikan pengarus dua generasi filsuf sebelumnya (filsuf Ionia dan Sofis) yang cenderung kurang memperhatikan keluhuran jiwa. Ketiga, Socrates hendak melembagakan pedoman moral obyektif dalam hidup bersamaa (dalam polis) seturut keluhuran logos.

Satu hal yang relatif khas dari Socrates ialah perilaku hukumnya. Ia begitu hormat pada hukum. fenomena ini membuka eksplanasi dalam kajian hukum. minimal ada empat peluang eksplanasi; pertama, perilaku hukum terkait dengan penghormatan seseorang pada negara. Socrates hormat pada hukum, bukan karena hukum itu sendiri, tetapi karena penghormatannya pada negara (polis) sebagai lembaga public nan luhur. Kedua, perilaku hukum terkait dengan pandangan hidup seseorang. Ketaatan pada hukum bagi Socrates merupakan wujud keutamaan seorang manusia.

Ketiga, perilaku hukum seseorang terkait dengan keanggotaannya dalam kehidupan sosial. Socrates pantang menghindari hukuman atas dirinya, karena baginya (sebagai anggota masyarakat) setiap pelanggaran hukum berarti mencabik landasan hidup bersama. Keempat, perilaku hukum juga dapat dipengaruhi faktor ekonomi. Kata Socrates, selalu saja ada orang-orang yang melanggar hukum demi kenikmatan ini.

Lebih lanjut, ketika berbicara mengenai hukum maka tidak terlepas dari keadilan. Socrates merumuskan tentang keadilan, yaitu apabila pemerintah dengan rakyatnya terdapat saling pengertian yang baik, itulah adil atau keadilan. Bila para penguasa telah mematuhi dan mempraktikkan ketentuan-ketentuan hukum, dan bila pimpinan negara bersikap bijaksana dan memberi contoh kehidupan yang baik. Tegasnya, keadilan itu tercipta bilamana setiap warga sudah dapat merasakan bahwa pihak pemerintah (semua pejabat) sudah melaksanakan tugasnya dengan baik.[24]

PENUTUP

Socrates (470-399 SM), lahir di Athena dari pasangan Sophroniscos dan ibunya adalah Phairnarete, istrinya Xantipe. Socrates dihukum mati setelah diajukan ke sidang pengadilan, dengan tuduhan bahwa dia telah merusak pikiran pemuda dan meyakini dewa-dewa temuannya sendiri sebagai pengganti dewa-dewa yang diakui oleh negara. Metode berfilsafat yang digunakan oleh Socrates disebut dengan dialektika, karena dalam pengajarannya dialog memegang peranan penting, sebutan yang lain ialah seni kebidanan (maieutika tekhne). Bagi Socrates, sesuai dengan hakikat manusia, maka hukum sebagai tatanan kebajikan. Tatanan yang mengutamakan kebajikan dan kedilan bagi umum. Hukum bukanlah aturan yang dibuat untuk melanggengkan nafsu orang kuat, bukan pula aturan yang memenuhi aturan hedonisme diri. Hukum sejatinya adalah tatanan obyektif untuk mencapai kebajikan dan keadilan umum. karena kebajikan adalah pengetahuan, dan untuk mengetahui kebaikan adalah dengan melakukannya, maka kekeliruan hanya datang dari kegagalan untuk mengetahui apa yang baik. Dalam kalimat Socrates yang terkenal disebutkan: “jika mengetahui kebaikan, seseorang tak mungkin bermaksud memilih kejahatan.

 

DAFTAR PUSTAKA

Bernard L. Tanya, Teori Hukum; Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta: Genta Publishing, 2013.

Dennis Lloyd, The Idea of law, Harmondworth: Penguin Books, 1976.

Jostein Gaarder, Dunia Sophie, terj. Rahmani Astuti, Bandung: Mizan, t.t.

Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, Jakarta: UI-Press, 1986.

Muhammad Tang, dkk. “Landasan Filosofis Pendidikan”, Moderation: Journal of Islamic Studies, Vol. 1:1 2021.

Munir Fuady, Teori-Teori Besar Dalam Hukum (Grand Theory), Jakarta: Kencana, 2013.

---------Sejarah Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009.

Nurasiah FakihSutan Hrp. Filsafat Hukum Barat dan Alirannya, Medan: Utul ‘Ilma Publishing, 2010.

Nurnaningsih Nawawi, Tokoh Filsuf dan Era Keemasan Filsafat, Makassar: Pusaka Almaida Makassar, 2017.

Richard Osborne, Filsafat untuk Pemula, terj. Hardono Hadi, Yogyakarta: Kanisius, 2001.

Sandy Hardian Susanto Herho, Pijar Filsafat Yunani Klasik, Bandung: Perkumpulan Studi Ilmu Kemasyarakatan ITB, 2016.

Stephen Palmquist, Pohon Filsafat, terj. Muhammad Shodiq, Hong Kong: Philopsychy Prees, 2001.

Yoyon M, Darusman dan Bambang Wiyono, Teori dan Sejarah Perkembangan Hukum, Tangerang Selatan: UNPAM Press, 2019.

Yudi Widagdo, “Hukum Kekuasaan dan Demokrasi Masa Yunani Kuno”, Jurnal Diversi, Vol. 1: 1, April 2015.



[1] Munir Fuady, Teori-Teori Besar Dalam Hukum (Grand Theory), (Jakarta: Kencana, 2013), hlm. 1.

[2] Jostein Gaarder, Dunia Sophie, terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Mizan, t.t), hlm. 103 dan 106.

[3] Munir Fuady, Teori-Teori Besar …, hlm. 2. Baca juga dalam Sudikno Mertokusumo dan A Pitlo, Teori Hukum, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2011.

[4] Nurnaningsih Nawawi, Tokoh Filsuf dan Era Keemasan Filsafat, (Makassar: Pusaka Almaida Makassar, 2017), hlm. 87.

[5] Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 96.

[6] Kebahagiaan (eudaimonia) dalam bahasa Yunani berarti suatu keadaan obyektif yang tidak bergantung pada perasaan subyektif.

[7] Hal serupa diungkapkan Mohamad Hata; jika ditilik benar-benar, ia malahan tidak mengajarkan filosofi, melainkan hidup berfilosofi. Bagia dia filosofi bukan isi, bukan hadil, bukan ajaran yang bersandarkan dogma, melainkan fungsi yang hidup. Filosofinya mencari kebenaran. Oleh karena ia mencari kebenaran, ia tidak mengajarkan. Ia bukan ahli pengetahuan, melainkan pemikir. Baca dalam Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, Jakarta: UI-Press, 1986.

[8] Ajaran Socrates dilanjutkan oleh murid-muridnya dengan pendirian antara lain empat mazhab (Megara Elis, sinis dan Hedonisme) dan selanjutnya seorang murid yang dipandang setia membela dalam mempertahankan kebaikan dan moral sokrates adalah "Plato". Baca dalam Nurnaningsih Nawawi, Tokoh Filsuf dan Era Keemasan Filsafat, Makassar: Pusaka Almaida Makassar, 2017.

[9] Aristoteles memberikan catatan tentang metode socrates dalam dua penemuan yakni: (a). Induksi atau argumentasi induktif. (b). Mengintrodusir definisidefinisi umum. Dan penyelidikannya tentang tingkah laku manusia dikenal dengan istilah the exellences of chracter; socrates senantiasa melakukan perumusan dari jawaban-jawaban yang ada dengan dengan konsep "keutaamaan" (arate); hakekat-hakekat yang diucapkan dalam definisi definisi socrates itulah yang menurut Pato sebagai "idea". Baca dalam Nurnaningsih Nawawi, Tokoh Filsuf dan Era Keemasan Filsafat, Makassar: Pusaka Almaida Makassar, 2017.

[10] Richard Osborne, Filsafat untuk Pemula, terj. Hardono Hadi, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 11-12.

[11] Metode dialektika Socrates oleh Muhammad Tang, dkk bahwa pendidikan hendaknya dikembangkan dengan dialektika (dialogis) atau dalam istilah sekarang ini metode diskusi (Socrates). Seseorang guru tidak memaksa wibawanya atau memaksa gagasan-gagasan atau pengetahuan kepada seorang siswa, yang mana seorang siswa dituntut untuk mengembangkan pemikirannya sendiri dengan berpikir secara kritis, ini adalah suatu metode untuk meneruskan inteleknya dan mengembangkan kebiasaan-kebiasaannya dan kekuatan mental. Baca dalam Muhammad Tang, dkk. “Landasan Filosofis Pendidikan”, Moderation: Journal of Islamic Studies, Vol. 1:1 2021.

[12] Stephen Palmquist, Pohon Filsafat, terj. Muhammad Shodiq (Hong Kong: Philopsychy Prees, 2001), hlm. 45.

[13] For I spend all my time going about trying to persuade you, young and old, to make your first and chief concern not for your bodies nor for your possessions, but for the highest welfare of your souls ... Wealth does not bring goodness [i.e., virtue], but goodness brings wealth and every other blessing, both to the individual and to the state. (Saya curahkan seluruh waktu saya dengan melakukan upaya membujuk kalian, pemuda dan orang tua, agar kepedulian pertama dan utama kalian bukan demi raga kalian atau pun harta kalian, melainkan demi kesejahteraan tertinggi jiwa kalian ... Kekayaan tidak membawa kebaikan [yakni keluhuran], tetapi kebaikan membawa kekayaan dan segala berkah lainnya, baik bagi individu maupun bagi negara). Baca dalam Stephen Palmquist, Pohon Filsafat, terj. Muhammad Shodiq, Hong Kong: Philopsychy Press, 2001.

[14] Nurnaningsih Nawawi, Tokoh Filsuf …, hlm. 36.

[15] Yudi Widagdo, “Hukum Kekuasaan dan Demokrasi Masa Yunani Kuno”, Jurnal Diversi, Vol. 1: 1, (April 2015), hlm. 51.

[16] Nurnaningsih Nawawi, Tokoh Filsuf…,hlm. 36.

[17] Sandy Hardian Susanto Herho, Pijar Filsafat Yunani Klasik, (Bandung, Perkumpulan Studi Ilmu Kemasyarakatan ITB, 2016), hlm. 47.

[18] Yoyon M, Darusman dan Bambang Wiyono, Teori dan Sejarah Perkembangan Hukum, (Tangerang Selatan: UNPAM Press, 2019), hlm. 43.

[19] Munir Fuady, Sejarah Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009), hlm. 164.

[20] Nurnaningsih Nawawi, Tokoh Filsuf…, hlm. 92.

[21] Bernard L. Tanya, Teori Hukum; Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2013), hlm. 18.

[22] Cara pandang Socrates itu mencerminkan ciri pemikiran Yunani masa itu yang selalu mengaitkan masalah negara dan hukum dengan aspek moral, yakni keadilan. Baca dalam Dennis Lloyd, The Idea of law, Harmondworth: Penguin Books, 1976.

[23] Bernard L. Tanya, Teori Hukum…, hlm. 31.

[24]  Nurasiah FakihSutan Hrp. Filsafat Hukum Barat dan Alirannya, (Medan: Utul ‘Ilma Publishing, 2010), hlm. 34.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Konsep Kewirausahaan Islam

Makalah Filsafat Empirisme

KAIDAH FIKIH KULLIYAT YANG KE 26-30