MAKALAH ISLAM, HUKUM DAN KEADILAN

 

ISLAM, HUKUM DAN KEADILAN

Oleh: Suci Ramadhani Putri

ABSTRAK

Makalah ini menjawab dua pertanyaan, yaitu; Pertama, bagaimana konsep Islam, hukum dan keadilan? Kedua, bagaimana implementasi keadilan dalam hukum Islam? Kata Islam tekandung makna ketaatan, kepatuhan, penyerahan diri, keselamatan, kedamaian, kesejahteraan. Ada juga pendapat, akar kata yang membentuk kata Islam setidaknya ada empat yang berkaitan satu sama lain. Dalam sejarah perkembangan hukum Islam, istilah hukum Islam sering menimbulkan pengertian rancu, hingga kini hukum Islam terkadang dipahami dengan pengertian syariah dan terkadang dipahami dengan pengertian fiqh. Hukum Islam meiliki karakteristik sempurna, elastis, dinamis, sistematis, ta’abuddin dan ta’aqquli. Keadilan berarti perilaku atau perbuatan yang dalam pelaksanaannya memberikan kepada pihak lain sesuatu yang semestinya harus diterima oleh pihak lain. Para pakar umumnya merumuskan keadilan menjadi empat makna, yaitu; 1) adil adil dalam arti sama; 2) perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada para pemiliknya; 3) adil yang dinisbahkan kepada Ilahi; dan 4) adil dalam arti seimbang yang identik dengan kesesuaian/proporsional.

Kata Kunci    : Islam, Hukum dan Keadilan.

PENDAHULUAN

Islam adalah agama yang sempurna. Kesempurnaan Islam itu dapat dilihat dari prinsip-prinsip ajaran yang dikandungnya. Salah satu prinsip yang menempati posisi penting dan menjadi diskursus dari waktu ke waktu adalah keadilan (al‘adalah). Keadilan secara sederhana diartikan sebagai sebuah upaya untuk menempatkan sesuatu pada tempatnya.[1]

Dengan demikian, Islam mengajarkan agar keadilan dapat diejawantahkan dalam setiap waktu dan kesempatan. Tegaknya keadilan akan melahirkan konsekuensi logis berupa terciptanya sebuah tatanan masyarakat yang harmonis. Tidak terbatas dalam satu aspek kehidupan, keadilan sejatinya ada dalam aspek yang amat luas, sebut saja misalnya aspek religi, aspek sosial, aspek ekonomi, aspek politik, aspek budaya, aspek hukum dan sebagainya. Sebaliknya, lunturnya prinsip keadilan berakibat pada guncangnya sebuah tatanan sosial (social unrest).

Hukum dan keadilan merupakan dua kata yang tidak pernah pudar untuk diperbincangkan, dari perbincangan klasik sebelum masehi hingga perbincangan hari ini. Hukum dan keadilan seolah-olah dua kata yang selalu dilemparkan oleh semua kalangan, jika pada masa kekuasaan absolut, hanya segelintir orang berbicara tentang keadilan. Hari ini di era demokrasi semua orang berbicara tentang hukum dan keadilan.[2] Pada makalah ini, penulis mencoba untuk memaparkan lebih jauh terkait Islam, Hukum dan Keadilan. Pertama, bagaimana konsep Islam, hukum dan keadilan? Kedua, bagaimana implementasi keadilan dalam hukum Islam?


PEMBAHASAN

A.    Konsep Islam, Hukum dan Keadilan

1. Islam

Pengertian kata Islam berasal dari kata salam artinya yaitu patuh dan menerima berakar dari tiga unsur huruf (sin, lam, mim), sedangkan kata dasarnya adalah salima (sejahtera, tidak tercela, tidak cacat). Sehingga dalam kata Islam tekandung makna ketaatan, kepatuhan, penyerahan diri, keselamatan, kedamaian, kesejahteraan. Ada juga pendapat, akar kata yang membentuk kata Islam setidaknya ada empat yang berkaitan satu sama lain.

Pertama, aslama yakni kata aslama sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an surat Ali `Imran ayat 20 yang berarti berserah diri kepada Allah. Artinya, manusia dalam berhadapan dengan Tuhannya bersikap mengakui kelemahannya dan mengakui kemutlakan kekuasaan Allah Swt.

Kedua, salima; Kata salima yakni sebagaimana terdapat dalam hadis sahih berarti menyelamatkan, menenteramkan, dan mengamankan. Salima sebagai kata kerja transitif memerlukan objek sehingga arti menyelamatkan, memcenteramkan, dan mengamankan orang lain, baik dari dan oleh kata-katanya (lisan) maupun dari dan oleh perbuatannya.

Ketiga, salama yakni berarti menyelamatkan, menenteramkan, dan mengamankan diri sendiri. Kata kerja itu intransitif tidak mempunyai objek (keluar), jika dikaitkan oleh objeknya ialah diri sendiri atau batin manusia. Dengan kata lain, Islam itu harus dapat menimbulkan kedamaian batinnya sendiri. Dari deskripsi tersebut, Islam sebagai agama keselamatan lahir batin itu hendaklah memenuhi tiga aspek. Pertama, dalam hubungan vertikal terhadap Tuhan (Allah), manusia itu berserah diri. Kedua, Islam menghendaki adanya hubungan saling menyelamatkan. Ketiga, dalam hubungan dengan dan ke dalm dirinya sendiri, Islam ini dapat menimbulkan kedamaian, ketenangan batin, kemantapan ruhani dan memntal. Istilah keagamaanya sakinah atau nafsu muthmainnah  sebagaimana di dalam Al-Qur’an surat Al-Fajr ayat 27-30.

Keempat, salam. Salam artinya adalah aman, damai, dan sentosa. Kehidupan yang damai sentosa akan tercipta jika pemeluk Islam melaksanakan aslama dan salama.

Sedangkan menurut istilah, Islam merupakan agama yang diturunkan Allah kepada manusia melalui rasul-Nya, berisi hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dnegan Allah, manusia dnegan manusia dan manusia dengan alam semesta. Agama yang diturunkan Allah ke muka bumi sejak dari Nabi Adam sampai Nabi Muhammad adalah agama Islam. Sebagaimana diungkapkan dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 19.

Ajaran agama Islam turun kepada Nabi Muhammad SAW merupakan wahyu Allah yang terkahir diturunkan secara sempurna. Tidak ada lagi wahyu yang akan turun ke muka bumi ini, ketetapan ini dinyatakan dalam firman Allah Swt. sebagaimana di dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 3.

Para Ulama berbeda pendapat mengenai ruang lingkup hukum Islam, Pendapat yang lebih memadai menyebutkan, bahwa ruang lingkup ajaran Islam meliputi tiga bidang: Aqidah, Syari`ah, dan Akhlak.[3] Selanjutnya sumber hukum Islam terbagi menjadi primer dan sekunder. Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah sumber hukum utama dan tidak ada pertentangan terhadap hal ini. Dilanjutkan dengan  al rayu yang merupakan ijtihad atau pemikiran manusia berfungsi sebagai sumber sekunder. Penjelasan terhadap Al-Qur’an, al sunnah dan al rayu (ijtihad) sebagai sumber ajaran Islam.

2. Konsep Hukum Islam

a. Terminologi Hukum Islam

Al-Quran dan literatur hukum Islam sama sekali tidak menyebutkan kata hukum Islam sebagai salah satu istilah. Yang ada di dalam Al-Quran adalah kata syarî’ah, fiqih, hukum Allah, dan yang seakar dengannya. Istilah hukum Islam merupakan terjemahan dari Islamic law dalam literatur Barat.[4] Istilah ini kemudian menjadi popular. Untuk lebih memberikan kejelasan tentang makna hukum Islam maka perlu diketahui lebih dulu arti masing-masing kata. Kata hukum secara etimologi berasal dari akar kata bahasa Arab, yaitu حَكَمَ-يَحْكُمُ yang kemudian bentuk mashdar-nya menjadi حُكْمًا. Lafadz اَلْحُكْمُ adalah bentuk tunggal dari bentuk jamak اَلْاَحْكَامُ.

Berdasarkan akar kata حَكَمَ tersebut kemudian muncul kata اَلْحِكْمَةُ yang memiliki arti kebijaksanaan. Hal ini dimaksudkan bahwa orang yang memahami hukum kemudian mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari maka dianggap sebagai orang yang bijaksana.[5] Arti lain yang muncul dari akar kata tersebut adalah “kendali atau kekangan kuda”, yakni bahwa keberadaan hukum pada hakikatnya adalah untuk mengendalikan atau mengekang seseorang dari hal-hal yang dilarang oleh agama. Makna “mencegah atau menolak” juga menjadi salah satu arti dari lafadz hukmu yang memiliki akar kata hakama tersebut. Mencegah ketidakadilan, mencegah kedzaliman, mencegah penganiayaan, dan menolak mafsadat lainnya.

Dalam sejarah perkembangan hukum Islam, istilah hukum Islam sering menimbulkan pengertian rancu, hingga kini hukum Islam terkadang dipahami dengan pengertian syariah dan terkadang dipahami dengan pengertian fiqh. Secara bahasa, kata syariah berarti “jalan ke sumber air” dan “tempat orang-orang minum”. Orang Arab menggunakan istilah ini khususnya dengan pengertian “jalan setapak menuju sumber air yang tetap dan diberi tanda yang jelas sehingga tampak oleh mata”. Dengan pengertian bahasa tersebut, syariah berarti suatu jalan yang harus dilalui.

Adapun kata fiqh secara bahasa berarti “mengetahui, memahami sesuatu”. Dalam pengertian ini, fiqh adalah sinonim kata “paham”. Al-Quran menggunakan kata fiqh dalam pengertian memahami dalam arti yang umum. Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa pada masa Nabi, istilah fiqh tidak hanya berlaku untuk permasalahan hukum saja, tetapi meliputi pemahaman seluruh aspek ajaran Islam.

Dalam perkembangan selanjutnya, fiqh dipahami oleh kalangan ahli ushul al-fiqh sebagai hukum praktis hasil ijtihad. Kalangan fuqaha (ulama fiqh) pada umumnya mengartikan fiqh sebagai kumpulan hukum Islam yang mencakup semua aspek hukum syar’i, baik tertuang secara tekstual maupun hasil penalaran atas teks. Pada sisi lainnya, di kalangan ahli ushul fiqh, konsep syariah dipahami dengan pengertian “teks syar’i” yakni sebagai al-Nash al-Muqaddas yang tertuang dalam bacaan Al-Quran dan hadis yang tetap, tidak mengalami perubahan.

Di dalam ajaran agama islam terdapat hukum atau aturan perundangundangan yang harus dipatuhi oleh setiap umat karena berasal dari Al-Qur'an dan Hadist. Secara garis besar para ulama’ ushul membagi hukum pada dua macam, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i. Hukum Taklifi adalah hukum yang menunjukkan tuntutan bagi mukallaf untuk berbuat atau meninggalkan atau memilih antara berbuat atau meninggalkan. Hukum Wad’i adalah firman Allah SWT yang menuntut untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang dari sesuatu yang lain. Di dalam ilmu hukum ia disebut pertimbangan hukum

Menurut Abu Ishaq As-Syathibi tujuan hukum Islam yang Dharury ada 5 yaitu : menjaga Agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga kehormatan dan menjaga harta, Yang kemudian disepakati oleh ilmuwan hukum Islam lainnya. Kelima tujuan hukum Islam itu didalam kepustakaan disebut al-maqasid al-khamsah atau al-maqasid asy-syari'ah (tujuan-tujuan hukum Islam).

Usaha untuk mewujudkan dan memelihara ke lima unsur pokok tersebut, As-Syatibi membagi kepada tiga tingkatan maqashid atau tujuan syari’ah, yaitu: pertama, maqashid al-dharuriyah (tujuan primer). Maqashid ini dimaksudkan untuk memelihara lima unsur pokok dalam kehidupan manusia. Kedua, maqashid al-hajiyat (tujuan sekunder). Maksudnya untuk menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan terhadap lima unsur pokok menjadi lebih baik lagi. Ketiga, maqashid al-Tahsiniyyah (tujuan tahsiniyah). Maksudnya agar manusia dapat melakukan yang terbaik untuk penyempurnaan pemelihara lima unsur pokok tersebut.

b. Sifat dan Karakteristik Hukum Islam

            Hukum Islam memiliki sifat dan karakteristik, yaitu:[6]

Pertama, Sempurna. Kesempurnaan hukum Islam dapat dilihat dengan diturunkannya syariat Islam dalam bentuk yang umum dan mengglobal permasalahannya, kecuali hal-hal yang bersifat langgeng, nash memuat prinsip hukum terperinci, konkret dan teknis. Kedua, Elastis. Hukum Islam memperhatikan segala aspek kehidupan manusia, baik di bindang muamalah, ibadah, jinayah, siyasah dan di bidang lainnya. Namun hal itu tidak menjadikannya menjadi dogma yang kaku lagi keras dan memaksa. Ketiga, Universal. Bukti yang menunjukkan bahwa hukum Islam itu bersifat universal terdapat di dalam Qs. Al-Anbiya ayat 107 dan Qs. Al-Saba ayat 28. Kedua ayat tersebut menjelaskan bahwa syariat yang dibawa Rasulullah Saw tidak hanya untuk orang Arab saja, melainkan berlaku untuk seluruh umat manusia.

Keempat, Dinamis. Kedinamisan hukum Islam terletak pada dasar dan tiang pokok bagi hukum. Dasar dan pokok tersebut menjadi sumbu kekuatan, kelemahan, kemudahan dan kesukaran dalam menerapkan hukum Islam. Kelima, Sistematis. Mencerminkan sejumlah doktrinnya yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya. Keenam, Ta’abbudi dan Ta’aqquli. Ta’abbudi adalah bentuk ibadah yang tujuan utamanya untuk  mendekatkan diri kepada Allah Swt. sedangkan ta’aqquli adalah ibadah dalam bidang muamalah. Illat dari muamalah dapat dirasionalkan dengan melihat ada maslahat atau mudharat terkandung di dalamnya.

3. Konsep Keadilan dalam Islam

a. Memaknai Keadilan dalam Islam

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), keadilan berarti (sifat perbuatan, perlakuan) yang adil. Keadilan berarti perilaku atau perbuatan yang dalam pelaksanaannya memberikan kepada pihak lain sesuatu yang semestinya harus diterima oleh pihak lain. Kata keadilan di dalam Islam berasal dari kata “adala” yang dalam Al-Qur’an disebut sejumlah 28 kali yang merujuk kepada kalimat perintah maupun berita. Kata “adala” disebutkan untuk menjelaskan suatu keadaan yang lurus, disebut lurus karena secara khusus kata tersebut memiliki makna sebagai penetapan hukum dengan benar.[7]

Muhammad Nejatullah Siddiqi menafsirkan konsep keadilan sebagai; pertama, keadilan merupakan konsep yang luas serta mencakup segala aspek dalam kehidupan, baik sosial, ekonomi, politik dan bahkan rohani. Sebagaimana tercantum dalam Qs. Al-Hadid [57]: 25.

Kedua, keadilan sebagai keseimbangan, perbandingan, keharmonisan dan keadilan dari segi undang-undang juga pemberian hak kepada yang berhak.[8] Pengkajian terhadap keadilan ini kemudian menemukan bahwa kezhaliman adalah lawan dari keadilan. Di mana kezhaliman bermakna meletakkan suatu perkara pada bukan tempatnya.

Secara lebih rinci dijelaskan pula oleh Quraish Shihab, bahwa para pakar umumnya merumuskan keadilan menjadi empat makna, yaitu:[9]

Pertama, adil dalam arti sama. Dengan pengertian, adil, artinya memperlakukan sama antara orang yang satu dengan orang lain. Maksud persamaan di sini adalah persamaan dalam hak. Sebagaimana dijelaskan di dalam  Qs. an-Nisa (4): 58.

Persamaan itu harus diberikan kepada orang-orang yang mempunyai hak kepemilikan yang sama. Jika persamaan itu diberikan kepada orang-orang yang mempunyai hak kepemilikan yang berbeda, yang terjadi bukan persamaan tapi kezaliman. Al-Qur`an mengisahkan dua orang berperkara yang datang kepada Nabi Dawud AS untuk mencari keadilan. Orang pertama memiliki sembilan puluh sembilan ekor kambing betina, sedang orang ke dua memiliki seekor. Orang pertama mendesak agar ia diberi pula yang seekor itu agar genap.

Kedua, adil dalam arti seimbang yang identik dengan kesesuaian/ proporsional. Keseimbangan tidak mengharuskan persamaan kadar dan sarat bagi semua bagian unit agar seimbang. Keadilan dalam pengertian ini menimbulkan keyakinan bahwa Allah yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui menciptakan dan mengelola segala sesuatu dengan ukuran, kadar dan waktu tertentu guna mencapai tujuan. Keyakinan itu akan mengantarkan kepada keadilan Ilahi. Hal ini tertuang di dalam Qs.  Al-Rahman [55]: 7.

Ketiga, adil dalam arti “perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada para pemiliknya”. Lawan keadilan dalam pengertian ini adalah kezaliman. Agar Individu-individu dalam masyarakat dapat meraih kebahagian dalam bentuk yang lebih baik, maka hak hak dan preferensi-preferensi individu itu, mesti dipelihara dan diwujudkan. Keadilan, dalam hal ini, bukan berarti mempersamakan semua anggota masyarakat, melainkan mempersamakan mereka dalam kesempatan mengukir prestasi.

Keempat, adil yang dinisbahkan kepada Ilahi. Adil di sini berarti memelihara kewajiban atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan perolehan rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan untuk itu. Keadilan Allah swt pada dasarnya merupakan rahmat dan kebaikannya. Hal ini termuat dalam Qs. Hud [11]: 6.

b. Keadilan perspektif filsafat hukum Islam

Filsafat hukum Islam merupakan pengetahuan tentang rahasia hukum yang digali secara filosofis, baik dengan pendekatan antologis maupun epistemologis. Filsafat hukum Islam dapat juga dipahami sebagai pengetahuan tentang hukum Islam dan asal-muasalnya, proses pencarian rahasia dan illat hukum serta tujuannya diberlakukan sebagai prinsip-prinsip dasar untuk berperilaku.[10] Keadilan menurut filsafat hukum Islam dapat dilihat dari beberapa sisi, yakni menurut Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah dan Maqashid Syariah.[11]

Menurut Mu’tazilah, terkait dengan kehendak Tuhan bahwasanya Tuhan telah memberikan kemerdekaan dan kebebasan terhadap manusia untuk menentukan kehendak dan perbuatannya. Untuk itu kehendak Tuhan tidak bersifat absolut, karena Tuhan telah menciptakan manusia dengan sedemikian rupa sehingga mampu untuk melihat dan membedakan suatu yang baik ataupun buruk. Melalui kekuasaan akal, kemerdekaan dan kebebasan yang dimiliki, manusia memiliki tendensi untuk melihat wujud ini dari sudut pandang rasio dan kepentingan manusia. Sehingga manusia yang berakal sempurna ketika melakukan sesuatu pasti memiliki tujuan, namun karena Tuhan Maha Suci dari sifat berbuat atas kepentingan sendiri, maka perbuatan Tuhan adalah kepentingan maujud selain Tuhan.

Menurut Asy’ariyah, Tuhan menghendaki terhadap sesuatu yang ada dan bukan sebaliknya. Tuhan menghendaki kekafiran bagi manusia yang sesat dan menghendaki iman bagi orang yang mendapat petunjuk. Tuhan tidaklah berubuat salah apabila kemudian memasukkan seluruh manusia ke dalam neraka, sebab perbuatan salah dan tidak adil adalah perbuatan yang melanggar hukum, untuk itu Tuhan tidak pernah bertentangan dengan hukum.

Menurut Maturidiyah, manusia tidak memiliki kehendak untuk melakukan perbuatan, hanya Tuhan yang dapat mencipta sedangkan manusia hanya dapat melakukan perbuatan yang telah Tuhan ciptakan baginya. Untuk itu, keadilan Tuhan merupakan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Seperti konsep penciptaan kosmos, Tuhan tidak memiliki unsur pendorong untuk menciptakan kosmos, Tuhan melakukannya atas kehendak-Nya sendiri. Ini berarti bahwa alam bukan diciptakan untuk kepentingan manusia atau dengan kata lain konsep keadilan Tuhan bukan ada pada kepentingan manusia, melainkan ada pada Tuhan sebagai pemilik mutlak.

Salah satu hal yang mendasari maqashid syariah sebagai instrumen menggali nilai keadilan hukum yakni tujuan dari ditetapkannya hukum Islam itu sendiri. Maqashid syariah adalah tujuan yang menjadi target nash dan hukum-hukum partikular untuk direalisasikan dalam kehidupan manusia, baik berupa perintah, larangan dan mubah.[12] Menurut Al-Syatibi, tujuan dari penetapan hukum-Nya adalah untuk terwujudnya kemaslahatan hidup untuk manusia baik di dunia maupun akhirat. Maqashid syariah berisi tentang lima hak dasar manusia, yakni perlindungan atas agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.

B.     Implementasi Keadilan dalam Hukum Islam

1. Keadilan Sosial dalam Ajaran Zakat

Pintu-pintu ijtihad yang selama ini tersumbat dalam bidang zakat sudah saatnya untuk dibuka kembali demi tercapainya substansi dari ajaran zakat tersebut, yaitu memberdayakan orang miskin dan mengurangi jurang pemisah yang terlalu lebar antara si kaya dan si miskin. Dalam ranah praktis, zakat yang bertujuan mulia tersebut ternyata masih jauh dari yang diharapkan dan masih gagal menjembatani jarak si kaya dengan si miskin dan juga dalam mengangkat kondisi kaum lemah dan yang diperlemah (du’afa’ qa almustad’afin).

Salah satu tujuan pokok dari ajaran zakat adalah adanya upaya mewujudkan keadilan sosial (al-‘adalah al-ijtima’iyah sosial justice) sebagai sarana penting menuju kesejahteraan umat atau masyarakat. Nilai keadilan sosial inilah yang mestinya dipopulerkan dan dikedepankan dalam pemahaman dan praktik ajaran zakat dalam Islam. Menurut Asghar Ali Engineer, kehadiran Islam di tengah-tengah kehidupan umat manusia adalah untuk membebaskan umat manusia dari segala bentuk eksploitasi, ketidak adilan dan penindasan. Ajaran Islam tentang pembebasan dan revolusioner merupakan seruan Al-Qur’an. Dan dalam banyak ayatnya, Al-Qur’an secara eksplisit menolak segala tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Itulah sebabnya, para nabi diutus untuk melakukan perlawanan terhadap segala bentuk eksploitasi.

Dalam sejarah kerasulan Muhammad dan juga para nabi dan rasul sebelumnya sebelumnya tercatat bahwa kehadirannya di tengah masyarakat Arab adalah untuk menyerukan kalimat tauhid dan menegakkan keadilan yang merupakan inti dari ajaran Islam, termasuk di dalamnya adalah keadilan sosial-ekonomi. tidak dapat disangkah bahwa ayat-ayat makkiyah mengandung panggilan untuk  beriman kepada Allah dan menentang tatanan sosial yang timpang saat itu, khususnya dalam masalah disekuilibrium ekonomi, yang pada saat itu akses dalam bidang ekonomi dikuasi oleh sekelompok kecil elit masyarakat Arab. Al-Qur’an sangat jelas mencela diequilibrium ekonomi dan ketidakadilan sosial, sebagaimana disimpulkan oleh Fazlur Rahman bahwa Al-Qur’an mencela dua dua buah aspek yang paling berhubungan erat di dalam masyarakat Mekkah, yakni politeisme dan ketimpangan sosial-ekonomi yang sangat tidak diinginkan di antara sesama manusia.[13]

Sayangnya perhatian terhadap perkembangan sosial-ekonomi banyak diabaikan oleh intelektual muslim sekarang ini. Kajian keIslaman sekarang ini lebih banyak bernuansa filosofis dan melangit. Sedangkan aspek yang membumi dari ajaran Islam kurang tersentuh secara proporsional. Namun demikian, akhir-akhir ini telah muncul pembaharuan-pembaharuan dalam aktualisasi ajaran Islam di tengah masyarakat, termasuk ajaran zakat.

Zakat yang selama ini dikaji secara dogmatis-normatif mulai terbuka untuk dikaji secara kontekstual. Ide-ide pelaksanaan dan pengelolaan zakat yang masih bersifat tradisional mulai diubah polanya sesuai dengan kondisi kehidupan real masyarakat modern sekarang ini. Zakat yang selama ini hanya bersifat karitatif, bentuk belas kasihan dari si kaya kepada si miskin yang bersifat atas bawah (top-down), yang menempatkan orang kaya sebagai subyek dan orang miskin sebagai objek sudah saatnya untuk diolah sesuai dengan pola dan perkembangan manajemen modern agar lebih berdayaguna bagi pengembangan dan aktualisasi diri orang-orang miskin. Pemikiran dan ide yang bersifat reformatif sangat perlu dikedepankan. Substansi dari perintah zakat harus ditonjolkan dan segala kemampuan harus diarahkan untuk mewujudkan cita-cita tersebut.

2. Pemidanaan dalam Islam sebagai Instrumen Penegakan Keadilan Hukum

Pada masa Raulullah Saw, orang-orang Arab telah mengadopsi berbagai macam adat kebiasaan. Praktik ini dalam banyak hal mempunyai kekuatan hukum dalam masyarakat. Dalam kaitannya dengan keberlangsungan hukum pra-Islam, Rasulullah Saw tidak pernah melakukan tindakan-tindakan perubahan terhadap hukum yang ada sepanjang hukum tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam yang fundamental.[14]

Dengan demikian, Rasulullah Saw dalam kapasitasnya sebagai pembuat hukum dari sebuah agama yang baru melegalkan hukum lama di satu sisi, dan mengganti beberapa hal yang tampaknya tidak konsisten (bertentangan) dengan prinsip-prinsip hukum. Hukum yang dirombak antara lain: hukum perkawinan dengan ibu tiri, poliandri, menikahi wanita tanpa batas jumlahnya, hubungan seksual yang tidak sah, aborsi, pembunuhan terhadap bayi perempuan, perceraian berulang-ulang dan lain sebagainya. Penyimpangan nilai-nilai moral dalam hukum pra-Islam tampak sekali dalam sistem pemidanaan (peradilan), terutama pada jarimah qisash-diyat. Perubahan utama yang dilakukan Islam adalah terkait dengan prinsip keseimbangan dalam kerangka hukum yang berdimensi keadilan.

Satu jiwa harus diambil qisash-nya karena perbuatan menghilangkan nyawa orang lain atau pemberian kompensasi (diyat) harus diberikan kepada keluarga korban. Aturan ini harus ditegakkan dan tidak dipersoalkan status suku atau kedudukan si korban dalam suskunya, berbeda dengan apa yang dipraktikkan pada masa Arab jahiliyah. Bahkan lebih dari itu, sebagaimana yang diungkapakan oleh Coulson “sesuai dengan standar moral keadilan dan nilai tebusan yang pasti terhadap pihak yang menjadi koraban”.[15] Ketentuan ini tercantum dalam Qs Al-Baqarah [2]: 2.

Dalam sejarahnya, Rasulullah Saw di satu sisi terkenal sebagai orang yang tegas dalam menegakkan hukum, di sisi lain terkenal sebagai orang yang tegas dalam bijaksana, ketegasan beliau dapat dilihat dari berbagai kasus yang diputuskan terhadap tindak pidana hudud. Bahkan Rasulullah Saw bersumpah jika Fatimah bintin Muhammad mencuri pastilah dipotong tangannya. Pernyataan sumpah Rasulullah Saw tersebut merupakan pernyataan rasa keadilan yang senantiasa harus ditegakkan.[16]

3. Islam dan Keadilan Gender

Islam sebagai bagian dari salah satu induk paradigma ideologi dunia mempunyai misi yang universal, yakni menegaskan keadilan demi tercapainya kemaslahatan umat manusia yang merupakan tujuan dari penetapan syariat Islam (maqashid syarih) berupa kemaslahatan.[17] Prinsip umum dari maqashid syariah adalah menegaskan pentingnya menciptakan kemaslahatan dan menolak kerusakan. Perwujudan keadilan sosial dalam Islam dampak pada persamaan semua manusia di hadapan hukum (equal before the law) tanpa ada klasifikasi sosial maupun gender. Manusia dimuliakan Tuhan berdasarkan kadar ketaqwaannya kepada-Nya, bukan karena jenis kelamin ataupun lainnya. Pesan ini tercantum jelas di dalam Al-Qur’an dan Hadis, pesan inilah yang berlaku sepanjang masa dan di berbagai tempat, sedangkan rasa keadilan itu sendiri angat relatif tergantung pada situasi, kondisi dan tempat.

Adanya pengakuan hak-hak perempuan terutama ketika Al-Qur’an diturunkan sudah merupakan langkah maju yang diterima dengan rasa senang oleh kaum perempuan Arab ketika itu. Pengakuan Islam atas hak-hak perempuan itu merupakan kontra wacana terhadap realitas masyarakat waktu itu yang menegasikan hak-hak sosial kaum perempuan. Dalam doktrin Isal mereka mendapat hak-haknya seperti kewarisan yang sebelumnya mereka tidak dapatkan, dan pembagian hukum kewarisan itu telah memenuhi rasa keadilan masyarakt pada empat belas yang lalu.

Islam menekankan akan pentingnya berbuat adil, apapun status dan posisi seseorang. Apalagi jika seseorang berperan sebagai pemimpin, keadilan akan menjadi pilar dari tegaknya sebuah sebuah komunitas. Siapapun pemimpinnya, tidak peduli agama, suku bangsa, warna kulit, jenis kelamin, dan asal keturunannya, asalkan ia mampu bertindak adil menjauhi kezaliman, maka komunitasnya akan berjaya dan makmur. Namun sebaliknya, siapapun yang memimpin dengan cara despotis maka yang akan terjadi adalah kebangkrutan negara dan kesengsaraan rakyatnya.

Lebih lanjut, Islam tidak membedakan laki-laki dan permepuan, Islam turun menjadi rahmat dan membebaskan kaum perempuan dari hegemoni laki-laki di era jahiliyah. Bahkan Islam menganjurkan kaum perempuan dapat mengaktualisasikan dirinya dalam ranah publik sebagaimana peran Siti Khadijah yang membantu dakwah Nabi dalam menjalankan fungsinya. Perempuan mempunyai hak yang sama dalam semua aspek kehidupan seperti berpolitik, ekonomi maupun pendidikan.

Kegagalan dan kesuksesan memimpin suatu komunitas tidak ada kaitannya dengan persoalan jenis kelamin, tetapi lebih pada sistem yang diterapkan dan kemampuan memimpin. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Husein Muhammad bahwa persoalan-persoalan yang menyangkut kemasyarakatan dan politik, yang paling penting adalah kemaslahatan.[18]

Diskursus keadilan gender perlu ditekankan mengingat pada hakikatnya relasi antara suami dan istri, laki-laki dan perempuan adalah relasi kemitraan (simbiotik mutualisme). Artinya baik suami atau istri adalah sama-sama aktor utama dalam rumah tangganya tanpa adanya diskriminasi, meski tidak menafikan distingsi fungsi yang kodrati.

C.    PENUTUP

Kata Islam tekandung makna ketaatan, kepatuhan, penyerahan diri, keselamatan, kedamaian, kesejahteraan. Ada juga pendapat, akar kata yang membentuk kata Islam setidaknya ada empat yang berkaitan satu sama lain. Dalam sejarah perkembangan hukum Islam, istilah hukum Islam sering menimbulkan pengertian rancu, hingga kini hukum Islam terkadang dipahami dengan pengertian syariah dan terkadang dipahami dengan pengertian fiqh. Hukum Islam meiliki karakteristik sempurna, elastis, dinamis, sistematis, ta’abuddin dan ta’aqquli. Keadilan berarti perilaku atau perbuatan yang dalam pelaksanaannya memberikan kepada pihak lain sesuatu yang semestinya harus diterima oleh pihak lain. Para pakar umumnya merumuskan keadilan menjadi empat makna, yaitu; 1) adil adil dalam arti sama; 2) perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada para pemiliknya; 3) adil yang dinisbahkan kepada Ilahi; dan 4) adil dalam arti seimbang yang identik dengan kesesuaian/ proporsional.

DAFTAR PUSTAKA

Ad-Dahlawi, Hujjah Allah Al Balighah, Kairo: Dar Al Turas,1185 H.

Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas: Fiqh Aqalliyat dan Evolusi Maqashid Syariah dari Konsep ke Pendekatan, Yogyakarta: Lkis, 2011.

Ahmad Syafii Maarif, Mencari Autentisitas di Tengah Kegalauan, Jakarta: PSAP, 2004.

Damanhuri Fattah, “Implementasi Nilai Keadilan Dalam kajian Hukum Islam”, Al-Manahij: Jurnal Kajian Hukum Islam, Vol. 2: 2, 2011.

Fazlur Rahman, Tema-tema Pokok Al-Qur’an, terj. Anas Mahyudin, Bandung: Penerbit Pustaka, 1987.

Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, Yogyakarta: LkiS, 2001

Mardani, Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.

Masnun Tahir dan Murdan, Filsafat Hukum Keluarga Islam, Mataram: Sanabil, 2019.

Muhammad Helmi, “Konsep Keadilan dalam Filsafat Hukum dan Filsafat Hukum Islam”. Mazahib: Jurnal Pemikiran Hukum Islam, Vol. XIV: 2, 2015.

Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis; Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1991.

Muhammad Nejatullah Siddiqi, Kegiatan Ekonomi dalam Islam. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2004.

Muhammad Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014.

Muhamad Quraish Shihab, Wawan Islam, Bandung, Mizan, 1996.

NJ. Coulson, A History of Islamic Law, Endingburgh: Endingburgh University Press, 1971.

Sahri, Modul Pendidikan Agama Islam Untuk Mahasiswa, Bojonegoro: UNU Sunan Giri Bojonegoro, t.tt.

Yusuf Qardawi, Fiqh Maqasid Syari’ah, Pustaka Al-Kautsar, 2007.



[1] Ahmad Syafii Maarif, Mencari Autentisitas di Tengah Kegalauan, (Jakarta: PSAP,2004), hlm. 173.

[2] Masnun Tahir dan Murdan, Filsafat Hukum Keluarga Islam, (Mataram: Sanabil, 2019), hlm. 102.

[3]  Sahri, Modul Pendidikan Agama Islam Untuk Mahasiswa, (Bojonegoro: UNU Sunan Giri Bojonegoro, t.tt), hlm. 21.

[4] Mardani, Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), hlm. 14.

[5] Mardani, Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum Islam..., hlm. 7.

[6] Muhammad Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014), Cet. 2. hlm. 39-46.

[7] Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis; Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1991), hlm. 77.

[8] Muhammad Nejatullah Siddiqi, Kegiatan Ekonomi dalam Islam. (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2004), hlm. 42.43.

[9] Muhamad Quraish Shihab, Wawan Islam, (Bandung, Mizan, 1996), hlm. 114-116.

[10] Muhammad Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014), Cet. 2, hlm. 5.

[11] Muhammad Helmi, “Konsep Keadilan dalam Filsafat Hukum dan Filsafat Hukum Islam”. Mazahib: Jurnal Pemikiran Hukum Islam, Vol. XIV: 2, (2015), hlm. 139-141.

[12] Yusuf Qardawi, Fiqh Maqasid Syari’ah, (Pustaka Al-Kautsar, 2007), hlm. 18.

[13] Fazlur Rahman, Tema-tema Pokok AL-Qur’an, terj. Anas Mahyudin (Bandung: Penerbit Pustaka, 1987), hlm. 55.

[14] Ad-Dahlawi, Hujjah Allah Al Balighah, (Kairo: Dar Al Turas,1185 H), hlm. 68.

[15] NJ. Coulson, A History of Islamic Law, (Endingburgh: Endingburgh University Press, 1971), hlm. 78.

[16] Damanhuri Fattah, “Implementasi Nilai Keadilan Dalam kajian Hukum Islam”, Al-Manahij: Jurnal Kajian Hukum Islam, Vol. 2: 2, (2011), hlm. 143

[17] Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas: Fiqh Aqalliyat dan Evolusi Maqashid Syariah dari Konsep ke Pendekatan, (Yogyakarta: Lkis, 2011, hlm. 109.

[18] Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, (Yogyakarta: LkiS, 2001), hlm. 151.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Konsep Kewirausahaan Islam

Makalah Filsafat Empirisme

KAIDAH FIKIH KULLIYAT YANG KE 26-30