HUKUM KELUARGA “PERKAWINAN”

 

HUKUM KELUARGA

“PERKAWINAN”

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Hukum Perdata”

Dosen Pengampu: Heru Sunardi, SH MH



 

                                                Disusun Oleh:                        

                           Suci Ramadhani Putri             (170201027)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM

2020


KATA PENGANTAR

 

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Segala puji kita panjatkan bagi Allah SWT tuhan semesta alam. Atas berkat rahmat hidayahnya penyusunan makalah mata kuliah Hukum Perdata ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Shatawat serta salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita semua Nabi besar Muhammad SAW. Kepada para sahabatnya, tabiin tabiatnya serta kepada kita selaku umatnya sampai akhir zaman.

Penulis menyadari didalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan baik dari cara penulisan ataupun dari isi materinya. Oleh karena itu penulis memohon kepada rekan-rekan pembaca untuk memberikan kritikan dan masukannya agar dalam penulisan yang akan datang dapat lebih baik lagi.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

 

 

 

                                                                       Mataram, 14 September 2020

 

                                                                                    Penulis

 

 

 

DAFTAR ISI

 

KATA PENGANTAR.. i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN.. 1

A.    Latar Belakang. 1

B.    Rumusan Masalah. 2

C.    Tujuan. 2

BAB II PEMBAHASAN.. 3

A.    Pengertian Umum Perkawinan Menurut UU No.1 Tahun 1974. 3

B.    Arti dan Syarat-syarat dalam Perkawinan. 5

C.    Hubungan Hukum  dalam Perkawinan. 12

D.    Asas Monogami dalam Perkawinan. 12

BAB III PENUTUP. 15

A.    Kesimpulan. 15

B.    Saran. 15

DAFTAR PUSTAKA.. 16

 

 

 

 

 

 


BAB I

PENDAHULUAN

 

     A.    Latar Belakang

Setiap perkawinan tidak hanya didasarkan kepada kebutuhan biologis antara pria dan wanita yang diakui sah, melainkan sebagai pelaksana proses kodrat hidup manusia. Demikian juga dalam hukum perkawinan Islam mengandung unsur-unsur pokok yang bersifat kejiwaan dan kerohanian meliputi kehidupan lahir batin, kemanusiaan dan kebenaran. Selain itu perkawinan juga berdasarkan religius, artinya aspek-aspek keagamaan menjadi dasar pokok kehidupan rumah tangga dengan melaksanakan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah. Sedangkan dasardasar pengertian perkawinan itu berpokok pangkal kepada tiga keutuhan yang perlu dimiliki oleh seseorang sebelum melaksanakanya, yaitu: iman, Islam dan ikhlas.

Perkawinan adalah perilaku mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan di alam dunia berkembang baik. Perkawinan bukan saja terjadi di kalangan manusia, tetapi juga terjadi pada tanaman tumbuhan dan hewan. Oleh karena itu manusia adalah hewan yang berakal, maka perkawinan merupakan salah satu budaya yang beraturan yang mengikuti perkembangan budaya manusia dalam kehidupan masyarakat. Dalam masyarakat sederhana budaya perkawinannya sederhana, sempit dan tertutup, dalam masyarakat yang maju (modern) budaya perkawinannya maju, luas dan terbuka.

Perkawinan merupakan salah satu dimensi kehidupan yang sangat penting dalam kehidupan manusia di dunia manapun. Begitu pentingnya perkawinan, maka tidak mengherankan jika agama-agama di dunia mengatur masalah perkawinan bahkan tradisi atau adat masyaarkat dan juag institusi Negara tidak ketinggalan mengatur perkawinan yang berlaku di kalangan masyarakatnya. Sudah menjadi kenyataan umum bahwa pengaturan masalah perkawinan di dunia tidak menunjukkan adanya keseragaman. Keperbedaan itu tidak hanya antara satu agama dengan agama yang lain, bahkan dalam satu agamapun dapat terjadi perbedaan pengaturan perkawinan yang disebabkan adanya cara berfikir yang berlainan karena menganut mazhab atau aliran yang berbeda.

Untuk memelihara, melindungi keluarga serta meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga tersebut disusunlah undang-undang yang mengatur perkawinan dan keluarga. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan sebuah undangundang yang mempunyai keistimewaan, ia mengatur seluruh anggota masyarakat yang telah menginjak dewasa yang akan melangsungkan perkawinan.

Dan untuk lebih mengenal lagi konsep Hukum Keluarga terlebih lagi perihal perkawinan sesuai dengan peraturan yang berlaku, sehingga disusunlah makalah kami ini yang akan memaparkan secara lebih rinci terkait Hukum Perkawinan.

      B .  Rumusan Masalah

1.      Apa pengertian umum perkawinan menurut UU Nomor 1 Tahun 1974?

2.      Apa arti dan syarat-syarat dalam perkakwinan?

3.      Bagaimana hubungan hukum dalam perkawinan?

4.      Apa asas monogamy dalam perkawinan?

      C.     Tujuan

1.      Mengetahui apengertian umum perkawinan menurut UU Nomor 1 Tahun 1974.

2.      Mengetahui  apa arti dan syarat-syarat dalam perkakwinan.

3.      Mengetahui bagaimana hubungan hukum dalam perkawinan.

4.      Mengetahui apa asas monogamy dalam perkawinan.

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

      A.    Pengertian Umum Perkawinan Menurut UU No.1 Tahun 1974

Menurut ketentuan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pengertian perkawinan ialah: “Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Yang Maha Esa”.

Perkawinan yang dilakukan antara pasangan seorang pria dengan seorang wanita, pada hakekatnya merupakan naluri atau fitrah manusia sebagai mahluk sosial guna melanjutkan keturunannya. Oleh karenanya dilihat dari aspek fitrah manusia tersebut, pengaturan perkawinan tidak hanya didasarkan pada norma hukum yang dibuuat oleh manusia saja, melainkan juga bersumber dari hukum Tuhan yang tertuang dalam hukum agama. Tinjauan perkawinan dari aspek agama dalam hal ini terutama dilihat dari hukum Islam yang merupakan keyakinan sebagian besar masyarakat Indonesia. Menurut hukum Islam khususnya yang diatur dalam Ilmu Fiqih, pengertian perkawinan atau akad nikah adalah “Ikatan yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta bertolong-tolongan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya bukan merupakan muhrim”.[1]

Pengertian perkawinan di atas menggambarkan, bahwa perkawinan merupakan suatu perjanjian atau akad antara seorang laki-laki denga seorang wanita untuk hidup berumah tangga, yang di dalamnya termasuk pengaturan hak dan kewajiban serta saling tolong menolong dari kedua belah pihak. Dalam pandangan umat Islam, perkawinan merupakan asas pokok kehidupan dalam pergaulan, sebagai perbuatan yang sangat mulia dalam mengatur kehidupan berumah tangga. Pertalian nikah atau perkawinan, juga merupakan pertalian yang seteguh-teguhnya dalam hidup dan kehidupan umat manusia.[2]

Hal yang tidak saja terbatas pada pergaulan antar suami-isteri, melainkan juga ikatan kasih mengasihi pasangan hidup tersebut, yang nantinya akan berpindah kebaikannya kepada semua kelaurga dari kedua belah pihak. Kedua keluarga dari masing-masing pihak menjadi satu dalam segala urusan tolong menolong, menjalankan kebaikan, serta menjaga dari segala kejahatan, di samping itu dengan melangsungkan perkawinan bahkan seorang dapat terpelihara terhadap kebinasaan dari hawa nafsunya.

Perkawinan yang merupakan perbuatan mulia tersebut pada prinsipnya, dimaksudkan untuk menjalin ikatan lahir batin yang sifatnya abadi dan bukan hanya untuk sementara waktu, yang kemudian diputuskan lagi. Atas dasar sifat ikatan perkawinan tersebut, maka dimungkinkan dapat didirikan rumah tangga yang damai dan teratur, serta memperoleh keturunan yang baik dalam masyarakat.[3]

Selanjutnya sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Buku I tentang Hukum Perkawinan Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah dirumuskan pengertian perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu “akad yang sangat kuat atau mitsaaqon gholidhan untuk mentaati perinta Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”. Sementara itu Pasal 3 juga diatur bahwa tujuan perkawinan adalah “untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah”. Sedangkan menurut hukum Islam perkawinan merupakan ikatan lahir batin yang sifatnya agung dan suci antara pasanan pria dan wanita, yang bertujuan membentuk rumah tangga yang penuh ketenangan (sakinah), penuh rasa cinta kasih (mawaddah), dan senantiasa mengharapkan limpahan rahmat dari Allah SWT.

    B.     Arti dan Syarat-syarat dalam Perkawinan

Perkawinan dalam Islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan ataua kontrak keperdataan biasa, akan tetapi perkawinan merupakan sunnah Rasulullah Saw., dan media yang paling cocok antara panduan agama Islam dengan naluriah atau kebutuhan biologis manusia, dan mengandung makna dan nilai ibadah. Sehingga di dalam Kompilasi Hukum Islam ditegaskan pula bahwa perkawinan merupakan akad yang sangat kuat, perjanjian kokoh (mitsaqun ghalidhan) untuk mentaati perintah Allah, dan melaksanakannya merupakan ibadah. (Pasal 2 KHI)[4].

Apabila perkawinan hanya dipahami sebagai ikatan atau kontrak keperdataan saja, akan dapat menghilangkan nilai kesucian perkawinan sebagai bentuk dan instrument ibadah sosial kepada ALlah Swt. Perintah merupakan salah satu perintah agama kepada orang laki-laki maupun perempuan yang mampu. Karena dengan perkawinan, dapat mengurangi maksiat penglihatan serta memelihara diri dari perbuatan zina. Oleh karena itu, bagi mereka yang berkeinginan untuk menikah, sementara persiapan perbekalan untuk memasuki perkawinan belum siap, dianjurkan berpuasa. Dengan berpuasa diharapkan dapat membentengi diri dari perbuatan tercela yang sangat keji, yaitu perzinaan. Riwayat dari Abdullah bin Mas’ud Rasulullah Saw. bersabda:

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

Wahai para pemuda, barangsiapa yang sudah sanggup menikah, maka menikahlah. Karena itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu obat pengekang nafsunya”. (Muttafaq Alaih)

Perkawinan merupakan wadah penyaluran kebutuhan biologis manusia yang wajar, dan dalam ajaran Nabi, perkawinan ditradisikan menjadi sunnah beliau.

Perkawinan adalah suatu perbuatan hukum, oleh karena itu mempunyai akibat hukum. Adanya akibat hukum, penting sekali kaitannya dengan sah tidaknya perbuatan hukum. Oleh karena itu, sah tidaknya suatu perkawinan ditentukan oleh hukum yang berlaku (hukum Positif), yaitu berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Sedangkan menurut Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam, bahwa: Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqoon gholidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.[5]

Syarat-syarat perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan meliputi:

1.      Syarat-syarat materiil.

a.       Syarat materiil secara umum adalah sebagai berikut:

1)      Harus ada persetujuan dari kedua belah pihak calon mempelai. Arti persetujuan yaitu tidak seorangpun dapat memaksa calon mempelai perempuan dan calon mempelai laki-laki, tanpa persetujuan kehendak yang bebas dari mereka. Persetujuan dari kedua belah pihak calon mempelai adalah syarat yang relevan untuk membina keluarga.

2)      Usia calon mempelai pria sekurang-kurangnya harus sudah mencapai 19 tahun dan pihak calon mempelai wanita harus sudah berumur 16 tahun.

3)      Tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain.

b.      Syarat materiil secara khusus yaitu:[6]

1)      Tidak melanggar larangan perkawinan yang diatur Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, yaitu larangan perkawinan antara dua orang yaitu:

a)       Hubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah atau ke atas.

b)      Hubungan darah garis keturunan ke samping.

c)      Hubungan semenda.

d)     Hubungan susuan.

e)      Hubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi.

f)       Mempunyai hubungan dengan agama atau peraturan yang berlaku dilarang kawin.

g)      Telah bercerai untuk kedua kalinya sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaan tidak menetukan lain.

2)      Izin dari kedua orang tua bagi calon mempelai yang belum berumur 21 tahun. Yang berhak memberi izin kawin yaitu: 

a)      Orang tua dari kedua belah pihak calon mempelai. Jika kedua orang tua masih ada, maka izin diberi bersama oleh kedua orang tua calon mempelai. Jika orang tua laki-laki telah meninggal dunia, pemberi izin perkawinan beralih kepada orang tua perempuan yang bertindak sebagai wali. Jika orang tua perempuan sebagai wali, maka hal ini bertentangan dengan perkawinan yang diatur Hukum Islam karena menurut Hukum Islam tidak boleh orang tua perempuan bertindak sebagai wali.

b)      Apabila salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia tau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya disebabkan:

(1)   Oleh karena misalnya berada di bawah kurutale.

(2)   Berada dalam keadaan tidak waras.

(3)   Tempat tinggalnya tidak diketahui. Maka izin cukup diberikan oleh orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

c)      Apabila kedua orang tua telah meninggal dunia atau kedua-duanya dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari:

(1)   Wali yang memelihara calon mempelai.

(2)   Keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan ke atas selama masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

d)     Jika ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 6 ayat (2), (3) dan (4) atau seseorang atau lebih diantara orang-orang tidak ada menyatakan pendapatnya, Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang hendak melangsungkan perkawinan bertindak memberi izin perkawinan. Pemberian izin dari Pengadilan diberikan:

(1)   Atas permintaan pihak yang hendak melakukan perkawinan.

(2)   Setelah lebih dulu Pengadilan mendengar sendiri orang yang disebut dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 6 ayat (2).(3) dan (4).

2.      Syarat-syarat Formil[7]

a.       Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada pegawai pencatatan perkawinan.

b.      Pengumuman oleh pegawai pencatat perkawinan.

c.       Pelaksanaan perkawinan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing.

d.      Pencatatan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan.

Perkawinan dapat dikatakan sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan Rukun adalah unsur pokok (tiang) sedangkan syarat merupakan unsur pelengkap dalam setiap perbuatan hukum.43 Perkawinan sebagai perbuatan hukum tentunya juga harus memenuhi rukun dan syaratsyarat tertentu. Rukun nikah merupakan hal-hal yang harus dipenuhi pada waktu melangsungkan perkawinan. Rukun nikah merupakan bagian dari hakekat perkawinan, artinya bila salah satu dari rukun nikah tidak terpenuhi maka tidak terjadi suatu perkawinan. Rukun nikah di atur dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi :

1.      Calon mempelai laki-laki dan perempuan.

2.      Wali bagi calon mempelai perempuan.

3.      Saksi.

4.      Ijab dan Kabul

Menurut Hukum Islam syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu perkawinan dinyatakan sah adalah:[8]

1.      Syarat umum.

Perkawinan tidak boleh bertentangan dengan larangan perkawinan dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat (221) tentang larangan perkawinan karena perbedaan agama dengan pengecualiannya dalam Al-Quran surat AlMaidah ayat (5) yaitu khusus laki-laki boleh mengawini perempuanperempuan, Al-Quran surat An-Nisa ayat (22), (23) dan (24) tentang larangan perkawinan karena hubungan darah, semenda dan saudara sesusuan.

2.      Syarat khusus

a.       Adanya calon mempelai laki-laki dan perempuan.

Calon mempelai laki-laki dan perempuan adalah suatu syarat mutlak (condition sine qua non), absolut karena tanpa calon mempelai lakilaki dan perempuan tentu tidak ada perkawinan. Calon mempelai lakilaki dan perempuan harus bebas dalam menyatakan persetujuannya tidak dipaksa oleh pihak lain. Hal ini menuntut konsekuensi bahwa kedua calon mempelai harus sudah mampu untuk memberikan peretujuan untuk mengikatkan diri dalam suatu perkawinan dan ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang sudah mampu berpikir, dewasa, akil baliqh. Dengan dasar ini Islam menganut asas kedewasaan jasmani dan rohani dalam melangsungkan perkawinan.

b.      Harus ada wali nikah.

Menurut mahzab Syafi’I berdasarkan hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari siti Aisyah, Rasul SAW pernah mengatakan tidak ada kawin tanpa wali. Hanafi dan Hambali berpandangan walaupun nikah itu dipakai wali, nikahnya tetap sah.[9] Syarat-syarat wali adalah:

1)      Islam.

2)      Akil baliqh. 

3)      Berakal.

4)      Laki-laki.

5)      Adil.

6)      Tidak sedang ihram atau umroh.

c.       Saksi.

Kesaksian untuk suatu perkawinan hendaklah diberikan oleh dua orang laki-laki dewasa dan adil dan dapat dipercaya. Sebuah hadist Rasul SAW dengan riwayat Ahmad yang berbunyi: “Tidak sah nikah melainkan dengan wali dan dua orang saksi yang adil”, dijadikan dalil atas pendirian yang sedemikian syarat-syarat kedua orang saksi tersebut adalah:

1)      Islam.

2)      Dewasa (Akli baliqh).

3)      Laki-laki yang adil yang dapat terlihat dari perbuatan sehari-hari

Menurut Syafi’I dan Hambali mengatakan akad nikah yang tidak dihadiri oleh dua orang saksi tidak sah dan dua orang saksi itu harus muslim. Tidak sah bila saksi bukan muslim sedangkan Hanafi mengatakan saksi boleh saja bukan muslim yaitu bila perkawinan dilakukan antara seorang Muslim dengan wanita yang bukan muslim (kitabiyah).

d.      Ijab dan Kabul

Ijab yaitu pernyataan kehendak mengikatkan diri dalam bentuk perkawinan dan dilakukan oleh pihak perempuan ditujukan kepada laki-laki calon suami. Sedangkan Kabul yaitu pernyataan penerimaan mengikatkan diri sebagai suami isteri yang dilakukan pihak laki-laki. Ijab Kabul dilakukan di dalam suatu majelis dan tidak boleh ada jarak yang lama antara Ijab dan Kabul yang merusak kesatuan aqad dan kelangsungan aqad, dan masing-masing Ijab dan Kabul dapat didengar dengan baik oleh kedua belah pihak dan dua orang saksi. Syarat-syarat Ijab Kabul adalah:

1)      Ada pernyataan mengawinkan dari wali (ijab).

2)      Ada pernyataan pemnerimaan dari calon mempelai laki-laki (qabul).

3)      Menggunakan kata-kata nikah (tazwij).

4)      Antara Ijab dan Kabul diucapkan bersambungan.

5)      Antara Ijab dan Kabul harus jelas maksudnya.

6)      Tidak dalam ihram haji atau umrah.

7)      Majelis Ijab dan Kabul harus dihadiri minimal 4 (empat) orang.

 

          C.     Hubungan Hukum  dalam Perkawinan

Perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum. perkawinan menimbulkan hak dan kewajiban kepada para pihak yang mengikatkan diri pada suatu perkawinan. Hak dan kewajiban tersebut harus dipenuhi oleh pasangan suami istri yang terikat dalam suatu hubungan kekeluargaan, terlebih dari itu juga dalam bidang harta kekayaan. Akibat hukum perkawinan di dalam hubungan kekeluargaan diatur oleh hukum keluarga, sedangkan akibat hukum dalam bidang harta kekayaan diatur oleh hukum benda perkawinan. Hukum keluarga dan hukum benda perkawinan dapat ditemukan dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hukum kekeluargaan yang diatur di dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 yaitu mengatur tentang status anak, hak dan kewajiban anak dengan orang tua dan tentang perwalian. Sedangkan mengenai hukum benda perkawinan diatur di dalam Pasal 35, 36, dan 37 UU Nomor 1 Tahun 1974. Pengaturan menganai hukum benda perkawinan dapat ditemukan pula di dalam Pasal 1 ayat f dan Pasal 85 sampai Pasal 97 KHI. Dalam UU Perkawinan, UU Nomor 1 Tahun 1974 perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang lelaki dengan seorang perempaun sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

    D.    Asas Monogami dalam Perkawinan

Monogami adalah perkawinan dengan Istri tunggal  yang  artinya seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan saja, sedangkan kata poligami yaitu perkawinan dengan dua orang perempuan atau lebih dalam waktu yang sama.[10]

1.      Asas Monogami Menurut KUHPerdata

Hukum perkawinan yang diatur di dalam KUHPerdata berasaskan monogamy dan mutlak. Aetinya, setiap suami hanya diperbolehkan mempunyai seorang istri saja, begitu pula sebaliknya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 27 KUHPerdata. KUHPerdata memandang perkawinan hanya dalam hubungan keperdataan (Pasal 26 KUHPerdata). Hal ini berarti, bahwa perkawinan itu sah apablila telah dipenuhinya ketentuan hukum/syarat hukum dari KUHPerdata.[11]

KUHPerdata tidak memandang faktor keagamaan sebagai syarat sahnya perkawinan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 81 KHUPerdata, dimana upacara keagamaan tidak boleh dilangsungkan sebelum perkawinan diadakan dihadapan Pegawai Catatan Sipil. Di dalam KUHPerdata, perolehan keturunan bukan merupakan tujuan perkawinan.

2.      Asas Monogami Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974

Dalam Undang-undang perkawinan ini, berlaku pula asas monogamy dalam perkawinan. Menurut pasal 3 ayat 1 UUP pada assnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunayi seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami (asas monogamy). Dalam Undang-Undang Perkawinan ini, perolehan keturnan merupakan tujuan perkawinan.[12]

Berbeda menuru KUHPerdata dan UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, di dalam hukum Islam tidak menganut asas monogami, melainkan poligami.  Menurut Pasal 55 KHI (Kompilasi Hukum Islam), beristri lebih dari satu orang pada waktu yang bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang istri. Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami hanya mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya. Apabila syarat utama ini tidak mungkin dipenuhi, maka suami dilarang beristri lebih dari seorang.

Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama. Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga, atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum (Pasal 56 KHI). Menurut Pasal 57 KHI, Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:

1.      Istri tidak dapat menjalankan kewajiban seorang istri

2.      Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan

3.      Istri tidak dapat melahirkan keturunan

Selain syarat-syarat tersebut di atas menurut pasal 58 KHI, maka untuk memperoleh izin dari Pengadilan Agama, harus pula memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1.      Adanya persetujuan d ari istri

2.      Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka

3.      Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka

Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

     A.    Kesimpulan

1.      Pengertian Umum Perkawinan Menurut UU No.1 Tahun 1974yaitu;Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Yang Maha Esa”.

2.      Arti dari sebuah perkawinan jika menurut KHI adalah bukan hanya sebagai penyaluran kebutuhan biologia, melainkan adalah untuk mentaati perintah Allah SWT. Dan syarat dari sebuah perkawinan terbagi menjadi dua, yatitu secara materil maupun formil. Secara umum syarat dari sah nya perkawinan adalah adanya calon mempelai, adanya wali, adanya saksi dan terakhir adanya ijab dan qabul.

3.      Hubungan hukum dalam perkawinan menimbulkan beberapa akibat hukum, yaitu akibatnya hukum perkawinan di dalam hubungan kekeluargaan diatur oleh hukum keluarga, sedangkan akibat hukum dalam bidang harta kekayaan diatur oleh hukum benda perkawinan.

4.      Asas monogamy dalam perkawinan. Monogami adalah perkawinan dengan Istri tunggal  yang  artinya seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan saja, sedangkan kata poligami yaitu perkawinan dengan dua orang perempuan atau lebih dalam waktu yang sama. Menurut KUHPerdata dan UU Perkawinan, sesungguhnya perkawinan di Indonesia pada dasarnya menganut asas monogamy.

     B.     Saran

Saran penulis adalah agar dilakukannya pembaruan terkait UU perkawinan, karena dinamika perkawinan semakin hari semakin kompleks sehingga dibutuhkanlah peraturan perundang-undangan pula yang terbaru dan lebih lengkap mengatur persoalan perkawinan

DAFTAR PUSTAKA

 

A. Zuhdi Muhdar, Memahami Hukum Perkawinan,  Bandung: Al Bayan, 1994

Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan , Jakarta: PT Raja Grafindo, 1995

Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Idnonesia, Depok: PT Raja Grafindo, 2017

Al Hamdany, Risalah nikah, Jakarta: Pustaka Amani, 2002

M Ridwan Indra, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Jakarta: cv. Haji Masagung, 1994

Mahmuda Junus, Hukum Perkawinan Islam Menurut Mazhad: Sayfi‟I, Hanafi, Maliki dan Hambali. Jakarta: Pustaka Mahmudiyah, 1989

P.N.H Simanjuntak,, Hukum Perdata Indonesia, Jakarta: Kencana, 2016

Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Jakarta: Attahiriyah , 1993



[1] Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Jakarta: Attahiriyah ,  1993), hlm. 355

[2] Ibid., hlm. 36

[3] Mahmuda Junus, Hukum Perkawinan Islam Menurut Mazhad: Sayfi‟I, Hanafi, Maliki dan Hambali. (Jakarta: Pustaka Mahmudiyah,  1989), hlm.11

[4] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Idnonesia, (Depok: PT Raja Grafindo, 2017), hlm. 53

[5]  M Ridwan Indra, Hukum Perkawinan Di Indonesia, (Jakarta: cv. Haji Masagung,  1994), hlm. 1

[6] Al Hamdany, Risalah nikah, (Jakarta: Pustaka Amani,  2002), hlm.44

[7] A. Zuhdi Muhdar, Memahami Hukum Perkawinan, (Bandung: Al Bayan,  1994), hlm. 24

[8] Ibid., hlm. 62

[9] Ibid., hlm. 63

[10] Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan , (Jakarta: PT Raja Grafindo,  1995), hlm. 159.

[11] P.N.H Simanjuntak,, Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2016), hlm. 36

[12] Ibid., hlm. 49

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Konsep Kewirausahaan Islam

Makalah Filsafat Empirisme

KAIDAH FIKIH KULLIYAT YANG KE 26-30