HUKUM KELUARGA “PERKAWINAN”
HUKUM KELUARGA
“PERKAWINAN”
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata
kuliah “Hukum Perdata”
Dosen
Pengampu: Heru Sunardi, SH MH
Disusun Oleh:
Suci Ramadhani Putri (170201027)
PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM
2020
KATA PENGANTAR
Segala puji
kita panjatkan bagi Allah SWT tuhan semesta alam. Atas berkat rahmat hidayahnya
penyusunan makalah mata kuliah Hukum Perdata ini dapat diselesaikan tepat pada
waktunya.
Shatawat serta
salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita semua Nabi besar Muhammad
SAW. Kepada para sahabatnya, tabiin tabiatnya serta kepada kita selaku umatnya
sampai akhir zaman.
Penulis
menyadari didalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan baik dari cara
penulisan ataupun dari isi materinya. Oleh karena itu penulis memohon kepada
rekan-rekan pembaca untuk memberikan kritikan dan masukannya agar dalam
penulisan yang akan datang dapat lebih baik lagi.
Mataram,
14 September 2020
DAFTAR ISI
A. Pengertian Umum Perkawinan Menurut UU No.1 Tahun 1974
B. Arti dan Syarat-syarat dalam Perkawinan
C. Hubungan Hukum dalam Perkawinan
D. Asas Monogami dalam Perkawinan
BAB I
PENDAHULUAN
Setiap perkawinan tidak hanya didasarkan kepada kebutuhan
biologis antara pria dan wanita yang diakui sah, melainkan sebagai pelaksana
proses kodrat hidup manusia. Demikian juga dalam hukum perkawinan Islam
mengandung unsur-unsur pokok yang bersifat kejiwaan dan kerohanian meliputi
kehidupan lahir batin, kemanusiaan dan kebenaran. Selain itu perkawinan juga
berdasarkan religius, artinya aspek-aspek keagamaan menjadi dasar pokok
kehidupan rumah tangga dengan melaksanakan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah.
Sedangkan dasardasar pengertian perkawinan itu berpokok pangkal kepada tiga
keutuhan yang perlu dimiliki oleh seseorang sebelum melaksanakanya, yaitu:
iman, Islam dan ikhlas.
Perkawinan adalah perilaku mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha
Esa agar kehidupan di alam dunia berkembang baik. Perkawinan bukan saja terjadi
di kalangan manusia, tetapi juga terjadi pada tanaman tumbuhan dan hewan. Oleh
karena itu manusia adalah hewan yang berakal, maka perkawinan merupakan salah
satu budaya yang beraturan yang mengikuti perkembangan budaya manusia dalam
kehidupan masyarakat. Dalam masyarakat sederhana budaya perkawinannya
sederhana, sempit dan tertutup, dalam masyarakat yang maju (modern) budaya
perkawinannya maju, luas dan terbuka.
Perkawinan merupakan salah satu dimensi kehidupan yang
sangat penting dalam kehidupan manusia di dunia manapun. Begitu pentingnya
perkawinan, maka tidak mengherankan jika agama-agama di dunia mengatur masalah
perkawinan bahkan tradisi atau adat masyaarkat dan juag institusi Negara tidak
ketinggalan mengatur perkawinan yang berlaku di kalangan masyarakatnya. Sudah
menjadi kenyataan umum bahwa pengaturan masalah perkawinan di dunia tidak
menunjukkan adanya keseragaman. Keperbedaan itu tidak hanya antara satu agama
dengan agama yang lain, bahkan dalam satu agamapun dapat terjadi perbedaan
pengaturan perkawinan yang disebabkan adanya cara berfikir yang berlainan
karena menganut mazhab atau aliran yang berbeda.
Untuk memelihara, melindungi keluarga serta meningkatkan
kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga tersebut disusunlah undang-undang yang
mengatur perkawinan dan keluarga. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan sebuah
undangundang yang mempunyai keistimewaan, ia mengatur seluruh anggota
masyarakat yang telah menginjak dewasa yang akan melangsungkan perkawinan.
Dan untuk lebih mengenal lagi konsep Hukum Keluarga
terlebih lagi perihal perkawinan sesuai dengan peraturan yang berlaku, sehingga
disusunlah makalah kami ini yang akan memaparkan secara lebih rinci terkait
Hukum Perkawinan.
1. Apa pengertian umum perkawinan
menurut UU Nomor 1 Tahun 1974?
2. Apa arti dan syarat-syarat dalam
perkakwinan?
3. Bagaimana hubungan hukum dalam
perkawinan?
4. Apa asas monogamy dalam perkawinan?
1. Mengetahui apengertian umum
perkawinan menurut UU Nomor 1 Tahun 1974.
2. Mengetahui apa arti dan syarat-syarat dalam perkakwinan.
3. Mengetahui bagaimana hubungan
hukum dalam perkawinan.
4. Mengetahui apa asas monogamy dalam
perkawinan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Umum Perkawinan Menurut
UU No.1 Tahun 1974
Menurut ketentuan dalam Pasal 1
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pengertian perkawinan
ialah: “Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan yang Yang Maha Esa”.
Perkawinan yang dilakukan antara
pasangan seorang pria dengan seorang wanita, pada hakekatnya merupakan naluri
atau fitrah manusia sebagai mahluk sosial guna melanjutkan keturunannya. Oleh
karenanya dilihat dari aspek fitrah manusia tersebut, pengaturan perkawinan
tidak hanya didasarkan pada norma hukum yang dibuuat oleh manusia saja,
melainkan juga bersumber dari hukum Tuhan yang tertuang dalam hukum agama.
Tinjauan perkawinan dari aspek agama dalam hal ini terutama dilihat dari hukum
Islam yang merupakan keyakinan sebagian besar masyarakat Indonesia. Menurut
hukum Islam khususnya yang diatur dalam Ilmu Fiqih, pengertian perkawinan atau
akad nikah adalah “Ikatan yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan
kewajiban serta bertolong-tolongan antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan yang antara keduanya bukan merupakan muhrim”.[1]
Pengertian perkawinan di atas
menggambarkan, bahwa perkawinan merupakan suatu perjanjian atau akad antara
seorang laki-laki denga seorang wanita untuk hidup berumah tangga, yang di
dalamnya termasuk pengaturan hak dan kewajiban serta saling tolong menolong
dari kedua belah pihak. Dalam pandangan umat Islam, perkawinan merupakan asas
pokok kehidupan dalam pergaulan, sebagai perbuatan yang sangat mulia dalam
mengatur kehidupan berumah tangga. Pertalian nikah atau perkawinan, juga
merupakan pertalian yang seteguh-teguhnya dalam hidup dan kehidupan umat
manusia.[2]
Hal yang tidak saja terbatas pada
pergaulan antar suami-isteri, melainkan juga ikatan kasih mengasihi pasangan
hidup tersebut, yang nantinya akan berpindah kebaikannya kepada semua kelaurga
dari kedua belah pihak. Kedua keluarga dari masing-masing pihak menjadi satu
dalam segala urusan tolong menolong, menjalankan kebaikan, serta menjaga dari
segala kejahatan, di samping itu dengan melangsungkan perkawinan bahkan seorang
dapat terpelihara terhadap kebinasaan dari hawa nafsunya.
Perkawinan yang merupakan perbuatan
mulia tersebut pada prinsipnya, dimaksudkan untuk menjalin ikatan lahir batin
yang sifatnya abadi dan bukan hanya untuk sementara waktu, yang kemudian
diputuskan lagi. Atas dasar sifat ikatan perkawinan tersebut, maka dimungkinkan
dapat didirikan
rumah tangga yang damai dan teratur, serta memperoleh keturunan yang baik dalam
masyarakat.[3]
Selanjutnya sesuai dengan ketentuan
Pasal 2 Buku I tentang Hukum Perkawinan Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah
dirumuskan pengertian perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu “akad
yang sangat kuat atau mitsaaqon gholidhan untuk mentaati perinta Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah”. Sementara itu Pasal 3 juga diatur bahwa
tujuan perkawinan adalah “untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah, mawaddah, warahmah”. Sedangkan menurut hukum Islam perkawinan
merupakan ikatan lahir batin yang sifatnya agung dan suci antara pasanan pria
dan wanita, yang bertujuan membentuk rumah tangga yang penuh ketenangan
(sakinah), penuh rasa cinta kasih (mawaddah), dan senantiasa mengharapkan
limpahan rahmat dari Allah SWT.
B. Arti dan Syarat-syarat dalam
Perkawinan
Perkawinan dalam Islam tidaklah semata-mata sebagai
hubungan ataua kontrak keperdataan biasa, akan tetapi perkawinan merupakan
sunnah Rasulullah Saw., dan media yang paling cocok antara panduan agama Islam
dengan naluriah atau kebutuhan biologis manusia, dan mengandung makna dan nilai
ibadah. Sehingga di dalam Kompilasi Hukum Islam ditegaskan pula bahwa
perkawinan merupakan akad yang sangat kuat, perjanjian kokoh (mitsaqun
ghalidhan) untuk mentaati perintah Allah, dan melaksanakannya merupakan
ibadah. (Pasal 2 KHI)[4].
Apabila perkawinan hanya dipahami sebagai ikatan atau
kontrak keperdataan saja, akan dapat menghilangkan nilai kesucian perkawinan
sebagai bentuk dan instrument ibadah sosial kepada ALlah Swt. Perintah
merupakan salah satu perintah agama kepada orang laki-laki maupun perempuan
yang mampu. Karena dengan perkawinan, dapat mengurangi maksiat penglihatan
serta memelihara diri dari perbuatan zina. Oleh karena itu, bagi mereka yang
berkeinginan untuk menikah, sementara persiapan perbekalan untuk memasuki
perkawinan belum siap, dianjurkan berpuasa. Dengan berpuasa diharapkan dapat
membentengi diri dari perbuatan tercela yang sangat keji, yaitu perzinaan.
Riwayat dari Abdullah bin Mas’ud Rasulullah Saw. bersabda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ
الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai para
pemuda, barangsiapa yang sudah sanggup menikah, maka menikahlah. Karena itu
lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum
mampu, maka berpuasalah karena puasa itu obat pengekang nafsunya”. (Muttafaq
Alaih)
Perkawinan merupakan wadah penyaluran kebutuhan biologis
manusia yang wajar, dan dalam ajaran Nabi, perkawinan ditradisikan menjadi
sunnah beliau.
Perkawinan adalah suatu perbuatan
hukum, oleh karena itu mempunyai akibat hukum. Adanya akibat hukum, penting
sekali kaitannya dengan sah tidaknya perbuatan hukum. Oleh karena itu, sah
tidaknya suatu perkawinan ditentukan oleh hukum yang berlaku (hukum Positif),
yaitu berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan yang berbunyi “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Sedangkan menurut
Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam, bahwa: Perkawinan menurut hukum Islam adalah
pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqoon gholidhan untuk
menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.[5]
Syarat-syarat perkawinan yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan meliputi:
1.
Syarat-syarat
materiil.
a.
Syarat
materiil secara umum adalah sebagai berikut:
1)
Harus ada
persetujuan dari kedua belah pihak calon mempelai. Arti persetujuan yaitu tidak
seorangpun dapat memaksa calon mempelai perempuan dan calon mempelai laki-laki,
tanpa persetujuan kehendak yang bebas dari mereka. Persetujuan dari kedua belah
pihak calon mempelai adalah syarat yang relevan untuk membina keluarga.
2)
Usia calon
mempelai pria sekurang-kurangnya harus sudah mencapai 19 tahun dan pihak calon
mempelai wanita harus sudah berumur 16 tahun.
3)
Tidak terikat
tali perkawinan dengan orang lain.
b.
Syarat
materiil secara khusus yaitu:[6]
1)
Tidak
melanggar larangan perkawinan yang diatur Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, yaitu larangan perkawinan antara
dua orang yaitu:
a)
Hubungan darah dalam garis keturunan lurus
kebawah atau ke atas.
b)
Hubungan
darah garis keturunan ke samping.
c)
Hubungan
semenda.
d)
Hubungan
susuan.
e)
Hubungan
saudara dengan isteri atau sebagai bibi.
f)
Mempunyai
hubungan dengan agama atau peraturan yang berlaku dilarang kawin.
g)
Telah
bercerai untuk kedua kalinya sepanjang hukum masing-masing agama dan
kepercayaan tidak menetukan lain.
2)
Izin dari
kedua orang tua bagi calon mempelai yang belum berumur 21 tahun. Yang berhak
memberi izin kawin yaitu:
a)
Orang tua
dari kedua belah pihak calon mempelai. Jika kedua orang tua masih ada, maka
izin diberi bersama oleh kedua orang tua calon mempelai. Jika orang tua
laki-laki telah meninggal dunia, pemberi izin perkawinan beralih kepada orang
tua perempuan yang bertindak sebagai wali. Jika orang tua perempuan sebagai
wali, maka hal ini bertentangan dengan perkawinan yang diatur Hukum Islam
karena menurut Hukum Islam tidak boleh orang tua perempuan bertindak sebagai
wali.
b)
Apabila salah
seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia tau dalam keadaan tidak
mampu menyatakan kehendaknya disebabkan:
(1)
Oleh karena
misalnya berada di bawah kurutale.
(2)
Berada dalam
keadaan tidak waras.
(3)
Tempat
tinggalnya tidak diketahui. Maka izin cukup diberikan oleh orang tua yang masih
hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
c)
Apabila kedua
orang tua telah meninggal dunia atau kedua-duanya dalam keadaan tidak mampu
menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari:
(1)
Wali yang
memelihara calon mempelai.
(2)
Keluarga yang
mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan ke atas selama masih hidup dan
dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
d)
Jika ada
perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 6 ayat (2), (3) dan (4) atau seseorang atau
lebih diantara orang-orang tidak ada menyatakan pendapatnya, Pengadilan dalam
daerah hukum tempat tinggal orang yang hendak melangsungkan perkawinan
bertindak memberi izin perkawinan. Pemberian izin dari Pengadilan diberikan:
(1)
Atas
permintaan pihak yang hendak melakukan perkawinan.
(2)
Setelah lebih
dulu Pengadilan mendengar sendiri orang yang disebut dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 6 ayat (2).(3) dan (4).
2.
Syarat-syarat
Formil[7]
a.
Pemberitahuan
kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada pegawai pencatatan perkawinan.
b.
Pengumuman
oleh pegawai pencatat perkawinan.
c.
Pelaksanaan
perkawinan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing.
d.
Pencatatan
perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan.
Perkawinan dapat dikatakan sah
apabila telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan Rukun adalah unsur pokok
(tiang) sedangkan syarat merupakan unsur pelengkap dalam setiap perbuatan
hukum.43 Perkawinan sebagai perbuatan hukum tentunya juga harus memenuhi rukun
dan syaratsyarat tertentu. Rukun nikah merupakan hal-hal yang harus dipenuhi
pada waktu melangsungkan perkawinan. Rukun nikah merupakan bagian dari hakekat
perkawinan, artinya bila salah satu dari rukun nikah tidak terpenuhi maka tidak
terjadi suatu perkawinan. Rukun nikah di atur dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum
Islam yang berbunyi :
1.
Calon
mempelai laki-laki dan perempuan.
2.
Wali bagi
calon mempelai perempuan.
3.
Saksi.
4.
Ijab dan
Kabul
Menurut Hukum Islam syarat-syarat
yang harus dipenuhi agar suatu perkawinan dinyatakan sah adalah:[8]
1.
Syarat umum.
Perkawinan tidak boleh
bertentangan dengan larangan perkawinan dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat
(221) tentang larangan perkawinan karena perbedaan agama dengan pengecualiannya
dalam Al-Quran surat AlMaidah ayat (5) yaitu khusus laki-laki boleh mengawini
perempuanperempuan, Al-Quran surat An-Nisa ayat (22), (23) dan (24) tentang
larangan perkawinan karena hubungan darah, semenda dan saudara sesusuan.
2.
Syarat khusus
a.
Adanya calon
mempelai laki-laki dan perempuan.
Calon mempelai laki-laki
dan perempuan adalah suatu syarat mutlak (condition sine qua non),
absolut karena tanpa calon mempelai lakilaki dan perempuan tentu tidak ada perkawinan.
Calon mempelai lakilaki dan perempuan harus bebas dalam menyatakan
persetujuannya tidak dipaksa oleh pihak lain. Hal ini menuntut konsekuensi
bahwa kedua calon mempelai harus sudah mampu untuk memberikan peretujuan untuk
mengikatkan diri dalam suatu perkawinan dan ini hanya dapat dilakukan oleh
orang yang sudah mampu berpikir, dewasa, akil baliqh. Dengan dasar ini Islam
menganut asas kedewasaan jasmani dan rohani dalam melangsungkan perkawinan.
b.
Harus ada
wali nikah.
Menurut mahzab Syafi’I
berdasarkan hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari
siti Aisyah, Rasul SAW pernah mengatakan tidak ada kawin tanpa wali. Hanafi dan
Hambali berpandangan walaupun nikah itu dipakai wali, nikahnya tetap sah.[9]
Syarat-syarat wali adalah:
1)
Islam.
2)
Akil
baliqh.
3)
Berakal.
4)
Laki-laki.
5)
Adil.
6)
Tidak sedang
ihram atau umroh.
c.
Saksi.
Kesaksian untuk suatu
perkawinan hendaklah diberikan oleh dua orang laki-laki dewasa dan adil dan
dapat dipercaya. Sebuah hadist Rasul SAW dengan riwayat Ahmad yang berbunyi:
“Tidak sah nikah melainkan dengan wali dan dua orang saksi yang adil”, dijadikan
dalil atas pendirian yang sedemikian syarat-syarat kedua orang saksi tersebut
adalah:
1)
Islam.
2)
Dewasa (Akli
baliqh).
3)
Laki-laki
yang adil yang dapat terlihat dari perbuatan sehari-hari
Menurut
Syafi’I dan Hambali mengatakan akad nikah yang tidak dihadiri oleh dua orang
saksi tidak sah dan dua orang saksi itu harus muslim. Tidak sah bila saksi
bukan muslim sedangkan Hanafi mengatakan saksi boleh saja bukan muslim yaitu
bila perkawinan dilakukan antara seorang Muslim dengan wanita yang bukan muslim
(kitabiyah).
d.
Ijab dan
Kabul
Ijab yaitu pernyataan
kehendak mengikatkan diri dalam bentuk perkawinan dan dilakukan oleh pihak
perempuan ditujukan kepada laki-laki calon suami. Sedangkan Kabul yaitu
pernyataan penerimaan mengikatkan diri sebagai suami isteri yang dilakukan
pihak laki-laki. Ijab Kabul dilakukan di dalam suatu majelis dan tidak boleh
ada jarak yang lama antara Ijab dan Kabul yang merusak kesatuan aqad dan
kelangsungan aqad, dan masing-masing Ijab dan Kabul dapat didengar dengan baik
oleh kedua belah pihak dan dua orang saksi. Syarat-syarat Ijab Kabul adalah:
1)
Ada
pernyataan mengawinkan dari wali (ijab).
2)
Ada
pernyataan pemnerimaan dari calon mempelai laki-laki (qabul).
3)
Menggunakan
kata-kata nikah (tazwij).
4)
Antara Ijab
dan Kabul diucapkan bersambungan.
5)
Antara Ijab
dan Kabul harus jelas maksudnya.
6)
Tidak dalam
ihram haji atau umrah.
7)
Majelis Ijab
dan Kabul harus dihadiri minimal 4 (empat) orang.
C. Hubungan Hukum dalam Perkawinan
Perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum. perkawinan
menimbulkan hak dan kewajiban kepada para pihak yang mengikatkan diri pada
suatu perkawinan. Hak dan kewajiban tersebut harus dipenuhi oleh pasangan suami
istri yang terikat dalam suatu hubungan kekeluargaan, terlebih dari itu juga
dalam bidang harta kekayaan. Akibat hukum perkawinan di dalam hubungan
kekeluargaan diatur oleh hukum keluarga, sedangkan akibat hukum dalam bidang
harta kekayaan diatur oleh hukum benda perkawinan. Hukum keluarga dan hukum
benda perkawinan dapat ditemukan dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Hukum kekeluargaan yang diatur di dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 yaitu
mengatur tentang status anak, hak dan kewajiban anak dengan orang tua dan
tentang perwalian. Sedangkan mengenai hukum benda perkawinan diatur di dalam
Pasal 35, 36, dan 37 UU Nomor 1 Tahun 1974. Pengaturan menganai hukum benda
perkawinan dapat ditemukan pula di dalam Pasal 1 ayat f dan Pasal 85 sampai
Pasal 97 KHI. Dalam UU Perkawinan, UU Nomor 1 Tahun 1974 perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang lelaki dengan seorang perempaun sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
D. Asas Monogami dalam Perkawinan
Monogami adalah perkawinan dengan Istri tunggal yang
artinya seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan saja,
sedangkan kata poligami yaitu perkawinan dengan dua orang perempuan atau lebih
dalam waktu yang sama.[10]
1. Asas Monogami Menurut KUHPerdata
Hukum perkawinan yang diatur di
dalam KUHPerdata berasaskan monogamy dan mutlak. Aetinya, setiap suami hanya
diperbolehkan mempunyai seorang istri saja, begitu pula sebaliknya. Hal ini
sesuai dengan ketentuan Pasal 27 KUHPerdata. KUHPerdata memandang perkawinan
hanya dalam hubungan keperdataan (Pasal 26 KUHPerdata). Hal ini berarti, bahwa
perkawinan itu sah apablila telah dipenuhinya ketentuan hukum/syarat hukum dari
KUHPerdata.[11]
KUHPerdata tidak memandang faktor
keagamaan sebagai syarat sahnya perkawinan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 81
KHUPerdata, dimana upacara keagamaan tidak boleh dilangsungkan sebelum
perkawinan diadakan dihadapan Pegawai Catatan Sipil. Di dalam KUHPerdata,
perolehan keturunan bukan merupakan tujuan perkawinan.
2. Asas Monogami Menurut UU Nomor 1
Tahun 1974
Dalam Undang-undang perkawinan ini, berlaku pula asas
monogamy dalam perkawinan. Menurut pasal 3 ayat 1 UUP pada assnya dalam suatu
perkawinan seorang pria hanya boleh mempunayi seorang istri dan seorang wanita
hanya boleh mempunyai seorang suami (asas monogamy). Dalam Undang-Undang
Perkawinan ini, perolehan keturnan merupakan tujuan perkawinan.[12]
Berbeda menuru KUHPerdata dan UU Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, di dalam hukum Islam tidak menganut asas monogami, melainkan
poligami. Menurut Pasal 55 KHI
(Kompilasi Hukum Islam), beristri lebih dari satu orang pada waktu yang
bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang istri. Syarat utama beristri lebih
dari seorang, suami hanya mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan
anak-anaknya. Apabila syarat utama ini tidak mungkin dipenuhi, maka suami
dilarang beristri lebih dari seorang.
Suami yang hendak beristri lebih
dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama. Perkawinan yang
dilakukan dengan istri kedua, ketiga, atau keempat tanpa izin dari Pengadilan
Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum (Pasal 56 KHI). Menurut Pasal 57 KHI,
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri
lebih dari seorang apabila:
1.
Istri tidak dapat
menjalankan kewajiban seorang istri
2.
Istri
mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
3.
Istri tidak
dapat melahirkan keturunan
Selain syarat-syarat tersebut di
atas menurut pasal 58 KHI, maka untuk memperoleh izin dari Pengadilan Agama,
harus pula memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.
Adanya
persetujuan d ari istri
2.
Adanya
kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak
mereka
3.
Adanya
jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka
Pengadilan Agama dapat menetapkan
tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan
di Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat
mengajukan banding atau kasasi.
BAB III
PENUTUP
1. Pengertian Umum Perkawinan Menurut
UU No.1 Tahun 1974yaitu; “Ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
yang Yang Maha Esa”.
2. Arti dari sebuah perkawinan jika
menurut KHI adalah bukan hanya sebagai penyaluran kebutuhan biologia, melainkan
adalah untuk mentaati perintah Allah SWT. Dan syarat dari sebuah perkawinan
terbagi menjadi dua, yatitu secara materil maupun formil. Secara umum syarat dari
sah nya perkawinan adalah adanya calon mempelai, adanya wali, adanya saksi dan
terakhir adanya ijab dan qabul.
3. Hubungan hukum dalam perkawinan
menimbulkan beberapa akibat hukum, yaitu akibatnya hukum perkawinan di dalam
hubungan kekeluargaan diatur oleh hukum keluarga, sedangkan akibat hukum dalam
bidang harta kekayaan diatur oleh hukum benda perkawinan.
4. Asas monogamy dalam perkawinan. Monogami
adalah perkawinan dengan Istri tunggal
yang artinya seorang laki-laki
menikah dengan seorang perempuan saja, sedangkan kata poligami yaitu perkawinan
dengan dua orang perempuan atau lebih dalam waktu yang sama. Menurut KUHPerdata
dan UU Perkawinan, sesungguhnya perkawinan di Indonesia pada dasarnya menganut
asas monogamy.
Saran penulis adalah agar dilakukannya pembaruan terkait
UU perkawinan, karena dinamika perkawinan semakin hari semakin kompleks
sehingga dibutuhkanlah peraturan perundang-undangan pula yang terbaru dan lebih
lengkap mengatur persoalan perkawinan
DAFTAR PUSTAKA
A. Zuhdi Muhdar, Memahami Hukum Perkawinan,
Bandung: Al Bayan, 1994
Achmad Kuzari, Nikah Sebagai
Perikatan , Jakarta: PT Raja Grafindo, 1995
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata
Islam di Idnonesia, Depok: PT Raja Grafindo, 2017
Al Hamdany, Risalah nikah,
Jakarta: Pustaka Amani, 2002
M Ridwan Indra, Hukum
Perkawinan Di Indonesia, Jakarta: cv. Haji Masagung, 1994
Mahmuda Junus, Hukum Perkawinan Islam Menurut Mazhad:
Sayfi‟I, Hanafi, Maliki dan Hambali. Jakarta: Pustaka Mahmudiyah, 1989
P.N.H
Simanjuntak,, Hukum Perdata Indonesia, Jakarta: Kencana, 2016
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam,
Jakarta: Attahiriyah , 1993
[1] Sulaiman
Rasjid, Fiqih Islam, (Jakarta: Attahiriyah , 1993),
hlm. 355
[2] Ibid., hlm. 36
[3] Mahmuda Junus,
Hukum Perkawinan Islam Menurut Mazhad: Sayfi‟I, Hanafi, Maliki dan Hambali.
(Jakarta: Pustaka Mahmudiyah, 1989),
hlm.11
[4] Ahmad Rofiq, Hukum
Perdata Islam di Idnonesia, (Depok: PT Raja Grafindo, 2017), hlm. 53
[5] M Ridwan Indra, Hukum Perkawinan Di
Indonesia, (Jakarta: cv. Haji Masagung, 1994),
hlm. 1
[6] Al Hamdany, Risalah
nikah, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), hlm.44
[7] A. Zuhdi
Muhdar, Memahami Hukum Perkawinan, (Bandung: Al Bayan, 1994),
hlm. 24
[8] Ibid., hlm. 62
[9] Ibid., hlm. 63
[10] Achmad Kuzari,
Nikah Sebagai Perikatan , (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1995), hlm. 159.
[11] P.N.H
Simanjuntak,, Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2016), hlm. 36
[12] Ibid., hlm. 49
Komentar
Posting Komentar