PROBLEMATIKA PEKERJA/BURUH DI INDONESIA MENGHADAPI REVOLUSI INDUSTRI 4.0


PAPER
PROBLEMATIKA PEKERJA/BURUH DI INDONESIA MENGHADAPI REVOLUSI INDUSTRI 4.0
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Hukum Ketenagakerjaan”
Dosen Pengampu: Dr. Ratna Mulhimah, MH






              Suci Ramadhani Putri                (170201027)



JURUSAN MUAMALAH
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM
2018/2019


PROBLEMATIKA PEKERJA/BURUH DI INDONESIA MENGHADAPI REVOLUSI INDUSTRI 4.0

     A.    Latar Belakang
Perkembangan sejarah revolusi industri dimulai dari industri 1.0, 2,0,. 3.0 sampai dengan kini revolusi industri 4.0. Revolusi industri 4.0 ditandai dengan dimanfaatkannya teknologi digital dan informasi sepenuhnya. Model bisnis yang digunakan juga ikut berubah sehingga mempengaruhi industri di masa sekarang yang tidak hanya berfokus pada proses produksi akan tetapi juga mempengaruhi rantai nilai perusahaan. Perkembangan yang dapat dirasakan seperti integrasi pemanfaatan jaringan dengan teknologi internet dan cybernetika.
Indonesia sebagai bagian dari dunia terdampak pada perubahan teknologi yang mendorong revolusi industry, sehingga mau tidak mau Indonesia harus mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Salah satu sektor yang terkena dampak  akibat dari terjadinya revolusi industri 4.0 adalah sektor ketenagakerjaan. Revolusi industri bagi sektor ketenagakerjaan memiliki dampak positif dan juga dampak negatif. Dimana yang menjadi taruhannya di sini adalah keberlangsungan para pekerja/buruh. Sehingga hal ini menjadi tantangan  bagi pekerja/buruh itu sendiri untuk menjadikan revolusi industri 4.0 sebagai momentum keangkitan ataukah justru sebaliknya justru menghancurkan.
Paper ini selain akan mencoba untuk memaparkan lebih lanjut mengenai tantangan-tantangan akibat dari revolusi industri 4.0 terhadap pekerja/buruh di Indonesia, juga akan mencoba untuk memberikan solusi yang bisa menjadi rujukan untuk menghadapi tantangan-tantangan akibat  dari revolusi industri 4.0 ini.


  B .     Tantangan Bagi Pekerja/Buruh
Menurut Suhadi selaku Direktur Bina Instruktur dan Tenaga Pelatihan, Direktorat Jenderal Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas, Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia (Kemenaker), Indonesia masih menghadapi beberapa masalah pokok dalam sektor ketenagakerjaan. Mulai dari kuantitas dan kualitas tenaga kerja, kesenjangan kualitas SDM antardaerah, rendahnya produktivitas, hingga industri atau pengguna yang belum banyak berpihak pada kompetensi tenaga kerja.[1]
Saat ini, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Bank Dunia, kualitas SDM Indonesia berada pada peringkat 87 dari 157 negara. Sehingga masih sangat memerlukan perbaikan serta peningkatan yang menyeluruh yang melibatkan semua pihak.[2] Masalah ketenagakerjaan di Indonesia tidak akan pernah terselesaikan jika kondisi pekerja/buruh di Indonesia tetap seperti ini. Sehingga bisa kita katakan bahwa sesungguhnya Indonesia belum siap dalam menghadapai revolusi industri 4.0 ini.
Revolusi industri 4.0 menghadirkan tantangan dalam berbagai aspek kehidupan, tidak terkecuali pada sektor ketenagakerjaan. Mekanisasi, otomatisasi, dan hadirnya kecerdasan buatan menjadi ancaman yang harus dihadapi pekerja atau buruh di era revolusi industri ini. Diantaranya adalah akan terdapat beberapa profesi yang saat ini telah ada.
Diprediksi terdapat beberapa profesi saat ini yang akan hilang dan digantikan dengan robot atau komputer. Pekerjaan yang sangat rentan hilang adalah pekerjaan yang repetitif. Bahkan sudah berkembang kepada pekerjaan yang sudah mengandalkan skill tinggi dan pengetahuan. Pekerjaan yang diprediksi akan hilang seperti pemberi layanan konsumen (costumer service), supir, kasir bank, penerjemah, apoteker, DJ radio, pengarang lagu, dan bahkan pengarang buku.
Layanan konsumen saat ini bisa digantikan dengan robot chat yang secara otomatis menjawab pertanyaan konsumen, supir digantikan oleh teknologi kendaraan tanpa supir, kasir bank sudah digantikan mesin otomatis transfer atau menarik uang, penerjemah digantikan alat atau aplikasi yang level akurasinya mendekati 100%, sudah ada perangkat lunak yang menggunakan kecerdasan buatan untuk membuat lagu, dan bahkan sudah ada perangkat lunak yang bisa menjawab permasalahan hukum yang lebih akurat dan efisien dari pengacara. Sementara itu pekerjaan yang terkait dengan skill tinggi, terkait dengan teknologi, dan bukan bersifat repetisi diprediksi akan bertahan. Pekerjaan tersebut seperti pekerjaan dalam industri kreatif, Information Technology, manajer, profesional, layanan kesehatan, pendidikan, dan jasa konstruksi akan bertahan.
Di Indonesia sendiri beberapa industri otomotif sudah mulai melakukan automasi. Industri perbankan bergerak cepat melakukan automasi dan memangkas ribuan buruh. Hanya Bank Mandiri dan BRI yang konsisten menambah jumlah buruh dalam tiga tahun terakhir. Sementara jumlah buruh di Bank BCA pada tahun 2018 menurun 2%, BNI menyusut 1169 orang pada tahun 2018, dan penyusutan terbanyak adalah Bank Danamon yang memiliki buruh sebanyak 44.019 pada 2016 menjadi hanya 32.299 pada 2018 atau berkurang 11.720 orang.[3] Tidak heran serikat buruh berpendapat bahwa Revolusi Industri 4.0 berdampak pada banyaknya jumlah pengangguran. Sehingga revolusi industri 4.0  ini menciptakan kekhawatiran tersendiri bagi para pekerja/buruh.
Riset oleh Mckinsey Global Institute memprediksi bahwa sebanyak 800 juta pekerjaan akan hilang digantikan dengan automasi pada tahun 2030. Kemudian sebanyak 30% dari waktu kerja secara global dapat digantikan dengan mesin otomatis pada tahun 2030 tergantung seberapa cepat sistem automasi dijalankan.[4]
Selain akan semakin sulitnya kedepan untuk mendapatkan pekerjaan, juga akan mengakibatkan semakin senjangnya jurang antara pekerja/buruh dengan pelaku usaha. Lantaran para pelaku usaha akan semakin merasa berkuasa atas para pekerja/buruhnya. Karena akan semakin ketatnya persaingan dunia kerja, pelaku usaha akan berpikiran bahwa tidak apa-apa mengganti pekerja/buruh yang berulah. Lagipula masih banyak para pekera/buruh lain di luar sana yang berebut untuk bekerja padanya.
Namun hal-hal di atas haruslah dijadikan sebagai tantangan bagi pekerja/buruh. Jangan sampai menjadikan para pekera/buruh menjadi menyerah untuk menghadapi revolusi industri 4.0 ini. Karena bagaimanapun Tuhan YME telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna di muka bumi ini. Manusia adalah khalifah di muka bumi ini. Tidak mungkin ada alat-alat nan canggih jika tidak melalui proses riset dan penelitian yang manusia lakukan, yang tentu hal itu terlaksana atas bimbingan dari Tuhan YME.
Meskipun demikian, revolusi industri juga membawa pengaruh yang positif bagi pekerja/buruh.  Seorang peneliti dari Center for Indonesia Policy Studies (CIPS) Imelda freddy menyebutkan bahwa revolusi industri 4.0 akan mentransformasikan lebih banyak pekerjaan, seperti halnya saat Indonesia mulai diperkenalkan kepada internet 20 tahun lalu. Karena meskipun persaingan usaha semakin ketat, perkembangan teknologi sekaligus merangsang inovasi ekonomi.[5] Para pekerja/buruh diberi kesempatan untuk lebih kreatif, kolaboratif, serta mengerjakan permasalahan rumit yang memang hanya manusia yang mmpu untuk mengerjakannya.
Selain itu revolusi industri bagi pekerja/buruh juga mengakibatkan akan menciptakan mindset baru bahwa menciptakan pekerjaan jauh lebih menguntungkan dari pada harus mencari pekerjaan. sebuah ungkapan mengatakan bahwa “Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah”. Bagi pekerja/buruh yang tidak ingin repot harus bekerja ke luar rumah, di era revolusi industri 4.0 ini mereka dapat bekerja cukup di rumah dengan berkembangnya sistem online. Mereka sekaligus dapat mengerjakan pekerjaan rumah, misalnya seorang ibu yang harus mengurus rumah tangganya juga masih dapat bekerja untuk menghasilkan uang.
Sehingga sekali lagi, revolusi industri 4.0 ini memang menjadi tantangan sendiri bagi pekerja/buruh. Namun tantangan itu bukan untuk dihindari. Tantangan adalah untuk ditaklukkan. Siapa yang mampu menaklukkannya maka ia adalah sang pemenang. Dan siapa yang tidak mampu menaklukknya maka ia akan terlindas oleh tantangan itu sendiri.
   C.     Solusi Bagi Pekerja/Buruh
Untuk menghadapi problematika revolusi industri 4.0 ini tidak bisa diselesaikan dengan melibatkan beberapa pihak saja. Dalam artian harus melibatkan semua pihak, baik pihak pemerintah, serikat pekerja maupun pekerja itu sendiri.
Pertama, yang dapat pemerintah lakukan untuk menghadapi problematika revolusi industri 4.0 ini dengan membentuk Balai Latihan Kerja guna meningkatkan kualitas SDM pekerja/buruh itu sendiri. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa SDM adalah pokok permasalahan buruh baik kini maupun nanti saat era revolusi industri 4.0.
Kementerian Ketenagakerjaan menggelar program-program pelatihan dan sertifikasi APBN di Balai Latihan Kerja (BLK) dan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP). Pada tahun 2018, Kemnaker memiliki target untuk melatih sebanyak 159.064 orang dan mensertifikasi sebanyak 260.024 orang tenaga kerja. Di 2019, APBN akan melatih sebanyak 526.344 orang, termasuk di dalamnya program pemagangan, dan mensertifikasi sebanyak 526.189 orang tenaga kerja.[6] Dengan didirikannya Balai Latihan Kerja seperti ini, diharapkan para pekerja/buruh dapat mengasah skill mereka. Tidak hanya kemudian hard skill  yang mereka kuasai namun juga soft skill mereka kuasai. Hal ini penting guna menghadapi automasisasi yang terjadi di era revolusi industri 4.0.
Selain itu Kemnaker juga berkomitmen untuk mendorong program GNIK (Gerakan Nasional Indonesia Kompeten) yang distimulasi oleh gerakan sertifikasi 4.000 praktisi HR dan meluluskan 400.000 peserta pemagangan bersertifikat di seluruh Indonesia.[7] Sehingga memang dapat kita tarik kesimpulan bahwa pemerintah memegang peranan yang sanagat krusial bagi pekerja/buruh dalam menghadapi era revolusi industri 4.0 dikarenakan pemerintah memiliki kewenangannya sendiri untuk mengintervensi jalannya hubungan industrial di Indonesia.
Kedua, yang dapat serikat pekerja lakukan untuk menghadapi problematika di era revolusi industri 4.0 ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Menteri Ketenagakerjaan adalah serikat pekerja/buruh dapat memperkuat dialog sosial. Sehingga, jika ada masalah maka akan dibahas, didiskusikan, dan dirembuk secara bersama. Dengan cara itu hubungan industrai dapat diatasi dengan baik.[8] Salah satu permasalahan yang akan timbul akibat dari revolusi industri 4.0 bagi pekerja/buruh adalah rentannya Pemutusan Hubungan Kerja oleh pelaku usaha. Karena itu peran oleh serikat pekerja/buruh sangatlah dibutukan guna memenuhi fungsi serta perannya sebagi pelindung hak-hak ari para pekerja/buruh.
Ketiga, problematika revolusi industri 4.0 tidak mungkkin untuk dapat diatasi jika subjek krusialnya tidak memiliki kemauan untuk menghadapi dan menyelesaikan problematika yang ada. Meskipun pemerintah dan serikat pekerja/buruh telah melakukan fungsinya dengan baik, namun dari pekerja buruhnya sendiri malas-malasan maka akan sia-sia, ibarat buih di tengah lautan. Karena itu, pada diri pekerja/buruh penting untuk memiliki mindset kreatif, inovatif dan berdaya saing. Jika tidak demikian, maka peradaban manusia, bukan tidka mungkin akan musnah tergantikan oleh robot-robot ciptaan manusia itu sendiri. 
   D.    Kesimpulan
Revolusi industri 4.0  memberikan dampaknya sendiri bagi dunia ketenagakerjaan di Indonesia. Berbagai problematikapun bermunculan seiring dengan hal-hal positif yang juga diakibatkan oleh revolusi industri 4.0. diantara problematika itu adalah kurangnya kesiapan SDM pekerja/buruh di Indonesia untuk meghadapi revolusi industri ini. Di mana SDM pekerja/buruh Indonesia tergolong masih sangat lemah. Problematika kesenjangan antara pekerja/buruh dengan pelaku usaha pun dikhawatirkan akan membentuk jurang semakin lebar. Sehingga di sisi diperlukannya penanganan dari berbagai pihak yang terkait guna mengatasi problematika-problematika ini.
Harmonisasi antar pihak sangat diperlukan guna menghadapi problematika ini, ibarat pilar yang saling membutuhkan satu sama lain, jika yang satu goyah, maka yang lain pun akan ikut goyah pula.










DAFTAR PUSTAKA

Manyika, James, 2017, Job Lost Job Gained: Workforce Transitionin a Time Automation, Mckinsey, Global Intitute, hlm. 2
www.infid.org Diakses pada 30 April 2019.
www.kompas.com Diakses pada 01 Mei 2019.
www.okezone.com Diakses pada 30 April 2019.
www.suara.com Diakses pada 30 April 2019.
www.tirto.id Diakses pada 30 April 2019.


[1] www.infid.org Diakses pada 30 April 2019.
[2] www.suara.com Diakses pada 30 April 2019.
[3] www.tirto.id Diakses pada 30 April 2019.
[4] James Manyika, 2017, Job Lost Job Gained: Workforce Transitionin a Time Automation, Mckinsey, Global Intitute, hlm. 2
[5] www.kompas.com Diakses pada 01 Mei 2019.
[6] www.okezone.com Diakses pada 30 April 2019.
[7] www.okezone.com Diakses pada 30 April 2019.
[8] www.finance.detik.com Diakses pada 30 April 2019.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Konsep Kewirausahaan Islam

Makalah Filsafat Empirisme

KAIDAH FIKIH KULLIYAT YANG KE 26-30